Berkah Tongkol Batik di Mentawai

  • Penulis
    Febrianti
  • Editor
    Rusman Paraqbueq

PERAHU tempel milik John Taleleu, 41 tahun, berlabuh di pantai Beriulou, Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa siang, 14 November lalu. John bergegas turun, lalu menyeret perahu dengan mesin berkekuatan 6 PK (paardenkracht atau tenaga kuda) itu ke tepi muara.

Ia lantas menurunkan satu ember tongkol batik, satu ekor gurita, lima teripang karang, dan tiga ekor lola ukuran besar serta siput laut bercangkang kerucut. Nelayan asal Desa Beriulou ini menangkap berbagai jenis ikan dan kerang itu dengan cara dipancing, kecuali siput laut yang ia pungut di karang saat air laut surut. 

”Tongkol batik itu masih banyak di laut, tapi saya mengambil secukupnya saja untuk dimasak,” kata John saat ditemui di pantai Beriulou pada Selasa, 14 November lalu.

Punggung tongkol batik bergaris putus-putus seperti batik. Jenis tongkol ini sempat viral di media sosial. Banyak orang yang mengunggah konten di media sosial saat tengah menangkap tongkol batik di laut. 

Sejak awal Oktober lalu, gerombolan tongkol batik melimpah di laut yang tak jauh dari pantai Pulau Sipora. John masih ingat saat ia menyaksikan kumpulan tongkol di sekitar pantai Pulau Sipora. 

Sabtu pagi, 7 Oktober lalu, John baru turun ke laut untuk memancing ikan karang di depan pantai Beriulou. Ia menyaksikan air laut beriak. Anak ikan ataupun ikan berukuran kecil, di antaranya kembung dan kurisi, berloncatan ke atas permukaan laut.

“Saya lihat ke bawah air ternyata segerombolan tongkol sedang mengejar ikan-ikan kecil itu,” kata John.

Nelayan, Jhon Taileleu, menaiki perahunya di Desa Beriulou, Sipora Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, November 2023. TEMPO/ Febrianti

Dari atas perahu, John bergegas melemparkan tali pancing yang terdapat puluhan mata kail. Umpan pada mata kail itu berupa tali nilon warna-warni. Dia biasanya menggunakan alat tangkap ikan tersebut untuk memancing ikan pelagis. 

Ia pun mengulur tali pancing agar mata kail tenggelam lebih jauh ke dalam laut. Beberapa menit kemudian, tali pancing di tangan John bergerak-gerak. 

John menariknya. Di mata kail sudah terdapat 15 ekor tongkol batik. Hanya dalam waktu sekitar satu jam, John sudah mendapat 150 ekor tongkol batik. Setelah wadah yang dibawanya penuh, John memilih pulang ke rumahnya. 

“Melihat ikan yang banyak saya dapat, orang-orang tak percaya bahwa ikan itu dari hasil memancing. Mereka mengira saya minta ikan ke kapal nelayan dari Padang yang mencari ikan di laut,” kata John. 

Hasil tangkapan John itu dijual ke pasar. Ia menjualnya seharga Rp 25 ribu per kilogram.

Ahli konservasi biota kelautan dari Universitas Bung Hatta, Harfiandri Damanhuri, menjelaskan bahwa fenomena ikan melimpah di sepanjang pesisir pantai Pulau Sipora akibat banyaknya plankton di sekitar pantai. Plankton merupakan sumber makanan ikan kecil.

Penyebab plankton melimpah adalah kondisi perairan laut di Samudra Hindia yang dingin. Fenomena ini terjadi di wilayah sebelah barat Pulau Sumatera, termasuk Kepulauan Mentawai, dan daerah sebelah selatan Pulau Jawa yang bersinggungan dengan Samudra Hindia. 

Hasil riset Harfiandri pada tahun lalu mencatat suhu rata-rata permukaan laut di Selat Bunga Laut, yang terletak di antara Pulau Siberut dan Pulau Sipora, berkisar 28,29 derajat Celsius. Lalu hasil pencatatan terbaru Harfiandri pada pertengahan November lalu menunjukkan bahwa suhu permukaan laut di sekitar Pulau Pagai Utara—gugusan pulau di Kepulauan Mentawai—turun hingga 24 derajat Celsius.

“Di termometer selam tercatat suhu permukaan air laut 24 derajat Celsius,” katanya, 23 November lalu.

Kolega Harfiandri sempat menyelam di kedalaman 12 meter di pulau itu. Rekan Harfiandri itu mencatat suhu air laut di kedalaman tersebut sekitar 21 derajat Celsius. “Suhu dingin itu membuat dia tidak sanggup menyelam semakin dalam,” kata Harfiandri.

Nelayan memancing ikan tongkol di Desa Tuapejat, Sipora Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, November 2023. TEMPO/ Febrianti

Ia menjelaskan, suhu air laut yang dingin ini membuat plankton berkembang biak lebih banyak di bawah permukaan laut. Biasanya plankton akan mati ketika naik ke permukaan dan terpapar sinar matahari.

Kondisinya berbeda ketika air laut semakin dingin. Plankton justru tidak mati. “Akhirnya terjadi ledakan plankton, lalu terbawa arus ke pantai. Plankton ini yang dikejar ikan-ikan kecil,” ujar Harfiandri.

Ledakan plankton itu membentuk mata rantai makanan dari ikan kecil hingga ikan berukuran jumbo. Ikan kecil memakan plankton, ikan lebih besar memakan ikan kecil, lalu paus memangsa ikan besar.

Pada Sabtu pagi, 21 Oktober lalu, misalnya, nelayan menyaksikan seekor paus terdampar di perairan dekat Sioban, Pulau Sipora. Paus itu memiliki panjang 12 meter.

“Kepala hingga ekor paus berwarna hitam dan perutnya putih,” kata Renatus Satoinong, 55 tahun, nelayan di Sioban. 

Awalnya, nelayan berusaha menarik paus kembali ke tengah laut, tapi tak berhasil. Paus itu akhirnya mati. Warga setempat lantas beramai-ramai mengambil daging paus buat dimakan.

Saat paus terdampar, nelayan kebetulan sedang kesulitan menangkap ikan di laut akibat badai. “Sejak Juni lalu hingga paus itu terdampar, kami ke laut tidak pernah dapat ikan,” ujar Renatus.

Nelayan menunjukan hasil tangkapan berupa berbagai macam ikan, teripang, gurita dan siput air di Desa Beriulou, Sipora Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, November 2023. TEMPO/ Febrianti

Harfiandri melanjutkan, suhu permukaan laut yang dingin tersebut membuat ikan melimpah, bukan saja di Kepulauan Mentawai, tapi juga sepanjang pantai pulau-pulau di Indonesia yang bersinggungan dengan Samudra Hindia.

“Fenomena ini merupakan bagian dari perubahan iklim global,” ucap Harfiandri.

Kepala Stasiun Klimatologi Sumatera Barat Heron Tarigan mengatakan wilayah Sumatera Barat sesungguhnya mengalami dua fenomena berbeda secara bersamaan sejak September lalu. Kedua fenomena itu adalah El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD).

El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal yang terjadi di bagian tengah Samudra Pasifik. Samudra ini membentang di antara Asia dan Australia hingga bagian barat Amerika. Fenomena ini juga terjadi di pulau-pulau di sebelah selatan Sulawesi, Maluku, dan Papua yang bersinggungan dengan Samudra Pasifik.

Sedangkan IOD adalah fenomena permukaan air laut yang berubah menjadi dingin di Samudra Hindia. IOD ini mengakibatkan penguapan air laut tak terjadi sehingga hujan tidak turun. 

“Dua fenomena ini, El Nino dan IOD, kalau terjadi berbarengan seperti saat ini, dampaknya menjadi luar biasa. Kemarau akan jauh lebih kering dan keterlambatan musim hujan,” kata Heron.

Nelayan mendorong perahunya dari muara sungai Beriulou yang menjadi dangkal akibat kemarau panjang di pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, 13 November 2023. TEMPO/ Febrianti

Ia menjelaskan, fenomena IOD ini terjadi akibat perbedaan suhu air laut di Indonesia dan sekitarnya dengan di Afrika Timur. Ketika suhunya positif, yaitu suhu air laut di Indonesia dan sekitarnya dingin, maka suhu di Afrika Timur akan hangat. Sebaliknya, saat suhu negatif, yaitu suhu air laut di Indonesia hangat, maka di Afrika Timur akan mendingin.

“Saat suhu negatif, akan terjadi penambahan massa uap air ke kita,” kata Heron pada 20 November lalu.

Heron melanjutkan, fenomena IOD saat ini memang mengakibatkan curah hujan menjadi rendah. Akibatnya, terjadi kekeringan di sejumlah wilayah. Namun ia memperkirakan IOD normal pada akhir tahun ini sehingga mulai banyak terjadi hujan.

Menurut Heron, IOD di Samudra Hindia ini juga memberikan keuntungan kepada nelayan. Salah satunya, ikan akan melimpah naik ke permukaan laut karena mengejar plankton yang terseret arus hingga ke pesisir pantai.

Gagal Cari Lokan Berganti Tongkol

Fidelius Sababalat, 54 tahun, juga mendapat tongkol batik melimpah pada hari yang sama ketika John Taleleu menemukan ikan serupa di depan pantai Beriulou pada 7 Oktober lalu. Mulanya, nelayan Desa Beriulou itu sedang mengantarkan seorang bidan desa dan temannya untuk mencari lokan di hutan bakau di Pulau Siruamata. Mereka berlayar dari Desa Beriulou ke Siruamata.

Ketika perahu mendekat ke Pulau Siruamata, Fidelius melihat kilauan ikan kecil merah dan abu-abu berloncatan di permukaan laut. Insting nelayan Fidelius tiba-tiba muncul. Ia bergegas mengambil pancing dengan 20 mata kail yang sudah terdapat umpan dari tali nilon plastik warna-warni. 

“Begitu saya turunkan tali pancing, langsung disambar, saat ditarik sudah penuh terisi tongkol batik,” kata Fidelius, November lalu.

Nelayan memancing ikan di depan Pulau Siruamata, Sipora Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, 13 November 2023. TEMPO/ Febrianti

Hari itu, ia berhasil menangkap sekitar 200 ekor tongkol batik. Fidelius lantas membagi ikan itu ke bidan desa dan rekannya. Setelah mendapat ikan melimpah, mereka urung ke Siruamata.

Fidelius, yang biasanya mencari ikan karang di perairan tenang sekitar Pulau Siruamata, tak menyangka akan menemukan banyak tongkol batik di dekat pulau kecil tersebut atau di bagian timur pulau itu. Sebab, tongkol biasanya berada di sebelah barat Pulau Siruamata atau di sisi pulau yang menghadap ke Samudra Hindia. 

“Ini pertama kalinya tongkol dekat ke Pulau Siruamata dalam jumlah yang sangat banyak,” ujar Fidelius. 

Setelah Fidelius kembali ke Desa Beriulou dengan memboyong ratusan tongkol, penduduk desa setempat mulai mempercayai bahwa ikan tengah melimpah di laut. Padahal mereka awalnya ragu akan kabar dari John Taleleu. Nasib baik Fidelius saat itu mendorong nelayan Beriulou beramai-ramai ke laut.

Sejak saat itu, banyak nelayan yang mencari tongkol batik di dekat Pulau Siruamata yang berombak tenang. Bahkan warga Beriulou yang awalnya bukan berprofesi sebagai nelayan, ikut menangkap tongkol di laut.

Nelayan membuat ikan tongkol asap di Desa Beriulou, Sipora Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, 13 November 2023. TEMPO/ Febrianti

Namun berkah tongkol ini justru membuat nelayan tak bergairah lagi menjualnya ke pasar. Sebab, rata-rata penduduk setempat juga pergi menangkap ikan di laut untuk kebutuhan sehari-hari. “Semua orang sudah punya ikan, akhirnya kami menangkap ikan hanya untuk dimakan di rumah,” kata Fidelius.

Karena tongkol melimpah, kata Fidelius, masyarakat jadi bosan memakannya. Mereka lantas menyiasatinya dengan mengubahnya jadi ikan asap—dimasak dengan cara diasapi. Fidelius sendiri mengirim satu karung ikan asap ke anaknya yang bersekolah di Sioban, Mentawai.

Hingga akhir November lalu, nelayan di Sipora Selatan—termasuk John Taleleu dan Fidelius—tetap ke laut menangkap tongkol batik. Mereka menangkap ikan secukupnya untuk kebutuhan di rumah.

Nelayan menunjukkan ikan hasil tangkapan jenis ikan pelagis (permukaan) di Desa Beriulou, Sipora Selatan, Kepulauan Mentawai, November 2023. TEMPO/ Febrianti

Efek Domino Ikan Melimpah

AHLI konservasi biota kelautan dari Universitas Bung Hatta, Harfiandri Damanhuri, menjelaskan bahwa fenomena ikan melimpah ini dapat berakibat buruk terhadap ekosistem terumbu karang di laut. Sebab, penetrasi sinar matahari yang masuk ke dalam air tertutup oleh gerombolan ikan di permukaan laut. 

“Akibatnya, secara perlahan karang jadi mati,” kata Harfiandri.

Di samping itu, Harfiandri melanjutkan, banyaknya plankton hingga ikan kecil yang mendekat ke bibir pantai ikut mengundang kehadiran ubur-ubur. Binatang laut ini ada berbagai jenis, dari yang tak berbahaya hingga yang beracun. Ubur-ubur biasanya memakan telur plankton, ikan kecil, larva, telur ikan, dan hewan laut kecil lainnya.

Harfiandri mendapat informasi bahwa banyak ubur-ubur yang muncul di permukaan perairan Kepulauan Mentawai dan Pulau Pasumpahan, Padang, beberapa waktu lalu. Sejumlah mahasiswa yang menyelam di Pulau Pasumpahan sempat melihat gerombolan ubur-ubur tentakel merah. Ubur-ubur ini beracun sehingga membahayakan manusia. 

Ikan melimpah di sekitar perairan Kepulauan Mentawai juga membuat John Taleleu, nelayan Beriulou, sementara waktu beralih profesi sejak Agustus lalu.

Awalnya, John hanya mencari gurita dan teripang dengan cara menyelam ke kedalaman laut di sekitar Pulau Siruamata. Di sekitar pulau ini juga terdapat ikan karang, lobster, dan kepiting bakau.

John melakoni profesi mencari gurita dan teripang ini sejak remaja. Ia menggunakan kompresor yang dilengkapi selang panjang. Kompresor itu menghasilkan udara. Adapun selang panjang digunakan untuk mengalirkan udara, lalu dihirup John ketika menyelam ke kedalaman hingga 800 meter.

Ia pun pernah mengalami kecelakaan saat menyelam sampai kedalaman tersebut pada 2001. Sebagian badannya tiba-tiba kaku dan tak bisa digerakkan. Setelah pulih, John tak mau lagi menyelam terlalu dalam. Kini ia hanya mau menyelam di kedalaman 3 meter, yang tak perlu bantuan kompresor.

Setelah menangkap gurita dan teripang, John menjualnya ke pasar. Harga gurita Rp 45 ribu per kg dan teripang Rp 2.500 per kg.

Menurut John, ia berhenti mencari gurita dan teripang sejak suhu air laut terasa makin dingin. Suhu yang dingin terkadang membuat kaki John kram saat menyelam.

Seingat John, perubahan suhu air laut ini bersamaan dengan datangnya musim badai angin selatan sejak April lalu. Puncak badai yang disertai gelombang tinggi itu terjadi pada Juni hingga Juli. 

Ketika itu, John dan para nelayan terpaksa berhenti melaut. Mereka lantas pergi ke ladang atau kebun untuk merawat tanaman. Rata-rata warga Beriulou menanam pisang, keladi, dan kelapa. Namun tanaman mereka juga tak tumbuh subur akibat kekeringan ekstrem di daratan dalam beberapa bulan terakhir.

Saat tongkol batik melimpah, John dan para nelayan kembali melaut. Mereka mencari tongkol batik yang bermunculan ke permukaan laut.