MATIAS, 66 tahun, tengah menarik selang pompa air ke sawah miliknya. Selang plastik—sepanjang 300 meter—itu ditarik dari sumber air ke sawah Matias di Dusun Tanjung Limau Kapeh, Nagari Nyiur Melambai, Kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
“Setiap hari saya harus memompa air ke sawah,” kata Matias, 14 November 2023.
Sumber air tersebut berupa sungai kecil yang mengalir dari perbukitan. Debit air sungai itu tidak terlalu besar. Air sungainya juga tidak pernah mengering meski kekeringan melanda Dusun Tanjung Limau Kapeh sepanjang tahun ini.
Warga Dusun Tanjung Limau Kapeh itu memiliki sawah seluas seperempat hektare. Semua area persawahan di Nagari Nyiur Melambai merupakan sawah tadah hujan, termasuk milik Matias.
Selama ini Matias mengandalkan air hujan untuk mengairi sawahnya. Tapi hujan tak kunjung turun di Nyiur Melambai hingga akhir November lalu.
Meski tak turun hujan, sebagian petani di kampung tersebut memberanikan diri turun sawah pada September lalu. Sebab, mereka memperkirakan hujan akan mulai turun pada bulan tersebut.
Para petani berkaca pada musim tanam tahun lalu. Mereka juga turun sawah pada September. Saat itu hujan turun berkali-kali karena sudah memasuki musim hujan.
Para petani juga memilih turun sawah saat kekeringan melanda karena sudah lama tidak menanam padi. Matias terakhir kali turun sawah pada Februari tahun lalu. Setelah panen pada pertengahan 2022, Matias berhenti bertani untuk sementara waktu. Hasil panen Matias saat itu sebanyak 5 ton.
“Ternyata perkiraan kami tahun ini salah. Hujan tak turun-turun juga hingga kini,” ucap Matias.
Ia mengatakan kondisi cuaca tahun ini berbeda jauh dengan tahun lalu. Hujan baru turun sesekali pada akhir November hingga awal Desember ini. Intensitas air hujan juga relatif sedikit. Dengan demikian, air hujan tak menggenang di area persawahan petani.
Kondisi itu yang membuat Matias dan para petani patungan menyewa pompa air untuk sawah mereka. Mereka memompa air setiap hari. “Saya kasih air saat malam, tapi siang sudah kering lagi,” ujar ayah lima anak ini, sambil sesekali menyeka matanya yang terlihat berkaca-kaca.
Tanaman padi milik Matias sudah berusia dua bulan pada awal Desember lalu. Padi itu tumbuh di area persawahan yang kondisi tanahnya retak-retak. Tanah itu tetap retak meski setiap hari dialiri air.
Kondisi tanaman di sekitar sawah Matias juga bernasib sama. Tanaman padi itu bahkan menguning akibat kekurangan air.
Ada juga beberapa area persawahan di Nyiur Melambai yang belum ditanami padi. Di area itu, terdapat benih berusia dua bulan. Benih padi tersebut belum ditanami karena pemilik sawah menunggu hujan turun.
Menurut Matias, kekeringan di kampungnya sesungguhnya terjadi setiap tahun. Tapi kondisi kekeringan kali ini jauh berbeda dibanding tiga tahun terakhir. Tahun ini, kekeringan terjadi lebih lama serta retakan tanah di area persawahan terlihat lebih lebar dan dalam dibanding pada tahun-tahun sebelumnya.
Bertani saat kekeringan melanda membuat Matias dan para petani lain mengeluarkan tenaga ekstra untuk membajak sawah. Mereka dua kali membajak sawah sebelum menanam benih. Berbeda dengan tahun sebelumnya, petani cukup sekali membajak sawah, lalu benih padi ditanam.
Situasi saat ini membuat Matias kelimpungan membiayai kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ia tak bisa berharap banyak dari hasil panen di sawah.
Di samping sawah, Matias juga memiliki kebun kelapa. Tapi harga buah kelapa sedang anjlok. Harga kelapa hanya Rp 2.000 per buah. Pohon kelapa milik Matias juga tak berbuah banyak akibat kekeringan. “Kadang saya jual buah pinang untuk bisa membeli beras dan cabai. Itu pun tidak cukup,” ucap Matias.
Kepala Desa Nyiur Melambai Syofian mengatakan kekeringan berkepanjangan ini memang membuat area persawahan petani di kampungnya mengering. Meski begitu, sebagian petani tetap memilih turun sawah saat kekeringan ekstrem melanda dengan harapan hujan akan turun pada September atau Oktober lalu karena sudah memasuki musim hujan. Tapi, kenyataannya, hujan tak kunjung datang hingga akhir November lalu.
Namun, kata dia, sebagian petani lain di Nyiur Melambai, khususnya di Dusun Sumedang, memilih tidak turun sawah. Mereka menunggu hujan datang lebih dulu.
“Pekan kemarin memang sempat turun hujan, tapi tidak cukup,” kata Syofian, 21 November lalu.
Beberapa kelompok tani di Dusun Sumedang sempat turun sawah pada September lalu. Tapi tanaman padi mereka gagal tumbuh karena hujan tidak turun. Petani juga tak bisa memompa air karena ketiadaan sumber air di sana.
Syofian menyebutkan 80 persen dari total penduduk di Desa Nyiur Melambai berprofesi sebagai petani. Total penduduk Nyiur Melambai sebanyak 3.647 jiwa. Sedangkan 20 persen lainnya bekerja sebagai nelayan.
Meski area persawahan mengering, kata Syofian, warga Nyiur Melambai masih beruntung karena mereka tidak sampai kehabisan air bersih akibat kekeringan berkepanjangan. Sumur-sumur warga kampungnya tetap terisi air, meski debit airnya semakin dangkal.
“Kami rata-rata menggunakan sumber air dari tanah. Alhamdulillah tidak ada yang kering,” katanya.
Ketua Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Nagari Nyiur Melambai Syahrial mengatakan sebanyak 150 keluarga petani di desanya terkena dampak kekeringan panjang ini. Mereka tersebar di tujuh dusun.
Ia menggambarkan, petani biasanya memompa air ke area persawahan saat musim kering melanda. Mereka akan menyedot air yang berasal dari anak sungai atau di area persawahan lain di desa sebelah yang terdapat genangan air. Air di area persawahan desa tetangga Nyiur Melambai sudah menggunakan sistem irigasi.
Namun, kata Syahrial, sistem pompanisasi itu tak bisa diterapkan di beberapa dusun akibat kekeringan kali ini. Selain debit air anak sungai yang nyaris tidak ada, air di area persawahan desa tetangga serba kekurangan.
Selama ini petani Nyiur Melambai berusaha mengatasi kendala air tersebut dengan meminta pemerintah daerah membangun sistem irigasi ke persawahan mereka. Matias dan Syahrial mengaku petani Nyiur Melambai sudah berulang kali menyampaikan keinginan itu ke pemerintah daerah ataupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pesisir Selatan.
“Tapi permintaan kami hanya ditampung. Realisasinya tidak ada,” kata Matias.
Adapun Syahrial mengaku telah berkali-kali menyampaikan aspirasi petani setiap mengikuti rapat dengan pemerintah daerah untuk membahas nasib petani di kampungnya. “Namun sampai saat ini tidak ada tanda-tanda pembangunan irigasi,” katanya.
Syofian juga mengaku sudah menyampaikan aspirasi warganya itu ke pemerintah daerah. Bahkan pihak pemerintah daerah sudah mengirim tim survei ke lapangan. “Sayangnya, belum ada tindakan konkret dari pemerintah,” katanya.
Analis klimatologi di Stasiun Klimatologi Sumatera Barat, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Rizky Armei Saputra, mengatakan sebagian wilayah Sumatera Barat memang mengalami kekeringan panjang sejak pertengahan tahun hingga awal Desember ini. Penyebab kekeringan berkepanjangan itu antara lain perubahan iklim, deforestasi, serta fenomena El Nino dan IOD.
El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal yang terjadi di bagian tengah Samudra Pasifik. Samudra ini membentang di antara Asia dan Australia hingga bagian barat Amerika. Pulau- Sulawesi, Maluku, dan Papua bersinggungan dengan Samudra Pasifik.
Adapun IOD adalah fenomena permukaan air laut yang berubah menjadi dingin di Samudra Hindia. IOD mengakibatkan penguapan air laut tak terjadi sehingga hujan tidak turun.
“Perubahan iklim tersebut terjadi secara bertahap,” kata Rizky.
Indikasi perubahan iklim itu, kata dia, terlihat dari perubahan komoditas tanaman petani. Misalnya, petani awalnya menanam padi di sawah. Lalu petani perlahan-lahan beralih bercocok tanam palawija, yang lebih sedikit membutuhkan air dibanding padi.
Beberapa daerah yang mengalami kekeringan panjang di Sumatera Barat tahun ini antara lain Kabupaten Pasaman, Limapuluh Kota, Payakumbuh, Agam, Tanah Datar, Bukittinggi, Solok, Solok Selatan, Sawahlunto, Sijunjung, Pesisir Selatan, dan Dharmasraya. Sebagian wilayah di daerah tersebut masih mengalami kekeringan hingga akhir November lalu, meski hujan mulai turun sesekali.
Berharap Air dari Perbukitan
Nasib kurang beruntung juga dialami petani di Desa Sunu Utara, Kecamatan Ranah Pesisir, Pesisir Selatan. Petani di nagari ini juga terkena dampak kekeringan panjang. Tapi mereka masih bisa mendapatkan air yang berasal dari anak sungai yang mengalir dari Bukit Polam dan Bukit Kanghe. Dua bukit itu juga masuk wilayah Sunu Utara.
Petani Sunu Utara mengandalkan air dari perbukitan itu untuk mengairi sawah mereka. Meski begitu, mereka juga mesti berhemat air. Sebab, debit air sungai yang mengalir di perbukitan tersebut jauh lebih sedikit dibanding pada tahun sebelumnya.
“Debit airnya sedikit sehingga tidak cukup untuk menanam padi,” kata Elmiati, petani di Sunu Utara, awal Desember lalu.
Ia mengaku tak berani turun sawah pada awal September lalu karena pasokan air ke area persawahan masih sedikit. Pasokan air yang serba sedikit akan rentan mengakibatkan gagal panen.
Dia merujuk pengalaman petani pada musim tanam tahun lalu. Saat itu ibu tiga anak ini turun sawah saat musim kemarau. Ketika padi mulai tumbuh, hama wereng menyerang tanaman tersebut.
Elmiati baru turun sawah pada Oktober lalu, ketika hujan mulai turun sesekali di Sunu Utara. Tapi hujan dalam frekuensi rendah ini tetap menyulitkan para petani.
Dia pun menyiasatinya dengan membendung aliran air anak sungai dari perbukitan. Lalu air itu diarahkan mengalir ke sawah miliknya seluas setengah hektare.
“Saya akan menyumbat air sehabis salat magrib, lalu akan melepaskan sumbatannya sebelum subuh,” ujar Elmiati. Cara ini dilakukannya saat mulai membajak sawah hingga menanam benih padi.
Gagal Panen di Payakumbuh
Petani di Kota Payakumbuh juga tetap turun sawah saat kekeringan panjang melanda pada tahun ini. Petani di daerah itu menggunakan sistem pengairan irigasi. Hanya, debit air di saluran irigasi relatif sedikit.
Kondisi itu membuat tikus berkembang biak lebih banyak. Dengan demikian, ketika padi mulai tumbuh, hama tikus menyerang tanaman-tanaman tersebut.
“Saya dua kali gagal panen akibat hama tikus,” kata Nadarman, petani di Kelurahan Balai Jaring, Kecamatan Payakumbuh Timur, pada 30 November lalu.
Awal tahun ini, Nadarman bersama petani di Balai Jaring turun sawah. Mereka memperkirakan musim panen tiba pada pertengahan Juli lalu. Namun hama tikus menyerang tanaman padi petani, termasuk milik Nadarman.
Tikus-tikus itu memakan tanaman padi hingga hanya menyisakan akar tanaman. Tanaman padi Nadarman pun mati. Padahal, pada panen sebelumnya, dia mendapat delapan karung padi untuk satu bidang sawah seluas hampir seperempat hektare.
Ia lantas kembali turun sawah pada musim tanam berikutnya, tahun ini. Tapi padi milik Nadarman lagi-lagi diserang hama tikus sehingga sebagian besar tanaman itu perlahan-lahan mati.
Nadarman kembali merugi pada panen kedua tahun ini, yaitu pada November lalu. Ia hanya mendapat dua karung gabah, dengan berat sekitar 100 kilogram.
Menurut dia, sebanyak 20 petani di Balai Jaring mengalami gagal panen akibat serangan hama tikus. Para petani, kata Nadarman, sebenarnya sudah berusaha mengatasi serangan tikus tersebut dengan racun. Tapi racun itu tak berhasil menghalau tikus memakan tanaman padi.
Para petani bersama masyarakat Balai Jaring juga beberapa kali berburu tikus pada akhir pekan. Tapi, “Hasilnya tidak begitu signifikan. Tikus tetap ada dan memakan tanaman padi,” ujar Nadarman.
Area persawahan Nadarman di Nagari Sungai Kamuyang juga gagal panen. Sawah seluas seperempat hektare itu terlihat kosong tanpa tanaman padi.
Ia mengaku sengaja tak turun sawah di Nagari Sungai Kamuyang karena khawatir serangan hama tikus. Nadarman berencana turun sawah setelah serangan hama tikus berakhir, yang diperkirakan mereda setelah hujan turun dengan intensitas tinggi dan lebih sering. Turan sawah maupun tidak, sebagian petani di Payakumbuh tetap merugi karena mereka tetap tidak bisa panen pada akhir tahun ini.
Memompa Air dari Sungai Dangkal
MATIAS dan beberapa petani di Dusun Tanjung Limau Kapeh, Desa Nyiur Melambai, Kabupaten Pesisir Selatan, patungan menyewa pompa air. Mereka menggunakan pompa air itu untuk mengairi area persawahan.
Pompa air tersebut berkekuatan 2 PK (paardenkracht atau tenaga kuda). Tarif sewa mesin pompa air ini sebesar Rp 150 ribu per hari. Tarif sewa itu di luar bahan bakar. Biasanya mereka menghabiskan 8 liter solar dalam satu hari.
Petani juga harus menyewa selang pompa seharga Rp 250 ribu per minggu. “Sewanya kami tanggung bersama secara patungan. Kalau kurang, saya yang menanggung sisanya,” ujar Matias.
Hingga saat ini, Matias dan para petani sudah menghabiskan uang sampai Rp 4 juta untuk pengoperasian mesin pompa air tersebut.
Mereka menyedot air dari sungai yang mengalir di perbukitan di kampung itu. Sungai tersebut lebarnya 2 meter, tapi debit air sungai relatif dangkal akibat kekeringan.
Petani lantas memompa air sungai itu, lalu dialirkan menggunakan selang plastik sepanjang 300 meter ke area persawahan.
Petani menghidupkan mesin pompa air itu setiap hari. “Mesin pompa berhenti paling hanya satu jam dalam sehari,” kata Matias.
Ia dan sejumlah petani menggunakan pompa air karena kekeringan masih terjadi hingga akhir November lalu. Padahal semua area persawahan di Nagari Nyiur Melambai merupakan sawah tadah hujan.
Pada musim tanam tahun lalu, Matias juga sempat menggunakan mesin pompa air untuk mengairi sawahnya. Tapi ia hanya satu kali menggunakannya. Berbeda dengan kekeringan tahun ini, Matias sudah memakai pompa air itu sejak awal November lalu.
Syofian mengatakan pemerintah desa sudah berusaha membantu petani di desanya dengan membeli pompa air. Pompa air itu lantas disewakan kepada petani. “Tapi ini bukan solusi konkret,” katanya.