HAMPARAN lahan tanaman bawang merah menyajikan pemandangan berwarna hijau di salah satu sisi jalan Desa Sugihwaras, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Sejumlah petani yang berada di sana tampak sibuk menjalankan aktivitasnya masing-masing.
Salah satu di antaranya terlihat sedang menyirami tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). Air yang diwadahi ember bekas cat tembok diangkat dari saluran irigasi. Lantas, petani tersebut mengguyurnya ke tanaman yang berusia 15-20 hari. Seorang petani lainnya terlihat berjalan di parit sembari terus menyirami komoditas yang ditanamnya.
Dua petani lainnya terlihat sedang menaburkan pupuk NPK Mutiara ke tanaman bawang merah. Adapun seorang petani lainnya tampak sedang menyemprotkan obat pembasmi serangga ke tanaman yang dibudidayakannya tersebut. “Alhamdulillah, tanamannya terlihat sehat,” ujar Siswo, salah seorang petani yang tengah menyemprotkan pestisida/insektisida ke tanaman bawang merah, Kamis, 14 Desember 2023.
Kondisi saat ini berbeda dengan musim tanam sebelumnya. Pada November lalu, Siswo menuturkan, tanaman bawang pada rentang usia yang sama, yakni 15-20 hari, tampak tidak sehat. Batang dan daunnya menguning. Meski begitu, kalangan petani menganggapnya sebagai hal lumrah yang terjadi setiap menanam bawang merah.
Untuk menanggulanginya, mereka meningkatkan jadwal penyemprotan pembasmi hama ke tanamannya. Upaya tersebut tidak membuahkan hasil maksimal, meski mereka telah berganti dengan beberapa merek obat pembasmi hama penyakit tanaman bawang merah.
Kondisi tanaman semakin parah saat berusia 30-35 hari. Selain menguning, daun bawang merah terlihat patah dan terdapat bekas gigitan hama serangga. Kalangan petani menyebutnya sebagai hama “janda pirang”, organisme pengganggu tanaman atau OPT jenis serangga trips.
Jenis serangga dari golongan Thysanoptera ini sering merusak tanaman, di antaranya adalah trips hitam pada tanaman jagung (Heliothrips striatoptera Kob), trips pada bibit padi dan jagung (Thrips oryzae Will), serta trips pada tanaman bawang (Thrips tabaci Lind).
Siswo berusaha mengatasinya. Penyemprotan insektisida dari beberapa merek berbeda terus dilakukan. Namun, saat usia tanaman sudah 40 hari, kondisinya benar-benar kering. Tanaman bawang merah yang seharusnya memasuki masa persiapan panen akhirnya terpaksa dibabat habis. “Terpaksa tidak panen karena dampak El Nino, tapi kami harus tetap bangkit dan menanam lagi,” ujar Siswo.
El Nino merupakan fenomena alam pemicu terjadinya kekeringan yang mengakibatkan lahan pertanian gagal panen. Pada 2023, puncaknya terjadi pada Agustus-September, yang tampaknya berlanjut lebih lama hingga akhir tahun. Adapun umur panen bawang merah berbeda-beda, tapi rata-rata 50-90 hari setelah masa tanam.
Suhartono, petani bawang merah di Dusun Sambong, Desa Campur, Kecamatan Gondang, Nganjuk, mengalami hal serupa. Dia menuturkan komoditas hortikultura yang dibudidayakannya di lahan seluas 7.500 meter persegi tidak membuahkan hasil maksimal karena terpaksa dipanen lebih awal, yakni pada usia tanam 40 hari.
Pria 58 tahun itu mengaku rugi sekitar Rp 30 juta akibat serangan serangga trips. Uang itu habis untuk biaya produksi, seperti membayar buruh tani serta membeli pupuk, insektisida, obat pembasmi ulat, dan solar untuk mesin pompa guna mengambil air dari irigasi ke lahan pertanian. Semua itu seakan-akan melayang percuma. “Kalau untuk benih, saya tidak beli karena sudah punya sendiri,” ujar Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Gondang ini.
Dampak gagal panen, sejumlah petani yang tergabung dalam KTNA kelabakan mencari modal untuk kembali menanam bawang merah. Mereka terpaksa mencari pinjaman ke kelompok tani yang melayani jasa simpan-pinjam. Upaya lainnya mencari akses ke pihak perbankan. Bahkan, ada yang menjual hewan ternaknya, seperti sapi, untuk modal.
“Dampak El Nino sangat luar biasa. Serangan hama serangga seperti ini baru terjadi. Mungkin karena suhu terlalu panas,” ujar Suhartono sembari menyebutkan suhu di Nganjuk saat kemarau panjang bisa mencapai 39-40 derajat Celsius. Dia mengatakan serangan hama tanaman tetap ada, seperti ulat dan gurem, pada musim tanam lalu. Namun hal itu dianggap biasa dan bisa diatasi dengan beberapa kali penyemprotan obat pembasmi hama. “Tapi saat El Nino tidak mempan,” ujarnya.
Suhartono menyebutkan hitung-hitungan untuk biaya produksi bawang merah yang harus dikeluarkan bisa mencapai Rp 150 juta per hektare lahan untuk setiap musim tanam. Duit sebanyak itu untuk membeli 1 ton benih seharga Rp 30 juta. Selain itu, kebutuhan irigasi yang mengandalkan pompa air berbahan bakar solar. Belum lagi untuk kebutuhan pupuk, pembasmi hama, dan biaya buruh tani.
Saat gagal panen pada November lalu atau ketika El Nino berlangsung, kata Suhartono, biaya yang sudah dikeluarkan sekitar Rp 100 juta. Sebenarnya, penyemprotan obat pembasmi hama tinggal beberapa kali lagi. “Tapi tanaman keburu rusak dan terpaksa dipanen pada usia 40 hari dari idealnya 60 hari,” ujar Ketua Regu Pengendali Hama Kecamatan Gondang ini. Dampak El Nino membuat petani bawang merah terpaksa menanggung kerugian puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Kondisi ini diperparah dengan harga jual bawang merah yang menurun. Dari harga rata-rata Rp 12 ribu per kilogram menjadi Rp 9.000 per kilogram sehingga banyak petani bawang merah yang terpaksa merugi. Meski begitu, sebagian dari mereka masih bisa menikmati hasil penjualan komoditas hortikultura saat kemarau panjang dampak El Nino.
Supar, petani bawang merah di Desa Ngudikan, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, mengungkapkan bahwa hasil panennya mencapai 1,4 ton dari lahannya seluas 1.750 meter persegi. Biasanya, kata pria 67 tahun ini, dia bisa dapat 3 ton saat panen. Namun pada akhir November lalu, dia terpaksa melakukan panen dini, yakni pada 45 hari masa tanam yang seharusnya 60 hari.
Sebelum panen dini dilakukan, Supar telah mencoba beberapa merek obat semprot insektisida untuk mengatasi serangan hama ulat grayak maupun janda pirang. Langkah itu dilakukan untukmencari obat yang cocok dan dapat membasmi OPT. Karena tidak berhasil, tanaman bawang beserta umbinya dipanen lebih awal. “Kami coba-coba insektisida dari beberapa merek sesuai dengan anjuran toko obat pertanian. Hama memang bisa lebih kebal dengan penggunaan satu merek secara terus-menerus,” dia mengungkapkan.
Suhu Panas dan Populasi Hama Serangga
Dalam kesempatan terpisah, Koordinator Wilayah Duta Petani Milenial/Andalan Kementerian Pertanian Susanto menjelaskan bahwa serangan hama trips di Nganjuk terjadi secara bertahap. Kondisi tersebut menyesuaikan dengan masa tanam bawang merah di suatu wilayah. Menurut dia, serangan itu dimulai dari barat ke timur. “Mengikuti alur aliran air dari barat, yaitu Waduk Bening Widas di Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun,” ujarnya saat ditemui pada Selasa, 12 Desember 2023.
Dia pun menjelaskan cara hama serangga trips bisa menyerang tanaman bawang merah. Ketua Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Joglo Nganjuk di Kabupaten Nganjuk ini menuturkan hal tersebut sebagai dampak kemarau panjang. Suhu udara yang tinggi membuat populasi ulat grayak semakin banyak. Maka, otomatis serangan serangga terhadap tanaman juga meningkat. “Hama itu hidup di balik daun dan mengerat daun. Dampaknya ratusan hektare tanaman bawang merah rusak, terutama di Gondang,” ujarnya.
Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian Nganjuk Fadlin Nuryani mengatakan serangan serangga trips terjadi saat puncak musim kemarau pada Agustus 2023. Wilayah yang pertama kali terserang adalah Kecamatan Gondang dan Sukomoro, kemudian diikuti wilayah kecamatan lainnya.
Menurut dia, penyebab utama serangan janda pirang dan ulat grayak ini adalah minimnya kebutuhan air. Tanaman bawang merah tidak menyukai banyak hujan, tapi lahan tanaman ini memerlukan air yang cukup selama pertumbuhan komoditas tersebut melalui penyiraman. Dia berharap Bendungan Semantok di Desa Sambikerep, Kecamatan Rejoso, dapat menambah pasokan air irigasi di area persawahan petani bawang merah.
Selain itu, kata Fadlin, agen pengendali hayati (APH) perlu diaktifkan untuk bisa menekan dampak serangan serangga trips. APH adalah setiap organisme atau mahluk hidup, terutama serangga, cendawan, cacing, bakteri, virus, dan binatang lainnya, yang dapat digunakan untuk pengendalian OPT. “Kami juga menyarankan petani berganti-ganti menggunakan pestisida agar serangga tidak kebal terhadap obat pembasmi hama,” ujar Fadlin.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Nganjuk per Desember 2022, luas lahan pertanian tanaman bawang merah seluas 17.345 hektare. Menurut Fadlin, hampir seluruh lahan tanaman bawang merah itu terserang hama serangga.
Fadlin menuturkan kondisi tanaman bawang merah milik petani saat ini perlahan membaik bersamaan dengan hujan yang mulai turun. Harga jual bawang merah di tingkat petani juga sudah meningkat dan lebih tinggi daripada harga yang dipatok sebesar Rp 12 ribu per kilogram. “Sekarang sekitar Rp 20 ribu per kilogram. Ini menjadi motivasi bagi petani untuk kembali bangkit,” katanya.
Panen Berkurang, Kualitas Menurun
Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Kabupaten Nganjuk Akat mengatakan jumlah produksi bawang merah menurun sebagai dampak dari El Nino. Dalam setiap hektare, hasil panennya hanya 7-8 ton. Padahal potensinya 11-12 ton per hektare.
Dampak lainnya, kualitas bawang merah juga menurun. Tampilan luar umbi lapis bawang merah tampak kecokelatan dan lebih kecil ketimbang panen sebelumnya. “Karena petani cenderung memanen lebih dini, otomatis kualitasnya berkurang,” ujar Akat saat ditemui di rumahnya di Desa Sukorejo, Kecamatan Rejoso.
Menurut dia, serangan hama serangga secara ekstrem baru terjadi pada musim panen dalam rentang September-November 2023. Hal ini di luar perkiraan, meski sebelumnya petugas Dinas Pertanian Nganjuk telah mengingatkan kekeringan yang bakal terjadi sebagai dampak dari El Nino.
Kala itu, petani diminta mempersiapkan diri membudidayakan bawang merah pada masa tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman, misalnya, para petani disarankan memfungsikan kembali sumur pompa dalam.
Rendahnya debit air bagi tanaman mengakibatkan pertumbuhan bawang merah terhambat. Belum lagi meningkatnya serangan hama yang gejalanya berbeda dengan kondisi sebelumnya. Awalnya, para petani mengira hal ini sebagai serangan penyakit. Proteksi dilakukan para petani dengan menyemprotkan pestisida untuk penyakit hama tanaman. “Seiring berjalannya waktu, serangan semakin tidak terkendali,” ujar Akat.
ABMI Nganjuk sudah menginformasikan kepada ahli tanaman hortikultura di Institut Pertanian Bogor (IPB) ihwal kondisi yang dihadapi para petani. Mereka juga mengundangnya dalam pertemuan secara daring melalui aplikasi Zoom. Dalam pertemuan itu, Akat menuturkan, para ahli memintanya menyampaikan kondisi faktual. “Ini serangan penyakit melalui perantara hama trips yang akhirnya menginfeksi dan mengakibatkan pertumbuham tanaman terganggu,” ujarnya.
Pemanfaatan Teknologi Pertanian Masih Minim
Sejumlah orang dari Kelompok Tani Kemitraan Bulog terlihat menuju area persawahan di Dusun Pandanarum, Desa Kemlokolegi, Kecamatan Baron, Nganjuk, pada Kamis, 14 Desember 2023. Mereka ingin melihat terapan teknologi light trap insect atau perangkap cahaya bagi serangga.
Teknologi itu dipasang di area persawahan dengan komoditas benih padi. Tidak kurang dari delapan unit light trap insect bertenaga surya terpasang di sana. Alat itu diklaim mampu menanggulangi hama penyakit pada tanaman pangan ataupun hortikultura. Adapun cara kerjanya, lampu yang menyala pada malam hari akan menarik perhatian serangga untuk mendekat. Lantas, serangga yang datang tersebut terperangkap dan masuk ke baskom plastik berisi air yang dicampur detergen.
Alat seperti itu sejatinya telah lama dibuat. Di Nganjuk, alat seperti itu digunakan secara besar-besaran pada 1998. Seiring berjalannya waktu, teknologinya terus dikembangkan. Dulu menggunakan listrik dan saat ini sudah ada yang menggunakan sumber daya tenaga surya.
Alat tersebut dikembangkan Susanto. Dia bersama sejumlah kelompok tani lainnya mengembangkan light trap insect bertenaga surya yang dinilai memiliki risiko lebih rendah. “Kalau menggunakan tenaga listrik, bisa rawan memakan korban petani,” ujar warga Desa Gandu, Kecamatan Bagor, Nganjuk, ini pada Selasa, 12 Desember 2023.
Lampu pada alat yang dibuatnya lebih kuat memikat hama lantaran menggunakan LED UV (ultraviolet). Selain itu, alat ini dinilai lebih praktis dan ringan karena mayoritas bahan dasarnya menggunakan aluminium. “Karena menggunakan panel tenaga surya, begitu matahari terbenam, lampu menyala secara otomatis,” ujar pria 46 tahun itu.
Light trap insect dinilai efektif dan ramah lingkungan untuk menanggulangi hama pada tanaman pangan serta hortikultura. Dari sisi biaya juga lebih murah ketimbang penggunaan obat pembasmi hama. Harga satu unit light trap insect dibanderol Rp 400 ribu. Agar manfaatnya lebih maksimal, setidaknya dibutuhkan 30 unit untuk lahan seluas 1 hektare.
Alat light trap insect ini bisa berfungsi minimal selama dua tahun dalam pemakaian secara normal. Jika dibanding biaya produksi bawang merah, penggunaan alat ini akan mampu mengurangi dan menekan biaya tersebut, terutama untuk membeli pestisida atau obat penyemprotan hama serangga.
Namun, kata Susanto, para petani masih belum banyak menggunakan lampu perangkap serangga bertenaga surya. “Kemampuannya hanya untuk menjebak serangga saat malam hari. Kalau hujan, tidak ada serangga yang keluar dan tidak ada yang bisa dijebak,” ujarnya.
Susanto tak putus asa. Dia bersama kelompok tani pengguna alat tersebut terus mendorong penggunaan teknologi pertanian yang ramah lingkungan. Tujuan utamanya meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga keseimbangan alam. “Kami terus menggagas lean farming,” ujarnya.
Dia menjelaskan, konsep lean farming bertujuan meningkatkan produksi dan mengurangi pemborosan biaya produksi saat memasuki musim tanam. Program ini mulai dikenalkan kepada petani bawang merah di Kecamatan Rejoso yang merupakan produsen terbesar tanaman tersebut. Dengan mekanisme lean farming, satu hamparan lahan bawang merah diharapkan bisa dikelola oleh satu manajemen. Hanya, penerapan cara seperti itu saat ini masih terhambat luas dan wilayah lahan.
Akat juga mengatakan inisiatif para petani menggunakan light trap insect masih minim. Salah satu sebabnya tidak kompaknya petani yang tergabung dalam satu kelompok. “Ada anggota kelompok yang sudah menggunakan, tapi tidak didukung oleh petani yang lain,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah turut ambil bagian mensosialisasi menerapkan teknologi tepat guna bagi pertanian, terutama pemanfaatan light trap insect. “Saya sudah membuktikannya sendiri. Bawang merah yang saya tanam di lahan seluas setengah hektare hasilnya bagus saat panen, meski pada masa El Nino,” katanya.
Selain menggunakan light trap insect, Akat menerapkan proteksi tanaman sejak awal, misalnya mempersiapkan lahan kondusif sesuai dengan kebutuhan tanaman. “Menanam itu harus menyesuaikan kemauan tanaman, bukan karena keinginan kita sebagai petani.”
Adapun Suhartono berpendapat bahwa penggunaan lampu perangkap serangga bertenaga surya justru semakin meningkatkan serangan hama pada tanaman bawang merah. Sebab, lampu yang terpasang akan mengundang serangga untuk datang.
Menurut dia, tidak semua hama serangga akhirnya masuk perangkap di dalam baskom. “Serangga yang jatuh ke tanaman justru akan berkembang biak lebih banyak,” ujar Suhartono. Dia menegaskan, para petani lebih senang menggunakan metode konvensional, yakni penyemprotan pestisida atau insektisida untuk memberantas hama serangga. “Apabila satu merek tidak dapat membasmi hama serangga, ganti merek lain. Begitu seterusnya.”
Supar pun sependapat dengan Suhartono. Menghadapi dampak El Nino, ia memilih gonta-ganti obat pembasmi hama sesuai dengan anjuran dari kios penjual ketimbang menggunakan lampu perangkap serangga bertenaga surya. Sebab, satu merek obat pembasmi yang sudah digunakan selama setahun bisa tidak akan mampu lagi membasmi hama serangga.