Lima Bulan Andalkan Bantuan

  • Penulis
    Nur Hadi
  • Editor
    Kodrat Setiawan

BAK penampungan air dari terpal itu dikerubungi puluhan warga Desa Nganti, Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, Jawa Timur, tatkala truk tangki air dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro tiba. Sambil menggenggam ember dan gayung, mereka bersiap mengisi drum, jeriken, galon, dan ember kosong yang sebelumnya mereka bawa.

 Warga, yang didominasi perempuan dan anak-anak, langsung berebut mengambil air kala petugas membuka keran tangki. Tak sampai setengah jam, 4.000 liter air ludes. “Setiap hari rebutan air seperti itu,” kata Maria Ulfa, 33 tahun, warga setempat, sambil menunjukkan video kepada Tempo, Ahad, 17 Desember 2023. Video berdurasi 13 detik itu diambil Ulfa pada 9 September lalu. 

Air tersebut digunakan Ulfa dan warga lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci baju, dan memasak. Sedangkan untuk minum, mereka membeli air galon kemasan. Karena tidak selalu kebagian air, tiap hari Ulfa dan keluarganya terpaksa berhemat. Sementara biasanya mandi menghabiskan air satu ember besar, agar air tercukupi beberapa hari ke depan, ia hanya menghabiskan air seember kecil. “Bagaimana lagi? Keadaan memaksa,” katanya.

Desa Nganti adalah salah satu desa di Kabupaten Bojonegoro yang mengalami kekeringan parah akibat fenomena El Nino atau naiknya suhu muka air di Samudra Pasifik. Wilayah berpenduduk 7.500 jiwa itu langganan kekeringan setiap musim kemarau tiba. Namun situasi tahun ini dinilai paling parah dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Empat warga yang ditemui Tempo, termasuk Ulfa, mengakuinya. 

Kepala Desa Nganti Maryadi pun membenarkannya. Menurut dia, selama tiga periode menjabat, kemarau tahun ini tergolong yang terparah sekaligus terlama. “Hampir 75 persen warga kami terkena dampak,” katanya saat ditemui di rumahnya, Ahad, 17 Desember 2023. Padahal, dia melanjutkan, tahun-tahun sebelumnya hanya 50 persen. Maryadi menjadi kepala desa pada 2002-2014 dan pada 2020 sampai sekarang.

Sumber sumur kembar di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, 17 Desember 2023. Foto: TEMPO/Nur Hadi

Maryadi menyebutkan kekeringan di wilayahnya terjadi sejak Agustus hingga Desember 2023. “Hujan baru turun pada awal Desember kemarin,” ujarnya. Selama kurun waktu lima bulan tersebut, warga praktis hanya mengandalkan bantuan air bersih dari luar, baik dari pemerintah maupun donatur. Sumur dan sumber air tanah milik warga kering.

Upaya mencari sumber air sebenarnya sudah dilakukan pemerintah desa setempat. Namun, setelah dua kali mengebor di dua lokasi dengan kedalaman hampir mencapai 100 meter, tak ada satu pun yang berhasil. “Sumbernya ada, tapi tidak bisa dimanfaatkan,” ujarnya. Sebab, dia menambahkan, air yang keluar berasa asin.

Maryadi mengatakan pihaknya belum lama ini berencana kembali melakukan pengeboran dengan bantuan dari pemerintah pusat. Berbeda dengan sebelumnya, pengeboran kali ini dilakukan di desa tetangga, Mojorejo, yang memiliki sumber air. “Tempatnya sudah siap, tapi anggarannya tidak cukup,” katanya.

Laki-laki 53 tahun itu berharap segera ada solusi untuk mengatasi masalah kekeringan di wilayahnya. Dia sangat berharap Bendungan Karangnongko, yang kini dalam proses pengerjaan, bisa segera beroperasi. Setidaknya dengan adanya bendungan tersebut, desanya bisa teraliri irigasi. “Kalau pengairan irigasi ada, sumber-sumber air pasti ada saat kemarau,” ujarnya.

El Nino tahun ini membuat para petani seperti Rasiman tidak bisa menggarap ladang atau sawah tadah hujan. Pilihannya: menganggur atau menjadi buruh tani. Rasiman memilih yang pertama. Konsekuensinya, sehari-hari keluarganya hanya hidup mengandalkan tabungan hasil panen padi dan jagung pada musim panen sebelumnya. 

Namun, kenyataannya, selama di rumah, bapak dua anak ini tidak benar-benar menganggur. Laki-laki 45 tahun itu disibukkan dengan berburu air. Nyaris tiap dua hari sekali selama lima bulan dia ikut antre untuk mendapatkan air bersih dari truk tangki air. “Kerjanya selama nganggur, ya, nunggu air bantuan,” kata warga Desa Nganti itu. 

Hal tersebut terpaksa dilakukan Rasiman supaya kebutuhan air keluarganya tercukupi. “Istri sering marah kalau mau nyuci tidak ada air,” katanya. Karena banyak warga yang membutuhkan air, Rasiman kadang tak kebagian air. Ujungnya, istrinya di rumah marah-marah. “Jadinya uring-uringan,” ucapnya, lalu terkekeh. 

Toren kosong teronggok di depan rumah warga Desa Nganti, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, 17 Desember 2023. Foto: TEMPO/Nur Hadi

Bagi warga yang tidak ingin antre air bantuan, mereka bisa membelinya. Untuk truk tangki berkapasitas 2.500 liter, warga harus merogoh kocek Rp 150 ribu untuk setidaknya kebutuhan air seminggu. Dari pantauan Tempo di sepanjang jalan Desa Nganti, sejumlah toren penampung air masih dibiarkan teronggok di depan rumah warga. 

Apa yang dialami Rasiman juga terjadi pada Purnomo, 43 tahun. Menurut warga Dusun Jeding, Desa Nganti, itu, El Nino tahun ini mengganggu pekerjaan petani di dusunnya. “Seharusnya bisa dibuat untuk ngarit (mengambil rumput untuk hewan peliharaan) dan menyiapkan lahan jagung, tapi harus dihabiskan untuk antre mengambil air,” katanya, Senin, 18 Desember 2023.

Untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari warga di dusunnya, dia meminta bantuan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bojonegoro. Tiap hari, 10-11 kali truk tangki berkapasitas 3.000 liter menyuplai air ke warga. “Kami gilir tiap hari,” kata Purnomo, yang dipercaya warga mengatur distribusi air. 

Warga Dusun Jeding umumnya petani jagung di lahan Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Padangan, Bojonegoro. Purnomo mengatakan kekeringan tahun ini paling parah. Pada kemarau tahun-tahun sebelumnya, sungai di belakang dusunnya masih mengeluarkan air jika digali. Tapi tahun ini air tidak muncul, meski sungai sudah digali agak dalam.

Yoso saat menanam benih bawah merah di ladang sebelah rumahnya di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, 17 Desember 2023. Foto: TEMPO/Nur Hadi

Sementara Rasiman dan Purnomo mengandalkan air bantuan truk tangki, lain halnya dengan Yoso, 41 tahun. Warga Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, tersebut tiap hari harus menghabiskan 2,5 jam hanya demi mencari sumber air untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya. Selain untuk mandi, mencuci, dan memasak, air tersebut untuk minum hewan peliharaannya dan menyiram tanaman palawija.

“Tiap kali mengambil air, (saya) membutuhkan waktu 30 menit,” kata Yoso. Menggunakan dua jeriken berkapasitas 30 liter, Yoso lima kali dalam sehari memacu sepeda motornya sejauh 6 kilometer (pergi-pulang) menuju sumber air. Hal itu dilakukan Yoso sejak Mei lalu hingga sekarang (delapan bulan). Selama dia tinggal di Desa Bandungrejo, “Ini kemarau yang paling parah,” kata bapak dua anak tersebut. 

Jika bukan musim kemarau, Yoso biasanya mengandalkan sumur di belakang rumahnya. Namun air di sumur itu terbatas lantaran kedalamannya hanya 10 meter. Jika lebih dari itu, kata dia, sumur akan mengeluarkan gas. Maklum, rumah Yoso hanya berjarak 500 meter dari Lapangan Gas Unitisasi Jambaran-Tiung Biru PT Pertamina EP Cepu (PEPC). 

Puluhan Ribu Warga Bojonegoro Terkena Dampak Kekeringan

Kondisi sawah yang mengering di Desa Nganti, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, 17 Desember 2023. Foto: TEMPO/Nur Hadi

Badan Penanggulan Bencana Daerah Kabupaten Bojonegoro mencatat, hingga November 2023, sebanyak 99.286 jiwa terkena dampak kekeringan sepanjang musim kemarau 2023. Jumlah itu tersebar di 208 dusun, 118 desa, dan 24 kecamatan. Termasuk Kecamatan Ngraho dan Ngasem. Artinya, dari total 28 kecamatan di Bojonegoro, hanya empat kecamatan yang tidak terkena dampak. 

Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Bojonegoro Ardhian Orianto mengatakan, sejak menjabat pada 2021, kekeringan tahun ini memerlukan penanganan lebih dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Dia tidak menampik bahwa hal itu terjadi karena dampak El Nino. “Iya, karena El Nino,” katanya saat dihubungi Tempo, Kamis, 21 Desember 2023.

Ardhian mengklaim pihaknya menangani kekeringan dalam tiga tahap, yakni jangka pendek, menengah, dan panjang. Jangka pendek meliputi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. “Pemenuhan air bersih dengan cara dropping air bersih,” ujarnya.

Menurut dia, lembaganya telah mendistribusikan 5.342 truk tangki berkapasitas 4.000 liter atau setara dengan 21.368.000 liter ke desa-desa yang terkena dampak kekeringan. “Desa Nganti juga termasuk.” Selain mendistribusikan air, BPBD menyalurkan 307 terpal, 29 tandon air, dan 935 jeriken. 

Adapun untuk penanganan jangka menengah, Ardhian melanjutkan, BPBD di antaranya mencari titik-titik sumber air dan menormalisasi waduk. “Itu upaya mengantisipasi dampak kekeringan tahun depan,” katanya. Sementara itu, untuk langkah jangka panjang, menurut dia, salah satunya dengan reboisasi atau penghijauan kawasan.

Kepala Stasiun Meteorologi Kelas III Tuban Zem Irianto Padamana mengatakan sejak awal pihaknya sudah mengingatkan, seperti di wilayah lain di Indonesia, kemarau tahun ini di Bojonegoro akan diikuti El Nino. “Dampaknya adalah kekeringan akan lebih panjang,” katanya. Dia menyebutkan kemarau di Bojonegoro dimulai pada April lalu. 

Berdasarkan data yang ia punya, pada awal Desember lalu, sejumlah wilayah di Bojonegoro sudah masuk musim hujan. “Sesuai dengan prediksi kami, musim hujan pada awal Desember. Cuma, karena masih ada pengaruh El Nino level moderat, tentu akan mempengaruhi pembentukan awan hujan di atas wilayah tersebut,” ujarnya. 

Dilihat dari lingkup global, dia menambahkan, efek El Nino dalam level moderat mengurangi jumlah uap air di wilayah Indonesia. Padahal uap air menjadi alasan utama pembentukan awan. Dia memperkirakan El Nino level moderat masih terjadi hingga Januari 2024 dan mulai lemah atau netral pada April 2024.

Selain El-Nino, dia melanjutkan, faktor tambahan yang membuat awan semakin sulit tumbuh adalah gangguan cuaca skala regional berupa tekanan rendah di Laut Cina Selatan. “Akibatnya, pertumbuhan awan di wilayah Jawa sangat minim.” Adapun faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan awan hujan adalah kondisi topografi dan stabilitas udara di wilayah tersebut.