YOSEFAN Johan tak membayangkan tahun ini level air di Waduk Saguling, Jawa Barat, nyaris menyusut di bawah batas minimalnya: 625 meter di atas permukaan laut. Senior Manager PLN Indonesia Power Saguling Power Generation and O&M Services Unit tersebut mengira kemarau akan berlangsung normal. Namun perkiraan tersebut meleset.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meramalkan 2023 sebagai musim normal cenderung kering karena El Nino sudah masuk radar. Perkiraan ini tampak akurat lantaran tiga bulan pertama tahun ini diwarnai dengan curah hujan tinggi. PLN, yang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 175 gigawatt (GW) di Waduk Saguling, tak mengalami kesulitan operasi.
Tak ada yang menyangka, fenomena pemanasan suhu muka laut di Samudra Pasifik yang menyebabkan awan hujan menjauh dari Indonesia itu bakal berlangsung lebih lama. Hingga kemudian datang peringatan dari BMKG pada April. "Mereka ngomong-nya ada pengaruh kuat El Nino datang," kata Yosefan kepada Tempo, akhir pekan lalu.
Sejak saat itu, Yos—begitu Yosefan biasa disapa—mencatat curah hujan perlahan berkurang. Air mulai seret memasuki Juli dan puncaknya terasa pada September dan Oktober. "Rata-rata inflow 6-8 meter kubik per detik," ujarnya. Padahal, pada musim normal, air yang masuk ke waduk bisa mencapai 150 meter kubik per detik.
Rendahnya volume air yang masuk membuat PLN membatasi produksi. Artinya, air ke hilir ikut berkurang. Padahal Waduk Saguling menampung air bukan cuma untuk pembangkit listrik. Fungsi utamanya adalah mengalirkan air ke Waduk Cirata, lalu ke Waduk Jatiluhur, untuk kemudian disalurkan menuju irigasi pertanian. Waduk tersebut juga menjadi sumber utama air minum daerah DKI Jakarta.
Masalahnya, memasuki November, permintaan air dari hilir semakin tinggi karena petani mulai memasuki musim tanam padi. Posisi ini menempatkan PLN dalam dilema.
Dengan menghitung estimasi arus air yang masuk di tengah musim kemarau dan kebutuhan di hilir, PLN memperkirakan level air yang tersisa di Waduk Saguling tinggal 625 meter di atas permukaan laut pada akhir November. "(Jika memenuhi kebutuhan pengairan di hilir), level airnya akan di bawah 625 mdpl," kata Yos.
Sementara itu, PLN harus menjaga level air minimum 625 meter di atas permukaan laut. Air ini merupakan cadangan untuk mengoperasikan pembangkit dalam kondisi darurat. PLTA di Waduk Saguling merupakan tumpuan asut gelap alias black start sistem ketenagalistrikan di Jawa-Bali. Jika terjadi gangguan pada sistem dan listrik padam, pembangkit tersebut yang pertama kali dioperasikan untuk mengisi daya.
Pembangkit dari tenaga air mampu menghasilkan listrik dalam waktu singkat. Setelah 15-20 menit sejak air dialirkan ke turbin, produksi listrik mulai berjalan. Keadaan ini berbeda dengan pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang membutuhkan waktu hingga delapan jam sejak mesin dinyalakan.
Untuk mengatasi dilema ini, PLN bersama Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, Perusahaan Umum Jasa Tirta II, BMKG, serta pihak terkait lainnya duduk bersama pada pekan pertama November lalu. Mereka yang rutin bertemu sebulan sekali memutuskan menggelar rapat tiap pekan setelah melihat intensitas hujan yang tak kunjung sesuai dengan perkiraan.
Menurut Yos, mereka ingin memastikan arus air yang masuk dalam jangka pendek. "Saat terbukti ada inflow besar pada satu pekan, kami kucurkan lebih banyak. Jika inflow kecil, kami tahan airnya." Harapannya, level air di Waduk Saguling tidak melewati batas minimum dan kebutuhan di hilir tetap terpenuhi.
Beruntung, pada pekan ketiga November, arus air ke waduk mulai bertambah. Yos mencatat aliran 40-60 meter kubik per detik mulai masuk. Pada akhir November, angkanya mencapai kisaran 360 meter kubik per detik.
"Salah satunya karena teknologi modifikasi cuaca sehingga turun hujan," tutur Yos. Sejak semester kedua 2023, para peserta rapat tadi bersepakat merancang hujan buatan. Namun baru pada November awan hujan muncul sehingga strategi modifikasi cuaca berhasil.
Penurunan Produksi
Akibat minimnya hujan, PLTA di Saguling tak bisa beroperasi maksimal. Selama debit air minim pada semester kedua ini, perusahaan hanya mengoperasikan pembangkit saat beban puncak, sekitar pukul 17.00-22.00.
Dampaknya, produksi listrik pembangkit turun. "Ada gap produksi 10-15 persen pada tahun ini dari yang direncanakan," ujar Yos. Perusahaan merencanakan produksi listrik dari pembangkit ini sebesar 2,62 terawatt-hour (TWh) pada tahun ini. Sementara itu, pada akhir November, produksinya berada di kisaran 2,10 TWh.
Penurunan produksi pun terjadi di PLTA Panglima Besar Soedirman. Sama seperti di Saguling, pembangkit yang mengandalkan Waduk Mrica di Banjarnegara, Jawa Tengah, ini menjadi tumpuan saat ada gangguan pada sistem ketenagalistrikan di Jawa-Bali. PLN Indonesia Power sebagai pengelola wajib memastikan pasokan air untuk pengairan sawah serta air minum masyarakat di sekitar waduk.
Dampak El Nino mulai terasa di Mrica pada September lalu. General Manager PLN Indonesia Power Mrica Power Generation Unit (PGU) Nazrul Very Andhi mengatakan perusahaan hanya bisa mengoperasikan satu dari tiga mesin pembangkit pada periode tersebut. Memasuki Oktober, perusahaan mulai menambah kapasitas produksi. "Sekarang sudah normal lagi. Semua mesin beroperasi," ujarnya saat ditemui Tempo pada 22 November lalu.
Akibatnya, Nazrul memproyeksikan penurunan produksi listrik tahunan dari PLTA di Mrica. "Berdasarkan penghitungan sampai November 2023, rata-rata turun 10 persen terhadap realisasi produksi pada 2022."
Assistant Manager Geoteknik dan Hidrologi PLN Indonesia Power Mrica PGU Dwi Nurwanto menyatakan pengurangan operasi mesin dilakukan untuk menjaga level air minimum waduk di tengah turunnya arus air yang masuk. Berdasarkan catatannya, rata-rata arus air yang masuk ke waduk pada September lalu berada di kisaran 14 meter kubik per detik. "Satu unit pembangkit butuh 68 meter kubik per detik," ujarnya.
Selama menghadapi El Nino, kondisi di Mrica tak segenting di Saguling. Tak sampai ada teknologi modifikasi cuaca di daerah tersebut lantaran pasokan air yang masuk dari daerah aliran Sungai Serayu masih lebih tinggi dari kebutuhan pengairan masyarakat setempat. Waduk Mrica memiliki sumber air tanah yang melimpah, yang datang dari beberapa gunung di sekitar Banjarnegara, seperti Gunung Sumbing dan Slamet.
"Itu beberapa masuk ke Sungai Serayu yang ditampung di Waduk Mrica. Jadi, kalaupun tidak ada hujan, tetap ada suplai meski tidak sebesar pada musim hujan," kata Nazrul.
Vice President Operation Maintenance Planning and Controlling IV PLN Indonesia Power Buyung Arianto mencatat El Nino pada tahun ini mempengaruhi semua PLTA perusahaan yang mendukung sistem Jawa-Bali. Di beberapa lokasi, PLN tak berkutik lantaran tidak ada air sama sekali. Namun, selagi pembangkit tersebut tidak berfungsi sebagai black start, tak ada banyak antisipasi untuk menjaga level air di waduk.
Buyung mencontohkan pembangkit di area Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah. "Berhenti beroperasi dari Oktober karena waduknya sampai kering."
Akibat El Nino, perusahaan memperkirakan realisasi produksi listrik di Jawa-Bali lebih rendah 15 persen dari rencana. "Sebenarnya kita rugi kalau PLTA itu kurang dari target karena pembangkitnya berbiaya rendah," kata Buyung. Biaya produksi listrik dari PLTA sebesar Rp 300-400 per kWh. Sebagai perbandingan, biaya produksi listrik dari PLTU berkisar Rp 700 per kWh.
Selain itu, penurunan produksi PLTA mengurangi kontribusi energi hijau pada jaringan PLN. Padahal pemerintah sedang mengejar target bauran energi terbarukan hingga 17,9 persen pada tahun ini. Hingga semester I 2023, realisasi bauran energi ini sebesar 12,5 persen.
Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air Zulfan Zahar menyatakan anggotanya ikut merasakan dampak El Nino. Memasuki paruh kedua 2023, sejumlah anggotanya harus menghentikan produksi lantaran tak ada hujan. "Tahun ini cukup berat, terutama untuk PLTA berkapasitas kecil yang metodenya bukan tampungan besar," tuturnya. Sayangnya, Zulfan belum mendata total perusahaan yang terkena dampak dan jumlah penurunan produksinya.
Mereka yang tidak bisa menjaga kapasitas produksi listrik sesuai dengan rencana menghadapi penalti dari PLN. Menurut Zulfan, para pengembang berkewajiban menjaga produksi minimum 65 persen dari kapasitas. "Dengan adanya batasan capacity factor tadi pada masa El Nino, banyak pengembang terkena penalti. Tapi, begitu musim hujan seperti sekarang, kelebihan dari 65 persen itu tidak bisa dibangkitkan PLN sebagai energi."
Dia berharap PLN bersedia menyerap lebih banyak listrik dari pengembang swasta. "Energinya juga penting untuk mendukung tambahan bauran energi hijau."