DOKTER Puskesmas Moncongloe, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, tengah menjahit luka pasien ketika listrik tiba-tiba padam pada Kamis, 16 November lalu. Pasien itu adalah korban kecelakaan. Korban dilarikan ke Unit Gawat Darurat Puskesmas Moncongloe karena lokasi kecelakaan tak jauh dari puskesmas.
“Karena listrik padam, kami terpaksa memakai senter telepon seluler ketika menjahit lukanya,” kata Kepala Puskesmas Moncongloe Sry Wahyuni Warastuti, Kamis, 23 November lalu.
Ia mengatakan pemadaman listrik sudah berulang kali terjadi di Puskesmas Moncongloe sejak Oktober lalu. Pemadaman listrik ini sangat berdampak terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas. Sebab, semua proses pelayanan kesehatan puskesmas terintegrasi secara online. “Kami melayani pasien maksimal 70 orang dalam sehari,” katanya.
Sri mengatakan Puskesmas Moncongloe sesungguhnya memiliki genset. Tapi kapasitasnya hanya cukup untuk menghidupkan kulkas tempat penyimpanan obat dan vaksin.
Ia khawatir listrik yang sering padam ini akan merusak suhu obat ataupun vaksin. Di samping itu, alat elektronik puskesmas terancam rusak akibat tegangan listrik yang tidak stabil atau spanning.
Situasi serupa terjadi di Puskesmas Bontoa dan Puskesmas Turikale, Maros. Di Puskesmas Bontoa, dokter jaga sudah berulang kali menyaksikan keluarga pasien yang marah ketika listrik padam.
Kepala Unit Gawat Darurat Puskesmas Bontoa Hasriani pernah menyaksikan keluarga pasien berteriak-teriak kepada anak buahnya. Saat itu listrik tiba-tiba mati ketika seorang pasien baru saja masuk UGD Puskesmas Bontoa, pertengahan Oktober lalu.
Pasien itu menderita sesak napas. Keluarganya lantas mendesak petugas UGD segera merujuk pasien ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Maros. Tapi petugas UGD tak bisa melayani permintaan tersebut karena listrik padam. Mereka tak dapat menggunakan komputer untuk mengurus rujukan, yang sistemnya sudah terintegrasi secara digital dengan semua layanan kesehatan di Maros.
“Akhirnya kami berusaha menghubungi petugas rumah sakit melalui pesan pendek,” kata Hasriani, Jumat, 24 November lalu.
Petugas UGD Puskesmas Bontoa, kata dia, juga tak bisa memberikan pertolongan kepada pasien yang sesak napas tersebut. Alat bantu pernapasan atau nebulizer dan kateter penghisap untuk membersihkan jalan napas (suction) yang dimiliki puskesmas tak bisa digunakan karena ketiadaan aliran listrik.
Hasriani mengakui insiden seperti itu sudah berulang kali terjadi di UGD Puskesmas Bontoa. Tapi petugas UGD hanya bisa terdiam ketika keluarga pasien marah ataupun kesal. Mereka hanya pasrah karena tak bisa berbuat banyak ketika listrik padam. Apalagi pemadaman listrik terkadang tak sesuai dengan jadwal dari pihak PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Di Puskesmas Turikale, anggota staf puskesmas tengah melayani masyarakat yang antre untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ketika listrik tiba-tiba padam pada Senin, 13 November lalu. Petugas puskesmas lantas mengambil jurus alternatif. Mereka mencatat data pasien secara manual. Tapi proses pelayanan kesehatan jadi melambat karena petugas puskesmas menulis satu per satu data calon pasien.
Kepala Unit Pelaksana Tugas Daerah Puskesmas Turikale Amelia Sya’bani mengatakan, ketika listrik kembali menyala, petugas administrasi bergegas menyalakan komputer. Petugas administrasi itu bermaksud melakukan input data pasien ke aplikasi pelayanan kesehatan. Tapi layar komputer itu berubah warna menjadi kebiruan.
“Komputer itu rusak akibat mati lampu. Ini komputer tersebut,” kata Amelia seraya menunjuk ke komputer itu, Jumat, 17 November lalu.
Amelia mengatakan pemadaman listrik ini sangat berdampak pada pelayanan kesehatan. Sebab, semua proses pelayanan kesehatan di puskesmas serba digital.
Puskesmas Turikale beroperasi 24 jam, khususnya ruang persalinan dan UGD. Pasien yang menjalani rawat inap di dua ruangan ini sangat terkena dampak pemadaman listrik. “Pasien mengeluh lantaran kepanasan dan gelap,” ujar Amelia.
Menurut dia, Puskesmas Turikale sesungguhnya memiliki genset pengadaan pada 2008, tapi hanya berkapasitas 900 watt. Genset ini hanya cukup untuk menyalakan lampu.
Krisis listrik ini tidak hanya berpengaruh pada layanan kesehatan di puskesmas, tapi juga di rumah sakit. Salah satunya RSUD Daya Kota Makassar, rumah sakit terbesar milik pemerintah kota.
Juru bicara RSUD Daya, Wisnu Maulana, mengatakan pemadaman listrik bergilir dalam tiga bulan terakhir sangat berdampak terhadap pelayanan administrasi kesehatan karena menggunakan sistem elektronik. “Selama listrik padam, sistem informasi rumah sakit off,” kata Wisnu.
PT PLN Wilayah Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat melakukan pemadaman listrik bergilir sejak September lalu akibat debit air sungai, waduk, ataupun bendungan yang menjadi penggerak turbin pada pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di wilayah ini menyusut drastis. Penurunan debit air ini terjadi akibat El Nino.
Sejumlah pembangkit listrik yang terhubung dengan sistem kelistrikan PLN Wilayah Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat di antaranya PLTA Bakaru, Kabupaten Pinrang; PLTA Malea, Tana Toraja; dan PLTA Bili-bili, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Lalu ada PLTA Poso Energy, Sulawesi Tengah; serta Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap dan PLTB Tolo, Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Dari semua pembangkit itu, hanya PLTA Bakaru dan PLTA Bili-bili yang merupakan milik PLN. Pembangkit sisanya milik pihak swasta. PLTA Poso Energy dan PLTA Malea merupakan milik anak usaha Kalla Group—perusahaan milik Jufuf Kalla—yang pengoperasiannya diresmikan pada Februari 2022. Semua pembangkit listrik tersebut memasok kebutuhan listrik di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.
General Manager PT PLN Unit Induk Distribusi Wilayah Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat, Mochammad Andy Adchaminoerdin, mengatakan krisis listrik terjadi akibat kekeringan ekstrem di sejumlah PLTA yang membuat pasokan listrik menurun. Misalnya, PLTA Poso Energy hanya mampu memasok 200 megawatt atau setara dengan 40 persen dari total kapasitas pembangkit tersebut.
Andy menjelaskan, PLTA Poso Energy tetap dapat memasok lebih banyak listrik karena air yang menjadi sumber penggerak turbin ditampung di waduk. “Kalau dimaksimalkan, mereka akan habis airnya dan bisa terjadi blackout (pemadaman total),” katanya kepada awak media seusai rapat dengar pendapat di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan, Kamis, 30 November lalu.
Menurut Andy, El Nino juga pernah membuat Bendungan Bili-bili mengering sehingga PLTA di sana betul-betul berhenti beroperasi. Namun, sejak turun hujan pada akhir November lalu, Bendungan Bili-bili mulai terisi air. “Tapi baru 4 megawatt yang bisa masuk,” ujarnya.
Andy memaparkan, pemadaman listrik terjadi akibat kebutuhan listrik jauh lebih besar dibanding produksi listrik pembangkit. Selama El Nino, pasokan listrik seluruh pembangkit itu di bawah 650 megawatt. Sedangkan kebutuhan listrik pada beban puncak mencapai 1.800 megawatt.
Ia memperkirakan pasokan listrik akan kembali pulih ketika hujan kembali turun atau saat El Nino berakhir.
Manager PLN Nusantara Power Unit Pembangkit dan Pengendalian Bakaru Fatahuddin Yogi Amibowo mengatakan pasokan listrik di PLTA berkurang drastis selama El Nino. Ia mengatakan, saat kekeringan ekstrem sejak September lalu hingga akhir November, debit air di Bendungan Bakaru menurun drastis. Akibatnya, dari dua turbin di sana, hanya satu unit yang dapat beroperasi.
Selama kekeringan ekstrem, PLN juga menggandeng Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk memodifikasi cuaca agar terjadi hujan di sekitar Bakaru hingga hulu Sungai Mamasa—air sungai yang mengalir ke Bendungan Bakaru—Sulawesi Barat.
Modifikasi cuaca dimulai pada 8 Oktober lalu. Tercatat PLN dan BKMG sudah 147 kali melakukan penerbangan serta 294 flare telah dibakar. “Kami menargetkan teknologi modifikasi cuaca ini sampai Desember 2023,” kata Fatahuddin, pekan lalu.
Ia mengatakan pasokan listrik PLTA Bakaru sudah kembali normal sejak pekan lalu. Meski begitu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemadaman listrik masih terjadi hingga awal Desember ini.
Kepada awak media di DPRD Sulawesi Selatan, Mochammad Andy Adchaminoerdin belum dapat memastikan kapan pemadaman listrik tersebut akan berakhir. Ia hanya meminta doa dari masyarakat agar kekeringan segera berlalu dan kendala penurunan pasokan listrik segera teratasi.
Selain itu, Andy mengungkapkan kegusaran jika pemadaman bergilir berpeluang terulang di masa mendatang. Apalagi jika PLN hanya mengandalkan PLTA.
Pelaku Usaha Merugi
Pemadaman listrik secara bergilir ini berdampak buruk ke semua bidang, dari pelayanan kesehatan, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), hingga pengusaha perhotelan. Sejumlah pelaku UMKM di Makassar mengaku sangat merugi akibat pemadaman bergilir tersebut.
Misalnya, Ratna Sari Dewi, 47 tahun, pengusaha abon ikan di Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate, Makassar. Ratna mencontohkan ketika lampu padam pada Jumat sore, 10 November lalu. Dia tengah menggoreng ikan tuna dan lele saat listrik mendadak mati. Ia menggoreng 25 kilogram tuna dan 10 kilogram lele.
Setelah ikan-ikan itu matang, ia pun hendak memasukkannya ke spinner atau mesin pengurang kadar minyak. Gorengan ikan itu belum sempat dimasukkan ke spinner ketika tiba-tiba listrik padam. Perempuan ini terpaksa batal memasukkan gorengan tuna dan lele itu ke spinner, yang membutuhkan listrik untuk menghidupkannya.
Akibatnya, gorengan tuna dan lele itu berwarna kuning kecokelatan. Warna gorengan ikan seperti ini akan membuat kualitas abon ikan menjadi jelek.
“Kalau langsung masuk spinner, warnanya kuning bersih,” kata Ratna, Kamis, 16 November lalu.
Ratna akhirnya batal menjual abon ikan tersebut. Ia hanya menyimpannya untuk dikonsumsi di rumah. Dia merugi Rp 7 juta rupiah akibat pemadaman listrik pada hari tersebut.
Ratna tak menyangka Kecamatan Tamalate akan mendapat giliran pemadaman listrik pada Jumat sore itu. Sebab, wilayah di sekitar tempat tinggal Ratna sudah mendapat giliran pemadaman listrik pada pagi harinya. Dia juga hanya mendapat informasi dari PLN bahwa pemadaman listrik di kampungnya akan berlangsung pada Jumat pagi.
Waktu pemadaman listrik ini berlangsung selama 4-6 jam dalam sekali pemadaman. Pemadaman listrik juga kerap tak sesuai dengan jadwal.
Kondisi itu memaksa Ratna mengurangi produksi abon ikan. Dalam situasi normal, ia memproduksi 100 kilogram abon per hari. Tapi, sejak insiden pada Jumat sore itu, Ratna mengurangi separuh produksinya, yaitu hanya 50 kilogram abon ikan dalam satu hari.
Ratna memasarkan abon ikan itu ke tiga minimarket di Makassar. Biasanya ia mampu memproduksi 150 bungkus abon ikan per hari dalam situasi normal. “Saya mengemasnya sendiri. Suami saya juga biasa membantu,” katanya.
Pemadaman listrik juga pernah merusak freezer atau alat penyimpanan ikan milik Ratna. Akibat berbagai kerugian itu, Ratna berharap PLN memberikan kompensasi kepadanya dan masyarakat lain yang terkena dampak pemadaman listrik.
Nasib serupa dialami Diana, 45 tahun, pengusaha keripik bayam Sapiria (kribas) di Kecamatan Tallo, Makassar. Saat itu, Selasa menjelang petang, 7 November lalu, Diana baru saja mendapat pesanan 150 bungkus keripik bayam.
Ia pun mulai mencuci daun bayam, lalu membuat adonannya. Daun bayam itu lantas dimasukkan ke adonan.
Ketika Diana hendak menggorengnya, listrik di Kampung Sapiria, Kecamatan Tallo, tiba-tiba padam. Perempuan itu batal menggoreng daun bayam karena di rumahnya gelap gulita. Dia juga tidak memiliki alat penerangan alternatif ataupun lampu listrik isi ulang.
Saat itu listrik padam selama beberapa jam. Pemadaman ini membuat daun bayam dan adonan tersebut membusuk. Diana pun merugi Rp 1,5 juta pada hari itu.
“Kalau daun bayam sudah dicuci, tidak bisa disimpan, harus langsung digoreng,” ujarnya, Selasa, 14 November lalu.
Ketika daun bayam dan adonan itu sempat digoreng, Diana juga tak bisa membungkusnya pada saat listrik padam. Diana memakai mesin pres yang membutuhkan listrik untuk membungkus keripik bayam. Agar tetap renyah, kribas harus langsung dikemas.
Ia tidak mengetahui bahwa Kampung Sapiria akan mendapat giliran pemadaman listrik pada hari itu. Setelah kejadian ini, Diana tak lagi menerima pesanan kribas untuk sementara waktu. Dia tak mau makin merugi akibat jadwal pemadaman listrik yang tak menentu dan berlangsung lama.
Kini Diana memilih memproduksi kribas dalam jumlah kecil, yakni hanya 25 bungkus. Ia membuatnya pada akhir pekan, lalu menjualnya saat car-free day di Makassar.
Pemadaman bergilir ini juga sangat berdampak terhadap bisnis perhotelan. Sekretaris Badan Pengurus Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan, Nasrullah Karim, mengatakan banyak alat elektronik di hotel yang mengalami kerusakan akibat pemadaman bergilir ataupun tegangan listrik yang tidak stabil (spanning). Ia memastikan 124 hotel di Makassar terkena dampak pemadaman listrik tersebut.
Nasrullah mengatakan efek buruk dari pemadaman ini sangat terasa selama November lalu. Sebab, listrik mati hingga 10 jam dalam sekali pemadaman. Akibatnya, pihak hotel terpaksa menghidupkan genset untuk memenuhi pasokan listrik.
“Ada hotel yang keluarkan dana pembelian solar sampai Rp 65 juta per bulan,” katanya, Ahad pekan lalu. Ia pun berharap pemadaman listrik segera berakhir.
Ketika Bendungan Bakaru Mengering
MUHAMMAD SALEH, 32 tahun, masih ingat ketika air di Bendungan PLTA Bakaru, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, mengering pada Oktober dan November lalu. Warga Desa Ulusaddang ini tinggal tak jauh dari Bendungan PLTA Bakaru.
Bendungan Bakaru mengandalkan pasokan air dari Sungai Mamasa, yang terbentang dari Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, sampai Pinrang. Saleh menyaksikan aliran Sungai Mamasa yang berada di depan Bendungan Bakaru betul-betul mengering selama El Nino.
“Saking dangkalnya, masyarakat bisa berjalan kaki menyeberang Sungai Mamasa yang berada di depan Bendungan PLTA Bakaru,” kata Saleh.
Selama kekeringan ekstrem itu, Saleh dan warga Desa Ulusaddang juga merasakan pemadaman bergilir meski rumah mereka tak jauh dari pembangkit listrik. Selama September dan Oktober, Saleh mengalami tiga kali pemadaman listrik dalam sehari. Frekuensi pemadaman listrik mulai berkurang pada November lalu, yang hanya dua kali pemadaman dalam satu hari. “Paling lama dua jam mati lampu,” ujarnya.
Asisten pemimpin PLTA Bakaru, Kamaruddin, mengatakan debit air di Bendungan Bakaru memang berkurang drastis selama El Nino pada September hingga November lalu. Debit air di bendungan rata-rata hanya 10-20 meter kubik per detik. Kondisi ini membuat pihak PLTA hanya bisa mengoperasikan satu dari dua turbin yang dimiliki. Sebab, butuh 45 meter kubik air per detik untuk mengoperasikan kedua turbin tersebut.
“Kami hanya bisa operasikan mulai jam 5 sore karena banyak pelanggan kalau malam,” kata Kamaruddin, pekan lalu.
Ia mengatakan dampak El Nino saat ini belum terlalu parah dibanding kekeringan pada 2016. Saat itu, kata dia, air Sungai Mamasa betul-betul mengering sehingga dua turbin PLTA Bakaru tak beroperasi.
Kamaruddin optimistis pemadaman akan segera berakhir karena berangsur mulai turun hujan sejak akhir November lalu. Hujan yang mengguyur membuat debit air di bendungan kembali normal.
Namun, kata dia, debit air di Bendungan PLTA Bakaru akan tetap terjaga jika rutin hujan. Sebab, bendungan tak berfungsi menampung air ketika hujan. Berbeda dengan PLTA Poso Energy, yang bendungannya berbentuk waduk sehingga air tinggal ketika turun hujan.