MENGENAKAN baju koko hitam dan bersarung, Derajat bergegas meninggalkan rumah di Desa Boreng, Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada 14 November 2023. Sinar matahari belum terlalu menyengat ketika pria 70 tahun itu mengayuh sepeda ontel ke kebun jagungnya.
Setibanya di kebun, terlihat dua pekerja bersiap memompa air dari sumur menggunakan mesin diesel. Derajat segera turun dari sepeda, lalu menyingsingkan sarung setinggi pinggang. Tak berapa lama, mesin diesel berkekuatan 6 PK itu meraung dan mulai menyemprotkan air yang membasahi ladang seluas 3.600 meter persegi.
Fenomena El Nino yang terjadi pada tahun ini membuat musim kemarau lebih lama daripada biasanya. Karena hujan tak turun selama berbulan-bulan, Derajat terpaksa mengeluarkan biaya tambahan agar ladangnya tetap menghasilkan. Paling tidak, biaya itu untuk membeli bahan bakar mesin diesel dan membayar upah dua pekerja. "Butuh waktu sekitar 12 jam untuk mengalirkan air dengan mesin diesel,” kata Derajat. Meski begitu, Derajat tetap merasa lebih beruntung. Sebab, tidak semua sumur petani mengeluarkan air.
Paling tidak hal itu dirasakan oleh Firdaus M. Lutfi, warga Kelurahan Rogotrunan yang bertetangga dengan Desa Boreng. Ia memiliki ladang jagung seluas 1,7 hektare. Di ladang itu terdapat satu sumur yang dibuat pada 2021. Pada musim kemarau tahun lalu, sumur masih mengeluarkan air dan bisa digunakan untuk mengairi ladang. “Tapi sekarang benar-benar kering,” katanya saat ditemui pada 18 November 2023.
Selama air sumur tidak bisa disedot, Firdaus terpaksa menarik slang panjang untuk mengambil air dari sumur lain. “Ya, pindah-pindah sumur,” katanya. Terakhir, Firdaus mengambil air dari sumur yang berjarak sekitar 350 meter dari ladangnya.
Menurut Firdaus, jagung yang ia tanam saat ini berusia satu bulan. Biaya yang telah dikeluarkan—dari penyiapan lahan, pengairan lahan, pembibitan, penanaman, pemupukan, hingga penambahan kedalaman sumur—sudah mencapai Rp 15 juta. Kemarau tahun ini, kata Lutfi, memang terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. “Sekarang lebih panas,” katanya. Pada kemarau tahun lalu, tanaman masih bisa bertahan hingga 20 hari tanpa air. “Namun sekarang paling lama 10 hari saja. Kalau tidak segera diairi, pasti layu.”
Satuki, penjual jasa pengeboran sumur, mengatakan, sejak Agustus lalu, banyak sumur yang kering. Ia kebanjiran pekerjaan untuk menambah kedalaman sumur. “Hampir setiap hari selalu ada yang minta sumurnya diperdalam,” kata Satuki. Permintaan paling banyak datang dari warga di Kelurahan Rogotrunan, Desa Boreng, dan Desa Blukon. Semuanya berada di Kecamatan Lumajang. Ia sebenarnya kewalahan melayani permintaan itu. “Terkadang saya harus mencari-cari alasan untuk bisa libur barang satu-dua hari.”
Dampak El Nino
Menurut Kepala Stasiun Meteorologi Kelas I Juanda Sidoarjo, Taufiq Hermawan, musim kemarau tahun ini memang lebih panjang dan lebih panas dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kondisi itu muncul karena dampak dari fenomena El Nino. Ketika El Nino terjadi, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik bagian tengah. Sehingga curah hujan di Indonesia berkurang secara drastis.
Saat ini diperkirakan El Nino dengan intensitas moderat akan bertahan hingga Februari atau Maret 2024. Jumlah curah hujan di Indonesia berkurang hingga 60 persen dari kondisi normal, terutama pada Juli-November 2023. Kekeringan ekstrem yang terjadi di Jawa Timur berpotensi juga meluas ke wilayah lain.
Dalam kondisi normal, kata Taufiq, musim hujan di Jawa Timur seharusnya sudah dimulai pada November ini. Namun, karena ada El Nino, ada kemungkinan musim hujan mundur 1-3 bulan. "Secara tidak langsung, El Nino masih mempengaruhi wilayah Kabupaten Lumajang dan sekitarnya hingga Januari-Februari 2024," kata Taufik Hermawan.
Dam Gambiran Jebol
Lahan persawahan dan perkebunan di Desa Boreng, Desa Blukon, serta Kelurahan Rogotrunan selama ini mengandalkan air dari Kali Asem. Di sungai itu terdapat Dam Gambiran yang berfungsi mengalirkan air ke kanal. Dari kanal inilah air Kali Asem menyebar ke lahan pertanian milik penduduk. Namun, setelah Dam Gambiran jebol, petani tidak bisa lagi berharap banyak.
Firdaus M. Lutfi, yang juga menjadi Koordinator Komunitas Petani Lumajang, mengatakan, tidak kurang dari 350 hektare lahan pertanian mengalami krisis air setelah Dam Gambiran tidak berfungsi. Karena itu, banyak petani yang belakangan membuat sumur agar lahan mereka bisa terus produktif.
Dam Gambiran yang berada di Kelurahan Rogotrunan dibangun pada masa kolonial Belanda. Dam itu jebol pertama kali pada 1957 akibat terjangan banjir bandang. Kemudian pemerintah memperbaiki tanggul secara total untuk mengembalikan fungsi dam itu. Pada 2017, dam kembali jebol diterjang bah. Perbaikan bisa dituntaskan setelah dua tahun. Namun napas lega petani tidak bertahan lama. Sebab, pada 2021, kejadian serupa terulang. Aliran air ke kanal benar-benar terputus akibat tertutup bongkahan material dam.
Menurut Firdaus, area pertanian di Desa Boreng, Desa Blukon, dan Kelurahan Rogotrunan yang mendapat suplai air dari Kali Asem dulunya adalah lahan subur. Sawah dan ladang selalu bisa diandalkan untuk sumber mata pencarian. Namun, setelah Dam Gambiran tidak berfungsi, lahan-lahan subur itu berubah menjadi tandus.
Petani sebenarnya sudah berupaya mengatasi masalah air dengan membuat sumur. Namun upaya ini tidak selalu membuahkan hasil. Sebab, sumur-sumur itu hanya terisi air pada musim hujan. Sedangkan saat kemarau, sebagian besar sumur ikut kering. Apalagi pada musim kemarau tahun ini yang lebih panas dan lebih lama karena adanya El Nino.
Ketua Himpunan Petani Pengguna Air (HIPPA) Desa Boreng, Bambang Subakir, menyampaikan cerita serupa. Pada kemarau ini, tingkat kekeringan tanah sangat cepat. Banyak sumur asat. Kalaupun airnya keluar, debit airnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pertanian. “Pada kemarau tahun lalu, kondisinya tidak separah ini,” kata dia.
Beralih Fungsi Menjadi Perumahan
Petani yang tidak mendapatkan air hanya bisa pasrah dan membiarkan ladang dipenuhi tumbuhan liar. Tidak sedikit pula petani yang menyewakan atau menjual lahan demi bertahan hidup. Di Desa Boreng, Derajat menyaksikan beberapa kerabatnya terpaksa menjual sebagian lahan mereka.
Derajat mencontohkan lahan yang tepat berada di sebelah kebun jagungnya. Lahan itu dulu milik seorang kerabat. Sekarang di tempat itu telah berdiri puluhan rumah yang dibangun oleh pengembang. Bahkan, Derajat juga telah menawarkan sebagian kebunnya kepada pengembang yang sama. "Sudah direspons oleh pengembang, tinggal menunggu kesepakatan harga saja," kata Derajat.
Imron, 55 tahun, warga Desa Tukum, Kecamatan Tekung, Kabupaten Lumajang, memiliki masalah serupa. Ia memiliki lahan sekitar 4.600 meter persegi di Desa Boreng. Dulu, lahan itu ditanami padi. Namun, setelah lahan pertanian di Desa Boreng kesulitan air, ia membiarkan lahan itu kering kerontang. Imron merasa lelah untuk mengolah tanah karena hasilnya tidak sesuai dengan harapan. "Saya capek. Saya biarkan lahan itu tidak saya tanami," kata Imron.
Imron juga berencana menjual lahan itu. Sudah ada beberapa pengembang yang tertarik tapi belum cocok dengan harga yang ditawarkan. "Sudah ada yang menawar Rp 1 miliar, tapi belum saya kasih," kata Imron.
Sekretaris Desa Boreng, Herlan, mengatakan pembangunan perumahan di Desa Borengan belakangan ini cukup pesat. Banyak lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi permukiman. “Banyak juga yang dijual dalam bentuk kaveling," ujar Herlan.
Seorang warga Jogoyudan, Kecamatan Lumajang, yang bekerja sebagai mandor bangunan, mengatakan perumahan yang baru tumbuh di Desa Boreng banyak diminati masyarakat. Paling tidak, fenomena itu terlihat dari perumahan yang dibangun oleh perusahaan pengembang yang mempekerjakannya. Perusahaan itu baru-baru ini membangun 60 unit rumah bersubsidi. Satu unit rumah ditawarkan dengan harga Rp 160 juta dengan luas tanah 70 meter persegi. "Hanya tiga bulan sudah terjual semua," katanya.
Fenomena yang sama terjadi di Kelurahan Jogoyudan. Dalam lima tahun terakhir, tidak kurang dari seribu unit rumah telah berdiri di lahan yang dulunya digunakan untuk bercocok tanam. Pengembang terus berekspansi karena peminat perumahan terus bertambah. "Beberapa kali ada pengembang datang untuk membeli lahan saya," kata Thay Dianto, 72 tahun. Ia memiliki lahan seluas 4 hektare di Jogoyudan. Lahan itu akan dilepas asalkan harganya sesuai dengan keinginannya. “Tidak kurang dari Rp 12 miliar.”
Maraknya pembangunan perumahan di Lumajang pada akhirnya membuka peluang usaha baru. Makelar tanah berkeliaran untuk memburu informasi tentang tanah yang dijual. Gejala ini diakui oleh Abdul Basith, warga Jogoyudan. Dia sebenarnya memiliki mata pencarian tetap sebagai petani. Dia menggarap lahan milik adiknya untuk menanam padi dan palawija. “Saya hanya mengelola,” kata Abdul.
Belakangan, Basith memiliki pendapatan sampingan dari hasil menjadi perantara jual-beli tanah. “Hampir setiap hari ada saja informasi tentang tanah dijual,” katanya. Dia akan mendapatkan komisi setelah berhasil menemukan pembeli untuk lahan-lahan yang ditawarkan itu. “Komisinya lumayan.”
Dengan hasil yang dinilai lumayan itu, kata Basith, tidak mengherankan bila makelar-makelar tanah bermunculan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang bertindak lebih agresif. Mereka tidak lagi sekadar menunggu informasi, tapi juga berupaya merayu warga untuk menjual tanah. "Biasanya lebih ke soal harga, bukan merayu atau membujuk agar tanahnya dijual," kata Basith.
Sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Lumajang sebenarnya berstatus Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Dengan status ini, pemilik lahan tidak bisa sembarangan mengalihfungsikan lahan. Sebab, melalui regulasi LP2B, pemerintah berupaya menjaga dan melindungi keberadaan lahan pertanian di satu daerah. Regulasi secara tegas melarang perubahan fungsi lahan dari pertanian ke fungsi yang lain, termasuk perumahan.
Namun, berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lumajang, dari 21 kecamatan, terdapat dua kecamatan yang memiliki kawasan non-LP2B paling luas, yaitu Kecamatan Lumajang dan Kecamatan Sukodono. Di Kecamatan Lumajang terdapat 724,59 hektare lahan berstatus LP2B dan non-LP2B 838,37 hektare. Sedangkan di Sukodono LP2B seluas 576,27 hektare dan non-LP2B seluas 994,63 hektare.
Tumbuhnya perumahan baru di Kecamatan Lumajang ini ternyata mendapat dorongan juga dari pemerintah. Kepala Bidang Perumahan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Lumajang, Ernowo Pujo Santoso, mengatakan Kecamatan Lumajang merupakan episentrum Kabupaten Lumajang. Karena itu, ketersediaan perumahan di sana memang perlu digenjot. "Kebutuhan akan rumah hunian baru akan terus meningkat," ujarnya.
Walhasil, perubahan fungsi lahan di Rogotrunan, Boreng, Jogoyudan, dan Blukon sepertinya akan menjadi keniscayaan. Permukiman penduduk bakal tumbuh subur menggantikan padi dan palawija. Apalagi perbaikan Dam Gambiran hingga saat ini belum ada kejelasan. Tak ada lagi harapan untuk mempertahankan lahan pertanian tanpa sistem irigasi yang memadai. Ditambah, fenomena El Nino juga masih menjadi ancaman pada tahun-tahun mendatang.