Sesak Hidup Pesut Mahakam

  • Penulis
    Nofiyatul Chalimah
  • Editor
    Efri Ritonga

PERAHU membawa Danielle Kreb membelah perairan Mahakam Tengah di Kalimantan Timur. Kamera dengan lensa tele siaga di tangannya. Tanda-tanda yang dinantikan muncul di permukaan air. Kamera pun langsung diarahkan untuk mengambil gambar. Danielle sempat resah karena, selama sepekan melakukan pemantauan bersama timnya, tidak juga menjumpai Fiona, pesut Mahakam favoritnya.

“Kami sampai mau selesai, kok, belum ketemu Nenek Fiona. Lalu, pagi hari terakhir sebelum kami kembali, Fiona ditemukan di Muara Semayang, sedang bermain bersama teman-temannya. Wah, saya senang sekali,” tutur Kreb pada 15 November 2023. 

Danielle Kreb adalah perempuan berdarah Belanda. Ia jatuh cinta pada pesut Mahakam sejak melakukan studi terhadap mamalia tersebut pada 1997. Bersama mitranya, Boediono, dia mendirikan Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK RASI) pada 2000, yang berfokus melakukan konservasi satwa air di Kalimantan Timur.

Pemantauan pesut Mahakam dilakukan menggunakan kamera berlensa jarak jauh. Pesut difoto dan diidentifikasi. Cara membedakan satu pesut dengan pesut lainnya adalah dari bentuk sirip punggungnya. Kreb memaparkan, bak sidik jari manusia, sirip pesut berbeda antara satu individu dan individu lainnya. 

Pertemuan dengan Fiona yang sedang bermain di Muara Semayang menjadi penutup pemantauan pesut Mahakam pada 6-13 November lalu. Pemantauan mereka lakukan setiap 3-4 bulan. Dari pemantauan tersebut, Kreb memastikan kehidupan pesut Mahakam makin terimpit. Karena itu, menurut dia, aturan kawasan konservasi mesti diterapkan lebih tegas.

Meski begitu, ia mendapat kabar yang cukup menggembirakan pada tahun ini. “Ada empat bayi pesut Mahakam yang sudah pasti kami temukan. Kemungkinan ada satu bayi lagi, tapi belum dapat dipastikan. Dengan satu ekor pesut yang mati tahun ini, artinya ada penambahan populasi,” katanya.

Lingkungan yang Kian Keras

Saban tahun, kematian pesut Mahakam memang masih terjadi. Salah satunya akibat jaring ikan. YK RASI sudah berinisiatif membagikan alat finger sonar kepada para nelayan di habitat pesut Mahakam untuk menghalau mamalia tersebut menjauh dari jaring. Tapi masih ada ancaman lain, yaitu ruang hidup yang semakin sempit, lingkungan yang tercemar, cuaca yang tidak bisa diprediksi, dan ponton batu bara yang lalu-lalang. 

Kreb mengungkapkan, pesut Mahakam banyak ditemukan di Sungai Belayan, Kedang Rantau, Kedang Kepala, dan sekitar Danau Semayang-Melintang di Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pesut hidup di hulu yang tidak riuh dan sarat akan ikan kecil. Maklum, pesut tak bisa melihat dengan mata, melainkan mengandalkan pantulan sonar. Makin riuh perairan, sonarnya makin terganggu. Jadi, meskipun bernama pesut Mahakam, habitatnya tidak lagi di Sungai Mahakam yang ramai ponton batu bara.

Kemarau panjang yang dipicu oleh El Nino pada tahun ini turut berdampak bagi pesut. Ikan di wilayah hulu, yang merupakan makanan mereka, makin susah ditemukan. Kawanan pesut pun harus pergi ke hilir, yang ramai aktivitas kapal dan tongkang batu bara. Selain itu, demi mencari ikan kecil yang banyak di rawa, pesut harus mempertaruhkan nyawanya. Sebab, duri-duri tanaman di rawa bisa melukai tubuh pesut. Pesut juga berisiko terjebak di rawa atau danau yang dangkal.

Co Founder Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (YK RASI) Danielle Kreb memantau pergerakan Pesut Mahakam. Dok. YK RASI

Seperti pada 2017, saat Fiona yang sedang hamil dan pejantan muda Zack terjebak di rawa-rawa di sekitar Desa Pela serta Sangkuliman. Lalu, pada 2020, seekor pesut harus dievakuasi karena terdampar di Danau Semayang-Melintang yang sedang surut. Ketika musim kemarau, Danau Semayang-Melintang, yang menjadi tempat kesukaan pesut, akan surut dan sebagian menjadi daratan. Kalau tak keluar saat air pasang, hewan yang dikenal pula sebagai lumba-lumba air tawar itu bisa terjebak di danau dengan pakan yang minim.

Kemarau berkepanjangan akan kian menyulitkan mereka. Sebab, pesut harus menjelajah jauh. Perjalanan panjang tersebut didukung oleh daya jelajah pesut Mahakam yang bisa mencapai 40 kilometer dari habitat awalnya. Mereka akan mencari tempat-tempat yang banyak ikan. Sejumlah pesut pun terlihat kurus karena harus terus bergerak mencari makanan.

Demi menjaga kelestariannya, pemerintah daerah sudah menetapkan kawasan konservasi air untuk habitat pesut di wilayah Mahakam Tengah. Tapi tidak semua orang taat. Tongkang batu bara masih saja lewat di luar ketentuan. Ketika kemarau, efeknya makin terasa. “Seharusnya tongkang hanya boleh berjalan di tengah sungai dan tidak boleh beriringan. Kenyataannya, banyak tongkang yang seperti balapan,” ujar Kreb.

Dari laporan YK RASI, selama musim kemarau, badan kapal tongkang menyita dua pertiga dari lebar sungai dan lebih dari setengah kedalaman anak sungai yang surut. Saat bergerak menuju hulu, pesut selalu mengubah arah berenang jika bertemu ponton. Meskipun frekuensi suara dari ponton cukup rendah, kebisingan yang dihasilkan cukup besar, yakni rata-rata 111 desibel saat melintas. Padahal kebisingan lebih dari 80 desibel sudah cukup membuat sonar pesut terhalau sehingga mereka tidak bisa mengukur jarak dengan obyek lain.

Pertanda Banyak Ikan

Tahun ini, El Nino mendera dan membikin nelayan menderita. Musim kemarau menjadi lebih panjang dan hujan tak kunjung turun. Nelayan yang hidup dari perairan Mahakam Tengah merana. Seperti para nelayan di Desa Sangkuliman, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara. Desa Sangkuliman merupakan desa di tepi Sungai Pela yang menghubungkan Sungai Mahakam dengan Danau Semayang-Melintang. Wilayah desa ini ikut menjadi habitat pesut Mahakam.

Akibat kemarau panjang, sebagian nelayan harus banting setir. “Tahun ini yang paling parah dari tiga tahun terakhir. Tiga bulan kami sulit mencari ikan karena kemarau. Sebagian nelayan beralih profesi menjadi tukang kayu,” tutur Mukim, nelayan Desa Sangkuliman, kepada Tempo pada 17 November lalu.

Hal ini dibenarkan oleh Dahli, yang juga nelayan Desa Sangkuliman. Dia menuturkan warga yang memiliki keterampilan masih bisa menjadi tukang kayu. Namun, jika tidak memiliki keterampilan lain, mereka terpaksa tetap mencari ikan dengan hasil tangkapan seadanya. “Buat makan saja susah,” ucapnya.

Keramba ikan milik warga di Sungai Pela, Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 17 November 2023. TEMPO/Nofiyatul Chalimah

Dahli mengimbuhkan, saat musim sedang bagus, nelayan bisa mendapatkan ikan seberat 50-100 kilogram per hari. Kini, gara-gara kemarau panjang, hasil tangkapan merosot menjadi sekitar 20 kg per hari.

Dulu, Mukmin menimpali, ketika musim kemarau, masyarakat biasanya bercocok tanam di lahan danau yang surut. Sekarang, karena musim sulit diprediksi, warga desa enggan bercocok tanam karena khawatir gagal panen. “Zaman dulu, melihat musim cukup dari melihat bulan saja. Sekarang kadang meleset,” tuturnya.

Satu hal yang masih bisa menjadi acuan bagi nelayan adalah keberadaan pesut. Para nelayan mengetahui, jika di suatu area terdapat banyak pesut, berarti ikan yang mereka cari, seperti ikan haruan, lais, atau ikan kendia, juga banyak di sana. “Kalau sekarang musimnya air panas, pesut berenang ke arah sungai besar di depan. Kalau mereka sudah kembali ke hulu, air naik, berarti ikan di danau banyak lagi,” kata Jamri, nelayan Desa Sangkuliman.

Alam Terjaga, Warga Berdaya 

Ketika berbicara soal pesut Mahakam, Desa Pela banyak menjadi rujukan. Prestasi desa ini menjalankan kegiatan pariwisata yang berkaitan dengan pesut sudah tenar di tingkat nasional. Keberhasilan itu menginspirasi warga Desa Sangkuliman yang berada di seberang Desa Pela untuk turut mengembangkan wisata lingkungan sembari melestarikan pesut Mahakam.

Tantangan tentu saja ada. Kepala Urusan Perencanaan Desa Sangkuliman, Rahman, menyebutkan warga desa biasa hidup dari kebaikan alam. Tapi kini alam tidak lagi mudah diprediksi. “Misalnya, biasanya pada akhir tahun sampai awal tahun terjadi banjir atau air pasang. Tapi sekarang bulan tujuh atau delapan bisa banjir,” dia memaparkan.

Perairan yang menjadi lokasi kemunculan Pesut Mahakam di Sungai Pela, Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 17 November 2023. TEMPO/Nofiyatul Chalimah

Populasi pesut Mahakam yang semakin sedikit juga menjadi persoalan. Pada masa silam, satu kelompok pesut yang bermain di sungai bisa sampai belasan ekor. Adapun sekarang, satu kelompok hanya beranggotakan tiga atau lima ekor pesut. Padahal melihat pesut Mahakam merupakan daya tarik utama wisatawan yang datang ke desa tersebut.

Warga kemudian mendirikan Kelompok Sadar Wisata Bertata, Menata, Tertata (Pokdarwis BMT) pada Maret 2023. Kelompok yang beranggotakan 48 warga itu digerakkan pemuda Desa Sangkuliman. Mereka berfokus pada penataan desa dan wisata alam. Sekretaris Pokdarwis BMT Ardan mengatakan mereka yang berwisata ke Sangkuliman akan diajak menyusuri sungai menuju Danau Semayang untuk melihat hewan-hewan di sekitar danau.

“Kalau menginap bisa melihat sunset. Kami sekaligus mengenalkan pulau-pulau di Danau Semayang yang indah. Kami sudah menyiapkan paket-paket wisata dan fasilitasnya nanti akan dikembangkan,” ucap Ardan.

Ia menjelaskan, warga ingin menata kampungnya supaya bisa menjadi lokasi wisata yang ramah lingkungan. Karena itu, keberadaan pesut Mahakam sangat menentukan masa depan bisnis pariwisata yang dikembangkan warga desa. Sebagai atraksi utama, kehidupan pesut harus dijaga. Dengan begitu, alam terjaga, warga Desa Sangkuliman pun berdaya.

Tersandera Batu Bara

Kapal penarik tongkang berisi batu bara di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Dok. TEMPO/Aditia Noviansyah

KALIMANTAN TIMUR kaya akan batu bara. Mengacu pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, per akhir 2022, Indonesia memiliki cadangan batu bara terverifikasi sebanyak 33,37 miliar ton. Sebanyak 41 persen atau 13,5 miliar ton dari total cadangan tersebut terdapat di Kalimantan Timur. Sisanya tersebar di 14 provinsi lain.

Sebagai konsekuensi dari melimpahnya cadangan batu bara itu, Kalimantan Timur kebanjiran perusahaan tambang. Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Timur, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di provinsi itu hingga 14 Maret 2019 sebanyak 1.404 izin dan jumlah perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) sebanyak 30 izin. 

Banyak perusahaan tambang batu bara besar yang memiliki konsesi di Kalimantan Timur. Beberapa di antaranya ialah entitas milik keluarga Bakrie, PT Bumi Resources Tbk dan PT Kaltim Prima Coal yang beroperasi di Kabupaten Kutai Timur; PT Bayan Resources Tbk milik Low Tuck Kwong di Kabupaten Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kutai Kartanegara; PT Kideco Agung Jaya—anak usaha PT Indika Energy Tbk—di Kabupaten Paser; PT Berau Coal Energy Tbk di Kabupaten Berau; serta PT Multi Harapan Utama di Kutai Kartanegara.

Produksi batu bara Kalimantan Timur pada 2021 tercatat sebesar 294,25 juta ton. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kalimantan Timur atas dasar harga yang berlaku pada 2022 adalah Rp 921,33 triliun. Mayoritas dari PDRB ini disumbang oleh sektor pertambangan dan penggalian (53,24 persen), sektor industri pengolahan (15,05 persen) dan sektor konstruksi (7,7 persen).

Tingginya aktivitas pertambangan batu bara di Kalimantan Timur di satu sisi mendatangkan penghasilan buat daerah, tapi di sisi lain harus dibayar sangat mahal dengan rusaknya lingkungan. Sungai Mahakam dan anak-anak sungai ataupun danau di sekitarnya, yang menjadi habitat bagi pesut, 147 jenis ikan, 2 jenis buaya, serta berbagai jenis kura-kura dan berang-berang, setiap hari menanggung beban ratusan tongkang batu bara.

Merentang sepanjang 920 km dari wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian hilir, Sungai Mahakam sejak dulu hingga saat ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air, potensi perikanan, dan prasarana transportasi. Tanpa adanya upaya konservasi dan penegakan hukum yang serius, Sungai Mahakam akan kehilangan fungsinya sebagai “rumah” bagi ratusan jenis hewan dan tersandera pelaku usaha pertambangan batu bara.