SEBUAH perkampungan di Pulau Tanjung Sauh, Kelurahan Ngenang, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, terlihat lengang pada 16 November 2023. Rumah-rumah panggung berjejer rapat di bibir pantai. Tak tampak ada aktivitas mencolok di tempat itu.
Perkampungan tersebut dikenal dengan nama Kampung Air Mas. Di sana, orang-orang suku laut bermukim. Sebutan suku laut atau orang laut itu mengacu pada penduduk lokal yang hidup secara nomaden dan mengandalkan mata pencarian dari hasil laut. Mereka bisa tinggal selama berbulan-bulan di sampan beratapkan kajang (atap lipat dari daun nipah). Namun belakangan ini banyak orang laut yang sudah menetap di daratan, termasuk di Kampung Air Mas.
Hari itu, tak banyak orang laut pergi melaut. Akhir-akhir ini cuaca cepat berubah dan semakin sulit mendapatkan ikan. Paling tidak hal itu dirasakan oleh Koh, 45 tahun. “Dari subuh saya berangkat, tidak satu ekor pun dapat,” kata Koh yang baru pulang melaut sambil menambatkan sampan di tiang rumah.
Koh menangkap ikan menggunakan rawai, sebuah tali panjang dengan deretan mata kail. Cumi yang ia gunakan sebagai umpan terlihat masih utuh menyangkut di mata kail. “Umpan tidak ada yang dimakan,” katanya. "Beginilah sekarang kalau melaut."
Keluhan serupa disampaikan Ali, nelayan suku laut, yang juga baru pulang mencari ikan. Hanya, ia lebih beruntung daripada Koh. Pria 40 tahun ini bisa membawa pulang 2 kilogram kerapu merah dan 1 kilogram kerapu hitam. Namun tetap saja perolehan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Pusing cari ikan sekarang, susah betul,” katanya.
Menurut Ali, nelayan suku laut masih mengandalkan alat tangkap tradisional. Sedangkan nelayan-nelayan lain menggunakan peralatan modern. Bahkan mereka memiliki alat pelacak untuk mendeteksi keberadaan ikan. “Dulu yang melaut kami saja, sekarang semua orang pandai melaut,” katanya.
Persoalan paling besar, kata Ali, adalah cuaca yang sulit diprediksi. Langit yang cerah bisa tiba-tiba menjadi mendung kemudian disusul dengan hujan dan badai. Nelayan yang menggunakan sampan tidak mungkin bertahan di tengah laut dengan kondisi semacam itu. “Mesin kami ketinting, kena air tidak bisa jalan,” kata Ali. “Jadi kalau cuaca buruk tiba-tiba datang, itu sangat berbahaya.”
Ali mengingat masa mudanya pada 15-20 tahun lalu. Ketika itu mencari ikan tidak sesulit sekarang. Mereka bisa memprediksikan cuaca secara akurat. Bahkan, alat yang digunakan untuk menangkap ikan cukup dengan serampang, sejenis tombak bermata tiga.
Untuk membuktikan ceritanya, Ali mengajak Tempo bersampan di perairan Pulau Tanjung Sauh. Kami berangkat selepas subuh dengan berbekal satu ember ikan kecil dan udang untuk umpan. Namun hingga tengah hari, hanya satu kakap merah yang didapat. “Umpan habis, ikan baru seekor,” ujar dia. Jika dijual, kata Ali, ikan itu bisa laku dengan harga Rp 80 ribu.
Kaca, pengepul ikan, mengatakan tangkapan nelayan yang bisa dikumpulkan setiap tahun terus menyusut. Tahun ini, rata-rata ia hanya bisa mendapatkan setidaknya 40 kilogram setiap hari. “Padahal tahun lalu paling sedikit bisa 80 kilogram,” kata pria 53 tahun ini.
Ia menduga, selain faktor cuaca, perubahan lingkungan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Salah satunya adalah pembangunan di wilayah pesisir yang semakin marak. “Di Lobam, Bintan, itu dulu banyak sekali ikan,” kata dia. “Sekarang, sejak banyak perusahaan, ikan jadi susah didapat.”
Pembangunan di pesisir, kata Kaca, membuat air laut keruh. Karang-karang yang menjadi rumah ikan juga banyak yang rusak karena adanya reklamasi. Akhirnya, nelayan harus pergi jauh untuk mendapatkan ikan. Bahkan ada yang berlayar hingga perbatasan Malaysia.
Navigasi Tradisional
Suku laut terbiasa membaca tanda-tanda alam sebagai sistem navigasi. Pohon dan bukit yang mengarah ke laut menjadi patokan. “Kami tidak ada pakai aplikasi-aplikasi,” kata Lisa, pemuda berusia 22 tahun. Cara tradisional ini dikenal dengan istilah perapat.
Sistem navigasi manual menggunakan perapat ini membantu nelayan menentukan lokasi untuk mencari ikan. Ketika perahu mulai bergerak, nelayan akan berkali-kali menoleh ke belakang untuk melihat pohon atau bukit yang menjadi patokan. Pergerakan perahu tidak boleh bergeser dari patokan itu hingga mencapai lokasi yang dituju. Mereka akan mengikuti panduan untuk pulang ke darat.
Namun, kata Lisa, pola navigasi ini hanya bisa digunakan ketika langit cerah. “Kalau cuaca tiba-tiba berubah menjadi buruk, kami tidak bisa menggunakan perapat,” ujar dia. Nelayan yang sudah telanjur melaut, kata Lisa, hanya bisa pasrah mengikuti arus ombak.
Orang-orang suku laut tidak ada yang tahu mengapa sekarang perubahan cuaca terjadi dalam waktu cepat. Sempat muncul dugaan bahwa kondisi ini terjadi akibat fenomena La Nina. Mereka hanya berharap kondisi kembali normal sehingga mereka bisa tenang untuk mencari ikan.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kelas I Hang Nadim Batam Suratman mengatakan El Nino memang bisa memberi dampak terhadap perubahan cuaca di perairan Kepulauan Riau. Namun dampak yang timbul dinilai tidak signifikan. “Adapun perubahan cuaca yang terjadi saat ini karena memasuki masa pancaroba, dari sedikit hujan ke banyak hujan,” kata dia. Dengan kata lain, kawasan Kepulauan Riau sebentar lagi akan memasuki musim hujan.
Wengki Ariando, peneliti dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, pernah melakukan penelitian tentang suku laut di Kabupaten Lingga, terutama yang berhubungan dengan persepsi, dampak, dan praktik adaptasi terhadap perubahan iklim. Dari penelitian itu, Wengki menemukan, dalam 30 tahun terakhir, perubahan iklim ternyata memberi dampak signifikan terhadap kehidupan suku laut. "Kami mencocokkan musim ekstrem yang dirasakan suku laut di Lingga (Kepri) dengan data cuaca 30 tahun ke belakang," katanya.
Perubahan iklim itu sebenarnya bisa dirasakan oleh orang-orang suku laut. Namun mereka tidak sepenuhnya menyadari perubahan itu. "Mereka hanya tahu hasil tangkapan berkurang, curah hujan tidak menentu, dan perubahan cuaca di laut,” kata Wengki. “Itulah sebenarnya yang disebut perubahan iklim."
Situasi di Lingga, kata Wengki, mencerminkan kondisi yang dialami suku laut di Kepulauan Riau lainnya, termasuk suku laut Air Mas di Tanjung Sauh. Apalagi masih banyak orang-orang suku laut Air Mas yang mengembara. Mereka tinggal di sampan dan berpindah dari satu kawasan laut ke kawasan laut yang lain. Perubahan iklim tentu akan berpengaruh terhadap budaya mereka. "Durasi pengembaraan mereka bisa lebih pendek daripada biasanya sehingga berdampak terhadap mata pencarian mereka," ujarnya.
Menjadi Pemulung
Segerombolan bangau berkeliaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Telaga Punggur, Kota Batam, 19 November 2023. Mereka hinggap di satu puncak gundukan, lalu berpindah ke gundukan sampah yang lain. Di tempat yang sama, terlihat sejumlah pemulung mengais sampah menggunakan alat pengait dari besi. Saikim dan Bunga—dua perempuan suku laut—ikut bergabung dengan pemulung-pemulung itu.
Setelah karung yang dibawanya penuh, Saikim menepi dan melihat-lihat barang yang sudah dia kumpulkan. Beberapa potong pakaian bekas dan peralatan rumah tangga menyembul dari dalam karung.
Menurut Saikim, warga suku laut yang datang ke TPA Telaga Punggur untuk memulung biasanya adalah para istri. Mereka menutur berbagai barang yang bisa dimanfaatkan, termasuk kemasan air mineral untuk dijual. Bahkan tidak jarang mereka membawa pulang makanan sisa yang masih bisa dikonsumsi, seperti buah-buahan, kue, dan minuman kaleng. “Kalau melaut saja, mana dapat ini,” kata Saikim sambil menunjukkan sebotol minuman bersoda. Saikim juga menunjukkan sekantong anggur. “Anggur ini nanti ibu cuci lagi.”
Memulung tidak dilakukan Saikim setiap hari. Ibu-ibu suku laut, kata dia, biasa datang ke TPA setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu. Itu pun dilakukan ketika mereka memang benar-benar tidak bisa melaut karena cuaca buruk.
Suku Laut Butuh Pengakuan
Menurut Wengki, suku laut di Kepulauan Riau berasal dari empat kelompok, yaitu Mantang, Mapur, Baruk, dan Galang. Mereka hidup mengembara menggunakan sampan dan hanya sesekali singgah di pulau. Pada akhir 1990-an, suku laut mulai menetap dengan mendirikan rumah sementara di pulau-pulau kecil.
“Pemerintah daerah kemudian mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk mendirikan rumah bagi suku laut,” kata Wengki. "Pemda menganggap, dengan merumahkan suku laut, mereka akan memiliki kelangsungan hidup yang lebih baik."
Namun, kata Wengki, upaya pemerintah itu dilakukan tanpa kajian yang memadai. Ketika orang laut mulai menetap, hak-hak mereka banyak yang tidak terpenuhi. “Mereka dirumahkan, tapi tidak diberikan fasilitas yang layak, seperti listrik dan pendidikan,” kata dia. "Kita lihatlah, rumah yang diberikan seolah-olah seperti sangkar burung saja."
Menurut Wengki, bentuk kepedulian terhadap suku laut tak cukup hanya memberikan tempat tinggal. Pemerintah lebih dulu harus mengakui keberadaan suku laut sebagai masyarakat adat. "Dengan adanya pengakuan itu, pemerintah dapat menyerahkan kepada mereka, apa yang mereka butuhkan?" ucapnya.