DUDUK di teras rumah panggung, Alisa Maulida, 33 tahun, diam tercenung. Mata ibu dua anak itu tak lepas memandangi lima keramba apung miliknya yang berderet di Sungai Kahayan di Desa Pahandut Seberang, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Di keramba itu, ia membesarkan 7.000 ekor ikan mas dan nila.
Maulida mengeluhkan ikan-ikan masnya yang sudah berusia hampir 4 bulan belum juga layak dipanen. Padahal seharusnya bibit ikan yang berusia 2-3 bulan sudah bisa dipanen. “Ikannya kurus-kurus. Musim kemarau yang berlangsung selama dua bulan membuat ikan tidak mau makan,” katanya saat ditemui pada Senin, 13 November 2023.
Ia mengakui kondisi tersebut sebenarnya biasa terjadi pada musim kemarau. Namun keadaan kali ini berbeda. Kedatangan El Nino membuat musim kemarau berlangsung lebih panjang dan menyebabkan ikan-ikan malas makan. Menurut Maulida, ikan di dalam keramba, yang biasanya diberi pakan lima kali sehari, kini hanya satu kali sehari karena penghuninya enggan menyantap makanan.
“Ikan yang seharusnya sudah bisa dipanen masih berada di keramba menunggu gemuk. Kalau ini, nih, kada kawa metukar (tak bisa dijual),” kata perempuan kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu.
Maulida sudah tinggal di Kalimantan Tengah hampir separuh hidupnya. Sejak pindah ke Palangka Raya, dia tidak menjalankan usaha lain selain budi daya ikan dalam keramba. Puluhan pedagang ikan di Pasar Besar Palangka Raya menjadi pelanggannya. Tapi, sejak panenan terganggu, para pelanggannya berpindah ke nelayan keramba lain untuk mencari sisa panen musim sebelumnya.
Ia menuturkan debit air sungai sangat mempengaruhi usaha keramba. Pada musim kemarau tahun ini, arus sungai sangat minim, bahkan cenderung tenang. Buruknya lagi, volume air juga kian surut. Kondisi itu membuat ikan-ikan di dalam keramba stres dan malas makan. “Ikan kalau sudah dikasih pakan tidak dimakan itu berbahaya, jadi kurus. Siapa yang mau beli?” ujarnya.
Maulida sudah berpengalaman menghadapi musim kemarau. Pada 2015 dan 2019, Kalimantan Tengah juga pernah dilanda El Nino. Pada 2015, ribuan ikan milik Maulida mati di dalam keramba dan membusuk di air. Semua bangkai ikan ia kubur di tepi sungai. Uang modal jutaan rupiah pun melayang.
Musim kemarau 2019 sedikit lebih baik. Maulida mengatakan kala itu ikan mas yang ia budi dayakan baru bisa dipanen pada bulan kelima sejak dibeli dalam bentuk bibit. Sedangkan ikan nila baru bisa dipanen setelah 10 bulan. “Padahal normalnya masa panen ikan nila hanya lima bulan,” ia mengungkapkan.
Selama 2015 dan 2019, Kota Palangka Raya dan wilayah lain di Kalimantan Tengah juga dilanda El Nino dengan level rendah hingga kuat. Saat itu Palangka Raya diselimuti jerubu hasil kebakaran hutan dan lahan yang melumpuhkan aktivitas masyarakat. Belajar dari pengalaman tersebut, pada tahun ini, Maulida mengurangi pembelian bibit dari biasanya 10 ribu menjadi hanya 7.000 ekor.
“Karena sudah tahu mau kemarau panjang, pembelian dikurangi. Paling yang bisa dipanen tidak sampai setengahnya,” ujar Maulida.
Kesulitan serupa dirasakan oleh nelayan keramba lainnya, Jaelani, 75 tahun. Warga Flamboyan, Kota Palangka Raya, itu tinggal di lanting—rumah kayu yang mengapung di sungai. Puluhan tahun menjadi nelayan keramba, ia tak menyangka El Nino tahun ini lebih kuat dari 2019, sehingga ia tetap membeli 10 ribu bibit ikan nila dari Banjarmasin pada Agustus lalu seharga Rp 1,4 juta.
Pengeluaran Jaelani masih ditambah untuk pembelian empat karung pakan nila yang setiap karung harganya mencapai Rp 400 ribu untuk ukuran 50 kilogram. Jika ikan nila normalnya bisa dipanen dalam waktu 5-6 bulan, selama masa penggemukan, Jaelani membutuhkan 30 karung pakan ikan nila seharga total Rp 12 juta.
Tapi kedatangan El Nino membuat bayangan laba menjadi nestapa. Pada Oktober lalu, setengah dari bibit ikannya mati di Sungai Kahayan. Hampir setiap hari ia harus membersihkan setidaknya 20 ekor bangkai nila. “Dari Oktober sampai sekarang, belum ada satu ekor pun yang bisa dijual. Kalau tidak mati, ya, kurus. Kalau kemarau begini arus surut, ikan enggak mau makan,” katanya.
Jaelani menyebutkan, selama kemarau panjang, arus air sungai yang tenang merupakan musibah bagi petani keramba ikan nila. Kotoran ikan yang seharusnya terbuang bersama arus sungai menumpuk di dasar dan mengkontaminasi bibit ikan. “Dua bulan lalu, kan, panasnya luar biasa. Air sungai surut, kotoran ikan menumpuk, lalu oksigen berkurang. Ikan cepat stres dan mati,” ucapnya.
Sarana Beraktivitas dan Sumber Penghidupan Warga
Provinsi Kalimantan Tengah terhampar seluas 15.382.800 hektare (ha). Dari luasan tersebut, sebanyak 2.267.800 ha merupakan perairan yang terdiri atas sungai 323.500 ha, danau 132.800 ha, dan rawa-rawa 1.811.500 ha. Mengacu pada komposisi tersebut, sumber daya perikanan di perairan umum merupakan komoditas dominan yang menunjang perikanan daerah.
Kalimantan Tengah memiliki kekhasan geografis karena dilalui sebelas sungai besar dan ribuan cabang sungai kecil yang terhubung dengan danau oxbow (tapal kuda). Sungai Kahayan, yang membelah Kota Palangka Raya, membentang sepanjang 600 kilometer dan merupakan sungai terpanjang ketiga di Kalimantan Tengah setelah Sungai Barito (900 km) dan Katingan (650 km).
Sungai Kahayan biasa juga disebut Sungai Biaju Besar atau Sungai Dayak Besar. Sungai ini memiliki kedalaman rata-rata 7 meter dan lebar rata-rata 450 meter. Sungai tersebut membelah Kota Palangka Raya serta bermuara di Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, lalu berakhir di Laut Jawa.
Penduduk yang bermukim di pinggiran sungai memanfaatkan Kahayan sebagai sarana transportasi antardaerah, usaha perdagangan, dan berbagai aktivitas harian. Banyak pula warga Palangka Raya yang memanfaatkan Sungai Kahayan sebagai tempat usaha perikanan, yaitu usaha perikanan tangkap dan perikanan budi daya dalam keramba yang marak sejak 1995.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022, jumlah rumah tangga perikanan tangkap untuk perairan umum, termasuk sungai dan rawa, di Kalimantan Tengah mencapai 34.192 rumah tangga. Sedangkan jumlah rumah tangga perikanan budi daya untuk tambak sebanyak 2.116.
Dampak El Nino tidak hanya dirasakan nelayan keramba apung. Nelayan tangkap di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, juga terkena imbasnya. Para nelayan yang biasanya mencari ikan di Sungai Kahayan harus menangguhkan niat mereka. Musababnya, selama September hingga Oktober lalu, waktu malam hingga dinihari merupakan waktu yang paling buruk bagi nelayan karena kabut asap tebal dari kebakaran hutan dan lahan bertahan di rumah serta sungai.
Kondisi seperti itulah yang dirasakan Iskandar, 45 tahun, warga Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau. Ia mengaku selama musim kemarau lalu tidak bisa mencari ikan. Iskandar hanya berharap pada bubu yang ia ikat di tanaman rasau (Pandanus helicopus) di pinggir sungai. “Biasanya kalau mau menjaring atau memancing ikan, jam 6 pagi sudah jalan, atau bisa lebih pagi lagi. Tapi ketika itu kabutnya terlalu tebal, jadi sulit bernapas, sulit melihat jalan.”
Iskandar mengatakan, pada hari-hari normal, para nelayan biasanya mengeluarkan modal sebesar Rp 130 ribu per hari untuk mencari ikan dan mendapatkan hasil tangkapan dengan keuntungan Rp 200-250 ribu sekali menjual ikan. Namun kini jerubu tebal memaksa Iskandar tinggal di rumah dan memarkir kapalnya.
Penyumbang Inflasi Kalimantan Tengah
Gangguan panen nelayan keramba turut mengganggu rantai pasok ikan. Di Pasar Besar Palangka Raya, pasokan ikan nila menyusut. Pedagang bahkan harus memesan ikan dari Banjarmasin untuk memenuhi permintaan pelanggan. Situasi serupa terjadi pula di Pasar Kahayan, kota yang sama. “Pasokan yang kurang membuat harga naik. Biasanya Rp 15 ribu per kg, sekarang bisa Rp 20 ribu per kg,” ujar Nur, 40 tahun, pedagang ikan di Pasar Kahayan.
Kenaikan harga membuat ikan nila menjadi salah satu penyumbang inflasi di Kalimantan Tengah. BPS Provinsi Kalimantan Tengah mencatat, pada Oktober 2023, provinsi tersebut mengalami inflasi sebesar 0,57 persen, lebih tinggi dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,11 persen. Komoditas penyumbang inflasi tertinggi antara lain beras, ikan nila, cabai rawit, serta komoditas pangan dan hortikultura lainnya.
Koordinator Fungsi Statistik Distribusi BPS Kalimantan Tengah Akhmad Tantowi menjelaskan, inflasi terjadi di Kota Palangka Raya sebesar 0,63 persen. Sedangkan di Kabupaten Kotawaringin Timur terjadi inflasi sebesar 0,48 persen. Dua wilayah ini merupakan daerah sampel BPS Kalimantan Tengah dalam mengukur inflasi. Ironisnya, dua wilayah tersebut merupakan wilayah dengan sungai-sungai panjang dan perkasa, yang seharusnya menjadi tempat pemeliharaan ikan nila.
El Nino Belum Usai
Kekhawatiran Maulida ataupun Jaelani masih belum reda meskipun hujan mulai turun di banyak daerah di Indonesia, termasuk Kalimantan Tengah. Pasalnya, El Nino level moderat diperkirakan masih berlangsung hingga April 2024. Prakirawan cuaca dari Stasiun Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Kota Palangka Raya Muhamad Ihsan Sidiq menjelaskan El Nino merupakan fenomena pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di Indonesia serta memicu kekeringan.
Dia mengimbuhkan, kondisi El Nino di wilayah Kalimantan Tengah saat ini masih berada di tingkat moderat. Walaupun disebut moderat, level itu justru lebih tinggi dari fenomena serupa pada 2019. Menurut Ihsan, indeks anomali permukaan laut pada periode II Oktober 2023 sebesar +1,71 dengan kategori moderat. Kategori itu diprediksi bertahan sampai Februari 2024. Selanjutnya, mulai Februari, Maret, dan April 2024, Kalimantan Tengah akan memasuki kategori El Nino lemah.
Ihsan menyatakan beberapa wilayah di Kalimantan Tengah sudah mulai diguyur hujan meskipun intensitasnya tidak lebat, seperti Kabupaten Katingan, Kotawaringin Timur bagian utara, Lamandau, Seruyan, dan Kabupaten Kotawaringin Barat bagian utara. “Wilayah-wilayah itu bahkan sudah memasuki musim hujan sejak dasarian II Oktober lalu.”