DUA tahun sudah Mustafa terpaksa menerima jatah air bersih dari PT Adhi Karya, kontraktor proyek bendungan intake Sungai Sepaku, Kecamatan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Proyek intake untuk memasok air bersih ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara berada tepat di belakang rumah Mustafa di permukiman warga adat Balik. “Setiap dua hari sekali, kami isi tandon air,” ujar pria 54 tahun ini saat ditemui di rumahnya yang tak jauh dari tembok proyek setinggi lebih-kurang 3,5 meter.
Mustafa memiliki tandon air berkapasitas 1.200 liter. Air di tandon tersebut dipakai untuk kebutuhan mandi, cuci, kakus (MCK). Sedangkan untuk kebutuhan minum dan memasak, warga harus membeli dari depo penjernih air.
Di bawah pohon jambu di depan rumahnya, Mustafa bercerita tentang paceklik air bersih di kampungnya. Suplai air bersih bagi kebutuhan rumah tangga dan lahan pertanian warga Sepaku makin minim dalam beberapa tahun terakhir. Solusi sementara, kontraktor proyek bendungan menjatah tandon air bagi warga di sepanjang tembok bendungan karena sebagian dari mereka kesulitan akses air Sungai Sepaku.
Sungai Sepaku kini seakan-akan tak bisa diharapkan lagi. Akses bagi warga sekitar untuk memperoleh kebutuhan air dari Sungai Sepaku seakan-akan sudah dibendung dan di luar penguasaan mereka. Hak komunal warga tampaknya direnggut akibat adanya proyek intake. Di tengah penguasaan proyek intake itu, warga adat Balik di Sepaku Dalam dengan 96 keluarga dan komunitas lokal lainnya disebut-sebut mengalami paceklik air bersih.
Warga makin ketar-ketir karena persediaan air terus menipis dan mengering. Hal yang makin mengkhawatirkan mereka adalah saat terjadi kemarau panjang. ”Keadaan saat ini saja sudah susah air. Bagaimana jadinya saat kemarau panjang?” ujar Mustafa.
Sejak awal pembangunannya, proyek bendungan intake Sungai Sepaku sudah ditolak warga adat Balik. Mereka menganggap proyek itu tak hanya merampas air Sungai Sepaku sebagai sumber kehidupan, tapi juga merusak ruang kebudayaan mereka. ”Semenjak sungai dibendung, saya tidak bisa menggunakan perahu lagi,” ujar Pandi, tokoh warga adat Balik, pada medio November lalu sambil memperlihatkan perahunya yang ditambat di pinggir sungai.
Pandi menuturkan air Sungai Sepaku pada musim kemarau saat ini keruh dan tak layak konsumsi. Warga sekitar sungai kini terpaksa mandi dan mencuci dari air kotor dan berbau. “Mau tidak mau, kami tetap menggunakan air sungai,” ujar Pandi. Sumur warga di tepi sungai, menurut dia, juga tak bisa diandalkan karena hanya berisi saat musim hujan. Apalagi saat kemarau ikut kering.
Selain keruh, menurut Arbaya, salah seorang perempuan Suku Balik, air sungai sudah tercampur sampah dari hulu. Sampah dan limbah kayu tertahan di Sepaku Dalam. ”Airnya juga kotor dan berbau,” ucap Arbaya, warga di Sepaku Dalam.
Saat kondisi Sungai Sepaku mengalami krisis, warga biasanya mengandalkan air dari sumber lainnya, seperti embung dan kolam yang dibuat warga. Embung merupakan cekungan penampung yang digunakan untuk mengatur dan menampung suplai aliran air serta untuk meningkatkan kualitas air. Embung juga berfungsi menjaga kualitas air tanah, mencegah banjir, serta untuk estetika dan pengairan.
Namun, pada musim kemarau ini, air embung dan sumur menyusut, bahkan mengering. Persediaan air di embung yang paling dekat dengan permukiman Kelurahan Sepaku di KM 3 terus menyusut. Embung seluas 20 x 30 meter dengan kedalaman 5 meter itu dibuat korporasi kayu di Sepaku.
Menurut warga sekitar, beberapa mobil tangki berukuran besar dari luar kampung Kelurahan Sepaku sempat datang ke embung KM 3 di Sepaku. “Sekali sedot langsung berkurang airnya,” ujar salah seorang warga yang juga mengambil air di embung.
Namun, sejak Oktober 2023, Lurah Sepaku, Harid, melarang mobil tangki air masuk untuk menyedot di embung KM 3. Dia khawatir persediaan air makin menipis dan berpotensi menimbulkan aksi pungutan liar jika mobil tangki tetap diizinkan mengambil air dari embung.
Kelurahan setempat, kata Harid, mengambil alih embung dan menyerahkan pengelolaannya melalui karang taruna. Embung KM 3 merupakan aset Kelurahan Sepaku. Setelah embung dikelola karang taruna, pemerintah setempat wewanti-wanti agar airnya hanya diperuntukkan bagi warga Sepaku Dalam. “Embung ini penting bagi warga sebagai salah satu persediaan dalam menghadapi kemarau,” ujarnya.
Pandi dan Mustafa menuturkan pada 1982 terjadi kemarau panjang selama 11 bulan. Saat itu, menurut mereka, sumber air di Kelurahan Sepaku semuanya kering. Sungai-sungai kering dan hanya air laut yang mengisi aliran sungai. Namun hanya ada satu kawasan yang tidak pernah kering, yakni hulu Sungai Sepaku. Di sanalah orang-orang Sepaku berharap titik air yang terakhir.
Menyusutnya Sumber-sumber Air
Paceklik air di kawasan IKN tidak hanya terlihat dari menyusutnya sumber-sumber air, seperti embung, kolam penampungan, serta sungai-sungai kecil yang mengalir di Kecamatan Sepaku. Pasokan air yang berkurang juga dialami sejumlah warga yang mengandalkan air dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) setempat.
Desa-desa di kawasan IKN memang belum teraliri air dari PDAM setempat, kecuali di Desa Tengin Baru. Dampak pasokan air bersih yang berkurang, mobil tangki tampak di sepanjang jalan sekitar 15 kilometer dari Desa Tengin Baru ke Desa Bumi Harapan. Di dua desa yang terletak di persimpangan Trunen—lokasi proyek pusat perkantoran kawasan inti IKN—mobil tangki mengangkut tandon serta menyalurkan air ke rumah-rumah warga dan proyek IKN.
Sepanjang kemarau, warga terpaksa memanfaatkan sumber-sumber air dari sungai dan embung serta kolam penampungan kecil meski kualitasnya bisa dikatakan buruk. Pantauan di beberapa embung di KM 3 Kelurahan Sepaku dan di pinggir jalan di Desa Bukit Raya, air di sana mulai menyusut. Menurut Sami, perempuan warga Desa Bukit Raya, pasokan air di embung yang terus menyusut mengakibatkan hampir semua penghuni rumah di desanya terpaksa membeli air dan mengisi tandon mereka.
Kondisi ini diperparah oleh warga desa yang harus berbagi pasokan air dengan pendatang baru, yakni mereka yang bekerja di proyek IKN. Sami menuturkan banyak pendatang yang mengontrak di rumah-rumah warga desa. Menurut pemilik lahan penjernihan air di Desa Bukit Raya, warga desa bisa menampung 4-5 pendatang baru di rumah kontrakan.
Kalau di rumah kontrakan ada 10 pendatang baru yang bekerja di proyek IKN, kata Sami, otomatis mereka membutuhkan air. “Kalau mereka kekurangan air ya wajar saja,” ujarnya. Sami mengklaim memiliki 100 tandon air berukuran sedang yang dia jual.
Pandi menuturkan warga Sepaku pada masa lampau memanfatkan sumber-sumber air dari rawa-rawa yang terbentuk secara alami. Rawa-rawa di pinggir sungai di Sepaku merupakan sumber air yang bukan hanya untuk kebutuhan warga, tapi juga untuk tanaman dan satwa. Namun, menurut Pandi, sejumlah korporasi kayu menghancurkannya.
Menurut Sarno Abdul Rahman, bekas Kepala Desa Bukit Raya, sungai akan kering sama sekali jika tak turun hujan selama lima bulan. Sungai Sepaku juga mengalami sedimentasi karena limpasan tanah dari hulu di kawasan korporasi kayu.
Sepanjang kemarau pada tahun ini sempat beberapa kali turun hujan, meski tak deras. Namun hujan tak membuat air di Sungai Sepaku bergerak mengalir. Air sungai ini pulalah yang sekarang disedot ke kolam penampungan air di depan sawah milik Sarno. Kolam air yang luasnya kira-kira seluas lapangan voli ini menjadi salah satu sentra penyedia air bersih di Desa Bukit Raya dan sekitarnya.
Bukan Sumur Bor, Melainkan Embung Solusinya
Sarno mengamati siklus kemarau panjang terjadi setiap 10 tahun. Pada tahun ini, menurut pria 56 tahun ini, musim kemarau akan sama seperti 10 tahun lalu, yang bisa mencapai lebih dari 7 bulan. Sarno memprediksi hal itu karena sudah ada tanda-tanda kemarau berlangsung lama. Menurut dia, musim kering di Bukit Raya dimulai pada Juni 2023, dan ada kemungkinan bakal terus berlanjut. ”Iklim saat ini tidak bisa diprediksi,” ujarnya.
Untuk mendapat air bersih, warga Desa Bukit Raya mencoba membuat sumur bor. Sarno menuturkan warga pernah membuat sumur bor dengan kedalaman 100-120 meter. Namun, menurut bekas Kepala Desa Bukit Raya itu, upaya tersebut selalu gagal. “Pengalaman saya belum pernah berhasil,” ujarnya. Belum lagi, dia melanjutkan, sudah banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat sumur bor. Dengan begitu, kata Sarno, satu-satunya cara efektif di desanya untuk menghadapi kemarau panjang adalah membuat embung.
Beberapa perusahaan yang menggarap proyek IKN awalnya sempat mencoba membuat sumur bor untuk kebutuhan air mereka. Sarno lalu memberi tahu ke tenaga teknik proyek agar lebih baik membangun embung dibanding membuat sumur bor. Menurut dia, tiga embung yang kira-kira berukuran 20 x 30 meter dengan kedalaman 5 meter cukup untuk kebutuhan air perusahaan mereka.
Tapi tenaga teknis itu ngeyel dan mengatakan bahwa pembuatan sumur bor sudah menjadi rencana perusahaan. “Ini sesuai dengan arahan bos,” ujar seorang tenaga teknis kepada Sarno. Mereka lalu mengebor hingga kedalaman 110 meter. Tapi hasilnya nihil. Sarno menyesalkan sikap tenaga teknis perusahaan yang ogah mengikuti sarannya. Padahal biaya pengeboran untuk satu titik lokasi sudah menelan biaya Rp 90 juta. ”Andai saja bikin embung,” ujar Sarno.
Lara Kebun dan Sawah yang Mengering
Mustafa memandang jauh lurus ke kebunnya. ”Kemarau ini membuat kami malas menggarap lahan kalau tidak ada air. Gersang dan tandus,” ujar Mustafa pada Selasa, 14 November lalu. Ia mengatakan lahan kebun yang biasa ditanami sayur-sayuran untuk saat ini tidak digarap dulu. “Menunggu kalau sudah bagus airnya,” ujarnya. Kebun yang berada di tepi Sungai Sepaku saat ini dibiarkan kosong tanpa tanaman dan kering akibat kemarau panjang.
Kebun milik Mustafa berada agak ke hulu sungai dari permukiman warga suku adat Balik. Menurut dia, banyak warga adat Balik tidak mengggarap lahan karena kesusahaan air bersih. Di sisi kiri dan kanan sepanjang Sungai Sepaku, warga terlihat jarang menggarap ataupun membuka lahan kebun akibat kemarau panjang. “Air menjadi kunci utama,” katanya.
Kondisi kebun yang mengering akibat kemarau panjang juga dialami Syamsiah, perempuan warga Suku Balik. Tanaman sayur miliknya mengering dihantam kemarau panjang. Syamsiah mengaku tak kuat mengangkut air dari embung KM 3 Sepaku. Air yang dibawa dari embung menggunakan sepeda motor itu digunakan untuk menyiram tanaman di kebunnya. “Sementara ini kebun kutinggal saja. Pusing aku melihat semua tanamanku kering,” ujarnya.
Tak hanya kebun. Kemarau panjang juga membuat warga Sepaku Dalam tidak bisa menggarap sawah mereka. Di beberapa kawasan, lahan sawah mulai terlihat retak-retak. Salah satunya, di lahan sawah seluas 20 hektare di Sepaku Dalam yang merupakan sawah tadah hujan dengan dua kali musim tanam. Seharusnya sawah di lahan tersebut sudah bisa ditanami. Tapi kemarau panjang membuat warga tak bisa menggarapnya.
Tak hanya kemarau panjang yang menjadi kendala warga untuk menggarap lahan mereka. Saat musim hujan, saluran air di sawah juga terganggu. Nurholis, Ketua Gabungan Kelompok Tani Kelurahan Sepaku, khawatir pasokan air dari Sungai Sepaku untuk mengairi sawah yang ada di samping bendungan proyek intake IKN akan tertahan. Jika aliran air dari Sungai Sepaku tertahan, warga tentunya tidak bisa menggarap sawah.
Dia menambahkan, sawah para warga saat ini tertutup saluran pembuangan air tembok bendungan intake Sungai Sepaku. Petani seperti Nurholis berharap air dari sawah dapat terbuang dari selokan atau parit, lalu mengalir ke sungai.
Ia berharap ada semacam rumah pompa air yang selalu siap memompa air yang tergenang di sawah untuk masuk ke intake proyek bendungan. “Hal yang dikhawatirkan, pembangunan intake ini membuat air di sawah tidak bisa mengalir,” ujarnya. Nurholis juga khawatir, jika sekeliling sawah nantinya sudah diturap tembok akibat proyek intake, petani akan kesulitan menyedot air dari sungai.
Lara akibat kemarau panjang tak hanya dialami petani dan pekebun yang tidak bisa menggarap lahan mereka. Apriani, warga kampung Sepaku Dalam, mengatakan banyak menganggur pada musim kemarau panjang ini. Biasanya dia bekerja sebagai buruh tani yang menggarap persawahan di Kelurahan Sepaku. “Sejak panen empat bulan lalu, belum ada lagi permintaan untuk menanam karena kemarau,” ujar Apriani.
Warga di Desa Bukit Raya, salah satu sentra pertanian di kawasan IKN, juga menghadapi keadaan yang sama seperti warga di Kelurahan Sepaku. Di sana, petani mengembangkan lahan persawahan, perkebunan karet, serta sawit. Warga mulai mengembangkan lahan pertanian sejak kehadiran mereka di Kecamatan Sepaku pada 1975 sebagai generasi awal transmigran dari Pulau Jawa.
Sarno, misalnya, merupakan petani warga transmigrasi yang memiliki lahan sawah, karet, dan kebun sawit di RT 12, Desa Bukit Raya. Menurut dia, lahan perkebunan karet dan sawit saat ini banyak yang tak terawatt, apalagi bisa berkembang. Salah satu sebabnya adalah kemarau panjang.
Sarno memiliki 4 hektare sawit, lahan kebun karet, serta sawah masing-masing seluas 2 hektare. Lahan perkebunan karet, kata Sarno, saat ini tak bisa lagi diandalkan. Pada musim kemarau tahun ini produksinya merosot hingga 40 persen. ”Banyak pohon yang terpaksa ditebang lalu diganti sawit,” ujarnya.
Kemarau panjang pada tahun ini dimulai sejak panen pada Agustus lalu. Sejak masa itu petani tak lagi bisa menanam padi. Sarno mengatakan petani biasanya sudah bisa mulai menggarap sawah pada bulan sebelas. Tapi kemarau hingga memasuki November membuat petani menunda menggarap sawah.
Persawahan di Bukit Raya sama dengan lahan di Sepaku, yakni sawah tadah hujan. Kendala utama para petani di dua kawasan ini adalah ketersediaan air. Di dekat sawah di Sepaku memang ada sungai kecil Mangkulio dengan lebar 4-8 meter. Sungai dangkal itu menjadi salah satu anak sungai Sepaku. Alirannya juga lambat dan keruh.
Bukan hanya petani dan pekebun yang berjibaku menghadapi kemarau. Peternak sapi juga harus berjuang mendapatkan air dan rumput untuk ternaknya. Tukiman, 66 tahun, warga Kampung Tengah, Desa Bukit Raya, harus bekerja lebih keras menghadapi kemarau panjang pada tahun ini. Ia mesti menggiring tujuh ekor sapinya ke dataran rendah ke persawahan yang masih terdapat aliran sungai meski airnya mengalir kecil.
Tukiman mengaku sudah lima bulan ini menggembala sapinya di persawahan. Padahal dia biasanya menggembala sapi-sapinya di kawasan korporasi kayu di Sepaku. Di kawasan tersebut, Tukiman pada pagi hari melepas sapi-sapinya. Saat sore hari, Tukiman menengok kembali sapi-sapinya dan menggembalanya untuk kembali ke kandang. “Semua itu tidak terlalu merepotkan,” ujarnya.
Kondisi ini jauh berbeda saat kemarau menerpa. Tukiman harus berkeliling mencari rumput dan membawa sapi-sapinya. Tukiman mesti menjaga sapinya karena kadang keluar dari tempat yang jauh dari jangkauannya.
Tukiman dan Mustapa mesti berjuang dan pontang-panting mencari penghidupan demi keluarganya. Paceklik air bersih dan kemarau panjang serta kebun yang tak banyak menghasilkan memaksa tubuhnya yang ramping dan mulai ringkih harus bekerja lebih keras.
Dampak Proyek Saat Air Sungai Tak Mengalir
Dampak proyek bendungan intake Sungai Sepaku semakin terasa saat air sungai tak mengalir. Proyek intake seluas 13,2 hektare dan jaringan transmisi Sungai Sepaku dibangun dengan dana senilai Rp 344 miliar. Proyek ini disebut sebagai penyedia air baku untuk IKN sebesar 3.000 liter per detik.
Saat proyek bendungan intake dimulai, menurut Pandi, baru terasa dampaknya. Sebab, menurut dia, proyek tersebut ditengarai mematikan konsep pasang-surut Sungai Sepaku. Pandi mengatakan Sungai Sepaku adalah sungai pasang-surut air laut. Di Sungai Sepaku, batas air pasang-surut tepat berada di pinggir kebun milik Mustafa, salah satu ketua kelompok tani setempat.
Ketika bendungan ditutup saat musim kemarau, menurut Pandi, air laut yang tertahan di sungai tidak bisa mengalir. Adapun pasokan air dari hulu juga tidak mengalir karena memang musim kemarau. Padahal, di masa lalu, meski musim kemarau dan air pasang sedikit, tetap ada harapan air Sungai Sepaku bisa dipakai. “Menunggu agak surut, air sungai tetap bisa diambil untuk dikonsumsi.”
Saat musim kemarau, bukan hanya air sungai yang bisa dikonsumsi. Sumber protein dan sayur dari kebun di pinggir sungai juga tetap bisa dimanfaatkan. Arbaya, perempuan warga adat Balik, menuturkan Sungai Sepaku di kala surut merupakan masa yang menyenangkan karena siput di sungai bisa tampak. “Warga pun biasanya langsung turun mencari siput. Air sungai saat surut mencapai semata kaki,” ujarnya.
Di Desa Tengin baru, Sungai Tengin, juga terdapat proyek Bendungan Sepaku-Semoi dengan kapasitas tampung 10,6 juta meter kubik dengan luas genangan 280 hektare. Bendungan itu disebut akan menyuplai air untuk IKN dan Kota Balikpapan.
Adapun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan progres pembangunan Bendungan Sepaku Semoi adalah untuk mendukung fasilitas air bersih di IKN Nusantara. Ketua satuan tugas pelaksanaan pembangunan infrastruktur IKN Kementerian PUPR Danis Hidayat Sumadilaga mengatakan proyek itu telah mencapai 82 persen.
Danis mengatakan Bendungan Sepaku Semoi akan menjadi salah satu sumber air baku untuk IKN Nusantara. Bendungan Sepaku Semoi akan dilengkapi dengan fasilitas intake dan instalasi pengolahan air (IPA). “Bendungan Sepaku Semoi ditargetkan segera impounding pada tahun ini,” ujar Danis di Sepaku, Januari lalu. Pengisian awal atau impounding bendungan dilakukan setelah pekerjaan konstruksi bendungan selesai. Penelitian ini bertujuan menentukan lama waktu dan besar volume di bendungan.
Danis menegaskan, dalam membangun suatu daerah, hal yang terpenting adalah ketersediaan air. Dengan begitu, infrastruktur dasar bendungan menjadi hal penting yang harus dibangun pertama kali dalam pembangunan IKN Nusantara. Apabila bendungan sudah selesai, kata Danis, air bersih akan disalurkan ke kawasan IKN dan bisa berfungsi untuk irigasi warga sekitar. Juga sebagai tempat pariwisata.
Tradisi Lawas yang Tak Kembali
Masyarakat adat Balik hidup dalam bentang alam Sepaku. Mereka hidup di tepi sungai dan di pinggir hutan. Masyarakat adat Balik sama seperti masyarakat Kalimantan lainnya yang memiliki tradisi berladang. Hutan, ladang, dan sungai merupakan sistem ruang hidup warga adat Balik yang bertautan satu sama lain.
Hutan bentang alam Sepaku adalah hutan primer terbaik di masanya. Tapi kini hutan itu tinggal cerita. Di era awal Orde Baru pada 1970-an, pemerintah memberikan konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) kepada sejumlah korporasi kayu. Dari masa itulah kerusakan ekologi masif terjadi. Di antaranya, penebangan hutan secara kolosal. Masyarakat lokal menyebutnya dengan istilah kayu log.
Jubain, Kepala Adat Balik di Kampung Pemaluan, Kecamatan Sepaku, mengisahkan bahwa jalan raya yang diciptakan oleh perusahaan korporasi kayu di Sepaku membelah kampung mereka berada di kilometer 13 Desa Pemaluan dari garis pantai teluk Balikpapan.
Perusahaan tersebut, menurut pria 58 tahun itu, membuat tempat untuk menampung kayu-kayu. Lokasi di dekat pelabuhan yang luasnya sekitar 5 hektare di Teluk Balikpapan. Di sana mereka menumpuk kayu-kayu besar yang berdiameter paling kecil, seperti drum besi yang diangkut dari Kecamatan Sepaku dan sekitarnya.
Jalan raya yang diciptakan oleh korporasi kayu melintas hingga Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, seperti Kampung Senoni, Bongan, Perintali, dan Jambuk. Di sepanjang jalur itu, kata Jubain, korporasi kayu membabat hutan belantara. “Begitu perusahaan masuk, mata pencarian kami hilang. Hutan tidak ada. Semua gundul. Habis dibabat,” kata Jubain.
Menanggapi hal tersebut, Myrna Asnawati Safitri, Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) menyebutkan bahwa konsesi di kawasan hutan bagi sejumlah korporasi sudah banyak yang dikurangi. Di kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) IKN, kata Myrna, memang terjadi overlap atau tumpang-tindih dengan sejumlah korporasi. Namun konsensi itu sudah dilepas dari kawasan hutan dan sudah dikurangi izinnya.
Meski begitu, Pandi menilai sejumlah korporasi kayu telah menggerus kekayaan sumber daya air. Perusahaan mengeruk sehingga menyebabkan sedimentasi sungai. “Apabila hujan, tanahnya langsung ke sungai. Akibatnya sungai menjadi dangkal,” ucapnya. Korporasi juga merusak dan mengeringkan rawa-rawa. Padahal rawa-rawa merupakan salah satu sumber air dan pangan yang penting bagi warga. “Rawa menjadi tempat mencari pakis yang tumbuh alamiah.”
Kini, kata Pandi, warga terpaksa menanggung derita kesusahaan air. Saat musim kemarau, warga tidak bisa menampung air hujan untuk konsumsi serta mengairi lahan pertanian atau perkebunan. Korporasi tak hanya menguasai tanah. Di sungai pun mereka mendominasi dengan kehadiran kapal pengangkut kayu. Dulu, kata Pandi, kapal tongkang itu masuk ke Sungai Sepaku untuk mengambil kayu log. Dari situ, Sepaku Lama juga dikenal sebagai Logdam.
Padahal, di masa lalu, Sungai Sepaku bak jalan raya di air. Warga bepergian ke Balikpapan menggunakan kapal dan speed boat melalui Sungai Sepaku. Hasil bumi, seperti buah-buahan dan sayuran, diangkut menggunakan kapal di Sungai Sepaku. Tapi cerita lawas seperti itu tidak pernah kembali lagi.