Menanti Musim Kering Berakhir

  • Penulis
    Shinta Maharani
  • Editor
    Suseno

TERIK matahari terasa membakar kulit pada siang itu, 11 November 2023. Jinem, warga Dusun Tobong, Desa Sambirejo, Ngawen, Gunungkidul, Yogyakarta, terlihat meninggalkan rumah dengan bersepeda. Satu galon air mineral kosong diikat pada boncengan. Setelah melewati jalan terjal dan berbukit, Jinem tiba di Dusun Suruhan, Kecamatan Weru, yang berada di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Tempat itu berjarak sekitar 4 kilometer dari rumahnya. “Saya jauh-jauh ke sini untuk mendapatkan air bersih,” kata perempuan 60 tahun itu. 

Sudah lebih dari empat bulan warga Dusun Tobong mengalami krisis air. Lahan pertanian menjadi tandus. Pada tanah yang pecah-pecah, hanya tersisa batang padi kering dan rerumputan. Sumur-sumur di rumah penduduk pun kering kerontang. Kondisi serupa terjadi hampir di seluruh wilayah Gunung Kidul. Karena itu, pada Agustus lalu, pemerintah kabupaten menetapkan status siaga darurat kekeringan. “Musim kemarau tahun ini memang lebih parah ketimbang tahun-tahun sebelumnya,” kata Jinem.

Warga Dusun Tobong, Jinem, membawa air dari penampungan air, di Desa Sambirejo, Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta, 11 November 2023. TEMPO/ Shinta Maharani

Awalnya Jinem hanya mengandalkan bantuan air bersih dari pemerintah atau lembaga donator, yang dikirim menggunakan truk tangki. Setiap kali bantuan datang, dia terpaksa antre berjam-jam karena harus bergiliran dengan penduduk lain. “Kalau air datang, biasanya diumumkan lewat pengeras suara musala,” katanya. 

Namun bantuan itu tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut Jinem, dalam sehari, setidaknya ia membutuhkan 18 jeriken air. Satu jeriken memiliki kapasitas 30 liter. Air itu digunakan untuk minum, masak, mandi, mencuci pakaian, dan minum hewan ternak. Sedangkan air yang diperoleh dari bantuan tersebut paling banyak hanya lima jeriken. “Kekurangannya saya terpaksa beli,” katanya. “Per jeriken harganya Rp 3.500.”

Kemarau panjang membuat Jinem kehilangan mata pencarian. Ia tak bisa menggarap sawah karena tak ada air. Sementara itu, kiriman uang dari suami dan anaknya yang bekerja di kota lain tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walhasil, Jinem terpaksa menjual ayam-ayam peliharaannya untuk sekadar bisa menyambung hidup. Bahkan tidak jarang dia terpaksa berutang kepada tetangga. 

Dampak El Nino

Kepala Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DI Yogyakarta Reni Kraningtyas menjelaskan, musim kemarau tahun ini memang terbilang ekstrem, serupa dengan kondisi yang terjadi pada 1997. Fenomena tersebut muncul karena adanya El Nino, yaitu pemanasan suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah. Dampaknya, pertumbuhan awan di Samudra Pasifik meningkat dan mengurangi curah hujan di Indonesia. Puncak El Nino tahun ini diperkirakan pada Oktober-November. “Udara terasa sangat kering dan awal musim hujan mundur,” ujar Reni.

Warga Dusun Tobong mencuci pakaian menggunakan mata air di Desa Sambirejo, Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta, 12 November 2023 TEMPO/ Shinta Maharani

Anomali suhu muka laut mencapai puncaknya dengan 1,6 derajat Celsius. Menurut Reni, kekuatan El Nino semakin lemah mulai Desember. Pada Februari, angkanya mencapai 0,3 derajat Celsius. Anomali suhu muka laut yang berada di bawah 0,5 derajat Celsius menggambarkan kondisi menuju netral. 

Reni memperkirakan musim hujan tahun ini mundur selama sebulan. Pada November, hujan akan turun dengan intensitas rendah. BMKG mencatat curah hujan pada November adalah 51-400 milimeter. Dalam kondisi normal pada November, rata-rata curah hujan 200-400 mm. Puncak hujan terjadi pada Februari sehingga masyarakat perlu mewaspadai banjir, tanah longsor, dan angin kencang. 

Darurat Kekeringan

Kekeringan sebenarnya bukan masalah baru di Gunungkidul. Namun tahun ini kemarau datang lebih awal dan lama berakhir. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul bahkan menetapkan status siaga darurat kekeringan pada Agustus lalu karena, dari 18 kecamatan/kapanewon, 14 di antaranya mengalami kesulitan air bersih. Kebijakan ini awalnya diberlakukan hingga 30 September 2023. Namun, karena kekeringan meluas, siaga darurat kekeringan diperpanjang hingga 30 November. 

Masyarakat di Dusun Tobong, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul, berupaya mengatasi masalah air bersih dengan memperdalam sumur bor di sejumlah titik. Kedalaman sumur, yang awalnya 55 meter, ditambah menjadi 75 meter. Bahkan ada yang hampir mencapai 100 meter. Biaya untuk memperdalam sumur diperoleh dari saweran warga dan sumbangan donatur. 

Pembuatan sumur bor di Dusun Tobong, Desa Sambirejo, Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta, 11 November 2023 TEMPO/Shinta Maharani

Di Dusun Tobong, terdapat tiga sumur bor untuk memenuhi kebutuhan 175 keluarga. Pengelolaan sumur diserahkan kepada kelompok yang masing-masing beranggotakan 20 orang. Pada musim kering, produksi air dari sumur-sumur itu sangat terbatas sehingga pengoperasiannya harus digilir. 

Srimulatih, warga Dusun Tobong, mengatakan beberapa kali pasokan air dari sumur bor terhenti. “Seharian bisa tidak ada air sama sekali,” katanya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia akhirnya mengambil air dari sumur bor di kawasan wisata Watu Plenuk yang jaraknya cukup jauh. Sedangkan untuk mencuci pakaian, warga bisa memanfaatkan air yang tersisa di dua embung. Namun embung itu berada di perbukitan dan cukup jauh dari permukiman penduduk. 

Selain persoalan air bersih, Gunungkidul kini dibayangi paceklik. Lahan pertanian terbengkalai selama berbulan-bulan karena saluran irigasi kering kerontang. Andreas Muryanto, suami Srimulatih, mengatakan musim tanam padi terpaksa ditunda dua bulan karena hujan tak kunjung turun. 

Menurut Andreas, dalam setahun, petani Gunungkidul hanya menanam padi dua kali. Sebagian besar hasil panen disimpan untuk cadangan pangan. Namun, gara-gara El Nino, tahun ini mereka baru sekali panen. Cadangan beras yang mereka simpan sudah menipis. 

Kekeringan Meluas

Dampak El Nino juga dirasakan oleh petani-petani di Kabupaten Sleman. Di Kecamatan Moyudan—salah satu lumbung pangan Kabupaten Sleman—sebagian besar petani hanya bisa pasrah sawah mereka terbengkalai. Hujan yang turun beberapa hari terakhir di Kabupaten Sleman tidak cukup untuk membasahi sawah. 

Persawahan di Kecamatan Moyudan sebenarnya mengandalkan air dari selokan Van der Wijck. Namun pemerintah menutup selokan sejak 1 September lalu karena ada perbaikan saluran. Walhasil, air yang masuk ke saluran irigasi sangat sedikit.

Ketua Kelompok Tani Margo Makmur Dusun Krompakan, Sendangmulyo, Minggir, Sleman, F.X. Sudarno mengatakan tidak kurang dari 15 hektare sawah di Dusun Prapak Wetan, Sendangmulyo, tidak menghasilkan sama sekali selama musim kemarau tahun ini. Padahal mereka sudah telanjur menyebar benih padi pada September lalu. Padi tetap tumbuh, tapi tak ada isinya. 

Warga berjalan di atas sawah yang mengalami kekeringan dampak El Nino di Dusun Krompakan, Desa Sendangmulyo, Minggir, Sleman, Yogyakarta, 14 November 2023. TEMPO/Shinta Maharani

Demi menyambung hidup, sebagian petani di Dusun Krompakan terpaksa bekerja serabutan. Beberapa di antaranya menjadi buruh bangunan. Sementara itu, yang lain membuat anyaman bambu untuk dijual kepada pengepul.

Sudarno khawatir kemarau panjang ini berujung pada paceklik. Sebab, tidak semua petani memiliki cadangan beras. Hilangnya kesempatan panen dalam satu kali masa tanam, kata Sudarno, membuat petani harus menunggu dan bertahan selama delapan bulan. Cadangan beras milik mereka tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan selama masa tunggu itu. “Bisa jadi puncak paceklik terjadi pada Januari atau Februari,” katanya. 

Pelaksana tugas Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DI Yogyakarta Hery Sulistio Hermawan menyatakan stok pangan daerah dijamin aman. Pemerintah telah menyiapkan cadangan pangan itu di lumbung-lumbung padi, gabungan kelompok tani, dan Bulog. “Juga masih ada petani yang panen meski dalam jumlah kecil,” katanya. 

Hery mengklaim hingga saat ini belum ada petani yang mengalami puso atau gagal panen karena terkena dampak El Nino. Situasi saat ini berbeda dengan El Nino 2019 yang menyebabkan hampir 2.500 hektare lahan gagal panen. Dia optimistis El Nino tak banyak mempengaruhi produksi ataupun produktivitas padi. Petani bahkan telah beradaptasi dengan menanam tanaman yang tak banyak memerlukan air, seperti ubi kayu, jagung, kacang hijau, dan ketela rambat. 

Waduk penampung hujan untuk irigasi persawahan mengering terdampak El Nino di Dusun Tobong, Desa Sambirejo, Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta, 11 November 2023. TEMPO/Shinta Maharani

Kepala Bidang Penanganan Darurat Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lilik Andi Aryanto menyebutkan El Nino menyebabkan krisis air bersih, pola tanam yang berubah, penundaan masa tanam, dan meningkatnya potensi kebakaran lahan. 

Pemerintah empat kabupaten telah menetapkan status siaga darurat sejak Juli dan pencabutan status itu bergantung pada situasi El Nino berdasarkan pemantauan BMKG. Bahkan sebagian pemkab telah menggunakan dana bencana kedaruratan untuk mengatasi dampak El Nino. 

Menurut dia, kekeringan tahun ini paling parah dalam tiga tahun terakhir. Lilik menghitung jumlah wilayah yang terkena dampak mencapai 50 kecamatan dan 101 kelurahan. “Wilayah yang terkena dampak semakin luas,” katanya. 

Selama tiga tahun berturut-turut, BPBD hanya mengirim jatah air atau droping di Kabupaten Gunungkidul. Sedangkan pada tahun ini, BPBD mengirim air ke Sleman, Bantul, dan Kulon Progo. Menurut Lilik, Pemerintah Provinsi DIY telah mendistribusikan 230 tangki air dan membuat sumur bor pada 50 titik. Pemerintah telah menyalurkan air ke Gunungkidul sebanyak 21,6 juta liter, Bantul 6,26 juta liter, Sleman 3,43 liter, dan Kulon Progo 2,8 juta liter. 

Rumah warga di Dusun Tobong, Desa Sambirejo, Ngawen, Gunung Kidul, Yogyakarta, 12 November 2023. TEMPO/ Shinta Maharani

Musim Hujan Telah Tiba

Reni Kraningtyas memperkirakan dampak El Nino kemungkinan masih akan terjadi hingga awal tahun depan. Namun hujan dalam intensitas rendah sudah turun di Yogyakarta dan sekitarnya sejak awal November lalu. Sedangkan pada dasarian pertama Desember ini, hujan terjadi di Kabupaten Sleman bagian Selatan, Kabupaten Bantul bagian utara, serta Kabupaten Gunungkidul bagian barat. “Prediksi kami, awal musim hujan di wilayah DIY bervariasi dari November hingga Desember,” katanya.

Menurut Reni, awal Desember umumnya sudah masuk musim penghujan. Tapi intensitasnya masih rendah, yaitu 151-500 mm per bulan. Memasuki Januari, intensitas hujan naik menjadi 201-500 mm. “Puncak hujan diprediksi terjadi pada Februari karena saat itu El Nino melemah,” katanya. “Jadi harus waspada banjir, tanah longsor, dan angin kencang.”