MATAHARI belum di atas kepala ketika salah satu tempat di Desa Sidamulya, Kecamatan Wanasari, Brebes, Jawa Tengah, sudah diramaikan oleh kehadiran belasan ibu-ibu, Ahad, 26 November lalu. Pagi itu mereka tengah bekerja memisahkan umbi bawang merah dari daunnya. Tumpukan bawang hampir memenuhi pelataran di samping rumah milik Suharjo itu.
Suharjo adalah seorang petani bawang di Sidamulya. Rumahnya memang kerap dijadikan lokasi pengepulan bawang dari petani lain di desa tersebut. Jika bawang sudah terkumpul cukup banyak, para ibu warga sekitar berkumpul mengerjakan rutinitas pascapanen tersebut.
Meski terlihat cukup banyak, sebetulnya hasil panen para petani dari musim tanam kedua tahun ini—September hingga Oktober—itu tak sesuai dengan harapan. Banyak sawah bawang merah di daerah tersebut terserang penyakit yang disebut para petani “janda pirang”.
Dampaknya terlihat dari kondisi bawang yang sedang digarap para ibu. Dalam satu bonggol bawang, ada saja umbi yang tampak lebih kecil dibanding bawang lainnya. Hasil panennya pun tak sebanyak biasanya. Kondisi ini, menurut Suharjo, terjadi karena para petani terpaksa memanen bawang pada usia 40 hari. Padahal idealnya panen dilakukan ketika tanaman bawang sudah mencapai usia 60 hari.
Pada musim tanam kedua tahun ini, banyak petani di Sidamulya terpaksa memanen bawang mereka lebih dini untuk mengantisipasi persebaran penyakit lebih luas. Ciri-ciri tanaman bawang yang terserang penyakit itu adalah daunnya menguning dan kemudian mengering. “Pamali kalau tidak dipanen, meski terkena janda pirang,” kata Suharjo saat ditemui Tempo pagi itu.
Hasil panen tanaman yang terkena janda pirang berbeda-beda, tergantung usia tanaman ketika tertular penyakit. Jika usia bawang sudah cukup dewasa dan berumbi, petani masih bisa mendapat hasil dari tanamannya meski harga dan besarnya di bawah kondisi normal. Jika tanaman tertular janda pirang di usia muda, umbi bawang yang dihasilkan pun sangat minim.
Hasil panen yang tak sesuai dengan harapan membuat banyak petani nombok dan sulit balik modal. Sebagai gambaran, modal tanam petani bawang merah pada kondisi normal sebesar Rp 7-8 juta per petak sawah (sekitar 1.000 meter persegi), dari bibit hingga panen. Hasil dari sepetak sawah bawang itu lazimnya ditawar pembeli seharga Rp 12-15 juta. Tapi, gara-gara serangan penyakit itu, hasil panen pun dihargai sangat rendah, yakni Rp 1-3 juta per petak. Jika serangan penyakit cukup parah, petani bahkan hanya mendapat penawaran Rp 500 ribu untuk hasil panen per petak.
"Kalau bagus kan sepetak sawah bisa mendapat 8-10 kuintal bawang. Saat terkena penyakit, paling banyak 2-3 kuintal," tutur Suharjo. Padahal, pada musim tanam kedua ini, petani mengeluarkan banyak biaya tambahan demi menjaga kesehatan tanaman. "Kami mencoba berbagai obat sebelum tanaman benar-benar kering. Dari pestisida, fungisida, hingga pupuk cair hanya untuk menjamin tanamannya selamat. Enggak lagi mikir harga."
Serangan penyakit itu diduga kuat dipicu oleh kemarau panjang akibat El Nino. Musababnya, persebaran penyakit yang diperkirakan berasal dari virus yang dibawa serangga thrips itu baru kali ini sangat parah. Dugaan itu menguat karena serangan janda pirang mulai muncul di Desa Sidamulya pada September lalu, ketika suhu udara di Brebes sedang panas-panasnya.
Tingginya suhu udara membuat populasi vektor penular penyakit itu semakin banyak. Suharjo bercerita serangan penyakit tanaman itu semula menyebar dari petak ke petak, sampai meluas dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya. Dari awalnya hanya satu hingga dua titik di selatan Brebes, penyakit itu terus menyebar hingga Sidamulya. Sawah-sawah yang digarap tiga kelompok tani di desa itu terkena imbasnya.
Suharjo agak beruntung. Pada musim tanam pertama pertengahan tahun ini, hasil panen bawangnya normal. Sementara itu, pada musim kedua ini, ia baru menanam bawang pada akhir Oktober lalu, ketika suhu udara mulai mendingin kembali. Walhasil, tanamannya pun tampak cukup sehat dan belum ada tanda-tanda terpapar penyakit janda pirang.
Namun bukan berarti sawah milik Suharjo bebas masalah. Kemarau panjang juga menyebabkan hama tanaman, seperti ulat, marajalela. Biasanya ia hanya menangani hama itu dengan memetik dan tidak menggunakan pestisida. Kini Suharjo bahkan sampai menjual seekor kambing untuk biaya penanganan hama ulat di sawahnya. "Kemarin, satu petak sawah dipetik empat sampai lima orang enggak juga selesai, akhirnya pakai pestisida dan perangkap."
Sekretaris Jenderal Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) Ihwan Arif mengatakan serangan janda pirang di sawah-sawah bawang di Brebes terdeteksi pertama kali pada Juni lalu. Serangan itu dengan cepat meluas ke beberapa wilayah lainnya di sentra bawang merah tersebut. Berdasarkan catatan ABMI, Brebes menjadi daerah terparah yang terkena serangan ini. Sedangkan di daerah lainnya persebaran hanya terjadi pada titik-titik tertentu.
Karena itu, produksi bawang merah secara nasional relatif terjaga, hanya turun sekitar 20 persen pada musim panen kedua. Namun, Ihwan mengatakan, dampak serangan janda pirang membuat banyak petani menderita. Produksi bawang bisa anjlok hingga 80 persen, bahkan gagal panen.
Belakangan, menurut laporan anggota ABMI, intensitas penyakit pada bawang merah itu mulai menurun. Bahkan perkembangan tanaman yang ditanam selepas akhir Oktober relatif sehat. Ihwan menduga kondisi tersebut disebabkan oleh suhu udara yang mulai turun setelah hujan mulai kembali, meski belum rutin. "Sekarang belum ada laporan (serangan penyakit lagi), kecuali pada tanaman tua, usia di atas 35 hari."
Sekretaris Umum Gerakan Petani Nusantara Tamrin Khamidi mengatakan serangan janda pirang juga terjadi di beberapa sawah bawang merah di Kota Tegal, Jawa Tengah. Kendati telah mendengar beberapa dugaan penyebab penyakit tersebut, hingga saat ini para petani belum mendapat pernyataan resmi ihwal penyakit tersebut, baik dari pemerintah maupun institusi pendidikan. Maka, penanganan penyakit ini pun simpang-siur.
Tamrin yakin meledaknya penyakit ini disebabkan oleh El Nino. Musababnya, populasi thrips memang cenderung meningkat ketika musim kemarau. Biasanya, thrips mulai muncul pada tanaman bawang sekitar Agustus. Tahun ini, hama tersebut mulai meningkat populasinya sejak Juli lantaran suhu udara tinggi. "Saya sempat mengingatkan akan ada kenaikan intensitas serangan thrips. Waktu itu prediksinya karena suhu panas, dan ternyata kejadian.”
Serangan thrips sebenarnya juga terjadi pada El Nino 2019. Tapi dampaknya tak seluas tahun ini. Populasi thrips, kata dia, bisa dikurangi dengan penyiraman air menggunakan gembor. Masalahnya, kemarau membuat para petani kekurangan air sehingga penyiraman sulit dilakukan. Serangan pun menyebar pada sawah yang kekurangan air.
Penyakit Lain pada Tanaman Hortikultura
Serangan penyakit tanaman pada musim kering kali ini, menurut Tamrin, tak hanya terjadi pada tanaman bawang merah. Beberapa tanaman hortikultura juga mengalami kondisi mirip. Misalnya, cabai dan kacang panjang yang dilanda penyakit kuning. "Selain vektor penular yang meningkat populasinya, performa tanaman lebih rentan karena El Nino."
Tak ayal, ujar Tamrin, produksi cabai pun terhambat dan menyebabkan harga komoditas ini melonjak, bahkan mencetak rekor. Pada 2019-2020, harga cabai juga melonjak, tapi hanya mencapai Rp 30-40 ribu per kilogram. Pada tahun ini, harga cabai merah keriting bisa menembus Rp 60-70 ribu per kilogram. "Itu kan karena suplai sangat terbatas," kata petani di Desa Jembayat, Kota Tegal, itu.
Hermanto, seorang petani hortikultura asal Desa Sokasari Tegal, mengatakan hampir semua tanaman cabai di ladangnya yang seluas sekitar 1 hektare diserang penyakit pada musim kemarau kali ini. Daun-daun tanaman cabai Hermanto hampir semuanya berwarna kuning. Buah yang dihasilkan pun kecil. Kurangnya pasokan air membuat Hermanto sulit menyiram sehingga penyakit mudah menyebar. "Seharusnya ada pengairan di bawah dan atas (pohon); di bawah untuk akar, di atas untuk pembungaan."
Pada awal musim tanam, Juni lalu, Hermanto melihat kondisi cabainya relatif sehat karena suhu udara di wilayahnya masih cukup dingin. Penyakit kuning di ladang milik Hermanto baru terdeteksi pada Agustus. Ia sempat mengantisipasinya dengan menutup tanaman yang terserang penyakit menggunakan plastik. Namun, ketika plastik dibuka, penyakit menyebar ke tanaman yang masih sehat.
Akibatnya, produksi cabai dari kebun Hermanto pun diperkirakan turun 70 persen pada tahun ini. Penurunan produksi itu terlihat dari hasil panen yang baru sekitar 1,5 ton sejak Juni lalu. Padahal biasanya 1 hektare ladang yang ia garap bisa menghasilkan cabai sebanyak 4 ton pada periode yang sama. "Tapi kami ketolong harga tinggi. Jadi, bisa balik modal.”
Ahli dari Klinik Tanaman Institut Pertanian Bogor Bonjok Istiaji mengatakan lembaganya masih mendalami hubungan munculnya penyakit pada tanaman hortikultura itu dengan fenomena El Nino. Ia menyebutkan penyakit janda pirang memang baru pertama kali menyebar pada tanaman bawang merah di Indonesia. "Tapi, menurut sejumlah jurnal pertanian, Iris Yellow Spot Virus—virus penyebab janda pirang—dan thrips sebagai vektornya memang menimbulkan kerusakan berat saat terjadi kekeringan dan suhu udara tinggi," ujarnya.
Sementara itu virus kuning cabai di Tegal diduga sebagai dampak dari peningkatan populasi kutu kebul, ditambah sistem pembibitan yang tak antisipatif terhadap serangan virus. Populasi kutu kebul pun selama ini sangat berkorelasi dengan kenaikan suhu udara dan kekeringan.