TENDA biru sudah dibentangkan sejak pagi di jalanan buntu dekat rumah Siprianus Nipa. Pria 59 tahun itu bukan mau menggelar hajatan. Dia dan 12 rekannya sesama petani Kampung Penginanga, Kelurahan Lape, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, akan kedatangan tamu yang sudah lima bulan mereka tunggu.
Tamu itu, dua truk kontainer, tiba sekitar pukul 09.00 Wita. Kargo jumbo itu akan membawa daun tembakau kering panenan warga Penginanga ke Surabaya, Jawa Timur. Siprianus dan 12 orang itu sebenarnya petani padi. Sadar musim kemarau segera datang, Mei lalu, para petani itu menanam tembakau untuk pertama kalinya di sawah mereka seluas total 7 hektare.
“Ini sejarah. Tidak pernah ada kontainer masuk Jalan Kompar untuk mengangkut beras,” kata Siprianus pada Rabu itu, 8 November lalu.
Para sahibulbait berbagi peran di bawah tenda biru begitu pintu kontainer dibuka. Duduk di atas terpal, yang juga berwarna biru, para perempuan menjahit karung goni pembungkus daun tembakau. Sisik jenis dark itu sudah ditumpuk padat-padat seukuran lemari es mini. Para lelaki bertugas mengangkatnya menuju timbangan, lalu ke kontainer.
Semua proses itu kelar setelah empat jam. Dua truk kontainer pun bertolak menuju Pelabuhan Ippi, Ende, membawa 10 ton daun tembakau ke Jawa. Hal yang tertinggal hanya aroma tembakau dan ratusan juta rupiah di kantong petani.
Siprianus menerima pembayaran sekitar Rp 23 juta. Sawah seluas 0,5 hektare miliknya menghasilkan 700 kilogram daun tembakau kering.
Rekan petani lainnya juga menangguk cuan dengan angka bervariasi. Frumensius Octavianus Waso Goa, 43 tahun, misalnya, mengantongi Rp 39,5 juta. Dia memanen daun tembakau seberat 1,3 ton dari sawah seluas 0,8 hektare. Seperti Siprianus, ini juga pengalaman pertama bagi Frumensius. “Tidak pernah saya terima uang sebanyak ini," katanya.
Pembeli daun tembakau itu adalah PT Sadhana Arifnusa. Sejak tahun lalu, produsen sekaligus pemasok tembakau yang masih terafiliasi dengan keluarga Sampoerna ini melakukan uji coba penanaman di lahan sewa seluas 3 hektare. Untuk sementara, tembakau jenis dark dinilai paling pas ditanam di Lape, baik dari sisi pasar maupun produktivitas.
“Produktivitas ini penting karena berkaitan dengan pendapatan petani,” kata Suyanto, Koordinator Wilayah Flores PT Sadhana Arifnusa.
Program kemitraan baru dimulai pada Februari lalu. Semula, sebanyak 36 petani di sekitar Lape berminat bergabung. Sembari menunggu kemarau datang, mereka diajari pembibitan, penanaman, dan pemanenan di lahan percontohan. Namun tak semuanya berlanjut.
“Petani di sini sebenarnya mau dan bisa. Hanya, banyak di antara mereka yang trauma,” kata Suyanto. “Karena dulu mereka sering ikut banyak program, seperti menanam jagung dan lainnya. Tapi tak ada kepastian pembelian.”
Menurut Suyanto, tanaman tembakau cocok dibudidayakan pada musim kemarau karena hanya butuh dua-tiga kali pengairan sejak masa tanam hingga panen. Peralihan jenis tanaman pada musim kemarau, kata dia, juga bisa memutus rantai serangan hama dan penyakit yang menerpa petani padi di musim tanam sebelumnya. “Petani bisa kembali menanam padi untuk kebutuhan beras keluarga setelah panen tembakau,” ujarnya.
Siprianus dan 12 petani dampingan Suyanto mulai menanam tembakau pada awal Mei lalu, ketika kemarau datang. Umumnya, masa tanam tembakau hingga siap panen sekitar 120 hari. Pemanenan dilakukan bertahap—dimulai dari daun di bagian bawah lalu ke tengah dan atas. Setidaknya perlu waktu tambahan lebih sebulan, termasuk pengeringan. Dari hitung-hitungan kasar tersebut, petani di Lape bisa kembali menanam padi pada akhir September atau awal Oktober.
Namun kalkulasi itu meleset. Kemarau tahun ini berbeda dibanding sebelumnya. El Nino memperpanjang hari tanpa hujan di Nagekeo. Sejak September lalu, Stasiun Klimatologi Nusa Tenggara Timur memperkirakan musim hujan di sebagian wilayah Nagekeo baru tiba pada November dan sebagian lainnya pada Desember, mundur dari biasanya.
Hingga awal November lalu, sawah Siprianus yang satu hamparan dengan kompleks persawahan Mbay masih gersang. Saluran irigasi utama selebar lima meter, yang memisahkan area permukiman dan persawahan dekat Jalan Kompar, juga kering kerontang. Warga Lape belum bisa menanam padi pada saat musim tanam ketiga tahun ini seharusnya sudah dimulai. Sebagian petani akhirnya menanam jagung atau labu kuning yang tahan di lahan kurang air.
Toh, Siprianus dan Frumensius masih bersyukur. Sawah mereka masih berdaya ketika bahala El Nino memperparah musim kemarau dalam beberapa bulan terakhir.
Lebih Banyak yang Merana
Kompleks persawahan Mbay menghampar dengan luas sekitar 5.800 hektare di Nagekeo—sedikit lebih luas dari wilayah kota administrasi Jakarta Pusat. Lebih dari separuh lahan yang mengiris wilayah Kecamatan Aesesa ini, yakni seluas 3.624 hektare, merupakan sawah irigasi. Berada di pesisir utara Flores, daerah ini dikenal sebagai lumbung beras di kabupaten itu.
Dinas Pertanian Kabupaten Nagekeo mencatat sawah irigasi Mbay bisa menghasilkan beras sebesar 21.684 ton per tahun. Dengan asumsi kebutuhan beras per jiwa 132 kilogram setiap bulan, sebanyak 147,18 juta jiwa peduduk Nagekeo hanya akan menghabiskan 19.428 ton beras setahun. Di atas kertas, persawahan Mbay sudah bisa membuat kabupaten ini surplus beras.
Namun musim kemarau yang berkepanjangan tahun ini agaknya merusak hitung-hitungan tersebut. Hamparan persawahan Mbay praktis lumpuh karena mengering parah. Sebagian besar dari 4.703 petani pemilik sawah di lumbung beras itu gigit jari karena tak bisa menggarap lahannya. Petak-petak sawah itu dipenuhi tanah-tanah yang terbelah dan menganga. Hanya sebagian yang masih hijau ditanami jagung dan sayuran.
Ernesta Medo termasuk yang kesusahan. Lahan pertanian warga Kampung Lari, Desa Renduteno, Kecamatan Aesesa Selatan, itu juga berada di kompleks persawahan Mbay. Sebelum mengering parah, sawah seluas 0,5 hektare milik Ernesta bisa menghasilkan 3-4 ton gabah atau 1,5-2 ton beras. Beras-beras itu dibagi untuk kebutuhan sehari-hari dan dijual.
Pada Mei lalu, Ernesta semestinya sudah kembali menanam padi untuk musim tanam kedua. Perempuan 43 tahun ini seharusya juga bisa memanen lagi pada Oktober. Tapi semua agenda itu berantakan karena sawahnya tak bisa ditanami.
"Kami ambil odo, selain karena tradisi, untuk menghemat (konsumsi) beras," kata Ernesta.
Kamis sore itu, 9 November lalu, Ernesta bersama Yasinta Tina, Antonius Loi, Silvester Nage, dan Martina Masi sibuk mengolah odo—sebutan masyarakat setempat untuk umbi gadung. Tangan-tangan mereka terlihat telaten mengiris umbi beracun itu dengan ketebalan yang nyaris sama.
Gadung yang telah diiris dimasukkan dalam sebuah baskom berdiameter sekitar 30 sentimeter. Setelah baskom penuh, gadung ditaburi garam kasar, lalu diaduk hingga merata. "Supaya lembek," kata Ernesta.
Kelak, gadung itu akan dimasukkan dalam karung dan difermentasi selama dua malam. Perjalanan gadung itu masih panjang sebelum bisa dimakan. Gadung yang telah difermentasi harus direndam tiga malam di kali. Setelah itu, gadung itu kudu ditiriskan, ditumbuk, dipadatkan hingga berbentuk bola-bola kecil, lalu dijemur selama seminggu.
Gadung yang sudah kering bisa disimpan sampai lima tahun. Jika ingin memakannya, Ernesta akan kembali menumbuknya sampai halus seperti tepung. "Nanti bisa dikukus atau digoreng," ujarnya.
Mendapatkan ubi beracun itu pun tak mudah. Ernesta dan warga Kampung Lari lainnya harus berjalan 2-3 kilometer menuju hutan di bukit-bukit yang membujur dari selatan ke utara di sisi timur kampung mereka.
Sebelum menuju hutan, tetua adat menggelar ritual po odo, bahasa lokal yang berarti mencabut gadung. Upacara itu untuk meminta pelindungan leluhur agar tidak mendapat gangguan dan celaka saat menggali gadung.
Di hutan, warga Kampung Lari berbagi peran. Penduduk laki-laki menggali tanah. Warga perempuan mengupas kulit odo. Seorang warga adat lainnya yang ditunjuk akan tinggal di tepian kali dekat kampung. Dia bertugas membakar kayu dan memastikan apinya tak padam selama warga kampung pergi mencabut odo. Selama proses itu, anak-anak tak diperbolehkan ikut masuk hutan.
Umbi-umbi itu juga tidak bisa setiap tahun diambil. Dalam tujuh tahun, odo hanya boleh diambil sekali. Terakhir kali mereka menggelar po odo pada 2015. Beruntung jadwal po odo datang tahun ini, ketika Ernesta dan warga Kampung Lari lainnya sedang dirundung bencana.
Stok beras di rumah Ernesta, hasil panen musim tanam pertama, menipis. Sedangkan pada musim tanam kedua ini dia tak bisa lagi memanen. Gadung menjadi pilihan terakhir agar keluarganya selamat dari ancaman kelaparan. "Beli beras juga harganya mahal," tutur Ernesta.
Pada awal November lalu, harga beras di Flores naik hingga 6,5 persen. Beras premium yang sebelumnya dihargai Rp 13 ribu per kilogram sudah menembus Rp 15 ribu.
Kesusahan serupa dialami Stefanus Papu, warga Kampung Lari. Lahan seluas 0,75 hektare miliknya di hamparan sawah Mbay kering kerontang. Padahal sawah itu menjadi sumber pangan serta pendapatan utama bagi pria 53 tahun itu dan keluarganya. "Sawah itu sebenarnya sumber penghasilan pokok kami," katanya.
Stefanus memang masih punya "tabungan" lainnya. Selain bertani, dia beternak sapi. Tapi lima ekor sapi itu pulalah yang membuatnya kerepotan. Beberapa bulan terakhir, ketika kemarau kering seakan-akan tak berkesudahan, pria 53 tahun tersebut harus menggembala sapi lebih jauh dan berpindah-pindah. Dia kesulitan mencari lahan gembalaan untuk tempat sapinya mencari makan.
"Setiap hari saya harus bolak-balik mencari sisa-sisa rumput segar di tepian sungai," katanya. "Saya jual sebagian sapi untuk membeli beras."
Stefanus pasrah sekaligus masih saja bersyukur. Sapi-sapi yang merepotkan itu telah menolong keluarganya di tengah masa sulit.
Menurut dia, warga Kampung Lari lainnya masih banyak yang lebih sengsara. Mereka adalah petani dan penggarap sawah yang tak punya ternak, juga tak turut mencari odo di hutan. Sebagian di antara mereka, kata Stefanus, sekarang tak ada di kampung. "Mereka pergi ke kota, menjadi buruh proyek-proyek.”
Petani Jatuh Tertimpa Proyek
Kekeringan parah berkepanjangan di persawahan Mbay, Nagekeo, tak hanya dipicu oleh El Nino. Pada awal Mei lalu, bertepatan dengan datangnya kemarau, pintu air di Bendungan Sutami ditutup untuk perbaikan saluran irigasi. Tahun-tahun sebelumnya, ketika hujan tidak turun, para petani di Nagekeo masih bisa mengandalkan pasokan air dari saluran irigasi tersebut.
Bendungan Sutami, yang berjarak sekitar 3 kilometer arah tenggara dari persawahan Mbay, sejak tahun lalu memang dalam perbaikan. Proyek yang dibiayai pinjaman Bank Dunia senilai Rp 53,8 miliar ini berlanjut dengan rehabilitasi saluran irigasi. Seluruh pekerjaan perbaikan ini, baik di bendungan maupun saluran irigasi, ditargetkan rampung pada Desember tahun ini.
Kamis siang, 9 November lalu, air sudah memenuhi Bendungan Sutami. Namun air itu tak bisa dialirkan ke saluran irigasi yang masih dalam proses perbaikan.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Nagekeo, Anselmus Mere, mengatakan debit air di Bendungan Sutami sebenarnya juga menyusut. "Penyusutan itu terjadi karena kemarau terlalu panjang," ujarnya.
Anselmus tak menampik bahwa petani Mbay tak bisa menanam pada musim tanam kedua tahun ini karena rehabilitasi Bendungan Sutami dan saluran irigasinya. Namun, menurut dia, tanpa penutupan Bendungan Sutami pun sebagian besar petani akan kesulitan menanam karena musim kemarau berkepanjangan.
Dia belum bisa memastikan angka penurunan debit air terkini di bendungan tersebut. Yang jelas, pada kondisi normal, tekanan air dari Bendungan Sutami ketika dialirkan ke persawahan Mbay mencapai 3.500 liter per detik. Sedangkan pada musim kemarau turun menjadi 3.000 liter per detik. Laju tekanan air normal pada musim kemarau itu saja, kata Anselmus, tak cukup untuk mengairi seluruh area persawahan Mbay. "Apalagi sekarang dengan El Nino, pasti lebih tidak cukup lagi.”
Menurut Alselmus, Pemerintah Kabupaten Nagekeo telah mengantisipasi dampak perbaikan bendungan dan kemarau panjang tahun ini dengan membangun sumur bor di 1.000 titik lokasi persawahan Mbay. Program bantuan sumur bor tersebut disalurkan melalui Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di wilayah irigasi persawahan Mbay.
Selain itu, pemerintah daerah memberi bantuan 400 unit mesin pompa air yang juga disalurkan melalui kelompok P3A. "Kondisi terakhir sudah 800 titik sumur bor yang dibangun," kata Anselmus.
Namun bantuan pemerintah itu rupanya belum sampai di tangan petani Lape, termasuk Siprianus dan Frumensius. Tapi keduanya tak begitu gusar karena punya pengalaman baru menanam tembakau. Mereka bahkan sudah berancang-ancang untuk menanam tembakau pada musim kemarau tahun depan. "Menanam padi hanya pada musim hujan," kata Siprianus.
Sementara Siprianus di Penginanga menunggu kemarau tahun depan datang lagi, Ernesta dan petani sawah Mbay lainnya berharap hujan segera turun dan irigasi Bendungan Sutami dibuka kembali. "Kalau kemarau semakin lama dan bendungan belum dibuka, kami akan semakin sengsara," kata Ernesta.