SEBUAH sedan hitam tiba-tiba berhenti di dekat mulut Gang Abdul Syukur, Jalan Ahmad Yani, Bandung, Jawa Barat, pada Jumat pagi, 17 November lalu. Jendela sisi kiri mobil itu terbuka, lalu tiba-tiba wush.. sebuah kantong plastik hitam melayang dari dalam mobil. Bruk! Plastik itu mendarat pada tumpukan sampah yang sedang dirapikan sejumlah petugas penyapu jalanan.
Tanpa mengucap apa-apa, sang penumpang kembali menutup jendela saat mobil kembali melaju. Para petugas penyapu jalanan berompi biru yang sedang bekerja di lokasi hanya melongo melihat adegan itu. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, mereka kembali memindahkan timbunan kresek sampah yang menguarkan bau tak sedap itu dari trotoar ke dalam gerobak.
Salah satu petugas yang sedang bekerja itu bernama Wandi. Saban hari, pria 34 tahun itu dan belasan rekannya biasa menyebar di sekitar Jalan Ahmad Yani sejak pagi buta hingga sekitar pukul 08.00. Saat situasi normal, mereka bekerja dengan bermodalkan sapu lidi berukuran besar dan pengki. Namun, sejak Agustus lalu, tugas dan alat kerja mereka bertambah: membenahi tumpukan sampah di pinggiran jalan menggunakan cangkul, keranjang bambu, dan sebuah gerobak.
“Tugas saya, mah, menyapu saja sebenarnya, bukan naikin (sampah) begini,” kata Wandi saat ditemui Tempo pada pagi itu. Tambahan tugas ini mau tak mau ia kerjakan bersama rekan-rekannya saban hari sejak kondisi darurat sampah menerjang Bandung.
Penyebab kondisi itu adalah kebakaran gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, pada 19 Agustus 2023. Berdasarkan catatan Tempo, kebakaran serupa tak hanya terjadi di Sarimukti. Sepanjang Agustus-September lalu, setidaknya ada 30 TPA lain yang juga terbakar di seluruh Indonesia.
Kebakaran TPA Sarimukti membuat aktivitas pengangkutan sampah dari Kota Bandung lumpuh. Pada 25 Oktober 2023, atau 67 hari sejak pertama kali kebakaran sampah terdeteksi, api dinyatakan padam. Namun, hingga November lalu, lautan sampah di semua penjuru Kota Bandung belum juga tertangani.
Jalan Ahmad Yani merupakan salah satu pusat perekonomian di Kota Bandung. Titik keramaian di wilayah ini adalah Pasar Cicadas, yang aktivitasnya nyaris tak berhenti sepanjang hari. Deretan lapak pedagang kaki lima di sepanjang trotoar di kawasan itu, ditambah timbunan sampah di sejumlah titik, membuat wilayah tersebut terlihat semrawut.
Pasar Cicadas berada di pertigaan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Cikutra. Sekitar 200 meter dari pasar ke arah Jalan Cikutra, terdapat tempat pembuangan sementara (TPS). Saat Tempo mendatangi lokasi itu, pemandangannya justru kontras dengan kondisi di jalan utama. Tak ada satu pun kantong sampah di TPS yang bangunannya mirip garasi selebar 5 meter itu.
Mulut TPS Cikutra ditutup terpal berwarna oranye yang menandakan tempat penampungan itu ditutup sementara dan tak menerima penitipan sampah. Sejumlah gerobak tampak terparkir di dalamnya. “Kalau ada mobil (truk pengangkut sampah), warga bisa buang sampah di sini. Tapi, kalau enggak ada, TPS ditutup,” kata Asep Tatang, 49 tahun, petugas jaga di lokasi.
Sebelum TPS Cikutra ditutup, kondisinya memprihatinkan. Selama dua bulan sejak TPA Sarimukti terbakar, gunungan sampah tak terangkut hingga dua bulan lamanya. “Waktu itu timbunan sampah sampai nutup setengah jalan. Tingginya 3 meter lebih,” kata Asep. Sampah-sampah itu baru bisa terangkut pada akhir Oktober lalu.
Kondisi lebih parah terjadi di TPS Suci yang terletak sekitar 2,5 kilometer dari TPS Cikutra. “Gunungan sampahnya mencapai 5 meter lebih,” kata Asep, yang pernah diperbantukan di lokasi ini. Upaya mengosongkan lokasi itu dari sampah tak kunjung selesai. Menurut dia, dalam dua pekan pertama November, sudah ada setidaknya 100 truk berkapasitas angkut 25 meter kubik yang hilir mudik. Namun, hingga pertengahan November lalu, gunungan sampah tak juga menghilang.
Darurat sampah di Kota Kembang, menurut Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung Sopyan Hernadi, memang belum tertangani, setidaknya sampai November lalu. Meski kebakaran di TPA Sarimukti sudah padam, dampaknya masih terasa. “Memang 70 persen sampah yang dibuang di Sarimukti berasal dari Kota Bandung,” ujarnya kepada Tempo, 13 November lalu.
Selama sepuluh hari pertama sejak kebakaran di TPA terdeteksi, pembuangan sampah dari kota terhenti total. Saat itu ada 188 truk sampah bersama muatannya yang tertahan. Ketika kebakaran, pengelola TPA membuat area pembuangan darurat yang baru dibuka pada 1 September 2023. Dalam kurun waktu tersebut, semua TPS di kota ikut lumpuh. Jika diestimasikan, pada akhir Oktober dan awal September, sampah yang tak terangkut ke TPA mencapai 12 ribu ton.
Awal Mula Kebakaran
Suhara masih ingat betul bagaimana api pertama kali muncul di tengah lautan sampah di Sarimukti. Saat kejadian, pria 40 tahun ini tengah menginap di warung yang ia kelola bersama istrinya, tak jauh dari pintu masuk TPA. Menjelang tengah malam, 19 Agustus lalu, ia mendusin karena pintu warungnya digedor seorang petugas keamanan. “Pak, ada api!” petugas itu menyeru saat Suhara membuka pintu.
Ia segera beranjak keluar. Benar saja, tampak dari kejauhan api sudah membesar di area penampungan sampah. Ia bergegas menghubungi kawannya, petugas ekskavator yang tinggal tak jauh dari TPA. Mereka langsung mengoperasikan dua mesin keruk, lalu menimbun titik api menggunakan tanah merah bercampur air. Ini adalah prosedur standar setiap kali api muncul di Sarimukti.
Suhara berujar, kebakaran bukan hal aneh di sana, terutama setiap musim kemarau. “Tapi memang biasanya tak sebesar kemarin,” kata dia saat ditemui Tempo di lokasi, 12 November lalu. Upaya pemadaman juga tak terlalu sulit. Dengan ekskavator, para petugas cukup menggali area tanah merah di luar zona timbunan sampah. Dari lubang galian sedalam 4 meter, biasanya muncul rembesan air yang kemudian dimanfaatkan untuk memadamkan api.
Malam itu Suhara dan rekannya baru berhasil memadamkan api pada pukul 03.00. “Waktu itu sudah enggak ada asap, api sudah padam. Pokoknya aman,” kata Suhara. Ia pun kembali ke warungnya untuk beristirahat.
Tak disangka, beberapa jam kemudian, sekitar pukul 10.00, Ahad, 20 Agustus 2023, api kembali muncul dan membesar. Lokasinya berada di Zona 4, hanya berjarak sekitar 10 meter dari titik kebakaran sebelumnya.
Para petugas kembali berjibaku menggunakan ekskavator. Nahas, di tengah perjalanan, ekskavator milik kawannya itu mati. “Langsung kesambar api,” kata Suhara. Pengemudinya langsung melompat ke luar. Alat berat itu ditinggalkan begitu saja seiring dengan kobaran api yang kian membesar dan meluas di TPA Sarimukti.
Akhirnya bantuan tiba. Sejumlah branwir dikerahkan. Namun kobaran api makin tak terkendali sampai merembet ke zona-zona lainnya. Suhara tak tahu kenapa bisa muncul api di sana. Pasalnya, saat kebakaran pertama kali terjadi, tak ada aktivitas apa-apa. Begitu juga dengan kebakaran pada pagi harinya, api membesar begitu saja. “Sampahnya memang kering,” ujarnya.
Suhara menduga kebakaran itu dipicu oleh gas metana plus cuaca kering akibat kemarau panjang. Selama musim kering, kata dia, semburan gas tersebut tampak lebih pekat dari biasanya dan terlihat secara kasatmata. Gas-gas itu menyembur dari sumur-sumur penangkap gas metana yang dipasang pengelola. Bentuknya berupa pipa plastik berdiameter 10 inci yang ditanam dalam jarak tertentu. Sepekan sebelum kebakaran, pengelola baru saja menambah titik sumur untuk mengurangi semburan gas metana dari timbunan sampah di sana.
Ahli Muda Pengendali Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat Ahmad Rifai menjelaskan, para pekerja di TPA Sarimukti sudah diperingatkan soal risiko kebakaran. Peringatan dikeluarkan karena beberapa jam sebelum kebakaran pertama di sana, insiden serupa terjadi di TPA Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Rifai mengatakan penanganan kebakaran kedua di Sarimukti sulit ditangani. “Saat itu matahari lagi terik-teriknya dan angin besar. Itu yang mengakselerasi rambatan api,” ujarnya, 14 November lalu. Dari kebakaran kedua itu, kobaran api meluas ke seluruh Zona 4 yang luasnya 5 hektare, lalu menuju Zona 3 (4 hektare), Zona 2 (3,75 hektare), dan terakhir Zona 1 (3,75 hektare). Bisa dibilang bahwa hampir seluruh timbunan sampah di TPA Sarimukti seluas total 16,5 hektare dilalap si jago merah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat Prima Mayaningtyas mengatakan belum diketahui penyebab pasti kebakaran di TPA Sarimukti. Namun ia menduga panas yang timbul dari proses pembusukan material organik di timbunan sampah, ditambah cuaca kering, menciptakan panas yang tidak biasa. “Sejauh ini kami belum bisa membuktikan (kebakaran itu) dari faktor manusia. Jadi kami menduga, karena tumpukan sampahnya sudah sangat tinggi, terjadi akumulasi panas di luar dan di dalam.”
Sementara itu, laporan tim pemeriksa dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendapati keberadaan jebakan gas metana dalam perut timbunan sampah membuat kebakaran TPA Sarimukti kian sulit dipadamkan. “Kesimpulan dari hasil pemeriksaan, terdapat beberapa lokasi dengan kandungan gas metana yang tinggi,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Hendra Gunawan dalam keterangan tertulis, 16 September lalu.
Tim Badan Geologi terjun ke lokasi kebakaran karena diminta Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Barat untuk memeriksa kandungan gas metana di TPA Sarimukti. Selain mengecek kadar gas, tim memetakan titik api menggunakan drone yang dilengkapi kamera termal. Untuk mempermudah pemadaman api, tim pun menentukan titik pengeboran sumber air.
Dari hasil pemeriksaan, tim Badan Geologi mendapati sejumlah titik di TPA Sarimukti memiliki kandungan gas metana di atas 100 lower explosive limit (LEL). Angka tersebut menunjukkan konsentrasi gas sangat mudah terbakar. “Sumber gas metana diduga berasal dari bagian bawah dari timbunan sampah dengan kedalaman belum diketahui,” kata Hendra.
Namun lokasinya menyebar. Di beberapa lokasi pada Zona 1 sampai 4, misalnya, terdapat sejumlah titik dengan kandungan gas metana di atas 100 LEL. Lalu, pada sisi timur Zona 1, ditemukan genangan air lindi yang mengandung gelembung gas metana cukup tinggi yang dapat terbakar apabila terpicu oleh api.
Kandungan metana di TPA Sarimukti, menurut laporan tersebut, dipengaruhi beberapa faktor. Di antaranya kandungan atau komposisi sampah, ketebalan timbunan sampah, porositas timbunan sampah, serta usia timbunan sampah.
Risiko Kebakaran Meningkat saat Kemarau
Dari sisi cuaca, prakirawan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bandung, Yan Firdaus Permadhi, menjelaskan, kendati hampir seluruh wilayah Bandung Raya mengalami kekeringan sebagai dampak El Nino, kawasan Kabupaten Bandung Barat terpantau mengalami kekeringan lebih parah.
Pada Agustus 2023, kata Yan, wilayah Cipatat sudah tidak mengalami hujan selama sebulan penuh. Bahkan, di wilayah tetangganya, yakni Padalarang di Kabupaten Bandung Barat, sudah dua bulan tidak turun hujan. Sejumlah wilayah di Bandung Raya pada Agustus lalu melaporkan sudah mulai kesulitan memperoleh air. “Sepanjang Agustus sampai September tidak ada hujan sama sekali.”
Yan mengatakan temperatur udara pada kemarau El Nino tahun ini juga lebih panas. Temperatur ekstrem yang terjadi di kawasan Bandung dan Lembang bisa menjadi gambaran panasnya suhu udara pada kemarau lalu. Temperatur udara mulai meningkat sejak Agustus dan mencapai titik ekstremnya pada September.
Temperatur di Bandung tersebut dalam catatan BMKG termasuk temperatur ekstrem. Sebab, kenaikannya sudah melebihi 3 derajat Celsius dari suhu maksimum saat kondisi normal. “Bandung sempat 36 derajat Celsius, Lembang 29 derajat Celsius. Itu rekor baru,” ucapnya.
Yan menyatakan, pada kemarau tahun ini, laporan kebakaran hutan dan lahan, termasuk kebakaran TPA, merupakan peristiwa yang menonjol sebagai dampak kekeringan. Peristiwa ini juga dipicu fenomena alam lain selama musim kemarau tahun ini: angin kencang. “Angin kencang disebabkan oleh perbedaan tekanan karena panas yang cukup ekstrem. Jadi ada gradasi tekanan permukaan karena ada level perbedaan tekanan.”
Buntut Panjang Kebakaran Sarimukti
Upaya penanganan kebakaran TPA Sarimukti akhirnya melibatkan banyak institusi, dari TNI, Polri, hingga regu pemadam kebakaran dari berbagai daerah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana bahkan mengerahkan helikopter untuk melakukan water bombing, yang airnya diambil dari Waduk Cirata. Pada hari pertama water bombing, 29 Agustus 2023, helikopter terbang bolak-balik hingga 26 kali. Jika dihitung, total air yang diguyurkan pada hari itu mencapai 104 ribu liter.
Bagi warga sekitar, kebakaran juga menimbulkan persoalan tersendiri. Per akhir Agustus, tercatat 476 warga di sekitar TPA memeriksakan diri ke posko kesehatan. Hasilnya, sebanyak 260 warga didiagnosis menderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas.
Dua bulan kebakaran, api dan asap di TPA Sarimukti akhirnya reda pada Oktober lalu. Meski begitu, tempat pembuangan sampah tersebut tak bisa lagi dimanfaatkan seperti sediakala karena sudah dianggap kelebihan beban. Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, volume sampah di TPA ini sudah melebihi 786,44 persen dari kapasitasnya. “Seharusnya dari 2017 sudah ditutup,” kata Prima Mayaningtyas.
Berdasarkan desain awalnya, TPA Sarimukti dirancang untuk menampung sampah maksimal 1.962.637 meter kubik sampah. Per akhir Desember 2022, volume sampah di sana menembus 15.434.994 meter kubik. Tinggi timbunan sampah diperkirakan menembus belasan meter.
Saat kebakaran terjadi, Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat rutin menggelar rapat koordinasi dengan perwakilan pemerintah kota dan kabupaten se-Bandung Raya. Hasil rangkaian pertemuan itu berupa instruksi Gubernur Jawa Barat yang memaksa pemerintah kabupaten/kota mengurangi ritase pengiriman sampah dan melarang pengiriman sampah yang tercampur dengan sampah organik. Seluruh daerah menyepakati aturan baru itu dalam pertemuan di Hotel Pullman Bandung pada 28 Agustus 2023.
Perhitungan jatah pembuangan sampah dari setiap wilayah disesuaikan dengan kemampuan TPA Sarimukti menampung sampah. Namun akhirnya jatah itu segera habis hanya dalam waktu singkat. Kota Bandung, misalnya, hingga 12 November lalu mendapat jatah mengirim sampah ke Sarimukti sebanyak 3.424 rit truk sampah ukuran 12 meter kubik. Per November lalu, jatahnya tinggal 59 rit saja.
Setali tiga uang dengan Kabupaten Bandung yang punya sisa 54 rit dari jatah 916 rit. Kemudian Kabupaten Bandung Barat, yang mendapat jatah 613 rit, hanya tersisa 15 rit. Kota Cimahi rada lumayan: dari jatah 790 rit, masih ada 322 rit.
Dengan pertimbangan situasi darurat, akhirnya Prima menandatangani penambahan jatah pengiriman sampah pada 6 November 2023. Penggunaan TPA Sarimukti yang sudah kelebihan beban itu, Prima mengakui, memang dipaksakan karena tidak ada pilihan lain. Rencananya, TPA Sarimukti akan digantikan dengan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka di Kabupaten Bandung. Namun proyek yang dirintis sejak zaman Gubernur Ahmad Heryawan itu tak kunjung dibangun.
Sebetulnya, dalam proses lelang proyek, investor asal Jepang, Sumitomo, sudah terpilih sebagai pemenang. Nantinya TPA Legok Nangka dilengkapi dengan fasilitas pengolah sampah menjadi listrik. Namun hingga saat ini pembahasan naskah kontrak kerja sama masih molor karena ada sejumlah kesepakatan yang belum mencapai titik temu. “Ada 66 poin yang belum disepakati,” kata Prima.
Dengan berbagai keterbatasan itu, pemerintah provinsi kini hanya bisa mewanti-wanti agar pemerintah kota dan kabupaten se-Bandung Raya mematuhi instruksi gubernur soal pembatasan sampah jenis residu yang boleh dibuang ke TPA Sarimukti. Artinya, sampah organik, yang porsinya 60 persen dari sampah kiriman kabupaten/kota, harus diselesaikan di wilayah masing-masing.
Aturan ini, kata Prima, akan diterapkan secara saklek mulai 1 Januari 2024. Saat ini sampah organik yang tercampur dalam kiriman sampah masih bisa ditoleransi karena masih dalam masa transisi. “Karena one day, kalau enggak saklek, kita enggak bisa apa-apa lagi,” katanya.
Warga Masih Membuang Sampah Sembarangan
Pembukaan kembali TPA Sarimukti tak lantas membuat masalah lautan sampah di Bandung tertangani. Seperti disaksikan Tempo di sepanjang Jalan Ahmad Yani, 17 November lalu. Di seberang mulut Gang Abdul Syukur, tempat Wandi dan kawan-kawannya membersihkan tumpukan sampah, terdapat gundukan sampah lain setinggi setengah meter dan panjang mencapai 5 meter. Timbunan kantong kresek aneka warna itu membuat trotoar tak lagi terlihat.
Sekitar 100 meter dari lokasi itu, terdapat sebuah truk sampah yang terparkir tak jauh dari mulut Jalan Asep Berlian, di dekat truk itu, gundukan sampah lebih banyak lagi. Tiga bak berukuran 1 x 3 meter di sana tak mampu lagi menampung luberan kantong-kantong berbau tengik itu—menandakan isi kantong tersebut bukan hanya residu, tapi juga sampah organik.
Dalam ingatan Sehat, salah satu warga yang tinggal di sekitar Jalan Asep Berlian, timbunan sampah itu terus bertambah setiap hari. “Karena tak ada petugas yang mengambil sampah (ke rumah), warga membuang sendiri sampah mereka (ke emperan jalan),” ujarnya.
Upaya mencegah aksi semacam itu bukannya tak ada. Di Jalan Ahmad Yani terdapat sejumlah spanduk imbauan agar warga tidak membuang sampah di pinggir jalan. Salah satu spanduk itu, yang terpasang di mulut Gang H. Syahroni, bertulisan “Dilarang Buang Sampah di Area Ini (Awas Ada CCTV)”. Tapi, persis di bawahnya, kresek-kresek sampah tampak menggunduk.
“Enggak ngaruh ada tulisan begitu,” kata Mul, warga yang tinggal di gang tersebut. Perempuan yang membuka jongko kopi di depan gang itu bercerita, sampah-sampah di sana bukan hanya dari warga sekitar. Ia sering melihat pengendara sepeda motor ataupun mobil pribadi yang berhenti dan melemparkan kresek sampah di sana.