Proyek

Rumah Ibadah, Belenggu Mayoritas

Hingga saat ini, di banyak daerah, kelompok minoritas masih dihalang-halangi membagun rumah ibadah. Sikap tidak tegas pemerintah dan rezim mayoritas dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) dinilai sebagai pangkal soalnya.

Oleh Amirullah

tempo

Potongan video yang viral pada Jumat, 31 Januari 2020, memperlihatkan puluhan orang tengah menyerang sebuah bangunan. Sambil berteriak-teriak mereka merusak gedung tempat ibadah di Perumahan Griya Agape, Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Utara Komisaris Besar Jules Abraham Abast megatakan, sekelompok warga setempat merusak balai pertemuan di Tumaluntung. Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu, 29 Januari 2020 sekitar pukul 18.20 WITA.

Sejumlah warga mendatangi balai pertemuan yang juga digunakan sebagai musala itu. Mereka miminta warga yang ada di balai menunjukkan izin pemanfaatan lokasi tersebut sebagai tempat ibadah. “Karena warga yang ada di balai pertemuan tersebut tak bisa menunjukkan izin tempat itu telah menjadi tempat ibadah, terjadi perdebatan yang berujung perusakan," kata Jules, Jumat, 31 Januari 2020.

Polemik pendirian rumah ibadah menjadi cerita berulang dari tahun ke tahun. Alasan klasik rumah ibadah tak memiliki izin sering menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan intoleran.

Selang delapan hari, konflik rumah ibadah kembali terjadi di Tanjung Balai, Karimun, Kepulauan Riau, pada 6 Februari 2020. Sejumlah orang menghalang-halangi renovasi Gereja Paroki Santo Joseph. Aksi penolakan pembangunan gereja itu telah bergulir sejak 2013. Massa juga menghalang-halangi peletakan batu pertama renovasi gereja tersebut pada 25 Oktober 2019.

Penolakan pendirian rumah ibadah menjadi cerita berulang dari tahun ke tahun. Alasan klasik rumah ibadah tak memiliki izin, acap menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan intoleran. Sejumlah peraturan yang dianggap diskriminatif dan pemerintah daerah yang kerap tak bergigi terhadap tekanan kelompok intoleran, semakin menyudutkan kaum minoritas.

Data Setara Institute menunjukan, sejak 2007 hingga 2018, terdapat ratusan kasus penolakan dan penyerangan rumah ibadah. Paling banyak terjadi pada gereja dengan 199 kasus, disusul masjid dengan 133 kasus. Penyerangan itu antara lain berupa penyegelan hingga intimidasi.

Sejumlah jemaah Gereja HKBP Taman Sari berdoa di Kawasan Taman Sari, Setu, Bekasi, Jawa Barat, Kamis, 21 Maret 2013. Jemaah Gereja HKBP Taman Sari memohon agar pembongkaran Gereja dibatalkan. [TEMPO/Dian Triyuli Handoko).

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, dalam 10-15 tahun terakhir terdapat sekitar 500-600 pengaduan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk di dalamnya kasus pendirian rumah ibadah. Kasus-kasus ini tersebar di seluruh Indonesia dan hampir rata korbannya. Bukan hanya non-muslim, tapi juga muslim. 

“Ini terkait mayoritarianisme. Artinya di mana ada satu agama menjadi mayoritas, kemudian penduduknya menekan atau memaksa agama yang minoritas untuk tunduk,” ujar komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di kantornya, Kamis, 5 Maret 2020.

Pada 2018, Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) menolak renovasi Masjid Agung Al-Aqsha di Sentani, Papua. Alasannya karena menara masjid itu lebih tinggi dari gereja di sekitar lokasi di Jalan Raya Abepura. Pada akhirnya, menara masjid itu dipotong. 

Data Kabupaten Jayapura dalam angka, pada 2017, Kabupaten Jayapura memiliki 563 tempat ibadah: 82 Masjid, 465 Gereja Protestan, 11 Gereja Katolik, 3 Pura dan 2 Vihara. Jumlah penduduk beragama Islam di wilayah 37.119. Sementara, pemeluk agama Kristen 78.839 orang, Katolik 8.298 orang, pemeluk Hindu 154 orang, dan Budha 79 orang.

Mayoritarianisme juga tergambar pada kasus penolakan renovasi Gereja Santo Joseph di Karimun, Kepulauan Riau. Data Karimun dalam angka 2020, di daerah itu terdapat 235 masjid dan 242 mushola/surau, 32 gereja Protestan, 8 gereja Katolik, 16 vihara, 38 cetiya, dan 1 klenteng. Proporsi penduduk muslim di daerah itu 84 persen.

Peristiwa penyerangan rumah ibadah di Tumaluntung dan Tanjung Balai mendapat perhatian Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Melalui pernyataan resmi dia menegaskan pemerintah menjamin terlaksananya kebebasan beribadah. Jokowi juga menyatakan aparat akan menindak tegas kelompok atau masyarakat yang mengganggu ibadah kelompok agama tertentu, yang dijamin oleh konstitusi. "Harus dirampungkan, karena jadi preseden yang tidak baik bisa menjalar ke daerah lain," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 12 Februari 2020.

Aksi unjuk rasa massa yang tegabung dalam Forum Solidaritas Kebebasan Beragama di depan Istana Merdeka, Jakarta, Minggu, 19 September 2010. Mereka mengutuk segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama dan menuntut pemerintah megusut tuntas kasus kekerasan yang dialami dua pemuka gereja HKBP di Bekasi. [TEMPO/ Eko Siswono Toyudho].

Masalahnya, menurut Beka Ulung Hapsara, akar utama konflik rumah ibadah justru pada pemerintah pusat, yakni: Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.

Sesuai Peraturan Bersama Menteri (PBM) itu, pendirian tempat ibadah membutuhkan paling sedikit 90 nama pengguna tempat ibadah yang disahkan pejabat setempat. Selain itu, pendirian tempat ibadah harus didukung sedikitnya 60 warga setempat dan disahkan oleh lurah atau kepala desa, mendapat rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota, serta rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota.

Keberadaan PBM dianggap telah menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Peneliti Setara Institute, Halili, mengatakan penyelesaian yang sering terjadi selalu mengorbankan kelompok minoritas, atas nama tertib hukum dan kerukunan. 

Pemerintah daerah, seperti dalam kasus penolakan renovasi gereja Katolik Paroki Santo Joseph Tanjung Balaikarimun, selalu menyerahkan penyelesaikan konflik kepada mekanisme hukum.

Halili mengatakan, jalur hukum itu hanya upaya pemerintah untuk menghindar dari persoalan pokoknya, yaitu: intoleransi dan diskriminasi. Di banyak tempat, kelompok minoritas dipaksa menandatangani surat pernyataan dan mesti tunduk, dengan alasan “demi kerukunan”. “Sehingga kalau diminta berkontribusi perwujudan kerukunan dan harmoni, yang dimaksud ikutlah pada keinginan yang banyak itu,” ujarnya.

Tak heran jika sejumlah organisasi majelis agama meminta peraturan dalam peraturan bersama menteri direvisi. Tujuannya untuk mempermudah masyarakat mendirikan rumah ibadah, serta mempertegas peran pemerintah daerah dalam memfasilitasi tempat ibadah apabila ada penolakan warga. Harapan ini disuarakan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Ada yang berjuang, ada yang menggugat ke MA

Tak Kunjung Rampung dalam 22 Tahun

Bangunan di Jalan Malangsari Kota Semarang itu nampak sepi pada Rabu, 18 Maret 2020. Dari depan hanya nampak pagar besi yang dilapisi seng. Di balik pagar itu terdapat gedung yang belum rampung dibangun. Beratapkan seng, tembok bangunan masih berupa susunan batako yang baru selesai diplester. Bangunan itu merupakan bakal Gereja Baptis Indonesia Tlogosari.

Di dalam bangunan tak jauh berbeda. Tempat baptis dan altar gereja masih dalam pengerjaan. Halaman gereja dipenuhi material bahan bangunan, di sana akan didirikan kamar mandi dan pos petugas keamanan. 

Dirintis sejak 1998, gedung Gereja Baptis Indonesia Tlogosari di Kota Semarang, Jawa Tengah, belum juga tegak. Kelompok warga dan pemerintah daerah menghalang-halangi pembangunan rumah ibadah di Jalan Malangsari tersebut hingga sekarang. Padahal, perizinan lengkap dan mereka sudah mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk gereja tersebut.

Perkembangan terbaru, pada 10 Maret lalu Satuan Polisi Pamong Praja Kota Semarang mendatangi lokasi gereja dan kembali meminta pembangunan dihentikan. Mengatasnamakan Pemerintah Kota mereka beralasan, gereja mesti menunggu hasil telaah tim koordinasi penanganan permasalahan pendirian GBI Tlogosari yang dibentuk Wali Kota Semarang. “Apa yang kami lakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Kami minta tutup sementara,” kata Kepala Satpol PP Kota Semarang, Fajar Purwoto, Rabu, 18 Maret 2020.

Tim yang diketuai Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Semarang, Abdul Haris, itu diberi waktu tiga bulan untuk menyelesaikan masalah ini. Menurut Haris, selama timnya bekerja pembangunan gereja dihentikan sementara."Agar tidak bergolak terus," kata Haris, Selasa, 10 Maret 2020.

Polemik antara warga penolak dengan pihak GBI bermula sejak IMB terbit pada 8 Juni 1998. Ketika gereja mulai dibangun pada 31 Juli 1998, warga mulai menolak dengan berdemo di lokasi. Kemudian pada 1 Agustus 2019, warga kembali mendatangi lokasi gereja dan meminta pembangunan dihentikan.

Pada Jumat, 6 Maret 2020 lalu, warga penolak pembangunan gereja kembali berunjuk rasa di depan Balai Kota Semarang. Mereka menuntut pembangunan dihentikan karena menganggap IMB gereja itu bermasalah.

Mereka menuduh pihak gereja memperoleh IMB dengan cara membohongi warga sekitar. Menurut mereka warga diminta menandatangani kertas kosong yang kemudian digunakan sebagai persetujuan pembangunan gereja. "Awalnya ada tipu-tipu, menjadikan warga sakit hati," kata perwakilan warga penolak, Nur Aziz.

Penolakan serupa pernah terjadi pada Agustus tahun lalu. Saat itu, warga penolak datang ke lokasi pembangunan dan memaksa para pekerja menghentikan aktivitas. Mereka beralasan IMB gereja telah kadaluarsa karena selama enam bulan sejak diterbitkan tak ada pembangunan.

Pimpinan GBI Tlogosari, Wahyudi, menampik tuduhan bahwa pihaknya membohongi warga untuk mengantongi dukungan. Dia menegaskan tidak pernah meminta dukungan kepada warga sekitar untuk mendirikan gereja di atas kertas kosong.

Dia juga menepis tuduhan bahwa selang enam bulan setelah IMB terbit gereja tak kunjung dibangun. Wahyudi mengatakan peletakan batu pertama sudah mereka lakukan sebulan setelah memperoleh IMB. "Ketika membuat landasan mulai ada aksi demo. Pagarnya dicoret-coret," ucapnya.

Lembaga Bantuan Hukum Semarang menyayangkan keterlibatan aparat dalam penghentian pendirian gereja. Alih-alih menjamin hak konstitusi anggota GBI Tlogosari, aparat justru memaksa agar pembangunan dihentikan.

"Beberapa hari terakhir yang melakukan tekanan adalah aparat dari kepolisian. Dan hari ini puluhan Satpol PP datang untuk menghentikan pembangunan GBI," kata Direktur LBH Semarang, Zainal Arifin.

GBI Tlogosari saat ini memiliki 114 jemaat. Selama proses pembangunan sejak 1998 hingga kini, mereka beribadah di Rumah Dinas Pastori di Jalan Kembang Jeruk 11 Nomor 11 Kelurahan Tlogosari Kulon. “Jadi satu, tempat ibadah sementara dan tempat saya tinggal,” kata Wahyudi.

Hide ×

Tak Masuk Akal di Dua Pasal

Sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Presidium Rakyat Menggugat mengadakan aksi di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa siang, 3 Maret 2020. Mereka mengawal sejumlah advokat yang akan mendaftarkan gugatan uji materi Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama atau PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

Sekitar pukul 13.30 WIB, massa yang berkumpul di depan MA semakin banyak. Menurut Koordinator Presidium Rakyat Menggugat Daniel Tirtayasa, jumlahnya sekitar 200 orang.

“Semua elemen dan komponen anak bangsa harus bersatu menuntut pencabutan pasal 13 dan 14 untuk masa depan anak bangsa kita bersama,” kata Daniel di depan Gedung MA.

Adapun alasan uji materi, menurut kuasa hukum penggugat Arthur Yudi Wardhana, Pasal 13 dan 14 tidak memenuhi unsur keadilan karena membatasi kebebasan beribadah. “Pasal 14, yang jadi pertentangannya, ketika mendirikan sebuah tempat beribadah harus ada surat pernyataan bersama dari beberapa orang. Ini kan sudah tidak masuk akal,” kata Arthur.

Di tengah-tengah aksi, Pemimpin Pondok Pesantren Sokotunggal Nuril Arifin Husein alias Gus Nuril muncul. Berpakaian serba hitam dan mengenakan udeng, ikat kepala khas Bali, Gus Nuril turut menyampaikan orasinya dari atas mobil komando.

“Lima belas tahun yang lalu sebelum orang-orang pada ribut, sebelum orang-orang pada turun ke jalan saya sudah mengatakan bahwa Peraturan Bersama Menteri (PBM) ini akan menjadi bom waktu bagi kerukunan umat di Indonesia,” ujar Nuril.

Ia menilai intoleransi di Indonesia kini semakin parah setelah munculnya PBM. Keberadaan PBM melahirkan polisi dan tentara agama yang gampang ditunggangi kepentingan tertentu untuk merombak tatanan dan dasar negara Pancasila. Menurut Gus Nuril, pemerintah sebaiknya tidak terlalu mencampuri urusan agama. Kehadiran negara baru diperlukan jika ada friksi atau gesekan antarkelompok masyarakat.

Beberapa bulan sebelum gugatan dilayangkan, pemerintah memang menyarankan PBM diuji materi ke MA jika dianggap menyulitkan kaum minoritas dalam membangun rumah ibadah.

"Coba dong, dibawa ke MA untuk judicial review, kalau memang itu salah," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md pada Kamis, 26 Desember 2019.

Mahfud mengakui PBM itu sudah lama dibicarakan di tingkat menteri. Tapi menurut dia menteri terkait tak bisa begitu saja mencabut PBM ini karena dasar hukumnya masih berlaku. Karena itu, ia menyarankan upaya uji materi sebagai langkah awal untuk mengganti aturan ini. 

Jika Mahkamah Agung menerima uji materi itu, ada kemungkinan para menteri mau mencabut aturan ini. "Kan situasi sosial politik sudah lain saat ini, kita harus sensitif dalam perlindungan hak asasi manusia," kata Mahfud.

Hide ×
Jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelpia melaksanakan kebaktian Natal di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Desember 2014. Dua jemaat gereja tersebut melaksanakan kebaktian Natal di depan Istana Merdeka karena gereja mereka disegel. [TEMPO/STR/Wisnu Agung Prasetyo].

Organisasi majelis agama Katolik ini lebih setuju jika FKUB tidak diberikan wewenang untuk merekomendasikan pendirian rumah ibadah. Forum tersebut lebih baik fokus pada pemberdayaan masyarakat serta penguatan kerukunan antarumat beragama.

“Jika peran memberi rekomendasi itu tetap ingin dipertahankan, status dan prosedurnya harus jelas dalam PBM. Komposisi inti harus melibatkan semua agama, jangan didominasi oleh jumlah yang penganut agamanya lebih besar,” ujar Sekretaris Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan KWI, Agustinus Heri Wibowo kepada Tempo, Rabu, 11 Maret 2020.

Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Gomar Gultom juga mempersoalkan PBM. Dia mengatakan masih ada ratusan gereja Kristen Protestan di Indonesia belum dapat didirikan secara permanen. “Izinnya tertahan atau pembangunannya terkendala,” kata Gomar di Grha Oikoumene, Jakarta, 6 Maret 2020.

Ratusan gereja itu, ujar Gomar, tersebar di wilayah Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Menurutnya, banyak pembangunan gereja tak bisa diteruskan lantaran ditolah oleh masyarakat yang terprovokasi kelompok intoleran. PBM menjadi dalil penolakan tersebut.

Penolakan juga banyak terjadi karena salah paham terhadap hakikat gereja. Gomar menjelaskan, gereja yang merupakan pusat ibadah dan pembinaan umat, sering dikesankan sebagai pusat kristenisasi. Ia mengakui jumlah gereja memang bertumbuh pesat di Indonesia. “Tapi pertumbuhan itu bukan karena pertambahan umat,” ujarnya.

Gomar menerangkan gereja memiliki keanggotaan eklesiastik yang tidak dimiliki tempat ibadah seperti masjid. Misalnya, di suatu wilayah yang mayoritas penduduknya muslim ada satu masjid, tapi gereja bisa bertumbuh 5-6 bangunan karena perbedaan denominasi dan sinode atau aliran. Umat Kristiani, kata dia, membutuhkan gereja yang sesuai keanggotaannya, seperti Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) bagi masyarakat Batak. “Ini yang disalahpahami seolah-olah hadirnya gereja sebagai pusat kristenisasi, membuat umat lain jadi Kristen.” 

Gomar mengusulkan revisi terhadap PBM. Ia menilai, spirit aturan bersama ini sebetulnya sudah bagus, yaitu memfasilitasi dan membantu menerbitkan izin pendirian rumah ibadah. Yang kurang, kata dia, adalah implementasinya oleh kepala daerah.

Akan tetapi, Majelis Ulama Indonesia sebaliknya, mempertahankan peraturan bersama menteri. Bahkan MUI menganggap PBM sebagai obat mujarab untuk meredam konflik. “Tanpa aturan itu, orang bisa saja saling membunuh. Bisa ada provokasi di sana-sini. Selama PBM itu masih efektif, harus dipertahankan,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan MUI Nadjamuddin Ramli di kantornya, Senin, 9 Maret 2020.

Kementerian Agama berdiri di sisi yang sama dengan MUI. Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag, Nifasri, bersikeras PBM tak perlu direvisi apalagi dicabut. “Dikhawatirkan akan lebih gaduh lagi nanti kalau dicabut,” ujar dia, Jumat 13 Maret 2020.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mempertegas sikap pemerintah, mengatakan pemerintah belum berencana merevisi aturan bersama itu. “Karena ini memang harus kesepakatan majelis-majelis agama. Untuk membangun kesepakatan kan tidak mudah,” ujar Ma’ruf di kantor Wakil Presiden, 4 Maret 2020.

Ma’ruf mengatakan, PBM merupakan hasil kesepakatan majelis-majelis agama dan menjadi semacam lampu lalu lintas untuk mencegah konflik. Ia turut terlibat dalam penyusunan PBM tersebut karena mewakili Majelis Ulama Indonesia. Ketua MUI nonaktif ini menjelaskan, majelis-majelis agama menyusun kesepakatan mengenai aturan pendirian rumah ibadah ini selama empat bulan. “Sebelum ada PBM, konflik justru lebih sering terjadi,” katanya.

CREDIT

Pimpinan Proyek

Penulis

Editor

Penyumbang Bahan

Video

Multimedia