Pekik setuju dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disusul dengan ketukan palu Ketua DPR Puan Maharani menandakan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan (UU TPKS) resmi disahkan, Selasa 12 April 2022. Tepuk tangan pun membahana di ruang sidang Rapat Paripurna DPR setelah keputusan tersebut.
Setelah hampir enam tahun dibahas di DPR, akhirnya Indonesia kini resmi memiliki peraturan spesifik terkait penanganan kekerasan seksual. Penggodokan beleid yang awalnya bernama UU Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) ini berjalan alot. Bahkan rancangan undang-undang (RUU) ini sempat didrop dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya partai yang konsisten menolak UU ini sedari awal. Partai ini menganggap definisi hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual berperspektif liberal. Sikap itu pun mereka tunjukkan dalam Rapat Paripurna minggu lalu yang mengesahkan UU itu.
Tempo merangkum sejumlah perbedaan antara naskah final UU TPKS dengan RUU PKS. Naskah final undang-undang didapat dari lembaga penelitian hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Terdiri dari 66 halaman dengan rincian halaman pertama berupa konsideran dan dasar hukum, 42 halaman berisikan pasal-pasal peraturan, dan sisanya merupakan halaman penjelasan. Draf ini dibuat pada 6 April 2022, saat rancangan undang-undang ini mendapat persetujuan pada pembahasan tingkat I antara pemerintah dan panitia kerja (panja).
Sedangkan naskah RUU PKS diperoleh dari situs DPR. Dokumen ini berisi 64 halaman, yang terdiri dari halaman pertama yang berisi konsideran dan dasar hukum, 40 halaman berisikan pasal-pasal peraturan, dan sisanya merupakan halaman penjelasan. Berdasarkan informasi properti dokumen, naskah ini dibuat pada tahun 2017.
Salah satu sorotan utama terhadap UU ini adalah ketiadaan aturan soal perkosaan. Anggota DPR RI Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) Taufik Basari yang juga anggota panja menyebut bahwa perkosaan tetap masuk dalam jenis tindak pidana kekerasan seksual seperti tertera pada pasal 4 ayat 2. Namun, perkosaan merupakan delik lama yang telah diatur dalam KUHP Pasal 285.
“Sehingga untuk menghindari tumpang tindih dan pengulangan dengan undang-undang lain maka digunakan model pengaturan sebagaimana tercantum pada Pasal 4 ayat (2) UU TPKS. Pasal ini merupakan pasal ‘jembatan’ antara UU TPKS dengan UU lain yang eksisting,” katanya.
Pemaksaan aborsi juga menghilang dari naskah final UU TPKS. Sama seperti perkosaan, pemaksaan aborsi diatur dalam Pasal 346 KUHP dan Pasal 75 UU Kesehatan.
Terkait perkosaan dan pemaksaan aborsi, ICJR bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) dalam siaran pers bertanggal 7 April 2022 memberi catatan dalam rangka menguatkan implementasi UU TPKS.
Tiga lembaga itu meminta dua tindak pidana itu ditegaskan sebagai kekerasan seksual dalam revisi KUHP. Sehingga, hukum acara dua tindak pidana itu nantinya mengacu pada UU TPKS dan penanganannya menjadi subjek undang-undang ini.
Dalam pasal 11 ayat 2, tidak ada pembagian antara kekerasan seksual yang tergolong delik lama atau delik baru. Hanya berupa daftar jenis-jenis kekerasan seksual, meliputi pelecehan seksual hingga penyiksaan seksual.
Terdapat dua ayat yang mengatur jenis tindak pidana kekerasan seksual pasal 4. Pertama adalah ayat 1, yang terdiri dari jenis-jenis kekerasan seksual yang belum pernah diatur dalam undang-undang terdahulu alias delik baru, antara lain:pelecehan seksual nonfisik hingga kekerasan seksual berbasis elektronik.
Kemudian, ayat 2, yang jenis-jenis kekerasan seksualnya tergolong delik lama, atau telah diatur dalam undang-undang terdahulu, seperti perkosaan sampai kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.
Pendampingan korban kekerasan seksual dilakukan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang dibentuk pemerintah (pasal 37).
Untuk perlindungan, merupakan tugas aparat penegak hukum (pasal 25 ayat 1). LPSK baru akan memberi perlindungan ke korban jika diminta korban (pasal 25 ayat 2).
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dilibatkan dalam pendampingan (Pasal 26 ayat 2) dan perlindungan (Pasal 43). Kepolisian hanya bertugas memberi perlindungan sementara (Pasal 42).
Ganti rugi merupakan tanggung jawab pelaku (Pasal 1 ayat 18). Jika majelis hakim berkeyakinan terdakwa enggan membayar restitusi, majelis hakim memerintahkan penuntut umum melakukan sita Ganti Kerugian terhadap harta kekayaan terdakwa sebagai ganti pembayaran Ganti Kerugian (Pasal 49).
Restitusi dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 1 ayat 20).
Jika harta terpidana tidak mencukupi biaya ganti rugi, negara membayar kekurangannya kepada korban melalui skema Dana Bantuan Korban (Pasal 35).