Pulitzer Center ikut bekerja sama dalam pembuatan laporan ini. Naskah asli dipublikasikan di South China Morning Post di tautan berikut. Nama-nama semua korban sudah diubah dan beberapa detail tidak ditulis untuk melindungi dari identifikasi.
Mereka yang berkuasa di pusat-pusat penipuan di Myanmar tak mau dunia mengetahui apa yang terjadi di dalam komplek-kompleks mereka. Telepon seluler disita pada saat kedatangan, sementara perangkat kerja dihapus memorinya sebelum orang-orang pergi. Para bos penipuan ini berupaya keras menutupi jejak kejahatan mereka.
Jane dan Max, dua orang Filipina yang dipaksa bekerja di salah satu kamp kejahatan di sepanjang perbatasan Myanmar dengan Thailand, diminta menunggu 10 hari sebelum mereka dibebaskan pada akhir Juli lalu, supaya luka-luka mereka sembuh.
"Mereka menahan kami karena tubuh kami memar-memar," ujar Jane, sembari menunjukkan bekas luka di punggung dan bahunya. "Mereka tak mau ada orang yang melihatnya.”Meskipun ada upaya untuk menutup-nutupi, bukti-bukti penganiayaan berat tersebut tetap menggunung.
Rekaman video yang diberikan kepada This Week in Asia oleh para korban dan aktivis anti-perdagangan manusia menunjukkan adanya penyetruman dan pemukulan, juga para pekerja yang diborgol, ditutup matanya, serta dipaksa tidur di kamar yang penuh sesak.
Video tersebut direkam menggunakan telepon genggam, namun lokasi dan waktu perekamannya tidak dapat diverifikasi secara independen. Meski demikian, video tersebut tetap memberikan gambaran suram penganiayaan yang dilakukan oleh komplotan penjahat di Myawaddy, negara bagian Kayin, dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Puluhan ribu pekerja dari berbagai penjuru dunia telah diselundupkan ke kawasan “industri” penipuan tersebut mulai sekitar 2019, dan berkembang pesat setelah kudeta militer Myanmar pada 2021.
Di industri kejahatan ini, para pekerja dihukum apabila gagal memenuhi target tinggi yang ditetapkan oleh bos-bos mereka, atau bila sekadar meminta pulang.
“Di sini, setiap detik terasa seperti siksaan," kata Asharf, seorang korban asal Nepal, kepada This Week in Asia sebelum dibebaskan pada akhir Juli lalu.
Bagi beberapa orang, penganiayaan berujung kematian.
Grace Mata diselundupkan ke kompleks KK Park di Myawaddy pada Juli tahun lalu. Empat bulan kemudian, warga Kenya berusia 22 tahun itu dibawa kembali ke Thailand dalam keadaan tak sadar. Dia dirawat di rumah sakit di kota Mae Sot, di perbatasan Thailand, dalam kondisi kritis. Dia meninggal dunia sekitar dua minggu kemudian.
Mechelle Moore, direktur lembaga non-pemerintah anti-perdagangan manusia di Mae Sot, Global Alms, mengatakan bahwa perempuan muda tersebut telah menjalani operasi ilegal di rumah sakit di dalam KK Park, namun gagal.
Kota Mae Sot, dimana Grace Mata, korban perdagangan manusia berumur 22 tahun dari Kenya, meninggal di suatu rumah sakit. Foto dari Alastair McCready. Thailand, 2023.
"Kami berupaya membawa keluarganya ke sini, tapi tidak bisa melakukannya dengan cepat. Jadi saya akhirnya harus mematikan mesin (untuknya),” ujar Moore. Ia menunjukkan surat dari kedutaan besar Kenya di Thailand yang memberikan kuasa atas Mata. "Saya mencabut selang dan melihatnya perlahan ‘berlalu’.”
Moore yakin, para dokter yang mengoperasi Mata didatangkan untuk mengambil organ tubuhnya. Para penyintas mengatakan kepada This Week in Asia bahwa mereka mendengar rumor soal praktik pengambilan organ tubuh. Menurut Jane, mulai tahun ini, tes darah menjadi syarat wajib bagi pendatang baru di KK Park, tempat dia pernah bekerja. “Kebanyakan menganggap tindakan tersebut untuk perdagangan organ,” kata Jane.
Kegiatan penipuan berskala industri memerlukan banyak tenaga kerja, terutama anak-anak muda yang bisa berbicara bahasa Inggris dan Mandarin yang bingung mencari kerja setelah tahun-tahun pandemi yang sulit.
Kebanyakan dari mereka yang diperdagangkan dan masuk ke dalam kamp-kamp penipuan tersebut tidak mengetahui bahwa mereka berada di Myanmar sampai semuanya sudah terlambat. Misalnya saja, Grey, anak muda asal Filipina. Dia baru sadar dirinya tidak lagi berada di Thailand setelah melihat bendera Myanmar. Grey mendarat di Bangkok dan melanjutkan perjalanan ke Myanmar - rute yang paling umum ditempuh.
Sebagian kecil, seperti Ashraf asal Nepal, terbang ke kota terbesar di Myanmar, Yangon, kemudian dibawa ke arah timur di negara yang tengah dilanda konflik itu. Mengira berada di Thailand, di mana dia dijanjikan akan bekerja, Ashraf masih menanyakan kejelasan lokasinya. Padahal ia telah berada bekerja selama enam bulan. "Di negara mana? Bisa kasih tahu saya?" tanya Ashraf ke This Week in Asia Juni lalu setelah dia membagikan lokasi dirinya saat itu.
Arjun, warga negara India yang berbicara dari dalam sebuah kamp, mewakili kelompok orang-orang dari Asia Selatan, mengatakan bahwa ia dan teman-temannya belum dibayar sejak Maret. Ketika mereka melakukan mogok kerja pada April lalu, mereka malah disekap di sebuah ruangan tanpa penerangan dan tanpa makanan selama tiga hari. Nama kompleks Arjun kami rahasiakan untuk menjaga keamanan kelompoknya.
"Perusahaan memperlakukan kami seperti binatang," tulisnya. “Saya mohon, tolong kami."
Ia menunjukkan komunikasinya dengan kedutaan besar India di Yangon kepada This Week in Asia, di mana ia dan teman-temannya meminta pertolongan. Ia juga menunjukkan surat dari Kedutaan India ke Kementerian Luar Negeri Myanmar yang dikirim April.
Ketika ditanya soal kasus Arjun, seorang perwakilan kedutaan India, yang tidak bersedia disebut namanya, mengatakan bahwa penyelesaian masalah ini sangat sulit.
“Daerah itu bukan kawasan di mana polisi bisa sembarang masuk dan membebaskan mereka. Pemerintah tidak memiliki kuasa langsung terhadap kamp-kamp itu," katanya, merujuk pada junta militer yang merebut kekuasaan lebih dari dua tahun lalu.
Di tengah ketiadaan jalur hukum resmi, pemerintah dan lembaga non-pemerintah pun sangat terbatas geraknya, hanya bisa memberikan bantuan setelah para korban berhasil menyeberang ke Thailand.
Cara paling cepat dan mudah bagi pekerja untuk “bebas” adalah mengakhiri "kontrak" dengan menyetor uang dalam jumlah besar, yang dihitung berdasarkan seberapa banyak uang yang telah mereka hasilkan untuk para bos penipu, dikurangi biaya transportasi dan perekrutan yang telah digelembungkan.
Para pekerja pun sering kali pulang dengan menanggung utang setelah mereka menguras tabungan, mengambil pinjaman, juga meminjam uang dari keluarga atau teman. Dengan cara inilah Ashraf akhirnya berhasil bebas pada pertengahan Juli lalu. Dia menyerahkan lebih dari US$ 10.000.
Meskipun dijanjikan bayaran tinggi, sebagian besar pekerja justru berakhir dengan kondisi keuangan yang jauh lebih buruk dari saat mereka masuk.