…

LONGFORM / RABU, 30 AGUSTUS 2023

Kelompok Kriminal Cina di Balik Sindikat Penipu di Myanmar yang Mengincar Korban Mancanegara

Serangkaian kelompok kriminal penipuan kini tersebar di Sungai Moei yang menjadi perbatasan antara Myanmar dengan Thailand. Para penyintas organisasi ini terjebak perdagangan manusia, penyiksaan, dan paksaan untuk menipu orang asing secara online dengan iming-iming janji pekerjaan di luar negeri.

Penulis

Allegra Mendelson, Alastair McCready, Hein Thar

Pulitzer Center ikut bekerja sama dalam pembuatan laporan ini. Naskah asli dipublikasikan di South China Morning Post di tautan berikut. Nama-nama semua korban sudah diubah dan beberapa detail tidak ditulis untuk melindungi dari identifikasi.

“Lari!” Itulah satu-satunya instruksi yang diberikan kepada Max dan Jane, mengakhiri enam bulan penderitaan mereka di Myanmar. Selama kurun waktu tersebut, dua orang Filipina ini dipaksa menggeluti dunia penipuan daring (online scamming).

Sehari setelah bebas, duduk di rumah seorang petani di pinggiran Mae Sot - kota di Thailand yang berbatasan dengan Myanmar yang menjadi pintu masuk ilegal mereka ke Myanmar pada akhir tahun lalu - pasangan Max dan Jane mengingat kembali masa-masa menegangkan saat perahu mereka menyusuri celah sempit di sungai, untuk menuju gerbang kebebasan.

Begitu menyentuh sisi sungai di wilayah Thailand, sang pengantar berkata: "Yang harus kamu lakukan, lari," ujar Jane, mengulangi ucapan pengantarnya. Dan itulah yang mereka lakukan, lari sambil membawa koper. Max yang masih terguncang dengan pengalaman buruknya, membiarkan Jane mewakilinya berbicara kepada This Week in Asia.

Keduanya tidak bersama berangkat dari Filipina. Salah satu dari mereka berangkat Desember tahun lalu, dan satunya lagi Januari 2023. Mereka tergoda iklan lowongan kerja di Thailand yang menawarkan gaji yang menggiurkan.

Suatu pasar di Mae Sot yang terletak di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Foto dari Alastair McCready. Thailand, 2023.

Begitu masuk ke Thailand, mereka dibawa ke Mae Sot, kota yang berbatasan dengan Myanmar. Ternyata mereka tak berhenti di kota kecil ini. Mereka dibawa menyeberangi Sungai Moei dan masuk ke Myanmar. Di sana, mereka ditempatkan di sebuah kamp yang dikelola para penjahat asal Cina dan dipaksa melakukan penipuan dengan sasaran orang-orang di Eropa dan Amerika Utara.

Ketika akhirnya mereka berhasil bebas, mereka membawa pulang bekas luka dan lebam di tubuh akibat dipukuli bos-bos mereka. Rasa bersalah atas tindak kejahatan yang mereka lakukan juga menggelayuti keduanya.

"Saya menjadi alat dalam penipuan ini. Saya bekerja untuk mereka... meskipun itu bukan kemauan saya," ujar Jane.

Ribuan orang lainnya memiliki pengalaman serupa. Orang-orang dari Malaysia, Taiwan, Indonesia, India, Kenya dan Nepal tergoda janji kerja dengan penghasilan besar, namun ternyata mereka mendapati dirinya terjebak selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, di labirin kejahatan dunia maya.

"Perusahaan" tempat Jane dan Max dipaksa bekerja hanyalah satu dari banyak perusahaan sejenis yang marak di sepanjang 40 kilometer pinggir sungai di Myawaddy di negara bagian Kayin, Myanmar. Kawasan ini merupakan salah satu simpul jaringan penipuan di Asia Tenggara yang dikuasai orang-orang dari Cina.

Bisnis penipuan sejenis di Kamboja menjadi sorotan tahun lalu setelah maraknya laporan tentang tindak perdagangan manusia besar-besaran, kerja paksa, dan penyiksaan sistematis (di kamp-kamp penipuan). Peran Filipina sebagai salah satu pusat penipuan juga kembali mencuat pada akhir Juni lalu ketika dilakukan penggerebekan di kamp penipuan di Manila bagian selatan yang juga dikelola orang-orang Cina, dan lebih dari 2.700 “pekerja” dibebaskan. Laos juga menjadi markas operasi penipuan berskala besar, tepatnya di Kawasan Ekonomi Khusus Segitiga Emas. 

Di Myanmar, bisnis kejahatan yang keji ini melenggang, tak tersentuh. Mereka terbantu adanya gejolak yang tengah berlangsung di negara tersebut akibat kudeta militer 2021. Selain itu, bisnis kejahatan ini dijalankan penjahat asal Cina yang bersekutu dengan kelompok paramiliter setempat, sehingga tak terjangkau aparat penegak hukum, masyarakat sipil, maupun media. 

Saat menelusuri masalah ini, This Week in Asia berbincang dengan 18 orang dari tujuh negara, yang pernah bekerja atau masih bekerja di sindikat penipuan tersebut. Mereka diselundupkan ke Myawaddy tahun lalu dan tahun ini, kemudian dipaksa melakukan penipuan; dianiaya, baik fisik maupun psikologis; serta dilarang keluar (kompleks).

“Ini adalah perserikatan bangsa-bangsa untuk penipuan,” kata Jason Tower, direktur pemantau konflik Institut Perdamaian Amerika Serikat (USIP) di Myanmar. "Anda akan menemukan banyak penipu, korban perdagangan manusia untuk dijadikan tenaga kerja paksa, dari berbagai negara.”

Untuk masuk dan keluar, kebanyakan dari mereka lewat perbatasan Thailand-Myanmar yang longgar. Geraldina Ansart, Kepala Misi Organisasi Internasional untuk Migrasi di Thailand, mengatakan kalau pihaknya mendapat banyak rujukan masalah perdagangan manusia sejak pertengahan 2022. "Ini hanya puncak gunung es."

Industri penipuan ini diperkirakan bernilai miliaran. Sebagian uang hasil penipuan digunakan untuk membayar situs-situs palsu, perekrut yang menjerat para korban baru, dan para pejabat korup yang membuka perbatasan untuk mereka yang sangat membutuhkan pekerjaan.

Jane mengungkapkan kalau dirinya yakin saat itu ia melamar pekerjaan di Amazon, perusahaan di mana dia pernah bekerja di Filipina. Alamat surat elektroniknya tampak seperti milik perusahaan yang asli. Orang yang merekrutnya kemudian mengurus pemesanan penerbangannya ke Bangkok. Beberapa hari kemudian, dia sudah berada di mobil menuju ke arah sungai.

Mobil-mobil yang digelapkan menunggu pengambilan di tepi Moei River di bagian Myanmar, yang terlihat dari Thailand. Foto dari Alastair McCready. Thailand, 2023.

KK Park

Pada suatu Minggu pagi di tepi Sungai Moei di wilayah Thailand, sekelompok orang meletakkan sarapan mereka ketika sebuah truk membongkar muatan berupa kotak-kotak popok, jajanan wafer cokelat, serta botol-botol minuman sarang burung, dan memindahkannya ke perahu di sungai.

Beberapa barang dikirim ke kamp di seberang sungai di daerah Myawaddy, yang menurut orang-orang tersebut adalah tempat “perusahaan judi daring asal Cina” - eufemisme dari operasi penipuan. 

Menurut tiga orang Indonesia yang terjebak di sana selama lima bulan pada awal tahun ini, kompleks tersebut disebut “Family Park (Taman Keluarga)”. Di dalamnya terdapat sekitar 2.000 pekerja yang melakukan penipuan daring dan mengalami kekerasan fisik yang parah, di antaranya dipaksa berlari saat panas terik, dipukuli dan disetrum.

“Suatu kali pernah 20 orang disekap di sebuah ruangan, dan hanya diberi makan sekali sehari … Mereka (penjaga) datang, meninju, menyetrum dan memukuli saya dengan tongkat,” kata Arif, salah seorang korban penyekapan.

Walaupun masih terus berkembang, Family Park adalah pemain kecil dibandingkan dengan kam-kamp penipuan lain yang seolah berjajar di Myawaddy.

Di belokan sungai mengarah ke selatan, kompleks KK Park (Taman KK) yang terkenal brutal terlihat di tepian di wilayah Myanmar. Kompleks ini terbagi ke dua bagian kamp yang luas, dengan atap merah lebar, yang identik dengan penipuan, penyelundupan, penyiksaan, dan bahkan beredar rumor tentang perdagangan organ (tubuh manusia).

KK Park berkembang pesat. Gambar satelit dari Maxar Technology menunjukkan bahwa pembangunan fase pertama - dikenal dengan KK I - selesai antara 2019 dan pertengahan 2021.

Sementara kembarannya, KK II atau biasa disebut Dong Feng oleh beberapa korban (kerja paksa), “tumbuh” dari lahan kosong pada April 2021 menjadi kompleks yang luas pada Maret lalu. Sebuah bangunan besar sedang dibangun pada lahan tersebut.

Suatu gedung baru sedang dibuat di area KKII (Dong Feng) di KK Park, Myanmar pada 1 Juli. Foto dari Alastair McCready. Myanmar, 2023.

Di KK I lah, Jane dan Max dipaksa bekerja melakukan penipuan. Mereka tergabung dalam sebuah tim beranggota 15 orang yang bekerja selama 12-14 jam dalam satu shift, untuk memenuhi target US $25,000 atau Rp 379.470.000 per hari.

Menurut Jane dan Max, setidaknya ada 300 orang di kamp mereka. Para pekerja dibagi ke dalam kelompok-kelompok dengan untuk beragam tugas, seperti mencari korban, atau “menandai”, di media-media sosial dan menjebak mereka.

Jane mengatakan bahwa tim di “kantor”nya biasanya mencapai target dengan skema “pig butchering” (penyembelihan babi), di mana mereka berpura-pura tertarik pada calon korban, kemudian menggodanya agar masuk dalam perangkap skema penipuan investasi.

“(Para bos) menganggap kami robot. Kami harus menghasilkan uang untuk mereka, jualan untuk mereka… Jika tidak, hukuman menanti,” ucap Jane, sambil menunjukkan bekas luka di punggungnya akibat pemukulan.

Kadang-kadang, timnya berhasil meraup hingga US$200,000 (sekitar Rp 3 miliar) saat proses penipuan memasuki “kill phase” (fase yang mematikan), sebuah tahap akhir, di mana sasaran telah terjebak dan menggelontorkan uang dalam jumlah besar.

Kasino, Kejahatan, dan Bantahan

Sekitar 25 kilometer ke arah hulu Sungai Moei, orang bisa mendapati keriuhan Shwe Kokko, yang diyakini para ahli sebagai pusat bisnis penipuan di Myanmar. Shwe Kokko adalah kota kecil yang penuh dengan kasino, hotel, tempat karaoke, dan sarang-sarang penipuan.

Shwe Kokko berada di wilayah yang dikuasai Kayin Border Guard Force (Pasukan Penjaga Perbatasan Kayin), kelompok paramiliter di bawah komando militer Myanmar yang dipimpin Kolonel Saw Chit Thu.

Awalnya, daerah ini hanyalah desa kecil di tikungan sungai. Kawasan ini mulai berkembang pada awal 2017, ketika Chit Linn Myaing Co Ltd - perusahaan induk Penjaga Perbatasan - dan Yatai International Holdings Group asal Hong Kong yang dipimpin oleh She Zhijiang, memulai pembangunan senilai US$22,5 juta di kawasan tersebut.

Lokasi-lokasi tempat organisasi penipuan di Myawwady

Scroll ke bawah untuk melihat lokasi-lokasi pusat penipuan. Geser slider ke kanan untuk melihat foto-foto satelit yang memperlihatkan konstruksi pusat-pusat penipuan ini.


Catatan: Peta ini tidak mencatat semua lokasi yang dimiliki oleh organisasi penipuan di Myawwady, namun hanya mencatat beberapa lokasi yang ditemukan oleh tim investigasi.

Dikenal sebagai Zona Ekonomi Khusus Shwe Kokko Yatai, pada 2019, proyek pembangunan telah jauh melampaui area konsesi mereka. Materi promosi Yatai IGH yang telah direvisi menunjukkan adanya rencana pembangunan kota besar senilai US$ 15 miliar, lengkap dengan distrik keuangan, zona industri, dan resor-resor mewah.

Namun, dalam proses pengembangannya, She - orang Cina yang telah meninggalkan kewarganegaraannya dan menjadi warga negara Kamboja pada 2019 - tampaknya memiliki musuh yang sangat kuat di Beijing. Dia diburu karena menjalankan situs judi daring ilegal. Pada Agustus tahun lalu, She ditangkap di Thailand karena adanya red notice (peringatan adanya orang yang dicari) dari Interpol. Dia diyakini masih meringkuk di tahanan di Thailand dan berusaha untuk tidak diekstradisi ke Cina.

Yatai IHG tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar. Namun, dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan Bangkok Post pada Mei lalu, perusahaan ini membantah memiliki kaitan dengan kejahatan, penipuan, atau pun KK Park. Mereka mengklaim diri sebagai "perusahaan profesional" dan menyebut She seorang "pengusaha yang sah".

Proyek Shwe Kokko merupakan bagian dari jaringan zona ekonomi khusus yang dibiayai Cina yang tersebar di Laos, Kamboja, dan Myanmar, yang terhubung secara longgar ke ambisi jalan dan sabuk (belt and road initiative) Beijing untuk infrastruktur dan perdagangan di kawasan Mekong

Mengikuti jejak Shwe Kokko, pada akhir 2019, sindikat penipuan Cina mulai menguasai tanah-tanah di pinggir Sungai Moei di wilayah Myanmar. Menurut analis, kudeta militer mempercepat tumbuhnya kawasan tersebut, mengakhiri upaya pemerintahan terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi yang terguling, untuk mengawasi wilayah perbatasan dengan ketat.

Meskipun jumlah pasti para pekerja penipuan di sepanjang Sungai Moei sulit diketahui, Jason Tower dari USIP memperkirakan, di Shwe Kokko dan KK Park saja setidaknya terdapat 20.000 orang.

"Ada 17 lebih (kamp) yang tersebar di sepanjang sungai dan mereka semua bisa menampung setidaknya beberapa ribu orang," kata Tower.

Gedung-gedung di Shwe Kokko, kota kecil penuh dengan kasino, hotel dan kamar karaoke yang disebut oleh ahli merupakan ground zero organisasi penipuan di Myanmar. Foto dari Alastair McCready. Myanmar, 2023.

Citra satelit juga menunjukkan adanya pembangunan pesat dari April 2021 hingga Maret 2023 di Proyek Huanya International City, "kota baru" yang tengah berkembang di selatan Myawaddy, dan kompleks Xinghua, di mana lima mantan korban buka suara kepada This Week in Asia, mengisahkan penganiayaan dan penahanan selama berbulan-bulan yang mereka alami.

Persatuan Nasional Karen (Karen National Union), salah satu kelompok etnis bersenjata tertua dan terbesar di Myanmar, juga terkait dengan proyek Huanya. Dalam sebuah foto, Roger Khin, kepala departemen pertahanan dari kelompok ini, terlihat menghadiri upacara peletakan batu pertamanya pada 2020.

Juru bicara KNU Padoh Saw Kalal Say membantah adanya "keterlibatan individu para pemimpin KNU". Dia juga menyatakan "mengutuk keras tindakan brutal dan kerja paksa di dalam komplek-kompleks tersebut." Kepada This Week in Asia, dia mengatakan bahwa sebuah tim telah dibentuk untuk menyelidiki masalah ini.

Meskipun Shwe Kokko, KK Park, dan proyek kota Huanya mendapat sorotan tajam, kebanyakan kamp-kamp penipuan di sepanjang Sungai Moei masih belum terungkap. Hanya potongan-potongan kesaksian dari para penyintas atau pekerja saja yang menunjukkan keberadaan kompleks-kompleks kejahatan tersebut.

Misalnya saja Zona Dongmei - awalnya bernama Proyek Kawasan Industri Saixigang, mengacu pada sebuah kota resor di Kamboja yang didominasi orang-orang Cina. Kawasan ini dimiliki seorang tokoh triad (organisasi kejahatan di Cina) Macau, Wan Kuok-koi, atau lebih dikenal dengan julukan "Gigi Patah". Ia dihukum penjara 14 tahun pada 1999 karena berbisnis judi ilegal.

"Gerbang 25", sebuah kompleks di utara Myawaddy, juga tak terdeteksi. Nama aslinya tidak diketahui, bahkan oleh delapan korban yang mengisahkan penganiayaan fisik yang mereka alami di sana kepada This Week in Asia.

Mechelle Moore, direktur lembaga non-pemerintah anti-perdagangan manusia Global Alms di Mae Sot, memperhatikan adanya lonjakan korban perdagangan manusia sejak pertama mereka menerima rujukan masalah perdagangan manusia yang terkait dengan kejahatan penipuan dari polisi Thailand pada Agustus tahun lalu.

"Dari saat itu, kemudian terus membesar," ujarnya. Hingga Juli lalu, organisasinya telah menolong tak kurang dari 452 orang.

Meskipun kebanyakan dari para pekerja telah diselundupkan ke Myanmar dan disekap - dan awalnya tidak memahami soal pekerjaannya, menurut Moore, sebagian korban tetap bertahan karena mereka mendapat gaji. Ini berarti ada pendapatan untuk keluarga mereka di rumah.

Menurut beberapa penyintas, banyak korban perdagangan manusia tidak menyadari kalau mereka telah berada di Myanmar sampai semuanya sudah terlambat. Begitu sudah di sana, mereka tak tersentuh hukum, ditawan oleh geng-geng penjahat dan rekanan militer lokal. 

"Mereka bilang ke kami: 'Kami bisa membunuhmu di sini. Ini Myanmar," kata Jane.

Plang anti-perdagangan manusia dekat perbatasan Thailand-Myanmar yang memperingati orang-orang untuk tidak tertipu dengan janji pekerjaan online. Foto dari Allegra Mendelson. Thailand, 2023.

Awal dari Akhir?

Sementara pembangunan terus berlanjut di sepanjang Sungai Moei, tekanan terhadap komplek-kompleks penipuan juga kian menguat.

Interpol mengeluarkan peringatan global pertamanya tentang "penipuan dengan sokongan perdagangan manusia" pada Juni lalu. Pada bulan yang sama, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat juga telah mengeluarkan Laporan Perdagangan Manusia 2023, yang menyoroti perkembangan peran Thailand sebagai "negara transit" bagi orang-orang yang akan diselundupkan ke Myanmar untuk operasi penipuan siber, yang menurut Jason Tower, reputasi yang tak diinginkan pemerintah Thailand.

Namun tekanan yang paling kuat adalah pernyataan Menteri Luar Negeri China Qin Gang pada Mei lalu, yang meminta otoritas Myanmar memberantas kejahatan siber yang dioperasikan di daerah-daerah perbatasannya.

Menurut Jason Tower, sebagai salah satu dari segelintir penyokong junta Myanmar yang terisolasi, Beijing dapat memainkan peran penting dalam pemberantasan pusat-pusat kejahatan penipuan ini.

Tindakan juga dilakukan, meski tak berdampak besar. Pada 6 Juni, Thailand memutus aliran listrik ke Shwe Kokko dan Lay Kay Kaw, di mana terdapat markas KK Park. Sebagian besar kawasan perbatasan mendapat akses internet dan listrik dari perusahaan-perusahaan yang berbasis di Thailand.

Tower meyakini, tindakan pemadaman tersebut didorong oleh Beijing seiring dengan meningkatnya tekanan diplomatik atas keberadaan sindikat-sindikat kriminal tersebut.

"Jika makin banyak laporan tentang perdagangan warga Cina dan warga Cina yang terlibat di dalam penipuan ... hal tersebut akan membuat pemerintah Cina kehilangan muka," ucap Tower.

Namun, jika tidak ada tindakan yang lebih besar, operasi penipuan akan terus menyebar dari perbatasan Myanmar, karena barisan anak-anak muda dari berbagai penjuru dunia tetap terus menyeberangi Sungai Moei.

"Meninggalkan neraka (di sana) membuat kita berpikir bahwa ini adalah kesempatan baru," ujar Jane. "Tuhan itu ada, dan Dia bisa mendengar doa kita."

Artikel ini merupakan bagian dari proyek Pulitzer bertajuk "Inside Myanmar's Lawless Scam Mills", baca bagian berikutnya di tautan berikut.

Tempo Media Lab

  • Penulis

    Allegra Mendelson

    Alastair McCready

    Hein Thar

  • Translator

    Oik Yusuf Arraya

  • Editor

    Aidan Jones

    Purwani Dyah Prabandari

  • Programmer

    Rizkika Syifa

  • Desain

    Krisna Adhi Pradipta

Powered By

Artikel Interaktif Lainnya