Pulitzer Center ikut bekerja sama dalam pembuatan laporan ini. Naskah asli dipublikasikan di South China Morning Post di tautan berikut. Nama-nama semua korban sudah diubah dan beberapa detail tidak ditulis untuk melindungi dari identifikasi.
“Lari!” Itulah satu-satunya instruksi yang diberikan kepada Max dan Jane, mengakhiri enam bulan penderitaan mereka di Myanmar. Selama kurun waktu tersebut, dua orang Filipina ini dipaksa menggeluti dunia penipuan daring (online scamming).
Sehari setelah bebas, duduk di rumah seorang petani di pinggiran Mae Sot - kota di Thailand yang berbatasan dengan Myanmar yang menjadi pintu masuk ilegal mereka ke Myanmar pada akhir tahun lalu - pasangan Max dan Jane mengingat kembali masa-masa menegangkan saat perahu mereka menyusuri celah sempit di sungai, untuk menuju gerbang kebebasan.
Begitu menyentuh sisi sungai di wilayah Thailand, sang pengantar berkata: "Yang harus kamu lakukan, lari," ujar Jane, mengulangi ucapan pengantarnya. Dan itulah yang mereka lakukan, lari sambil membawa koper. Max yang masih terguncang dengan pengalaman buruknya, membiarkan Jane mewakilinya berbicara kepada This Week in Asia.
Keduanya tidak bersama berangkat dari Filipina. Salah satu dari mereka berangkat Desember tahun lalu, dan satunya lagi Januari 2023. Mereka tergoda iklan lowongan kerja di Thailand yang menawarkan gaji yang menggiurkan.
Suatu pasar di Mae Sot yang terletak di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Foto dari Alastair McCready. Thailand, 2023.
Begitu masuk ke Thailand, mereka dibawa ke Mae Sot, kota yang berbatasan dengan Myanmar. Ternyata mereka tak berhenti di kota kecil ini. Mereka dibawa menyeberangi Sungai Moei dan masuk ke Myanmar. Di sana, mereka ditempatkan di sebuah kamp yang dikelola para penjahat asal Cina dan dipaksa melakukan penipuan dengan sasaran orang-orang di Eropa dan Amerika Utara.
Ketika akhirnya mereka berhasil bebas, mereka membawa pulang bekas luka dan lebam di tubuh akibat dipukuli bos-bos mereka. Rasa bersalah atas tindak kejahatan yang mereka lakukan juga menggelayuti keduanya.
"Saya menjadi alat dalam penipuan ini. Saya bekerja untuk mereka... meskipun itu bukan kemauan saya," ujar Jane.
Ribuan orang lainnya memiliki pengalaman serupa. Orang-orang dari Malaysia, Taiwan, Indonesia, India, Kenya dan Nepal tergoda janji kerja dengan penghasilan besar, namun ternyata mereka mendapati dirinya terjebak selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, di labirin kejahatan dunia maya.
"Perusahaan" tempat Jane dan Max dipaksa bekerja hanyalah satu dari banyak perusahaan sejenis yang marak di sepanjang 40 kilometer pinggir sungai di Myawaddy di negara bagian Kayin, Myanmar. Kawasan ini merupakan salah satu simpul jaringan penipuan di Asia Tenggara yang dikuasai orang-orang dari Cina.
Bisnis penipuan sejenis di Kamboja menjadi sorotan tahun lalu setelah maraknya laporan tentang tindak perdagangan manusia besar-besaran, kerja paksa, dan penyiksaan sistematis (di kamp-kamp penipuan). Peran Filipina sebagai salah satu pusat penipuan juga kembali mencuat pada akhir Juni lalu ketika dilakukan penggerebekan di kamp penipuan di Manila bagian selatan yang juga dikelola orang-orang Cina, dan lebih dari 2.700 “pekerja” dibebaskan. Laos juga menjadi markas operasi penipuan berskala besar, tepatnya di Kawasan Ekonomi Khusus Segitiga Emas.
Di Myanmar, bisnis kejahatan yang keji ini melenggang, tak tersentuh. Mereka terbantu adanya gejolak yang tengah berlangsung di negara tersebut akibat kudeta militer 2021. Selain itu, bisnis kejahatan ini dijalankan penjahat asal Cina yang bersekutu dengan kelompok paramiliter setempat, sehingga tak terjangkau aparat penegak hukum, masyarakat sipil, maupun media.
Saat menelusuri masalah ini, This Week in Asia berbincang dengan 18 orang dari tujuh negara, yang pernah bekerja atau masih bekerja di sindikat penipuan tersebut. Mereka diselundupkan ke Myawaddy tahun lalu dan tahun ini, kemudian dipaksa melakukan penipuan; dianiaya, baik fisik maupun psikologis; serta dilarang keluar (kompleks).
“Ini adalah perserikatan bangsa-bangsa untuk penipuan,” kata Jason Tower, direktur pemantau konflik Institut Perdamaian Amerika Serikat (USIP) di Myanmar. "Anda akan menemukan banyak penipu, korban perdagangan manusia untuk dijadikan tenaga kerja paksa, dari berbagai negara.”
Untuk masuk dan keluar, kebanyakan dari mereka lewat perbatasan Thailand-Myanmar yang longgar. Geraldina Ansart, Kepala Misi Organisasi Internasional untuk Migrasi di Thailand, mengatakan kalau pihaknya mendapat banyak rujukan masalah perdagangan manusia sejak pertengahan 2022. "Ini hanya puncak gunung es."
Industri penipuan ini diperkirakan bernilai miliaran. Sebagian uang hasil penipuan digunakan untuk membayar situs-situs palsu, perekrut yang menjerat para korban baru, dan para pejabat korup yang membuka perbatasan untuk mereka yang sangat membutuhkan pekerjaan.
Jane mengungkapkan kalau dirinya yakin saat itu ia melamar pekerjaan di Amazon, perusahaan di mana dia pernah bekerja di Filipina. Alamat surat elektroniknya tampak seperti milik perusahaan yang asli. Orang yang merekrutnya kemudian mengurus pemesanan penerbangannya ke Bangkok. Beberapa hari kemudian, dia sudah berada di mobil menuju ke arah sungai.
Mobil-mobil yang digelapkan menunggu pengambilan di tepi Moei River di bagian Myanmar, yang terlihat dari Thailand. Foto dari Alastair McCready. Thailand, 2023.