Ratusan orang berkerumun di ruang tunggu Pelabuhan Larantuka, Nusa Tenggara Timur, pada Selasa pagi, 12 Juli 2022. Sebagian dari mereka tampak duduk selonjoran di lantai. Sebagian lainnya terlihat lalu-lalang di dalam ruangan. Sesekali terdengar petugas pelabuhan memberikan pengumuman melalui pengeras suara.
Mereka yang ada di ruangan tunggu itu adalah calon penumpang KM Lambelu, yang melayani rute penyebrangan Larantuka-Nunukan. Sekitar pukul 09.00 WITA, seorang perempuan berkacamata masuk ke ruangan itu menuju ke arah petugas pelabuhan. Tak lama kemudian, petugas memberikan alat pengeras suara ke perempuan tersebut. Perempuan itu kemudian berbicara melalui pengeras suara.
"Selamat pagi bapak-ibu semua. Saya ibu Noben. Saya yang selama ini mengurus pemulangan jenazah orang-orang kita yang bekerja dan meninggal di luar negeri," katanya. "Saya sungguh yakin, di antara bapak-ibu di sini pasti ada yang hendak menyebrang ke Malaysia. Kita tidak larang merantau ke luar negeri. Supaya kita bekerja nyaman di sana, lebih baik kita berangkat melalui jalur resmi."
Perempuan bernama lengkap Benedicta Noben Da Silva tersebut lantas memperkenal diri sebagai aktivis perempuan yang sejak 2014 fokus mengadvokasi kasus perdagangan manusia di Flores Timur. Kini, ia sudah mendirikan Yayasan Bunda Berbelas Kasih yang bergerak pada isu sosial dan Hak Asasi Manusia. Ia juga menjadi relawan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nusa Tenggara Timur. "Bapak-ibu yang hari ini mau berangkat ke Malaysia, bisa simpan nomor telepon saya. Kalau terjadi apa-apa nanti, bisa langsung kontak saya," ucapnya.
Pagi itu, perempuan bernama lengkap Benedicta Noben Da Silva tersebut memberikan sosialisasi terkait prosedur bekerja ke luar negeri. Noben adalah aktivis perempuan yang sejak 2014 fokus mengadvokasi kasus perdagangan manusia di Flores Timur. Kini, ia sudah mendirikan Yayasan Bunda Berbelas Kasih yang bergerak pada isu sosial dan hak asasi manusia. Ia juga menjadi relawan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) NTT.
Setelah Noben selesai berbicara, seorang gadis berambut pirang mengenakan jaket berbahasn denim biru berkelir hijau bergegas berdiri dan maju mendekatinya. Tiga perempuan lain mengenakan jilbab juga ikut berdiri dan mendekati Noben. Keempatnya hendak meminta nomor telepon Noben.
Perempuan dengan jaket biru itu bernama lengkap Maria Lelo, 30 tahun. Ia hendak ke Malaysia bersama satu kerabat dari kampungnya di Pulau Adonara, Flores Timur. Maria baru pulang dari Malaysia tiga bulan sebelumnya. Ia berniat kembali ke sana membawa serta kakak perempuan. Keduanya berniat bekerja di Kinabalu, Malaysia Timur, sebagai pembantu rumah tangga. Baik Maria mapun kakaknya tak memiliki paspor. "Nanti sampai di Nunukan baru urus paspor," kata Maria.
Menurut Maria, untuk mendapatkan paspor di Nunukan, mereka harus membayar sekitar 1500 Ringgit Malaysia atau setara Rp 4.98 juta per orang dan harus menunggu selama satu minggu. Harga paspor ini 14 kali lipat dari harga normal yakni sekitar Rp 350 ribu.
Saru dari wanita berjilbab yang tadi meminta nomor Noben juga tak mengantongi paspor. Perempuan asal Pulau Adonara ini hendak ke Malaysia dan juga akan mengurus paspor di Nunukan. Dia mengaku sudah berpengalaman soal itu. "Saya pernah bekerja di Malaysia," kata perempuan tersebut sembari meminta identitasnya dirahasiakan.
Warga Flores Timur menyebut KM Lambelu sebagai kapal perantau. Setiap kali bersandar di Larantuka, ratusan orang naik dan turun. Mereka yang menumpang kapal itu sebagian besar para perantau yang hendak pergi ke Kalimantan, lalu ke Malaysia.
PT Pelni cabang Larantuka mencatat selama Januari hingga Agustus 2022, sebanyak 3.466 orang berangkat dari Larantuka menuju Nunukan. "Sebelum pandemi, orang-orang yang ke Nunukan bisa dua kali lipat dari jumlah yang sekarang. Sampai Agustus ini, kami mencatat, orang yang ke Nunukan paling banyak pada bulan Juli yakni 894 orang," kata Kepala Administrasi PT Pelni cabang Larantuka, Wyllmar Saribunga Pasangka.
Menurut Noben, timnya mencatat sedikitnya 100 orang yang berada di ruang tunggu tersebut hendak menyebrang ke Malaysia. "Yang jujur ke kita hanya sedikit orang. Yang lain tidak mau jujur. Biasanya ketika ada persoalan di Nunukan baru mereka huru-hara hubungi kita," ujarnya.
Merantau, ujar dia, sudah menjadi budaya orang Flores Timur sejak puluhan tahun lalu. Ketika itu, warga Flores Timur bermigrasi secara mandiri ke Malaysia lewat Nunukan dan Batam. Di dua tenpat itu, mereka akan dibantu calo untuk bisa masuk ke Malaysia. Setelah mendapatkan pekerjaan, mereka akan kembali ke Flores Timur untuk memboyong kerabat ke Malaysia seperti yang dilakukan Maria dari Pulau Adonara.
Calo Jalur Kerabat
Noben mengatakan berdasarkan informasi yang ia peroleh dari beberapa sumber, orang-orang yang membawa tenaga kerja ke Malaysia secara ilegal biasanya mendapat bayaran sekitar Rp 5-6 juta per orang. "Ini yang memang sedang terus kita sosialisasikan kepada masyarakat. Yang jadi calo itu orang terdekat seperti paman, kakak, adik atau keluarga dekat lainnya," ujarnya.
Heraklius Lusi, 41 tahun, mantan pekerja migran ilegal yang dideportasi dari Malaysia pada 2021 menguatkan pernyataan Noben. Menurut dia, persoalan ekonomi menjadi faktor pemicu orang-orang di Flores Timur bermigrasi ke luar daerah atau luar negeri. "Jujur saja, kami merantau itu karena masalah ekonomi," kata warga Bloto, Pulau Adonara, tersebut saat ditemui pada 14 Juli 2022. "Kalau berharap dari hasil pertanian, itu tidak cukup."
Heraklius bersama istri dan dua anaknya memutuskan untuk merantau ke Malaysia pada 2012. Saat itu, mereka berangkat mandiri ke Batam. Di Batam mereka bertemu tekong atau calo yang membantu menyelundupkan mereka ke Johor, Malaysia. Di Johor, mereka dijemput oleh bos yang sebelumnya telah berkomunikasi dengan calo tersebut.
"Tekong ini orang dari sini (Adonara). Dia sudah lama di Batam dan kerjanya itu menyelundupkan orang-orang yang hendak ke Malaysia tanpa dokumen resmi," tutur Heraklius sembari meminta untuk tidak menulis nama sang calo yang masih punya hubungan kekerabatan dengannya.
Di Malaysia, Heraklius bekerja di peternakan. Ia cukup beruntung karena majikannya sangat baik. Ia diberi upah yang layak. "Bos juga selalu memperhatikan saya dan keluarga. Di saat ada razia tenaga kerja tanpa dokumen, bos selalu melindungi kami," ujarnya. "Saya pernah ditangkap saat mau antar anak untuk pulang ke Indonesia, tetapi saat itu bos yang tebus, sehingga saya bisa bebas lagi."
Menurut Heraklius, tak sedikit pekerja migran Indonesia tanpa dokumen resmi di Malaysia yang mengalami nasib malang. Mereka selalu dikejar-kejar oleh aparat penegak hukum di sana. "Pekerja ilegal di Malaysia itu tinggal di hutan terus. Kita jarang sekali ke kota karena takut ditangkap," ujarnya.
Situasi ini juga berpengaruh terhadap anak-anak para pekerja migran tersebut. Anak-anak mereka tidak bisa mengakses pendidikan. Putri sulung Heraklius yang berusia 16 tahun, misalnya, hingga kini tidak pernah sekolah. Heraklius bersama istri dan dua anaknya dideportasi setelah mereka gagal pulang ke Indonesia melalui 'jalur gelap'.
"Kami pulang itu hanya bawa baju di badan. Uang sekitar Rp 300 juta itu hilang saat kami lari dikejar aparat keamanan Malaysia ketika hendak pulang melalui 'jalur gelap' menuju Medan," kata dia, "Saya berusaha menghubungi keluarga, kemudian mendapatkan kontak ibu Noben. Ibu Noben yang membantu kami sehingga kami bisa terhubung dengan KBRI di Malaysia, sampai kami akhirnya pulang dengan selamat sampai di kampung."
Kini, Heraklius dan keluarganya memulai kehidupan baru di Kampung Bloto. Mereka tinggal di rumah sederhana berukuran sekitar 4x5 meter. Rumah bambu berlantai tanah itu milik orang tua istrinya. Untuk bertahan hidup, Heraklius kini bertani. Ia menanam sayur-sayuran dan buah-buahan. Mimpi Heraklius untuk hidup lebih layak setelah pulang merantau ternyata tak menjadi kenyataan.
Banyak tenaga kerja ilegal di Malaysia yang bernasib sama dengan Heraklius. Data BP2MI Flores Timur mencatat selama Januari hingga Desember 2020, sebanyak 48 orang TKI dari Flores Timur dideportasi karena tidak memiliki dokumen. Bahkan ada yang dideportasi tapi sudah menjadi jenazah. Pada tahun yang sama 16 TKI dari daerah itu meninggal. Tahun berikutnya yang meninggal tercatat sebanyak 14 orang. Sebagian besar dari yang meninggal itu datang ke Malaysia dengan cara ilegal.
Kendati kasus-kasus kematian dan deportasi buruh migran non prosedural itu terus terjadi setiap tahun, belum nampak langkah antisipasi Pemerintah Kabupaten Flores Timur untuk menghentikan hal tersebut. Contohnya, kendati mengetahui banyak calon penumpang di Pelabuhan Larantuka yang hendak ke Malaysia tanpa kelengkapan dokumen, tak ada tindakan apapun yang dilakukan pihak berwenang. "Pengawasan kita belum maksimal sehingga banyak yang masih lolos juga lewat kapal ke luar negeri, " ujar Sekretaris Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Flores Timur Mohamad Ikram.
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Flores Timur mengklaim telah melakukan upaya antisipasi untuk membendung laju migrasi TKI ilegal. Caranya adalah menyurati setiap kecamatan dan desa agar mereka ikut bertanggung jawab mengontrol dan mengawasi masyarakat di wilayah masing-masing. "Yang jadi persoalan, mengapa mereka tidak mengikuti prosedur? Karena ada keluarga yang pulang dari Malaysia. Satu orang pulang dari Malaysia, pada saat dia kembali (ke Malaysia) dia bawa 10 orang tidak melalui jalur pemerintah atau non prosedural. Itu jadi persoalan selama ini," ujar Ikram.
Padahal, kata dia, kalau calon TKI mengurus dokumen resmi untuk bekerja di luar negeri, nama mereka akan tercatat di Dinas Tenaga Kerja Flores timur dan akan terkoneksi ke BP2MI pusat." Kalau secara prosedural, nama mereka, foto, tempat kerja, umur berapa, gaji berapa, itu dikontrol di pusat. Persoalan apa di sana, itu di pusat tahu. Sehingga Pemerintah selalu menjaga keamanan para buruh migran kita," katanya.
Salah seorang warga Flores Timur yang mengaku pernah merantau ke Malaysia mengatakan proses pengurusan dokumen yang bertele-tele di pemerintah membuat banyak calon TKI, termasuk dirinya, memilih jalur non prosedural. "Kita ini kan butuh cepat. Tetapi ketika prosesnya lama, makanya kita berpikir lebih baik kita selundup saja ke Malaysia, " ujar pria berbadan tegap yang sedang menunggu KM Lambelu di Pelabuhan Larantuka. Pria ini meminta namanya tak disebut.
Faktor Ekonomi
Rumah-rumah dengan model dan ukuran yang nyaris sama terlihat berjajar di Kelurahan Pohon Bao, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Kompleks perumahan ini jaraknya hanya selemparan batu dari pusat kota Larantuka, ibu kota Flores Timur.
Lorong sempit menuju komplek Perumahan Batu Ata Indah itu penuh lubang. Aspalnya sudah terkelupas. Yang tersisa hanya batu-batu kerikil. Debu beterbangan saat ada kendaraan yang melintas. Kompleks ini juga dikenal sebagai daerah kesulitan air bersih. Untuk kebutuhan minum, mandi, dan sebagainya; warga harus merogoh kocek guna membeli air yang dijual mobil-mobil tangki.
Di kompleks perumahan ini, Katarina Kewa Kolin (41) tinggal bersama enam anaknya: dua laki-laki dan empat perempuan. Dua anak laki-lakinya telah putus sekolah dan bekerja serabutan dan empat putrinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan atas.
Katarina bersama enam anaknya tinggal di rumah berukuran sekitar 5 x 6 meter. Di dalam rumah itu ada dua kamar dan satu ruang tamu sekaligus ruang makan. Dapurnya sangat sempit. Hanya berukuran sekitar 1,5 x 2,5 meter. Senin pagi, 11 Juli 2022, Katarina bersama empat putrinya sedang sibuk membuat kue di ruang tamu rumah mereka. Kue-kue itu hendak dijual untuk menyambung hidup.
Membuat dan menjual kue merupakan rutinitas Katarina saban hari, sejak suaminya meninggal pada 2016. Dari hasil jualan kue, ia bisa menafkahi keluarganya, meski tak jarang ia harus berutang di koperasi. "Modal jualan kue ini saya hutang di perinkop mingguan," tuturnya. Perinkop adalah istilah warga Flores Timur untuk koperasi, baik koperasi harian, mingguan, maupun bulanan.
Karena kesulitan ekonomi, Katarina pernah tergiur untuk menjadi TKI di Malaysia. Pada akhir Maret 2021, ia didatangi Vero Langkamau, pegawai koperasi mingguan, tempat Katarina meminjam uang untuk modal usaha kue. Pagi itu, Vero datang bukan untuk mengambil setoran koperasi dari Katarina. "Ka Vero datang curhat-curhat. Dia bilang lebih baik kita pergi merantau. Di sini gaji kecil. Utang banyak di perinkop. Kita kerja di sana, kita (bisa) bayar utang, (bisa) biayai anak sekolah, (bisa) bangun rumah," ujar Katarina mengulangi perkataan Vero saat itu.
Saat itu, menurut Katarina, Vero mengajaknya untuk bekerja di Jakarta. Di sana ada tiga jenis pekerjaan yang bisa dipilih yakni pembantu rumah tangga, jaga anak, dan urus jompo. "Dia bilang kalau urus jompo itu gajinya besar. Tiga juta rupiah per bulan," kata dia sembari menambahkan bahwa Vero datang membujuknya selama tiga hari berturut-turut.
Kebutuhan hidup yang terus meningkat membuat Katarina tergiur dengan bujuk rayu Vero. "Saya beritahu anak-anak bahwa saya mau bekerja di Jakarta. Anak-anak mau. Anak-anak bilang, biar mama bisa bayar utang dan uang sekolah kami," ujarnya
Tiga hari setelah mendapat persetujuan anak-anaknya, Vero datang dan meminta dirinya menyiapkan KTP, Kartu Keluarga, dan Surat Vaksin Covid-19. "Dia foto itu KTP, KK dan surat vaksin. Katanya mau kirim ke bos yang di Jakarta," kata Katarina. "Saya tidak tahu bos itu siapa. Yang berhubungan dengan bos hanya Ka Vero."
Empat hari kemudian, lanjut Katarina, Vero kembali mendatangi rumahnya dan menyerahkan uang sebesar satu juta rupiah untuk belanja tas, sepatu, dan beberapa perlengkapan lainnya. Vero berpesan, uang sisa belanja barang-barang itu dikasih kepada anak-anak Katarina. Keesokan harinya, Senin 5 April 2021, sekitar pukul 15.00 WITA, Vero menjemput Katarina menggunakan mobil untuk dibawa ke Maumere. Jarak Larantuka Maumere sekitar 150 kilometer. Di dalam mobil itu, selain Vero dan sopir, ada seorang perempuan lain yang juga direkrut Vero. "Bilangnya kapal berangkat malam dari Maumere. Sampai di Maumere sudah gelap dan langsung beli tiket ke Makassar," ujar Katarina.
Dari Maumere ke Makassar mereka menggunakan KM Siguntang. Di atas kapal, Katarina bersama Vero dan satu orang lainnya bertemu dengan tiga perempuan yang juga hendak ikut bekerja di bawah koordinasi Vero. Ketiga perempuan itu berasal dari Pulau Adonara."Sampai Makassar Sabtu subuh. Kita turun. Vero bilang kita cari penginapan di sini. Kita dapat kos di Bapak Haji yang dekat pelabuhan di Makassar," tambahnya.
Sabtu pagi, 9 April 2021, Vero memberitahu Katarina dan empat calon pekerja lainnya bahwa mereka akan ke Surabaya menggunakan pesawat. Katarina pun menanyakan kepada rekan-rekannya terkait perubahan tujuan perjalanan tersebut. "Mereka bilang kita akan ke Kuala Lumpur. Sebelum ke Kuala Lumpur, urus surat-surat di Surabaya selama satu minggu," ujarnya.
"Saya bilang, itu hari katanya mau kerja di Jakarta. Akhirnya saya telepon beritahu anak-anak bahwa saya akan bekerja di Malaysia," cerita Katarina. "Anak-anak tidak mau. Mereka bilang mama pulang saja."
Lia Mage, anak perempuan Katarina yang paling tua mengatakan, ia bersama kedua kakak laki-laki dan adik-adiknya keberatan ibu mereka ke Malaysia karena tidak sesuai dengan tujuan awal yakni Jakarta. Apalagi, kata dia, Katarina tidak mengantongi surat-surat resmi untuk bekerja ke luar negeri. "Di sini tante Vero bilang kerja di Jakarta. Kalau dari sini bilang mau ke Malaysia, kami tidak akan izin mama merantau," katanya.
Informasi tentang Katarina dan kawan-kawannya yang akan diberangkatkan ke Malaysia itu pun sampai ke telinga Noben. Ia mendatangi kediaman anak-anak Katarina dan menggali informasi terkait proses awal hingga ibu mereka berangkat ke Makassar. Noben kemudian mengontak Katarina. Menurut Katarina, saat ditelepon Noben, Vero selalu menghalanginya dan meminta dia untuk tidak bicara.
Anak-anak Katarina didampingi Noben melaporkan kasus itu ke pihak kepolisian Flores Timur pada Sabtu malam. Pada malam itu juga, pihak polisi di Makassar langsung mengamankan Vero, Katarina, dan beberapa calon tenaga kerja lain yang hendak dibawa ke Malaysia tersebut.
Penyidik Kepolisian Resort Flores Timur menyatakan telah memeriksa sepuluh orang terkait kasus itu termasuk Vero Langkamau. "Saat memberikan keterangan, Vero ini mengaku korban karena dia juga hendak bekerja. Yang meminta dia untuk rekrut itu saudara AM," kata Kasi Humas Polres Flores Timur, Inspektur Dua Anwar Sanusi.
Seorang polisi Reserse Kriminal Umum di Kepolisian Nusa Tenggara Timur memberi informasi AM pernah dilaporkan terkait kasus dugaan human trafficking. Namun, saat itu, AM melarikan diri. Selama ini AM sering membawa tenaga kerja ilegal dari Flores Timur ke Malaysia. Dia dulu pernah kerja di Malaysia dan saat ini tinggal di negara tersebut. Polisi sejauh ini belum memeriksa AM. "Kami sudah kirim surat panggilan, tetapi yang bersangkutan belum datang. Jadi tinggal dia yang belum diperiksa," ujar Anwar Sanusi.
Kepolisian Resort Flores Timur menyebut kasus yang menimpa Katarina belum bisa dinaikan ke penyidikan karena belum terjadi tindak pidana. "Menurut keterangan Vero, dari sini (Flores Timur) bahwa akan dibawa ke Malaysia. Saat di Makassar, mereka ditahan dan dikirim kembali ke Flores Timur. Jadi belum ada tindakan pidana di sini karena belum dikirim (ke Malaysia)," ujar Inspektur Dua Anwar Sanusi, Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Flores Timur.
Vero belum bersedia memberikan tanggapan, Didatangi di rumahnya dua kali, dia sedang tidak di sana. Dihubungi melalui pesan ke nomor WhatsAppnya, Vero sempat menolak. "Owww dari wartawan yang belum tahu cerita jelasnya dari kami semua langsung tulis nama saya jelas-jelas itu?" katanya. Setelah diberi penjelasan, dia mengataian bersedia diwawancara soal kasusnya. Tapi, saat didatangi kembali di rumahnya, dia tidak ada di tempat. Setelah itu, dia juga tak bisa dihubungi.
Liputan ini terselanggara atas kerja sama Tempo.co, Tempo Institute, Floresa.co, Koran Ekora NTT, Task Force media dan, Zero Human Trafficking Network (ZHTN).