Longform

Kunci Dominasi Manchester City

Jumat, 10 Juni 2022

Manchester City merebut gelar Liga Premier keempat dari lima musim di bawah Pep Guardiola. Bagaimana mereka bisa menjadi sedominan ini?

Oleh Krisna Pradipta

tempo

Tim sepak bola Manchester City asuhan Pep Guardiola telah kembali memenangkan gelar Liga Premier pada musim 2021/2022. Meskipun ada lonjakan kinerja dari Liverpool di akhir musim, pertandingan comeback yang luar biasa telah membuat mereka kembali menjadi tim terbaik di Liga Inggris. 

Dominasi Guardiola pada beberapa pertandingan di awal musim bahkan membuat para rival berebut mendapatkan tempat dalam empat besar di awal 2022. Keputusan pragmatis untuk melepas gelar ini dilakukan demi masuk kualifikasi Liga Champions di musim 2023. 

Thomas Tuchel dari Chelsea berterus terang dalam penilaiannya atas dominasi Guardiola di Liga Inggris saat berhadapan dengan mereka pada Januari 2022. 

“Mereka adalah benchmark, tim terbaik di Inggris saat ini. Ini adalah sesuatu yang harus kita akui secara realistis.” kata Tuchel di konferensi pers pra-pertandingan pada 15 Januari 2022. Dia dikalahkan oleh City dengan skor 1-0 pada malam itu.

Saingan terdekat Guardiola, Jurgen Klopp dari Liverpool, membawa perebutan gelar berlangsung sampai minggu terakhir musim. Meski Liverpool berhasil memenangkan dua piala domestik, The Reds tetap kalah menghadapi konsistensi The Citizens di Liga Premier. 

“Sudah jelas sebelum [pertandingan terakhir musim ini] bahwa banyak hal harus terjadi.” Klopp mengatakan, dalam wawancara pasca pertandingan melawan Wolverhampton Wolves pada 22 Mei 2022. “Kami dekat tetapi, pada akhirnya, tidak cukup dekat. Begitulah.”

Kita bisa melihat dominasi City selama dua puluh minggu pertama musim itu. Performa tim dapat diukur dari statistik yang disebut xP (Expected Points), metrik di mana peluang untuk mencetak gol (dikenal sebagai xG, atau Expected Goals) dirata-ratakan ke dalam berapa banyak poin yang bisa didapat tim dalam satu pertandingan. 

Misalnya, sebuah tim yang mempunyai banyak orang yang memiliki peluang mencetak gol yang kuat, akan memiliki xP lebih tinggi daripada tim yang tidak.

Metrik ini membantu menunjukkan seberapa dominan Manchester City dalam laga Liga Premier. Meskipun sempat tersandung di beberapa minggu pertama dalam kampanye, City mendominasi minggu-minggu berikutnya. Di musim ini, City tidak pernah memiliki metrik xP kurang dari 1,2 poin. Artinya, bahkan dalam permainan saat mereka kalah, mereka diharapkan setidaknya seri dengan lawan mereka.

Konsistensi Manchester City tercipta dari kombinasi beberapa hal yang bekerja bersama secara harmonis, seperti klub yang dikelola dengan baik secara finansial, diisi dengan pemain yang bermain dengan strategi yang jelas yang dari dikte manajer.

Pep Guardiola sendiri menggarisbawahi strategi ini di sebuah konferensi pers sebelum melawan West Ham pada musim 2021/2022: “[Untuk] mempertahankan [sukses] untuk waktu yang lama [Anda membutuhkan] organisasi luar biasa yang mendukung manajer.”

“Para jurnalis dan para pemain tahu dia tidak akan dipecat—ini sangat penting. Dan kemudian [pemain] kualitas terbaik.”

Di lapangan, Manchester City menerapkan sistem 4-3-3, sebuah susunan yang telah digunakan Guardiola sejak di Barcelona. Analis menggambarkan gaya City sebagai “kematian akibat seribu operan”. Ini sebagian besar disebabkan gaya Pep Guardiola bergantung pada umpan akurat dari pertahanan, hingga ke depan dan bahkan di dalam kotak penalti. 

Gaya permainan ini sangat menekankan penguasaan bola, dan itu tercerminkan dalam statistik performa Manchester City. Menurut FBRef, tim asuhan Guardiola ini rata-rata memiliki 68,7% penguasaan bola selama musim 2022/2023. Ini adalah persentase penguasaan bola tertinggi dari tim manapun di 5 liga sepak bola teratas. Mantan tim Guardiola, Barcelona, berada di urutan kedua.

Kemenangan Guardiola dari Manchester United di musim 2021/2022 adalah contoh gaya permainan ini, yaitu ketika gelandang Guardiola mengoper bola kepada satu sama lain untuk mengobrak-abrik pertahanan lawan mereka.

“Jika kami tidak menyelesaikan serangan, kami akan diserang jauh lebih cepat dan di situlah mereka [United] sangat bagus,” kata Guardiola dalam konferensi pers setelah pertandingan.

“Itulah mengapa kami membutuhkan permainan dengan seribu juta operan.”

“Ketika kami melihatnya, umpan ekstra, umpan ekstra. Ada saat-saat kami akan menemukan [peluang untuk mencetak gol]. Dan kami melakukannya.”

Argumen yang sering diulang-ulang adalah City, yang disponsori uang negara Abu Dhabi, hanya mengeluarkan uang yang berlebih dibandingkan saingannya untuk membeli pemain terbaik. Namun, rival Liga Premier lainnya juga menggelontorkan jumlah uang yang sama dengan yang dihabiskan City untuk memperkuat tim.

Bedanya, rekrutmen Manchester City secara khusus menyasar pemain yang bisa menyesuaikan diri dengan rencana permainan Guardiola. Mantan gelandang Barcelona itu lebih memilih pemain yang sangat teknis. Oleh karena itulah, semua pemain City memiliki keterampilan passing yang lebih tinggi dari umum.

Bagan radar di bawah ini didasarkan pada persentase statistik dari 5% teratas dan 5% terbawah dari semua produksi statistik oleh pemain di posisi itu di 5 liga (EPL, Bundesliga, La Liga, Serie A, dan Ligue 1) dan senilai 365 hari data dari FBRef diperoleh dari Statsbomb Event Data.

Persentil dihitung dengan membandingkan statistik pemain dengan pemain di kumpulan perbandingan tersebut. Misalnya, saat menghitung persentil Gol untuk Robert Lewandowski, FBRef menemukan persentase Penyerang yang golnya lebih rendah darinya, dan persentase Penyerang yang golnya lebih rendah atau sama dengannya. Rata-rata dari dua persentase ini adalah persentil Golnya.

Bagan radar di bawah ini memvisualisasikan persentase passing skuad Guardiola pada musim ini. Seperti yang bisa dilihat, hampir semua pemain Manchester City memiliki skor di persentil ke-99 untuk permainan passing. Setiap metrik sesuai dengan bagaimana Guardiola ingin pemainnya bermain di lapangan.

Pemain defensif seperti Laporte dan Dias adalah kunci untuk membangun penyerangan, maka metrik passing mereka tinggi untuk umpan ke depan maupun menerima bola yang kembali ke belakang. Gelandang tengah City bisa menggiring bola ke depan melalui umpan akurat seperti Rodri dan Fernandinho atau berlari menuju ke kotak penalti seperti De Bruyne dan Gundogan. Ini semua mengarah kepada para penyerang Grealish, Mahrez, Sterling dan Jesus yang semuanya memiliki sentuhan bola yang tinggi di area penalti. 

Ini semua terjadi secara konsisten di setiap musim, dan dalam setiap pertandingan di bawah Guardiola sejak dirinya menjadi manajer para Citizens pada tahun 2016 silam. Dengan tambahan Erling Haaland dan berbagai opsi pemain yang lebih kuat di musim 2022/2023 nanti, the Citizens tampak tak terkalahkan dengan gameplan yang sudah ada. 

“Sukses telah ada selama lima tahun terakhir, kecuali tahun [2019] ketika Liverpool tak terkalahkan,” kata Guardiola dalam sebuah wawancara dengan situs Manchester City sebelum pertandingan final musim 2021/2022, “[Liga Premier] ini bukan turnamen, tapi merupakan rutinitas. Melakukan rutinitas adalah hal yang paling sulit dalam hidup kita.”

CREDIT

Penulis

Multimedia

Editor