Waktu itu, April 2017. Arsiani, buruh pabrik pengolahan tembakau berkali-kali pingsan saat bekerja malam. Saat itu umurnya 47 tahun. ”Seorang teman bilang sebaiknya saya periksa paru-paru, karena terus-terusan batuk,” tuturnya kepada Tempo, Sabtu, 28 November 2020.
Arsiani berbicara dengan suara yang agak berat menahan tangis ketika mengingat keadaan tiga tahun lalu. Ia merasa harus lebih tegar, karena menjalani perawatan rutin sebagai pasien multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB). Ia menyadari keadaan itu akan mempengaruhi pekerjaannya. ”Membayangkan minum obat selama hampir dua tahun itu rasanya hancur hati saya,” kata ibu yang memiliki tiga anak itu.
Semasa masih bekerja, Arsiani rutin bersurat untuk mengajukan izin istirahat dua hari tiap pekan, pada Senin dan Kamis. ”Saya harus kirim surat izin ke pabrik selama satu tahun,” ujarnya.
Arsiani bekerja sebagai buruh di pabrik tersebut sejak tahun 1994. Ia bekerja sebagai buruh harian selama hampir 20 tahun di pabrik yang berlokasi di Jember, Jawa Timur. Status tenaga kerja di pabrik itu berubah menjadi kontrak tahunan pada 2014. Bila masa kontrak setahun habis, maka pekerja mesti mengajukan lamaran untuk kembali bergabung.
Arsiani merasa kondisi tubuh agak membaik ketika menjalani sepuluh bulan pengobatan. Kontrak kerja tahunan sudah habis. Ia sempat berkeinginan mengajukan lagi lamaran kerja. Menurut dia, saat itu, pihak pabrik belum bisa menerima pada pengujung tahun 2018. ”Pekerjaan dan penyakit berlawanan. Pabrik tidak mau menerima karyawan selama pengobatan,” ujarnya. Pengujung tahun ini adalah masa terakhir ia menjalani pengobatan. Namun, Arsiani masih menimbang keputusan untuk kembali bekerja di pabrik itu.
Pasien tuberkulosis agaknya memiliki beragam cerita demi bertahan dalam dunia kerja. Faizal Mochamad Reza, 28 tahun, memilih untuk mengundurkan diri dari tempat bekerjanya di Jakarta Timur, pada April 2020. Saat itu staf bidang pengembangan karyawan menyodorkan kertas kepada Faizal. Seketika, Faizal menulis pernyataan pengunduran diri. Ia sudah bekerja sebagai teknisi di perusahaan bidang jasa itu sejak tahun 2014. Faizal terpaksa mau membuat pernyataan, ia mafhum telah lama menjalani pengobatan sebagai pasien tuberkulosis (MDR-TB).
”Sudah 12 bulan saya tidak bekerja, tapi menerima gaji,” katanya. Ketentuan mengenai upah pekerja yang sakit berkepanjangan merujuk pasal 93 ayat 3, Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Semasa satu tahun Faizal rehat, jumlah upah yang diterima mulanya utuh sampai mendapat separuh. Menurut aturan, upah yang diterima pekerja akan berkurang tiap empat bulan.
Faizal menceritakan, supervisor perusahaan pernah mendampingi ke rumah sakit saat ia menjalani perawatan. ”Sambil dia (supervisor) berbicara dengan dokter untuk tahu perkembangan pengobatan saya,” tuturnya.
Faizal merasa cukup nyaman bekerja di perusahaan itu. Tetapi, tersebab pengobatan rutin, akhirnya ia menganggap tak ada pilihan selain mengundurkan diri. ”Perusahaan tidak mengeluarkan surat pemutusan kerja,” katanya.
Lain lagi cerita yang dialami ES, seorang perempuan berumur 28 tahun. Ia berupaya menjalani pengobatan tuberkulosis sambil mempertahankan statusnya sebagai pekerja dalam situasi pandemi virus corona (Covid-19).
ES terkejut ketika berobat ke Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta Timur, pada November. Layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk ia berobat telah putus dengan alasan, ES mengundurkan diri dari tempat kerja. ”Padahal saya tidak mengajukan surat pengunduran diri. Saya juga tidak menerima surat pemecatan dari perusahaan,” ujarnya.
ES tak menerima pesangon, meski ia berstatus karyawan di perusahaan radio dan komunikasi itu. Akhirnya, hanya satu tahun ia bekerja di perusahaan tersebut sebagai staf penyusun laporan keuangan. Ia masygul, tapi terpaksa legawa, karena enggan larut dalam tekanan yang mempengaruhi kesehatannya. Saat berbincang dengan Tempo, ia berkali-kali berpesan agar tidak mencantumkan nama lengkapnya, karena khawatir perisakan. Setelah menerima keterangan medis, bahwa ES adalah pasien tuberkulosis, ia terpaksa menutupi kepada teman-temannya. ”Saya takut, orang-orang nanti menghindar, menjauhi.”
ES teringat keadaan pada Januari. Waktu itu suaranya serak, gejala seperti influenza. Waktu berjalan, kenyaringan suaranya kian berkurang, meski tidak mengalami batuk yang terlalu. ”Terasa sakit kalau menelan, misalnya saya paksa makan langsung muntah. Terasa perih ketika sedang minum,” tuturnya.
Beberapa kali ia memeriksakan diri ke puskesmas maupun klinik. Sempat ia merasa keadaannya agak membaik. Pada Juli, kondisinya makin memburuk, ia demam. Saat itu ia sempat menjalani rawat inap lima hari di rumah sakit. ”Waktu itu masih work from home (bekerja dari rumah). Ketentuan masuk kantor pada Agustus,” katanya. ES sempat bekerja satu kali di kantor pada pengujung Agustus.
Menjalani pengobatan semasa pandemi, ES merasa situasi kian rumit. Bukan hanya khawatir soal kesehatannya. Tetapi juga menyiasati keadaan agar tidak sering mengajukan izin ke kantor. Ketika masih bolak-balik berobat, ia harus membagi waktu sambil bekerja.
Saat endoskopi, pemeriksaan rongga dalam pembuluh, diketahui ada infeksi dekat pita suara. Rekam medis menunjukkan ada flek di paru-paru sebelah kanan. ES berobat sebagai pasien tuberkulosis (MDR-TB), pada 15 September. Surat keterangan sakit menyatakan, ES harus rehat selama dua bulan.
Sebelum sepenuhnya rehat mengikuti anjuran medis, ES masih bekerja di luar kantor. ”Selama pengobatan, saya bawa laptop sambil bekerja,” tuturnya. ES harus tersambung jaringan daring sejak pukul 09.00 sampai 18.00, mengikuti jam kerja kantor. Aktivitas kerja itu tetap ia lakukan kendati sambil izin berobat ke rumah sakit. Jika bekerja sambil berobat di rumah sakit, ia harus menambah jam kerja sampai malam.
”Sampai jam 20.00 saya baru tutup laptop,” tuturnya.
Ketika ia mengirim surat medis untuk rehat, ES terkejut karena pihak perusahaan mengambil keputusan sepihak. ”Saya beri surat itu ke kantor, ternyata inventaris ditarik. Pihak kantor langsung mengambil ke rumah,” ujarnya. Beberapa hari setelah itu, ia kaget ketika mengetahui sudah tidak bergabung lagi di grup WhatsApp kantornya. Seketika muncul rasa curiga. Semasa rehat, ia baru mengetahui tidak lagi dianggap bekerja di perusahaan itu ketika mendaftar pengobatan menggunakan BPJS.
Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis Indonesia, Budi Hermawan memahami ada perlakuan yang tak nyaman dialami pasien tuberkulosis dalam dunia kerja. Ia mafhum, kekhawatiran pasien sebagai dilema. ”Mereka bukan hopeless (putus asa), tapi berpikir ke depan yang dilawan itu kuat. Tidak semudah itu melawan pengusaha, perusahaan,” katanya.
Pasien tuberkulosis rentan mengalami ketakadilan. Keadaan itu mendorong organisasi Stop TB Partnership meluncurkan deklarasi tentang hak orang yang terkena dampak tuberkulosis pada 2019. ”Tuberkulosis menjadi persoalan mendasar. Pasien tuberkulosis memiliki hak asasi untuk bebas dari diskriminasi,” kata Senior Program Manager Stop TB Partnership Indonesia, Lukman Hakim.
Menurut data yang dihimpun Kementerian Kesehatan, perkiraan kasus tuberkulosis mencapai 845.000 di Indonesia berdasarkan catatan triwulan pada 2020. Perkiraan itu karena diketahui 35 persen kasus tuberkulosis tidak masuk dalam laporan. Adapun yang masuk dalam pencatatan kasus tuberkulosis berjumlah 543.874. Sebagian besar dari jumlah orang dengan tuberkulosis berusia produktif dalam dunia kerja, yakni 70 persen, menurut data yang dihimpun Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan.
Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis memandang beberapa aturan hukum terkait ketenagakerjaan memang memadai. Tetapi, pelaksanaan dianggap timpang. ”Pengawalan berjalannya aturan hukum di tengah masyarakat belum terlihat jelas,” kata Binsar Manik, selaku Koordinator Wilayah Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis.
Ia mencontohkan, ketika seseorang pasien tuberkulosis tercekluk dalam kariernya. ”Perlu pendampingan berkekuatan hukum supaya pekerja yang tuberkulosis mendapat haknya,” ujarnya.
Menurut dia, saru pelaksanaan aturan hukum itu yang membuat pasien tuberkulosis enggan terbuka tentang penyakitnya. Pekerja yang tuberkulosis, kemudian keadaannya makin pelik. ”Kalau mengaku sakit khawatir dipecat dan tidak bisa bekerja lagi,” katanya.
Pertimbangan itu membuat pekerja yang tuberkulosis jika terpaksa mengaku sakit, cenderung mencari cara lain berobat yang belum teruji. Alternatif pengobatan yang tak sesuai dengan penanggulangan tuberkulosis sengaja dilakukan, karena pertimbangan supaya tetap bekerja.
”Pengobatan tuberkulosis sesuai program dianggap lama, itu yang menimbulkan rasa takut kehilangan pekerjaan,” ucap Binsar. Keadaan itu membuat pasien tuberkulosis dilema, terutama mereka yang menjadi tulang punggung ekonomi dalam keluarga. Akhirnya, tak ada sokongan mendorong kemauan untuk berobat yang tepat.
Bagai peribahasa makan buah simalakama, jika pasien menjalani pengobatan yang tepat pun ketakutan masih membayangi. Binsar menceritakan, saat pasien telah rampung menjalani pengobatan. Ketika sembuh, keinginan kembali berkarier tersandung rekam medis yang menyatakan riwayat tuberkulosis. ”Nah, keadaan itu harus menjadi perhatian, karena tidak ada keadilan setelah pengobatan selesai,” ucapnya. ”Pelaksanaan keberadaan hukum harus hadir di situ.”
Penjaminan demi kesejahteraan buruh atau pekerja bernaung dalam peraturan hukum. Beberapa di antaranya, Pasal 151 ayat 1, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Aturan hukum itu menyatakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Ada pula Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Pasal 3 ayat 1, huruf H, dalam Undang-undang itu terkait mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, termasuk infeksi dan penularan. Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur, bahwa pekerja mempunyai hak mendapat perlindungan kesehatan oleh perusahaan. Tetapi buntutnya, perlindungan hukum cenderung hampir tak menyentuh masalah.
”Pengawasan lemah terkait penegakan hukum tentang ketenagakerjaan itu,” kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Mirah Sumirat.
Menurut dia, dalam situasi itu peran terpenting adalah petugas pengawasan Dinas Tenaga Kerja. Pekerja dengan tuberkulosis sangat rentan, karena lemah secara ekonomi dan kesehatan. Dinas Tenaga Kerja punya wewenang menekan perusahaan agar tidak mengabaikan hak pekerja.
”Pengawas dari Dinas Tenaga Kerja harus berhadapan dengan pihak perusahaan,” ucapnya. Jika pekerja sedang sakit berkepanjangan, pengawas ketenagakerjaan bisa mengambil ancang-ancang peringatan. ”Supaya perusahaan tidak mengambil keputusan yang merugikan pekerja,” katanya. ”Perusahaan harus mendukung kesehatan pekerjanya.”
Menurut ketentuan Kementerian Ketenagakerjaan, pasien tuberkulosis tetap laik bekerja. Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Ghazmahadi menjelaskan, pasien tuberkulosis boleh lanjut bekerja setelah pengobatan awal selama dua pekan. Ketentuan itu setelah pekerja memiliki hasil negatif uji dahak untuk pemeriksaan bakteri tahan asam. ”Namun tetap melanjutkan pengobatan,” ujarnya.
Sebab itu, kata Ghazmahadi, tidak tepat bila pihak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja. ”Seharusnya pengurus perusahaan tetap mempekerjakan pekerja yang mengalami tuberkulosis setelah mendapat pengobatan tahap awal,” katanya.
Demi memastikan penerapan itu, maka berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2020, pengawas wajib memeriksa paling sedikit lima perusahaan tiap bulan. ”Namun demikian, masih ada tantangan dalam peningkatan penerapan mengoptimalkan keselamatan dan kesehatan kerja,” katanya. Ia tak memerinci tantangan yang dialami para pengawas ketenagakerjaan dalam menerapkan tugas itu.
”Pengawas memperhatikan dan menegakkan perundang-undangan agar dilaksanakan oleh pengurus perusahaan,” ucapnya.
Mengutip laman Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pengawas belum sebanding dengan banyaknya perusahaan. “Jumlah pengawas ketenagakerjaan saat ini hanya sekitar 1.574 orang. Pengawas hanya mampu mengawasi 103.680 perusahaan,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Berdasarkan persentase, pengawasan perusahaan masih menjangkau 40,9 persen.
Data ketenagakerjaan mencatat 252.880 perusahaan, termuat dalam laman Kementerian Ketenagakerjaan unggahan pada Senin, 15 Juni 2020. Adapun jumlah tenaga kerja sebesar 13.138.048 orang.
Penanggulangan tuberkulosis tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Siti Nadia Tarmizi mafhum pasien tuberkulosis cenderung merugi dalam dunia kerja. ”Padahal itu semakin memburukkan, karena mereka (pasien tuberkulosis) ingin sembuh,” ujarnya.
Ia menjelaskan secara umum pengobatan pasien tuberkulosis berlangsung selama enam bulan. Fase intensif pengobatan tuberkulosis dua bulan. ”Pada (pengobatan) dua pekan pertama itu pasien tuberkulosis tidak menularkan,” katanya. Kemudian, pasien masuk fase lanjutan selama empat bulan. Maka, ucap dia, pihak perusahaan perlu memahami, bahwa pekerja yang tuberkulosis bisa sembuh.
”Tapi pemahaman personalia itu berbeda-beda. Hal terpenting pekerja yang tuberkulosis tidak menjadi stigma diskriminasi lagi,” ucapnya.