Yayoi Kusama:
Obsesi Seksual dan
Ruang untuk Melenyap

"I want to love on the festival night" - (TEMPO/Muhammad Hidayat)
Sekitar 130 karya lukisan sampai instalasi tentang tubuh seorang perupa yang kini 89 tahun, hadir di Museum MACAN, Jakarta.

Yayoi Kusama adalah pengulangan dan pengembangan bentuk: bentuk-bentuk yang terkait, melebar atau meluas, mengesankan sesuatu yang hidup, bergerak terus-menerus, membentuk imaji alam semesta. Judul-judul karyanya, dari yang dua dimensi, tiga dimensi, video, pertunjukan, instalasi, hingga ruang kamar bercermin tak bertepi, menyarankan imaji semesta: banyak yang mengandung kata “repetisi” dan “tak terbatas”.

Di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta, sekitar 130 karya Yayoi dipamerkan, termasuk sebuah ruang interaktif. Pengunjung mendapat selembar kertas gambar tempel yang terdiri atas sejumlah lingkaran berbagai ukuran dan warna untuk ditempelkan di mana pun dalam ruangan yang dilengkapi dengan perabot rumah tangga, dari meja-kursi, lemari, sampai kaleng kerupuk, yang putih bersih seluruhnya. Bayangkan, nanti, setelah banyak pengunjung menempelkan kertas itu—pameran berlangsung sampai awal September 2018—ruangan putih ini tentu akan “terhapus”. Yang ada, bulatan-bulatan dalam berbagai ragam ukuran dan warna.

The Obliteration Room . - (TEMPO/Muhammad Hidayat)

Itulah salah satu karya Yayoi, kini 89 tahun, yang membuatnya disanjung sebagai salah satu perupa paling produktif dan kreatif, menjelajah segala kemungkinan rupa (dari dua dimensi sampai instalasi dan karya ruang, dari gambar sampai karya peristiwa dan pertunjukan, bahkan kemudian ia menulis puisi dan novel) masa kini dalam dunia seni rupa global. Pengulangan dan pengembangan bentuk, yang tak terbatas, serta penghapusan atau penghilangan, sejauh yang ada di MACAN, merupakan tiga konsep dasar karya Yayoi. Konsep itu terupa dalam susunan bentuk yang khas pula: repetisi bulatan (dan bola bila karya tiga dimensi) serta jaring dengan warna-warna terang. Memang tidak seluruh karya berbulatan dan berjaring. Yayoi, yang berangkat dari karya-karya realistis dan surealistis pada masa awal di Jepang tahun 1940-an, beberapa tahun belakangan memunculkan lagi bentuk-bentuk yang menyarankan dunia botani, kadang gambar profil wajah, bersanding, tentu saja, dengan bulatan dan jaring. Terasa bahwa seluruh ruang pameran dikuasi bulatan (“polkadot” istilah umum untuk menyebut bentuk bulat ini) dan jaring. Bahkan instalasi raksasa dengan tinggi sekitar 2,5 meter berbentuk buah labu kuning karyanya digambari bulatan-bulatan hitam yang tersusun teratur dari atas ke bawah mengikuti bentuk lengkung labu.

Dots Obsessions - Dok. TEMPO

Dan itulah pengalaman utama dari karya ke karya. Yang terasa lebih nyata adalah pengalaman memasuki kamar cermin tanpa batas, The Spirits of the Pumpkins Descended Into the Heavens. Bayangan kuning dengan noktah-noktah hitam di bidang alas dan langit-langit yang terus dan terus memanjang tak terhingga, di hadapan kita, di kiri dan kanan kita. Suatu pengalaman yang tidak duniawi. Atau yang lebih nyata lagi adalah pengalaman memasuki kamar kuning dengan dinding sepenuhnya bernoktah hitam, dan kita bisa berjalan-jalan di dalamnya, atau duduk di lantai, dan mendadak kita merasa “hilang”. Hal ini mengingatkan pada ritual Islam ketika orang membaca “La ilaha illallah” berulang-ulang, atau ritual Buddha dengan gema doa yang terasa sama terus-menerus ditingkah bunyi ketukan yang terus dan ajek, atau ritual Hindu dengan bunyi kelintingan yang ajek itu: membawa peserta ritual “hilang” dari dunia nyata, memasuki dimensi roh.

The Spirits of the Pumpkins Descended Into the Heavens - Dok. TEMPO

Namun karya-karya Yayoi tidak sepenuhnya “memaksa” kita berada dalam dimensi roh itu. Karya-karya itu juga mengandung dimensi “kekinian”. Pada saya, itulah alam anak-anak yang tanpa pretensi, alam bermain dengan alami, keriangan mengalami hidup tanpa bertanya tentang apa pun. Demikianlah, misalnya, ketika kita memandang bola-bola kuning, Dots Obsessions, atau memandang labu raksasa kuning, Great Gigantic Pumpkin, kita ulang-alik merasa berada di dunia anak-anak, sebentar, lalu berpindah ke dunia spiritual semesta tak berbatas itu.

Pengalaman itu, antara dunia anak-anak dan dimensi spiritual, muncul pula ketika memandang karya-karya gambar hitam-putih (yang diperbanyak dengan cetak saring), karya serial Love Forever yang dikerjakan sepanjang 2004-2007. Bentuk-bentuk yang ada di lukisan awal Yayoi pada 1940-an, semasa masih di Jepang, muncul kembali: sulur-suluran, bunga, garis profil wajah, repetisi garis lengkung, bentuk, segitiga elastis, dan sudah barang tentu bulatan hitam pun ada di mana-mana. Juga serial My Eternal Soul, lukisan berwarna cerah yang dikerjakan sejak 2009. Tajuk pameran ini, “Life is the Heart of a Rainbow”, diambil dari judul salah satu serial Jiwaku yang Kekal yang dibuat pada 2017.

Beberapa karya dari serial My Eternal Soul dan Love Forever . - Dokumentasi Museum MACAN.

Karya-karya yang menyapa dengan simpatik itu menyiratkan bahwa hidup dan berkarya Yayoi tampaknya bukan lagi dua dunia. Ia ingin menjadi perupa ternama, begitu konon cita-cita Yayoi kecil, dan itu ditempuhnya dengan bekerja dan bekerja tanpa mengenal waktu –konon, ketika hidup di New York (1958-1973), beberapa kali ia pingsan karena kelelahan berkarya. Terkesan bagi saya: karya Yayoi adalah hidupnya, dan hidup Yayoi adalah karyanya. Akira Tatehata—penyair; kurator Museum Seni Rupa Nasional di Osaka, Jepang; dan komisioner Biennale Venesia 1990 dan 1993—pada 1993 membawa karya-karya Yayoi sebagai pameran utama di Paviliun Jepang di Biennale Venesia. Itulah yang membawa kembali nama Yayoi, yang setelah bergaung di dunia seni rupa internasional pada 1960-an hampir terlupakan kala ia kembali hidup di Jepang sejak 1973. Tatehata menyebut karya-karya Yayoi “pencapaian yang senyap” karena namanya yang hampir terlupakan itu. Sejak Biennale Venesia 1993 itu, Yayoi kembali hadir, kembali menyuguhkan kepada dunia seluruh jiwa-raganya: obsesi seksualnya, pengalaman makan labu bertahun-tahun di masa krisis ekonomi di Jepang pada 1940-an, dan keinginannya untuk melenyap.

Narcissus Garden - TEMPO/Muhammad Hidayat

Obsesi seksualnya datang dari bapaknya yang perayu wanita. Tidakkah dengan mudah bentuk-bentuk tentakel pada karya Yayoi mencerminkan obsesinya pada lingga? Dan tidakkah hidupnya yang berat, meski keluarganya tergolong berada, membuat ia ingin “lari” ke dalam kamar dan melenyapkan diri? Menurut Tatehata, karya kamar cermin tak berbatas mengandung paradoks. Yayoi ingin melenyapkan diri. Tapi kalau memasuki kamar cermin tak berbatas itu, Anda justru akan merasa hadir karena sergapan obsesi Yayoi yang tak terelakkan.

Pollen - TEMPO/Muhammad Hidayat
Beberapa karya dalam pameran Life is The Heart of a Rainbow. - Dokumentasi Museum MACAN.