Longform

Mau, Tak Mau, Kembali ke Kantor

Jum'at, 13 Mei 2022

Sejumlah survei di menyebutkan banyak pekerja yang enggan kembali bekerja dari kantor setelah beradaptasi dengan pola kerja dari rumah selama dua tahun pandemi.

Oleh Inge Klara Safitri

tempo

Pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) membuat dunia mengadaptasi tren kerja baru, seperti bekerja dari rumah (WFH). Setelah dua tahun, kembali bekerja dari kantor (WFO) pun dilakukan sejumlah perusahaan. Pasalnya kondisi pandemi dinilai sudah lebih baik.

Namun ternyata, Berdasarkan survei dari BBC, kebanyakan karyawan tidak ingin kembali bekerja di kantor penuh waktu alias 100 persen WFO meski pandemi virus corona telah usai. Adapun di Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson merekomendasikan sistem kembali bekerja dari kantor secara bertahap, saat penyebaran Covid-19 mulai mereda. 

Sedangkan, di seluruh Britania Raya, orang-orang masih disarankan untuk tetap bekerja dari jarak jauh jika memungkinkan. Karenanya saat ini banyak masyarakat di Inggris yang sedang berdebat apakah mereka perlu untuk benar-benar kembali ke kantor sepenuhnya atau tidak.

Di Amerika, penolakan kembali bekerja dari kantor diketahui terjadi di perusahaan teknologi Apple. Perusahaan yang didirikan almarhum Steve Jobs itu diketahui memiliki kebijakan yang cukup ketat tentang aturan kembali bekerja di kantor usai pandemi corona mulai menunjukkan penurunan. Aturan tersebut membuat sebagian pegawai Apple tak senang. Bahkan dikabarkan ada pegawai yang mengancam resign.

Namun, fenomena menolak kembali ke kantor sepertinya tak banyak terjadi di Indonesia. Parahita Satiti, karyawan perusahaan di bidang jasa remote area catering mengaku merasa lebih efektif bekerja dari kantor. Meski sejumlah pekerjaan masih dilakukan secara daring. “Pekerjaan yang berkaitan dengan klien masih kerap online, tapi pekerjaan internal lainnya sudah full WFO seperti sedia kala,” ujar perempuan berusia 39 tahun ini.

Menurut Parahita, kantor tempatnya bekerja sudah menerapkan WFO sepenuhnya sejak Februari 2022. Kebijakan itu pun tak disambut negatif para karyawannya. “Nggak ada yang protes sih apalagi sampai mengancam resign sejauh ini,” katanya.

Senada dengan Parahita, Nawangwulan, 30 tahun juga lebih senang bekerja dari kantor. Alasannya, bekerja dari rumah lebih banyak kendalanya. Apalagi pekerjaan sebagai legal, tetap harus keluar untuk mengurus berbagai pekerjaannya meski WFH. “Kendalanya ya internet, atau masalah rumah lainnya, seperti urusan anak dan rumah tangga, belum lagi mengatasi mager (Malas Gerak),” ujarnya. Adapun Nawang bekerja pada perusahaan di bidang pembiayaan. Kantornya ini kini menerapkan sistem hybrid yang mengatur para pekerjanya bergantian masuk kantor setiap dua kali sepekan.

Sistem bekerja secara hybrid kini lebih banyak diterapkan sejumlah perusahaan swasta di Indonesia. Bahkan tren ini juga dipercaya bisa menjadi normal baru setelah pandemi usai. Menurut studi Future of Work and Digital Transformation oleh Lenovo, sekitar 83 persen dari pemimpin perusahaan teknologi informasi (TI) memprediksi bahwa lebih dari separuh pekerjaan di masa depan bakal dikerjakan di luar area kantor. Sekitar 60 persen karyawan pun berharap diizinkan untuk melakukan setengah dari seluruh pekerjaan mereka di rumah.

Di sisi lain, sejumlah perusahaan juga telah mengadopsi model kerja dari mana saja (Work From Anywhere atau WFA). Perusahaan-perusahaan ini menilai bahwa produktivitas dan kualitas kerja mereka akan tetap mumpuni dengan sistem tersebut. Selain itu, mereka menilai model kerja ini mampu meningkatkan kesehatan mental pegawai.

Setidaknya ada sembilan perusahaan berbasis teknologi yang telah mendeklarasikan menerapkan model kerja ini. Kesembilannya adalah Stokbit dan Bibit.id, Amar Bank, Efishery, Ajaib, Blibli, Amartha, Niagahoster, CoLearn, dan Flip. 

Selain itu, beberapa perusahaan media juga mulai menerapkan model kerja ini. Seperti yang dilakukan perusahaan tempat Angelina Anjar bekerja. Sejak pertengahan tahun 2021, perusahaannya memutuskan menerapkan WFA. Meski begitu, masih ada beberapa karyawan yang perlu bekerja di kantor. “Yang masih ke kantor itu yang ada piketnya, seperti bagian IT atau bagian umum. Atau yang memang harus membuat konten video di studio,” ujar perempuan yang berusia 30 tahun ini.

Terkait kebijakan ini, Anjar merasa senang. Menurut dia jadwal kerja yang lebih fleksibel bisa ia dapatkan dengan model kerja WFA. Bahkan ia bisa menghemat waktu perjalanan berangkat dan pulang kantor. Selain itu, ia juga mengaku lebih fokus jika bekerja di luar kantor. “Apalagi kalau sendirian. Lebih Fokus. Kalau di kantor, bertemu teman-teman malah jadi kebanyakan ngobrol,” ujarnya.

Ditanya soal kendala, Anjar mengaku tak menemui kendala apapun sejauh ini. “Kalau soal jam kerja yang bisa over, sebagai content editor di perusahaan media itu biasa. Toh kejadian kaya gitu gak akan setiap hari,” kata dia.

Namun, kenyamanan yang dirasakan Anjar tidak bisa dirasakan Anggia Fitriana, 31 tahun. Perempuan berusia 30 tahun ini mengaku kesulitan mengatur waktu bekerja dengan urusan anak dan rumah tangga. “Sejak mulai WFH, sampai sudah dua tahun ini bahkan saya masih kesulitan mengatasi distraksi bekerja di rumah,” kata karyawan perusahaan fintech yang sudah menerapkan WFA sejak awal tahun 2022 ini.

Masalah yang dialami Anggia menurut Psikolog Klinis Zoya Amirin memang banyak terjadi pada karyawan yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Untuk mengatasinya, Zoya menyarankan pembuatan jadwal pasangan suami dan istri. Apalagi jika di rumah ada anak-anak. Jadwal itu meliputi jadwal kerja, pembagian tugas rumah tangga, dan jam bersosialisasi berdua. “Segera buat jadwal, lalu tepati jadwal tersebut, sebab jika tidak diatur jadwalnya bisa memberi dampak pada kesehatan mental dan berujung dengan efek domino lainnya karena kehidupan personal dan profesional bercampur,” kata Zoya. 

CREDIT

Penulis

Multimedia

Editor