SALIM Segaf Al Jufri didapuk untuk tampil menjadi tokoh nasional dari Partai Keadilan Sejahtera berdasarkan hasil musyawarah Majelis Syura IV yang digelar 30 Juni 2021. Tugas utamanya ialah menghilangkan stigma radikal dan wahabi yang melekat kepada partai. Berkeliling ke daerah, Salim memperkenalkan nama sang kakek, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufrie—tokoh pendiri yayasan pendidikan Al-Khairaat di Sulawesi Tengah—untuk menepis anggapan radikal dan wahabi.
“Kadang-kadang kita hidup ini dikenal karena kakek dan orang tua. Itu upaya, lah, untuk menghilangkan stigma,” kata Salim, dalam wawancara khusus dengan Tempo, 9 September lalu.
Meraih 8,21 persen atau 11.493.663 suara di Pileg 2019, PKS menargetkan mendapat 15 persen di pemilihan 2024 mendatang. Selain tetap berfokus pada pemilih keluarga, kelompok anak muda yakni milenial dan generasi Z menjadi satu segmen pemilih yang disasar.
“Mereka sangat realistis. Pengalaman kami, mereka tidak gampang didekati dengan money politics,” ujarnya.
Salim mengklaim survei-survei internal mencatat elektoral partainya kini bisa menempati posisi keempat hingga ketiga teratas. Menurut Salim, posisi PKS yang berada di luar pemerintahan turut mendongkrak elektoral partai.
Meski begitu, Salim mengatakan bukan berarti partainya akan selalu berseberangan dengan pemerintah. PKS disebutnya akan mendukung kebijakan pemerintah yang dinilai baik bagi publik. “Kami di luar pemerintahan bukan mau bermusuhan dengan pemerintah, tidak, tapi untuk membuat keseimbangan,” kata politikus kelahiran Surakarta, Jawa Tengah ini.
Dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Stefanus Pramono, Syailendra Persada, Hussein Abri Dongoran, Imam Hamdi, Budiarti Utami Putri, dan videografer Aditya Sista Putra, Salim membeberkan tugasnya, target-target PKS, serta kilas balik koalisi Pilpres 2019. Dia juga menceritakan kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Bagaimana dampak pandemi Covid-19 terhadap kegiatan partai? Mengingat konsolidasi langsung dan pengumpulan massa berkurang.
PKS itu seperti toko tidak pernah tutup. Ada pandemi atau tidak, setelah pileg pilpres, apa pun itu hasilnya, partai jalan lagi. Walaupun pasti di masa pandemi ini ada keterbatasan, kesulitan, tapi lewat Zoom atau virtual tetap jalan, malah itu jadi lebih murah meriah juga. Kurang greget pasti, itu kami maklumi. Oleh karena itu pertemuan-pertemuan terbatas dengan protokol kesehatan tetap kami lakukan.
PKS mendapuk Anda untuk tampil sebagai tokoh nasional. Apa tugas Anda?
Penokohan ini bukan pencapresan, belum. Tujuannya banyak, salah satunya merupakan keniscayaan setiap partai untuk memunculkan tokohnya ikut dalam kepemimpinan nasional. Kemudian muncul untuk isu-isu strategis. Banyak orang di daerah-daerah yang tidak mengenal PKS. Dengan munculnya tokoh ini PKS semakin dikenal.
Dikenal pun dengan isu stigma yang jelek juga, bisa radikal, wahabi, ini-itu. Menyelesaikannya tidak mudah.
Sampai sekarang isu tersebut masih ada?
Hampir 15 tahun saya menjadi ketua Majelis Syuro isu wahabi ini masih ada. Namun ketika saya keliling sudah mulai enggak ada. Isu-isu ini muncul dari satu tokoh tertentu, lalu distigma supaya masyarakat enggak memilih kami. Maka dimunculkanlah tokoh untuk menghilangkan isu-isu seperti itu. Ini perlu kerja, perlu silaturahim, perlu dialog, diskusi. Kadang-kadang PKS dianggap eksklusif, kami dirugikan karena itu.
Kalau sekarang saya mengatakan PKS ini partai keadilan semua, milik kita bersama, milik bangsa ini. Saya datang untuk minta dukungan tokoh-tokoh nasional, kiai atau ajengan, pengusaha, bahkan kepada yang nonmuslim pun saya katakan ini partai keadilan semua. Penampilan-penampilan semacam ini penting dengan munculnya penokohan tadi.
Bagaimana suara partai saat ini berdasarkan hasil survei internal?
Saya amati survei internal maupun survei yang bagus di luar, PKS di urutan dua, tiga, empat. Kami syukuri. Salah satu penyebabnya mungkin kami di luar pemerintahan itu membuat suara kami meningkat. Kalau elektabilitas dan popularitas tokoh-tokohnya itu kami pahami perlu waktu juga. Apalagi dalam kondisi pandemi saat ini, tidak mudah.
Anda mengatakan suara PKS berada di posisi ketiga hingga keempat berdasarkan survei karena berada di luar pemerintahan. Bukankah seharusnya bisa lebih tinggi?
Itu kembali kepada lembaga survei juga, error-nya sekitar 2 persen. Saya juga memaklumi, pasti yang mendanai enggak mungkin surveinya rendah sekali. Tapi biasanya dalam sejarah perpolitikan kita, yang di luar pemerintahan dan betul-betul melayani suara rakyat suaranya naik. Contoh ketika Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden keenam), PDIP suaranya naik. Kami berharap dari partai menengah menjadi di atas 10 persen, walaupun target kami 15 persen. Kami ingin naik.
Kenaikan suara itu nantinya dicapai dengan manuver, atau bisa terdongkrak jika kinerja pemerintah buruk?
Semua bisa terjadi. Kami punya target 15 persen itu kan ada alasan-alasannya. Yang pertama adalah kekuatan konsolidasi internal kami sebagai partai kader, sejarah PKS kan di situ. Itu harus kami jaga dan kami rawat. Tanpa ada itu ya selesai.
Kedua, kami juga melihat pemilih milenial dan generasi Z ini di antara 18-40 ini kan mencapai 47 persen, mendekati 50 persen dari jumlah pemilih. Mereka sangat realistis. Pengalaman kami, sebagian mungkin tidak sepakat, mereka tidak gampang didekati dengan money politics.
Saya tidak mengatakan yang tua-tua mudah dengan money politics, sekarang kesadaran semakin baik. Cerita kita ini kan belum selesai, masih terus berjalan. Apa yang diinginkan oleh masyarakat, oleh bangsa, ingin negara kita ini dengan kekayaan alamnya bisa untuk menyejahterakan. Itu cita-cita reformasi.
Bangun bersama dengan seluruh komponen bangsa, dengan partai mana pun. Kalau itu tidak terwujud, kapan lagi? Jadi jangan sampai estafet kepemimpinan ini stuck atau mundur. Tidak boleh. Kalau saya ditanya, setiap siapa yang memimpin, bangsa ini harus sukses, harus berhasil, walaupun kami di luar pemerintahan.
Menurut Anda, pemerintah sekarang sukses atau tidak?
Demokrasi mundur, ini bukan kami yang berbicara. Korupsi juga memburuk. Itu yang terjadi. Tapi kami tidak boleh tidak mengingatkan. Kritik konstruktif itu harus. Namun kami mendidik kader-kader kami tidak boleh menyerang individu. Individu jangan diserang, tapi pendapat. Jadi etika berpolitik harus kita bangun.
Saya berharap semua komponen bangsa, etika berpolitik para politisi juga harus bagus, cari titik temu. Jadi enggak perlu, “Wah saya enggak mau berkoalisi dengan ini.” Itu bukan negarawan menurut saya. Oke enggak cocok, tapi apa yang bisa kita cari titik temu.
Lebih nyaman mana menjadi oposisi di periode pertama atau kedua Presiden Jokowi?
Sama saja. Pertama dan kedua, kami akan tetap kritik konstruktif. Kalau ada kebijakan yang baik kami dukung. Kami di luar pemerintahan, tapi yang penting untuk kebaikan bangsa, bukan untuk PKS. Apa yang terbaik untuk bangsa, ya sudah, walaupun kami enggak dapat posisi.
Contoh di DKI, PKS punya peluang untuk jadi wakil gubernurnya, tapi kalau kami ngotot di situ koalisi itu sendiri tidak akan terjadi koalisi. Tidak ada permasalahan kami tidak ada posisi sejauh kepentingan bangsa bisa diwujudkan.
Kami dengar sebelum Pilpres 2019 PKS bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor untuk diajak berkoalisi. Bagaimana ceritanya?
Ya pasti kalau seorang Presiden ingin sebanyak mungkin koalisinya, apalagi saat itu akan maju lagi. Cuma kalau kami juga ikut, siapa yang di luar pemerintahan? Berarti hanya kotak kosong. Siapa yang rugi? Ya bangsa ini.
Kalau kami bergabung, bukan kami tidak ingin, tapi tidak ada lawan politik, tidak ada calon yang lain. Prabowo juga tidak bisa maju kecuali dengan PKS. Saya dengan Pak Presiden pun sudah kenal lama, sama-sama dari Solo. Ketika saya menjadi menteri, menjadi ambasador, kami sering ketemu dan mampir.
Bagaimana hubungan Anda dengan Presiden Jokowi?
Baik-baik, saya secara pribadi bagus, PKS juga baik. Sampai sekarang juga. Jadi buat saya perbedaan pendapat di dalam itu wajar. Kalau semua pendapat sama malah enggak wajar. Enggak sehat kan. Tapi sekali lagi jangan karena beda pendapat lalu bermusuhan, terus saling mencaci, menyerang pribadi, ini etika yang enggak bagus, dan saya melihat orang-orang semacam ini bukan negarawan.
Negarawan itu kalau dikritik welcome, asal semuanya dengan cara-cara yang perlu bukti. Semakin banyak yang mengkritik, oh berarti perlu memperbaiki. Saya yakin di mana pun biasa, kalau sudah siap jadi pemimpin, ya sudah, harus siap untuk dikritisi.
Berapa menteri yang ditawarkan ketika itu?
Oh belum, belum sampai ke situ. Itu menteri kalau pintu sudah terbuka, baru bicara menteri.
Kemarin itu baru membuka gerbang?
Gerbang di awal-awal, wajar, lah. Jadi pertemuan-pertemuan pun saya pikir wajar, karena bisa memberikan masukan. Bisa sesuatu yang sifatnya tidak dipublikasi. Ada hal-hal yang sesuai dengan karakter ketimuran, tidak semua diselesaikan dengan media massa. Ada hal-hal yang bukan pribadi, tapi untuk didengar oleh masyarakat, itu yang namanya kritik konstruktif.
Apakah penolakan bergabung ini karena PKS ingin menjaga elektoral?
Sebenarnya tidak. Yang saya inginkan demokrasi kita on the track. Walaupun kami merasa mungkin enggak akan menang, tapi enggak ada masalah. Jaga agar semangat reformasi itu tetep terus, jangan sampai pudar.
Masa hanya satu calon, lawan kotak kosong, itu kan malu kita. Jadi bukan hanya kelompok ini, tokoh ini, bangsa ini dirugikan semua. Jadi tidak terpikirkan supaya suara kami meningkat.
Dan memang kalau kami tidak bergabung, ya tidak akan ada terjadi. Kalau hanya demi mendapatkan kursi, kami selama 10 tahun sudah banyak juga kursi kami, empat menteri. Bukan itu tujuannya.
Tapi yang diusung malah merapat ke sana, bagaimana pendapat Anda?
Saya pikir itu pilihan, kami juga tidak bisa menyalahkan siapa pun, setiap partai punya pilihan. Masing-masing punya alasan, kalkulasi, reasoning, yang kami tidak bisa juga mengintervensi. Saya pikir masing-masing punya niat yang baik juga, supaya bangsa ini semakin kokoh. Kalau dijelaskan mungkin sebagian memaklumi. Tapi kami juga punya pilihan kami di luar saja. Jadi saya juga tidak ingin menyalahkan apa yang direncanakan oleh partai A, partai B, partai C, ya silakan.
Bagaimana hubungan Anda dengan Prabowo setelah Gerindra merapat ke pemerintahan?
Hubungan ada, cuma ya memang kondisi pandemi sulit juga, tapi kadang-kadang bertemu juga.
Masih sering bertemu Prabowo?
Sering tidak, tapi pernah. Terakhir Lebaran sebelum ini, setahun setengah yang lalu. Mungkin beda pendapat, tapi sekali lagi kalau pun kami beda pendapat, secara pribadi enggak boleh diserang.
Di Pilpres 2019 Anda dicalonkan dan hampir final menjadi calon wakil presiden Prabowo. Bagaimana ceritanya?
Pencalonan waktu itu kan tidak hanya dengan Gerindra. Memang usulan ijtima ulama saya, tapi dengan mitra koalisi kan belum selesai. Mereka semua sepakat dengan Sandi (Sandiaga Uno), ya sudah. Kalau bubar dan kami keluar, mau ke mana juga. Jadi itulah, Sandi. Karena kesepakatan bersama itu tidak cukup PKS dengan Gerindra. Mungkin Gerindra PKS oke, tapi yang lain-lain juga punya calon. Ijtima ulama sebagai usulan aja, tetapi yang memutuskan koalisi. Itu yang kami pahami bahwa politik ya tetap harus komunikasi antarkoalisi. Kalau PKS tidak setuju, ya tetap Sandi. Terus ke mana PKS? Nunggu di stasiun?
Pernah tabayyun soal keputusan Prabowo dan Gerindra masuk ke pemerintahan?
Dia memberitahu akan bergabung. Dia punya alasan-alasan supaya pemerintahan semakin kuat, semakin ini. Mungkin ada hal-hal yang saya tidak tahu juga. Saya memaklumi, dia juga memaklumi.
Saya di luar, Pak Prabowo di dalam, ya sama-sama. Yang penting kalau ada hal yang kami enggak sepakati, kami akan kritisi. Setiap partai tokohnya juga punya rencana, punya keinginan, itu kami maklumi.
Bagaimana positioning PKS saat ini? Apakah masih sebagai partai Islam?
Tetap. Bahkan kalau di visi kami musyawarah nasional kami yang kelima, kami itu partai Islam rahmatan lil alamin, yang terdepan melayani rakyat. Bukan partai dakwah ya, kami partai Islam. Dulu kan ada partai dakwah, itu kami ubah. Karena dalam politik orang masih menganggap partai dakwah itu bukan politik. Jadi kami munculkan ya kami ini partai Islam, rahmatan lil alamin, rahmat buat semua.
Bagaimana membahasakan ke masyarakat tentang rahmatan lil alamin itu agar tidak dicap radikal?
Rekam jejak para pemimpin PKS apakah dia menteri, gubernur, wali kota, itu harus dibuktikan. Contoh ketika saya jadi Menteri Sosial, masyarakat Hindu Bali mengajukan program ternak babi. Mereka pasti sudah berasumsi menterinya PKS, pasti enggak diizinkan. Saya pelajari, cocok lah, saya setujui. Mereka kaget juga, kok dapat ya.
Saya katakan saya setujui, saya enggak ada masalah, sebab itu sesuai dengan keyakinan masing-masing. Dalam agamanya dibolehkan dan itu mempercepat kesejahteraan mereka. Tapi saya katakan saya nanti datang setelah setahun, saya cek. Setelah setahun memang mereka sejahtera. Jadi kalau jadi pemimpin, rahmat itu ya semuanya. Harus kita rangkul semuanya, jadi bukan hanya kelompok PKS atau muslim saja.
PKS semakin bergerak ke tengah sepertinya?
Kami dari dulu tengah, mungkin masyarakat tidak memahami atau belum memahami. Sejak pertama enggak ada ekstrem di PKS. Jadi kami dari dulu itu di tengah. Karena keyakinan kami Islam itu wasathan, di tengah, merangkul semuanya. Saya pikir itu yang paling bagus.
Kalau orang udah hitam putih, susah kita komunikasi. Ini salah, ini benar, sulit. Kalau mindset berpikir demikian, susah kita. Jadi sebenarnya dari dulu kami itu sudah memang sikap kami itu di tengah. Cuma memang mungkin sebagian belum merasakan apa yang kami inginkan, belum memahami betul.
Anda mengatakan PKS akan menggarap suara pemilih muda. Bagaimana Anda melihat suara NU dan Muhammadiyah di Pemilu 2024? Masihkah relevan berebut suara di kantong-kantong tersebut?
Di PKS mungkin hampir 80 persen lebih berlatar belakang NU. Kalau kedekatan dengan NU dan ormas-ormas, miniatur Indonesia menurut saya ada di PKS. NU-nya banyak, ormas ini, Muhammadiyah, semua ada di PKS. Pak Syaikhu (Ahmad Syaikhu, Presiden PKS) background-nya NU.
Menunjuk Syaikhu yang berlatar belakang NU menjadi Presiden PKS itu termasuk salah satu strategi?
Sebenarnya dalam bahasa kami, setiap lima tahun ada tokoh yang kami munculkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Di zaman sekarang ini semua itu juga dikaji, dikalkulasi. Karena semua juga layak jadi pemimpin. Bangsa ini semua siap jadi pemimpin, tinggal di-back up dengan bagus.
Daerah mana yang akan jadi fokus PKS untuk mendongkrak perolehan suara dan kursi di pemilu mendatang?
Kalau lihat petanya, semua wilayah punya peluang. Memang daerah Jawa Barat, DKI, Banten, sebagian besar Sumatera dari dulu suara kami bagus. Mungkin daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, NTT, Bali, ini penting semua. Dan setiap wilayah kan perlu strategi khusus.
Contoh pendekatan khususnya seperti apa?
Kami harus mengetuk pintu masyarakat. Mungkin logika sederhana begini. Tempat berkumpulnya suara-suara besar itu Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, sama Madura. Contoh di pilpres, siapa yang menang di situ menang pilpres. Suara kami di sana masih fluktuatif.
Ada stigma, ya hilangkan stigma. Stigma wahabi tidak gampang dihilangkan di kelompok-kelompok NU. Tapi setelah kami keliling, ketua umumnya juga NU, saya pribadi juga keliling, kami jelaskan radikal bagaimana. Saya sampaikan siapa kakek saya dengan merah putihnya, dengan syair-syairnya.
Kakek saya yang punya sekolah di Indonesia bagian timur, mungkin sekarang ada 1.400 mulai TK sampai perguruan tinggi. Dia punya bait-bait syiar tentang 17 Agustus, tentang merah putih. Dia katakan setiap negara punya simbol kebanggaan dan kebanggaan kita adalah merah putih.
Sampai ada yang mengatakan munculnya merah putih waktu kemerdekaan itu termasuk dari dialog antara kakek dan Kiai Hasyim Asy’ari. Kemudian kata-katanya kepada Bung Karno, “Maju ke depan, di belakang kamu 70 juta, kami semua siap mendengarkan arahan dari para pemimpin.” Indah sekali. Ada bahasa Arabnya, ada bahasa terjemahannya.
Itu Anda sosialisasikan lagi?
Mana ada radikal di sini? Dia tinggal setahap menjadi pahlawan nasional. Kalau tidak salah, semua sudah lengkap. Airport nama dia, jalan nama dia, syarat-syarat menjadi pahlawan nasional sudah ada. Dia guru dari seluruh wilayah di Indonesia bagian timur. Kakek ini terkenal dengan panggilan “Guru Tua”. Nama aslinya Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufrie. Jadi mau dibilang radikal bagaimana?
Kadang-kadang kita hidup ini dikenal dengan kakek dan orang tua. Itu upaya, lah, untuk menghilangkan stigma. Karena yang begini kan tidak ada di negara-negara maju. Sudah selesai mereka, udah final. Saling menuduh dan menyerang individu, itu tidak sehat.
Menurut Anda, apakah PKS terpengaruh dengan munculnya Partai Gelora?
Kalau saya berusaha agar tidak ada yang keluar, berusaha merangkul, tapi kalau ingin membuat partai sendiri ya monggo. Ya mudah-mudahan mereka juga bisa membangun. Seperti yang saya katakan tadi, masih luas, lah, negeri ini. Cuma dalam samudera yang luas lagi, ada yang kapalnya bisa sampai, ada yang tenggelam, semua bisa terjadi. Gelora dengan pilihannya, dengan pendukungnya, ya mudah-mudahan bisa membangun. Mudah-mudahan mereka semakin mandiri, semakin dewasa, insya Allah.
Penokohan Anda ditargetkan berujung pada pencapresan 2024?
Kami lihat nanti. Kami realistis, lah. Pertama juga suara kami masih delapan sekian persen, itu perlu 20 persen. Kemudian dinamika politik masih terjadi di sana-sini, kami juga lihat popularitas saya secara pribadi dan elektabilitasnya pantas enggak untuk diusung. Kami kan kalau maju mau menang. Jika kenyataannya masih belum, tapi suara partai meningkat, ya sudah kami bergabung. Tapi sejauh ini kami penokohan.
Kepada kami, internal PKS menyebut Anda sebagai ‘Doktor Salim’. Apakah sebutan itu salah satu strategi agar PKS tidak lagi dianggap eksklusif sebagai partai Islam?
Betul. Saya pikir bahasa-bahasa itu, ada doktor, ada Habib Salim, ada Ustaz Salim, mungkin disesuaikan dengan lingkungan. Mungkin dengan tokoh nasional lebih banyak menggunakan doktor. Kalau saya sih monggo, yang penting nama Salim-nya disebut. Ha-ha-ha.
SALIM SEGAF AL JUFRI | Tempat dan tanggal lahir: Surakarta, 17 Juli 1954 | Pendidikan: Universitas Islam Madinah, Arab Saudi | Karier: Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman (2005-2009), Menteri Sosial Republik Indonesia (2009-2014), Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (sejak 2015)