Hamparan tanah di utara Jakarta itu penuh dengan tanaman sayur-mayur dan pisang. Umar bisa memboyong segerobak pisang per hari. Namun, dia harus menyerahkan tanah itu kepada PT Jakarta Propertindo (Jakpro).
“Saya digugat, pusing,” kata pria 63 tahun itu saat ditemui Tempo di kediamannya kawasan Jakarta Barat, Senin, 25 Oktober 2021,
Umar juga mendirikan musala dan gubuk di lahan yang kini dinamakan Taman Waduk Pluit. Lokasinya berada di Jalan Pluit Timur Raya, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Umar mengaku membeli lahan seluas 4.932 meter persegi serta bangunan 8x15 meter dari penguasa tanah bernama Ibrahim pada 1 Maret 1990. Tanah ini semula dikuasai Ismail. “Ibrahim pindah (kepemilikan) ke saya di depan notaris,” ujar Umar.
Sebenarnya tanah itu dulu dimiliki orang asing bernama Boen Nio Khouw dan Van San Tong Tan. Keduanya memegang hak milik dalam pengaturan tanah barat alias eigendom atas lahan seluas 100.967 meter persegi.
Boen menguasai seperempat lahan dan Van sisanya yang kemudian jatuh ke tangan Ismail sejak 1943. Tanah ini berpindah tangan kepada Ibrahim pada 1960. Pengacara Umar, Libertus Jehani, menyebut tanah Indonesia yang semula dimiliki pihak asing bakal jatuh ke tangan warga negara Indonesia (WNI).
Klien Libertus itu pernah mendaftarkan tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara pada 1999. Pihak BPN Jakarta Utara lalu menerbitkan surat keterangan pendaftaran tanah bernomor 449/SKPT/1999 pada 18 Agustus 1999. Dari dokumen yang diterima Tempo, surat tadi diterbitkan untuk keperluan permohonan hak atas tanah.
Umar telah menyerahkan lahan 5 ribu meter persegi itu kepada Jakpro pada 2013. Hal ini sejalan dengan mulai terbangunnya Taman Waduk Pluit. Dua tahun kemudian, Umar memohon kepada PN Jakarta Utara agar nilai tanah ditetapkan oleh jasa penilai.
Penunjukan jasa penilai kala itu dipersoalkan Jakpro. Sulistya selaku Senior Manajer Hukum PT Jakpro mengutarakan bahwa kantor jasa penilai publik (KJPP) seharusnya ditunjuk pihak yang berkepentingan jika mengacu pada Keppres 55/1993. Pihak berkepentingan itu adalah pemerintah DKI Jakarta, Pembangunan Pluit Jaya, dan pihak Umar.
“Jadi dalam hal ini bukan pengadilan, karena pengadilan tidak ada kepentingan,” ucap Sulistya saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Kamis, 28 Oktober 2021.
Namun, PN Jakarta Utara tiba-tiba telah menunjuk KJPP. Sulistya berujar tak tahu-menahu soal proses penunjukan KJPP. Padahal, Jakpro kala itu juga tengah memproses penunjukan KJPP. Penghitungan nilai ganti rugi atau appraisal yang muncul pada 15 April 2016 itu memperlihatkan, Jakpro harus membayar Rp 153 miliar.
Jakpro lantas menggugat penetapan PN Jakarta Utara soal nilai ganti rugi ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Gugatan dilayangkan ke PN Jakarta Barat karena domisili Umar berlokasi di barat. Hasilnya, hakim menolak gugatan Jakpro pada 2019. Upaya PK juga kandas.
Persoalan kedua, karena Jakpro harus membayar ganti rugi atas tanah negara. Jakpro menganggap bahaya jika harus membayar ganti rugi kepada pihak yang bukan pemilik, apalagi dengan harga pasar. Musababnya, lahan Taman Waduk Pluit sedari awal milik pemerintah DKI.
“Tanah negara dibeli pakai uang negara sendiri, kan lucu,” tutur Sulistya.
Untuk itulah, Jakpro memohon fatwa MA alias pertimbangan hukum melalui Kejaksaan Tinggi DKI sejak 26 Agustus 2015. Jakpro hendak menelisik proses penunjukan KJPP hingga diputuskan nilai ganti rugi Rp 153 miliar. Walau begitu, Sulistya mengatakan, pihaknya hingga kini belum juga mendapat jawaban atas permohonan fatwa tersebut.
Riza merespons surat Umar dengan mengadakan rapat di Lantai 2 Blok B Gedung Balai Kota, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 September 2021. Peserta rapat antara lain Riza, Bambang, Direktur Utama PT Jakpro Widi Amanasto, dan tim ahli wakil gubernur. Ada juga perwakilan dari Inspektorat, Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah (BP BUMD), dan Biro Hukum Sekretariat Daerah.
Belum ada keputusan apapun saat itu. Riza meminta jajaran mempelajari terlebih dulu perkara tanah serta ganti ruginya untuk dibahas dalam rapat berikutnya. Riza, kata Bambang, menekankan agar masalah tersebut bisa terselesaikan. Intinya, pemerintah DKI perlu membayar jika memang terbukti salah. Hal ini berlaku sebaliknya bahwa Umar harus legowo apabila tanah itu bukanlah haknya.
“Jangan menzalimi rakyat,” ujar Bambang menirukan pesan Riza.
Riza mengakui masalah tanah di Ibu Kota pelik dan kompleks. Karena itu, dia mengingatkan masyarakat untuk mengurus sertifikat kepemilikan tanah demi mencegah pemalsuan. Semua pihak, termasuk pemerintah, harus menjaga tanahnya masing-masing. Persoalan sengketa tanah juga diselesaikan secara baik-baik.
“Mari kita jaga bersama dan jangan kita mengambil hak orang,” kata politikus Partai Gerindra itu di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu, 27 Oktober 2021.
Masalah tak berujung
Umar mengajukan permohonan eksekusi ke PN Jakarta Utara pada 17 November 2020. Sebab, Jakpro tidak juga melaksanakan putusan pengadilan untuk membayar ganti rugi. Permohonan serupa pernah diajukan pada 2016, tapi terhambat karena masalah kuasa pengadilan.
Pengadilan bahkan menegur atau aanmaning Jakpro agar segera melaksanakan putusan pengadilan dalam waktu delapan hari sesuai ketentuan hukum acara. Teguran ini disampaikan pada 3 Maret 2021 dengan mengacu pada penetapan eksekusi nomor 1/Eks/2021/PN.Jkt.Utr.
Umar mengajukan lagi permohonan penetapan nilai ganti rugi tanah ke PN Jakarta Utara. Nilai ganti rugi yang sudah ditetapkan bakal gugur apabila juru sita tidak membacakan eksekusi kepada Jakpro setahun setelah appraisal terbit. Karena itulah, appraisal pertama senilai Rp 153 miliar tak berlaku lagi, sehingga harus dihitung ulang.
Kemudian PN Jakarta Utara menunjuk KJPP Toto Suharto dan rekan. Berdasarkan surat penilaian objek tanah tertanggal 28 Juni 2021, total ganti rugi yang harus ditunaikan Jakpro turun dari semula, yakni Rp 120,34 miliar. Menindaklanjuti penilaian ini, pengadilan membuat penetapan pada Jumat, 3 September 2021. Isi penetapan itu bahwa Jakpro diperintahkan membayar ganti rugi Rp 120,34 miliar untuk Umar dan kawan-kawan.
Selain itu, PN Jakarta Utara meminta bantuan Ketua PN Jakarta Pusat agar mengutus seorang jurusita beserta dua saksi ke kantor Jakpro. Jurusita tadilah yang akan membacakan isi putusan pengadilan kepada Jakpro perihal bayar ganti rugi Rp 120,34 miliar.
Hal ini tertuang dalam penetapan PN Jakarta Utara nomor 1/Eks/2021/PN Jkt.Utr. yang terbit 3 September 2021. Penetapan ditandatangani Ketua PN Jakarta Utara Puji Harian.
Pembacaan penetapan PN Jakarta Utara berlangsung pada Senin, 25 Oktober 2021. Jurusita PN Jakarta Pusat, Dimas Ariyanto, dan dua saksi menyambangi kantor Jakpro di Lantai 1 Gedung Thamrin City, Jakarta Pusat pagi itu. Mereka disambut oleh Sulistya.
Dalam dokumen berita acara eksekusi yang diterima Tempo tertera bahwa Dimas telah memerintahkan Jakpro membayar Rp 120,34 miliar sebagai ganti rugi atas objek eksekusi tanah 5 ribu meter persegi di Jalan Pluit Timur Raya.
Dimas, yang baru saja mendapat penugasan dari PN Jakarta Utara pada September ini, lantas memberikan penjelasan. “Yang punya kewenangan utara (PN Jakarta Utara), bukan kami. Kami hanya menjalankan delegasi,” ucap dia di Gedung Thamrin City, Senin, 25 Oktober 2021.
Sulistya merespons bahwa pihaknya belum bisa memutuskan apapun. Musababnya, Jakpro belum menerima pemberitahuan resmi penetapan eksekusi yang dibacakan Dimas. BUMD itu juga belum mengantongi dasar penetapan KJPP senilai Rp 120,34 miliar. Untuk itu, Jakpro akan terlebih dulu meminta salinan resmi penetapan PN Jakarta Utara serta hasil penilaian KJPP Toto Suharto dan rekan.
Sulistya membenarkan hal tersebut. Menurut dia, Jakpro telah memohon salinan resmi penetapan putusan ke PN Jakarta Utara dan fatwa MA sejak 2015, tapi tak berbalas. Jakpro kembali melayangkan surat permohonan salinan putusan ke pengadilan pada 26 Oktober 2021.
Pengadilan mengirimkan salinan resmi penetapan dan foto copy hasil penilaian KJPP Toto Suharto dan rekan tiga hari berselang. “Penetapan kami terima 1 November, tapi fatwa belum kami terima,” ujar dia, Minggu, 7 November 2021.
Dia masih mempelajari salinan putusan itu dan belum mengeksekusi putusan pengadilan. Yang pasti, dia menambahkan, Jakpro menghargai proses hukum dan bakal menjalankannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Jakpro tetap hati-hati.”
Juru bicara PN Jakarta Utara, Djoeyamto, memaparkan amar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dilaksanakan. Putusan pengadilan atas perkara yang menyeret Jakpro ini bersifat kondemnator (condemnatoir) yang berarti menghukum pihak berperkara.
“Pelaksanaan amar putusan tersebut bisa secara sukarela atau dengan paksaan,” jelas dia dalam pesan teksnya, Selasa, 9 November 2021. Paksaan yang dimaksud adalah ketua pengadilan mengeluarkan penetapan pelaksanaan eksekusi.
Perebutan si lapang hijau
Banyak warga yang berkunjung ke Taman Waduk Pluit ketika Tempo menelusuri seisi taman pada Minggu, 31 Oktober 2021. Di pintu masuk taman terpampang jelas plang Selamat Datang dari Jakpro Parking. Namun, mesin karcis parkir tidak lagi berfungsi.
Di area taman, tak sedikit pengunjung yang menggelar tikar, khususnya di pinggiran waduk. Mereka menikmati alam sembari bercengkerama satu dengan lainnya. Kebanyakan dari mereka datang bersama keluarga atau berdua saja bak pasangan sejoli. Warga berkumpul di sana untuk sekadar menikmati udara sore pinggir waduk atau rekreasi.
Aktivitas lainnya, anak-anak menikmati permainan air di kolam renang buatan atau motor-motoran. Di sudut taman juga terdapat fasilitas taman bermain anak, salah satunya jungkat-jungkit. Sore itu pukul 14.25 WIB, setidaknya empat anak tengah bermain. Ada juga lapangan basket di dekatnya.
Jakpro membangun taman kota pada 20 Juni 2013. Penanaman pohon anggur laut oleh mantan Gubernur DKI Joko Widodo alias Jokowi menjadi simbol dimulainya pembangunan. Jokowi ingin Taman Waduk Pluit menjadi taman kota percontohan.
Direktur Utama PT Jakpro saat itu, Budi Karya Sumadi, menyampaikan bakal ada ruang terbuka hijau, jogging track, ruang bermain anak, tempat pertunjukan atau amphitheatre, dan dermaga di lahan sisi barat seluas 6 hektare. Kemudian lahan lainnya seluas 3 hektare difungsikan untuk instalasi pengolahan air limbah dan satu hektare sebagai pengolahan air bersih.
Taman ini diresmikan pada 17 Agustus 2013. Saat itu, Jokowi membubuhkan tanda tangan pada prasasti Taman Waduk Pluit yang diletakkan di tengah-tengah taman. Taman Waduk Pluit ini masuk dalam nominasi Guangzhou International Award for Urban Innovation kategori Special Recognition pada 2014.
“Saya ingin taman ini seperti Taman Suropati (Jakarta Pusat) yang aktif sekali kegiatan di sana,” tutur Budi, Senin, 11 November 2013.
Sebelum ini, Jokowi terlebih dulu merevitalisasi Waduk Pluit guna mencegah banjir di Ibu Kota. Dulu Waduk Pluit tampak tak terurus dan penuh gundukan sampah. Sementara warga memanfaatkan lahan hijau di sekitar waduk sebagai tempat tinggal.
Sertifikat hak pakai Taman Waduk Pluit baru terbit sekitar 2019. Sulistya memaparkan Jakpro tidak hanya perlu mengurus sertifikat lahan 5 ribu meter persegi, tapi tanah di Taman Waduk Pluit secara keseluruhan. Jakpro, lanjut dia, memproses pembuatan sertifikat berdasarkan skala prioritas mengingat banyaknya aset perusahaan.
“Proses penyertifikatan dengan luas wilayah yang cukup besar itu tidak mudah,” demikian alasannya baru memproses sertifikat Taman Waduk Pluit.
Setelah sertifikat terbit, Jakpro mengembalikan pengelolaan taman itu ke pemerintah DKI melalui Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) pada pertengahan 2020. Sulistya mengatakan tanah yang dikelola perusahaan pada akhirnya akan dikembalikan ke pemerintah daerah. Saat ini Taman Waduk Pluit dikelola Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Utara.
Umar menyerahkan persoalan ganti rugi Taman Waduk Pluit sepenuhnya kepada pengacara. “Saya enggak mau tau lagi, pusing,” tutup pria lanjut usia itu.