Hunian sementara (huntara) di Kelurahan Lere, Palu Barat, terlihat sumpek. Ukurannya empat kali enam meter persegi. Mirip tenda yang digunakan para siswa untuk berkemah. Bagian dalamnya tanpa penyekat. Huntara itu berlantaikan tanah yang ditutup dengan tikar plastik. Tak ada ruang tamu. Tempat tidur dan dapur menyatu.
Di huntara itulah selama tiga tahun ini Rahma Abdullah Aday, 45 tahun, tinggal. Dia adalah satu dari ribuan warga yang menjadi korban gempa bumi yang mengguncang Palu dan sekitarnya pada 28 September 2018.
“Saya sudah tak mampu berbicara bagaimana dukanya selama tiga tahun tinggal di huntara. Lihat saja kondisinya, seperti tinggal di dalam tenda kecil,” kata Rahma yang tinggal bersama empat anaknya saat ditemui pada Sabtu petang, 2 Oktober 2021.
Susahnya hidup di tenda darurat makin diperparah dengan sulitnya air bersih. Dia kerap kali harus membeli air untuk masak dan minum. Seperti kebanyakan penyintas lainnya, ia sangat berharap segera pindah ke hunian tetap (huntap).
Menurut Rahma, sejak awal huntara itu dihuni 205 kepala keluarga. Namun, sebagian sudah pindah ke huntap di Kelurahan Tondo. Sekarang masih tersisa 65 kepala keluarga yang tinggal di huntara itu.
Ia pun mulai gelisah. Pemilik lahan di huntara itu sudah memagari lahan. Ia yakin benar, itu adalah pertanda pemilik lahan sudah akan memanfaatkan lahannya.
“Saya dengar kabar akan dibangun showroom. Kami harus siap-siap diusir, entah ke mana lagi,” katanya dengan raut wajah sedih.
Ia bercerita, hampir semua penghuni huntara itu dulu tinggal di Kampung Lere. Semuanya adalah nelayan. Saat terjadi tsunami, rumah-rumah mereka yang berdiri di bibir Teluk Palu hancur tanpa bekas. Hanya pondasi yang tersisa.
Menurut Rahma, Wali Kota Palu Hadianto Rasyid saat kampanye pilkada 2020 pernah menjanjikan pemindahan penghuni huntara di Jalan Pangeran Diponegoro itu ke rumah susun di Jalan Pangeran Hidayat. Kebetulan lokasinya dekat pantai. Mereka gembira, karena bakal mudah turun ke laut.
Namun, rencana itu dibatalkan. Rumah susun itu bahkan dibongkar. Sebagian penghuni huntara dipindahkan ke huntap di Kelurahan Tondo. Karena jauh dari pantai, banyak penyintas balik ke huntara di Kelurahaan Lere yang dekat dengan pantai.
“Tetapi setelah terpilih menjadi wali kota Palu, eh, hanya janji. Kami kecewa dan menyesal,” kata Endang, juga penghuni huntara Lere, Selasa, 5 Oktober 2021.
Demi Lapangan Bola
Penyintas bencana di Kelurahan Donggala Kodi, Kota Palu, bernasib lebih menyedihkan. Huntara mereka dibongkar rata dengan tanah. Alasannya, lahan itu akan dijadikan lapangan sepak bola.
Sebanyak 39 kepala keluarga atau 100 jiwa lebih penghuni huntara itu tidak berdaya. Mereka harus angkat kaki. Sementara huntap yang selalu dijanjikan, juga belum ada. Mereka pun terpaksa mencari tempat-tempat kos.
Huntara di Donggala Kodi dibangun Kementerian PUPR, bersebelahan dengan huntara Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang dibangun di pinggir jalan untuk puluhan kepala keluarga.
Koordinator huntara MDMC, Maskar, membenarkan huntara itu dibongkar karena lahannya akan digunakan untuk lapangan bola. Padahal, lahan itu bukan milik pengusaha atau perorangan, tetapi milik pemerintah. “Saya heran mengapa pemerintah mengutamakan lapangan bola ketimbang tempat tinggal penyintas bencana,” kata Maskar, Sabtu, 2 Oktober 2021.
Akibat pembongkaran itu, beberapa orang penghuni huntara itu ditampung di huntara MDMC yang berjumlah sekitar 20 kepala keluarga. Sementara yang lainnya, terpaksa mencari tempat-tempat kos.
Lurah Donggala Kodi, Nurhaya Che Haslisa, mengatakan lahan itu adalah milik masyarakat, bukan pemerintah. Sesuai aturan, katanya, peminjaman lahan seluas 14.000 meter persegi itu untuk huntara selama dua tahun.
Menurut Nurhaya, huntara itu dibongkar oleh para pemain sepak bola Roata FC yang diberi tanggung jawab dari PUPR. “Rencananya setelah huntara dibongkar, lahan itu akan dijadikan lapangan sepak bola sesuai kesepakatan masyarakat setempat,” kata Nurhaya, Selasa, 5 Oktober 2021.
Di lokasi lain, huntara di Kelurahan Silae dan huntara di Kelurahan Pengawu sudah terlebih dahulu dibongkar. Pemilik lahan sudah tak memperpanjang lagi lahan mereka digunakan sebagai huntara.
Diskriminasi Korban Bencana
Komunitas Celebes Bergerak mempertanyakan tanggung jawab Wali Kota Palu Hadinato Rasyid atas pembongkaran huntara penyintas bencana di Silae, Pengawu, dan Donggala Kodi.
"Selama ini kami tidak melihat ada upaya wali Kota Palu menyelesaikan masalah pembongkaran sejumlah huntara yang telah berakhir masa kontraknya," kata Direktur Komunitas Celebes Bergerak, Adriansa Manu, Selasa, 5 oktober 2021.
Menurutnya, tiga tahun bencana berlalu, pemerintah belum mampu menyiapkan huntap kepada warga terdampak bencana yang kehilangan rumah. Mirisnya, hunian sementara di sejumlah lokasi malah dibongkar.
“Ini adalah kesalahan pemerintah kota yang lambat mengurusi sengketa lahan di lokasi pembangunan huntap. Seperti misalnya, Kelurahan Tondo dan Kelurahan Talise Valangguni, masih terus bersengketa, termasuk di Petobo,” kata Adriansa.
Menurutnya, kalau pun pembongkaran terpaksa dilakukan karena habis masa kontraknya, pemerintah Kota Palu harus memberikan solusi untuk tempat tinggal warga, bukan membiarkan mereka telantar.
Demi pertimbangan kemanusiaan, menurut Adriansa, wali Kota Palu seharusnya tidak mendiskriminasi korban bencana. Sebab, selama ini ada kesan bahwa warga yang tidak memiliki alas hak tanah berupa sertifikat, dianggap bukan warga terdampak bencana (WTB). Anggapan seperti itu dinilai sangat menyakiti hati korban bencana.
Masalah Lahan
Tiga tahun gempa berlalu, huntap masih jadi urusan yang jauh dari selesai. Ketua Tim Monitoring Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP HAM) Sulawesi Tengah, Syafari Firdaus, mengatakan pihaknya sejak awal sudah menelusuri lika-liku hambatan lahan untuk pembangunan huntap di Kota Palu. Hasilnya, begitu rumit.
Syafari menceritakan, penyediaan lahan huntap sebenarnya sudah diupayakan sejak masa tanggap darurat bencana. Usulan itu menjadi dasar bagi Gubernur Sulteng untuk menerbitkan Surat Keputusan bernomor 369/516/DIS.BMPR-G.ST/2018 tentang Penetapan Lokasi Tanah Relokasi Pemulihan Akibat Bencana di Sulteng, pada 28 September 2018.
Merujuk surat itu, lokasi huntap skala besar di Kota Palu ditetapkan di Kelurahan Duyu seluas 79,3 hektar. Sedangkan di Keluruhan Tondo serta di Kelurahan Talise seluas 481,63 hektar. Lokasi Ngatabaru, yang juga diusulkan Pemkot Palu untuk relokasi warga Petobo, tidak masuk ke dalam SK itu. Sebab, belum ada hasil penelitian dan kajian teknis dari Bappenas dan kementerian teknis terkait.
Luas lahan yang diusulkan untuk huntap skala besar di Palu, dan Kabupaten Sigi secara keseluruhan adalah 922,93 hektar.
Kendala pembebasan lahan ini kemudian memang terjadi. Sejumlah lahan yang diusulkan masih ada izin Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan dari sejumlah perusahaan. Bahkan, yang sudah habis masa izinnya pun, jauh sebelumnya sudah diklaim warga sebagai miliknya.
Masalah ini pula yang membuat Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dikabarkan hendak menarik dukungan dan membatalkan pembangunan huntapnya di Tondo. Gara-garanya, lahan di belakang kampus Universitas Tadulako, Palu, yang akan dibangun itu masih bermasalah. Dalam perencanaan, Yayasan memerlukan 40 hektar untuk membangun 1.500 unit huntap tipe 36.
Rencana Awal Dibangun 11.788 Unit
Berbicara pada diskusi terbuka Refleksi Tiga Tahun Pascabencana bertajuk Penyediaan Huntap Jalan Merayap di Palu, Sabtu, 9 Oktober 2021, Syafari Firdaus mengatakan rencana awal pembangunan huntap secara keseluruhan di Palu, Sigi, dan Donggala akan dibangun sebanyak 11.788 unit. Dari jumlah itu, Kementerian PUPR akan membangun 8.788 unit, Buddha Tzu Chi 2.500 unit, dan 500 unit lainnya dibangun pihak lainnya.
Secara keseluruhan ditaksir kebutuhan pembiayaan penanganan pascabencana di Sulteng sekitar Rp 22,8 triliun. Jumlah itu termasuk Rp 5 triliun untuk relokasi pembangunan kembali pemukiman warga terdampak bencana. Sumber dana selain dari pemerintah, juga dari bantuan beberapa lembaga luar negeri.
Huntap relokasi kawasan skala besar di Kota Palu terdapat di Kelurahan Duyu sebanyak 230 unit di atas lahan seluas 79,3 hektar. Lahan tersebut adalah lahan eks PT Duta Dharma Bhakti. Awalnya Kementerian PUPR akan membangun 450 unit. Namun, ada klaim dari 19 warga di lokasi itu atau seluas 22,2 hektar sebagai miliknya.
Di lokasi Tondo 1, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional awalnya hanya memberikan lahan 19,2 hektar. Kemudian ditambah lagi 30 hektar sehingga menjadi 45 hektar. Di lahan itu dibangun 1.611 unit huntap. Dari jumlah itu, 1.500 unit dibangun Buddha Tzu Chi, 100 unit dibangun AHA Center, dan 11 unit dibangun Apeksi.
Sementara di lahan lainnya, Tondo 2 terdapat 65,31 hektar untuk kapasitas 1.100 unit huntap. Lagi-lagi di lahan ini masih ada klaim kepemilikan warga sebanyak 37 petak lahan. Pemkot Palu sedang dalam proses dialog dengan warga untuk mengupayakan penyelesaian klaim kepemilikan lahan itu.
Pembangunan Huntap Lambat
Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid membenarkan pembangunan huntap terlambat. Dia berdalih warga di Talise dan Petobo mengklaim sebagai lahan keluarganya. Begitu juga di Tondo 2. “Kalau ada klaim seperti itu, pembangunan huntap tidak dapat dilaksanakan. Sebab sumber dana pembangunan huntap bantuan dari Bank Dunia,” kata Hadianto seusai peringatan HUT Kota Palu ke-43 pada Senin, 27 September 2021.
Peringatan HUT yang digelar sehari menjelang peringatan 3 tahun gempa Palu itu dimanfaatkan penyintas untuk menagih janji Hadianto dalam menangani penyintas bencana.
Menurut Hadianto, Bank Dunia tidak menginginkan huntap malah menimbulkan persoalan setelah dibangun. Itu sebabnya, kata dia, Pemkot Palu sangat berhati-hati soal lahan.
“Setelah kami lakukan pendekatan, disepakati lahan itu untuk dibangun huntap. Di Talise terdapat 32 hektar lahan yang akan dibangun huntap. Lahannya sudah siap diratakan dan langsung dibangun huntap bulan Oktober ini,” kata Hadianto saat menerima pendemo.
Hadianto meminta penyintas bersabar karena pembangunan huntap di Talise dan Tondo diselesaikan pada Oktober ini. Di huntap ini, kata dia, yang menjadi prioritas adalah warga terdampak bencana.
Menurutnya, banyak keluarga penyintas tidak masuk katagori huntap. Sebab, sebelumnya mereka berstatus sewa, tidak memiliki alas hak (dokumen kepemilikan). “Aturan ini diatur kementerian, bukan pemda,” ujar Hadianto.
Tapi pendemo seperti tak ingin lagi diberi janji-janji. Tiga tahun menunggu, mereka tak ingin lebih lama lagi terlunta-lunta.
“Data terus-menerus. Kami bersertifikat. Dan bagaimana yang tidak ada? Jika teada (tak ada) huntap, bawa kemari saja uang itu yang Rp 50 juta. Jika tidak ada uang stimulan, kasikan saja lahan untuk membangun,” kata salah satu pendemo, Ibu Sri.