Eva Junita Lumban Gaol, 43 tahun, terperanjat ketika melihat dua orang tak dikenal memasang patok dekat Gereja Kristen Luther Indonesia Pargamanan, Desa Simataniari, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Waktu itu, pertengahan Desember 2020, warga adat Pargamanan dan Bintang Maria sedang membenahi gereja untuk menyambut perayaan Natal.
Seketika kegiatan gotong royong warga adat itu terhenti. Eva bergegas menghampiri pemasang patok yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari pekarangan gereja. “Kok memasang patok? Bapak ini siapa?” kata Eva mengulang teguran dia ketika menceritakan kembali peristiwa itu kepada Tempo, Rabu, 14 April 2021.
Salah seorang pemasang pal menjawab bahwa mereka adalah petugas pemetaan lahan untuk proyek lumbung pangan nasional. Dari penjelasan singkat petugas itu, Eva memahami maksud tulisan HPK-FE pada pal itu. Tiga huruf pertama merupakan singkatan dari hutan produksi yang dapat dikonversi. Sedangkan dua huruf terakhir singkatan dari food estate.
Toh, Eva dan warga kelompok adat Pargamanan dan Bintang Maria tetap terheran-heran. Sebab, sebelumnya tak pernah ada pemberitahuan bahwa proyek food estate akan merambah lahan adat yang telah dihuni turun-temurun lebih dari seratus tahun. “Meskipun ini program pemerintah, setidaknya masyarakat diberi tahu dulu,” ucap Eva. “Jangan begitu, masuk diam-diam, seperti maling.”
Pal dekat pekarangan gereja berada di wilayah adat, antara permukiman warga dan hutan mereka. Semula, dari pelataran gereja, Eva dan warga lainnya hanya melihat ada satu pal yang terpacak. Ketika mendekati pal pertama, mereka melihat dua patok lain dengan tulisan yang sama.
Sepulang para pemasang pal itu, Eva mengajak warga adat lainnya berembuk. Mereka bermufakat untuk mempertanyakan rencana proyek food estate kepada pemerintah. “Kok hutan adat kami mau dijadikan food estate,” ujar Eva. Warga pun sepakat untuk mengirimkan surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. “Kami ingin pengakuan hutan adat,” kata Eva lagi.
Kecemasan warga adat Pargamanan bukan tanpa alasan. Meski warga sudah turun-temurun menempati dan mengelola lahan adat, hingga kini belum ada peraturan daerah yang mengakui hak mereka.
Warga adat Pargamanan juga masih trauma oleh konflik lahan berkepanjangan yang bermula pada 18 tahun silam. Waktu itu, sebagian wilayah adat berupa hutan kemenyan atau tombak haminjon tergusur oleh konsesi lahan milik sebuah perusahaan bubur kertas. Hutan kemenyan seluas 218 hektare yang sebelumnya menjadi sumber pencaharian warga pun dibabat untuk ditanami pohon eukaliptus.
Tak hanya kehilangan sebagian hutan kemenyan, warga adat juga terkena dampak lain penguasaan konsesi lahan seluas 737 hektare oleh perusahaan tersebut. “Wilayah kami sering kekeringan, meski kemarau baru sebentar,” kata Ketua Kelompok Adat Pargamanan dan Bintang Maria, Rajes Sitanggang. Ketika musim hujan tiba, kawasan di sekitar permukiman adat itu pun begitu mudah banjir.
Belum lepas dari urusan konflik lahan dengan swasta itu, kini wilayah hutan adat Pargamanan bakal terjamah program lumbung pangan nasional. “Kami harus makin berjuang lagi,” ujar Rajes.
Program lumbung pangan merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional. Dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020. Penyediaan lahan lumbung pangan di Sumatera Utara berfokus di empat kabupaten, yaitu Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Pakpak Bharat. Presiden Joko Widodo meresmikan program lumbung pangan di Humbang Hasundutan, pada 27 Oktober 2020.
Luas wilayah adat Pargamanan dan Bintang Maria sekitar 1.763, 7 hektare. Berdasarkan peta yang diperoleh Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, kawasan hutan produksi yang akan dikonversi untuk proyek food estate luasnya sekitar 106 hektare. Adapun keseluruhan luas kawasan lumbung pangan di wilayah adat Pargamanan dan Bintang Maria direncanakan sekitar 964, 2 hektare.
Tokoh kelompok adat, Ridwan Simbolon, menuturkan warga Pargamanan dan Bintang Maria menjaga kelangsungan hutan adat demi menjaga petuah para leluhur. Ia berkisah, leluhur Pargamanan dan Bintang Maria berasal dari Samosir yang sempat berpindah ke Desa Sigumbang, Tapanuli Utara. Penjajahan Belanda menyebabkan leluhur mereka mencari perkampungan baru untuk memperbaiki kehidupan. Pengembaraan mereka tiba di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Simataniari. “Perpindahan leluhur kami sudah lebih satu abad, kira-kira 125 tahun,” kata dia.
Warga keturunan Partuan Nahoda Raja–penguasa wilayah Sionom Hudon–kala itu memberi restu kepada leluhur Pargamanan dan Bintang Maria untuk membuat perkampungan. “Syaratnya, tanah tak boleh berpindah kepemilikan sampai generasi seterusnya,” ucap Ridwan, 53 tahun.
Leluhur Pargamanan menerima syarat tersebut. Mereka lantas menggelar upacara adat untuk membuka perkampungan. Mereka pun membagi wilayah adat untuk tempat tinggal dan hutan sebagai sumber penghidupan. “Tanah hutan adat adalah identitas kami,” kata Ridwan, generasi kelima dari leluhur Pargamanan.
Di Humbang Hasundutan, tak hanya warga Pargamanan yang hak atas hutan adatnya terancam. Warga desa Pandumaan dan Sipitu Huta, sekitar tiga jam perjalanan kendaraan bermotor dari permukiman Pargamanan, juga resah karena hutan kemenyan mereka terancam menyusut gara-gara program ketahanan pangan.
Berbeda dari kelompok adat Pargamanan, hak warga Pandumaan dan Sipitu Huta atas hutan yang luasnya 6.186, 17 hektare sebenarnya telah diakui Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan sejak 2019. Namun, luas wilayah adat itu kini terancam menyusut, karena 2.051 hektare lahan masuk alokasi program ketahanan pangan. Kegelisahan warga makin menguat ketika Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan Surat Keputusan Nomor 8172 Tahun 2020. Walhasil, hutan adat Pandumaan dan Sipitu Huta luasnya sekarang hanya 2.393,83 hektare. “Ada tumpang-tindih aturan pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Rocky Pasaribu, Koordinator Divisi Studi dan Advokasi KSPPM.
Warga Pandumaan dan Sipitu Huta juga sepakat untuk menolak konversi hutan adat mereka menjadi kawasan lumbung pangan. “Bagi kami, ketahanan pangan itu bertani kemenyan, bukan food estate,” kata Haposan Sinambela, pendeta yang juga tokoh masyarakat di Desa Pandumaan.
Warga adat dari kedua desa mendatangi kantor Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan. Pertembungan pada 18 Januari 2021. Dalam pertemuan selama dua jam dengan Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor, perwakilan warga juga menuntut pembatalan program lumbung pangan di hutan adat mereka.
Kala itu, Dosmar meyakinkan warga bahwa lahan lumbung pangan tidak akan dikuasai investor. “Sertifikat lahan food estate tetap diberikan kepada petani,” kata sang bupati. Namun, warga adat menyambut dingin penjelasan Dosmar. “Kalau surat keputusan wilayah adat sudah ada, kami tidak memerlukan sertifikat itu,” ujar Kersi Sihite, pengurus adat Pandumaan dan Sipitu Huta.
Pada pertemuan tersebut, Dosmar sempat menghubungi seseorang lewat telepon selulernya. Dia bilang telah menelepon pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyampaikan keluhan warga. Namun, upaya Dosmar tak membuat warga puas. Sebab, hingga pertemuan itu bubar, tak ada kepastian bahwa luas wilayah adat tidak akan berkurang. “Kami tunggu undangan pemerintah sampai Juli,” kata Haposan Sinambela. “Kalau belum ada undangan, warga mau demonstrasi.”
Konversi kawasan hutan untuk lumbung pangan diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 24 Tahun 2020. Berdasarkan Pasal 6 ayat 1 beleid tersebut, konversi hutan produksi untuk proyek lumbung pangan dilakukan lewat skema pelepasan. Syaratnya, antara lain, konversi harus melewati kajian tim terpadu, serta memiliki dokumen upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL). Konversi lahan tak bisa dilakukan sebelum semua komitmen dalam dokumen UKL-UPL itu terlaksana.
Demi memperjelas status terakhir hutan adat di Humbang Hasundutan itu, Tempo berupaya mewawancarai Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ruandha Agung Sugardiman, dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup, Nunu Anugrah. Namun, kedua pejabat itu tidak mengangkat telepon dan tak menjawab pertanyaan yang Tempo kirim lewat layanan pesan percakapan.
Aturan tentang konversi hutan untuk program lumbung pangan tak hanya membingungkan masyarakat adat. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) pernah mengkritik Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 24 Tahun 2020 itu. Lewat situs webnya, organisasi hukum lingkungan itu menilai Peraturan Menteri bertabrakan dengan sejumlah aturan yang lebih tinggi, di antaranya Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008.
Belakangan, pada Februari lalu, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Peraturan yang sebelumnya saling bertentangan memang dicabut. Tapi, dalam aturan baru, pemerintah malah melonggarkan syarat konversi hutan demi memudahkan investasi. “Ada upaya untuk memenuhi kemauan pemerintah saja,” kata Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, Adrianus Eryan.
Ahli antropologi lingkungan, Suraya Abdulwahab Afiff, juga mengkritik proyek lumbung pangan pemerintah. Menurut dia, pemerintah kerap melakukan hal yang saling berlawanan dengan dalih memenuhi ketersediaan pangan. Dia mencontohkan, ketika program food estate digenjot, di banyak tempat lahan pertanian produktif justru hilang karena tergusur proyek lain seperti jalan, bandara, dan perumahan.
Itulah sebabnya, Suraya menilai pemerintah keliru ketika hendak mengubah hutan adat kemenyan yang produktif untuk proyek lumbung pangan. Sebab, hutan kemenyan sudah ratusan tahun menjadi sumber penghidupan masyarakat adat. “Pemerintah harus mengakui hak dan pengetahuan tradisional masyarakat adat,” katanya. “Anggapan sains modern lebih rasional daripada pengetahuan tradisional enggak ada dasarnya.” *
Rajes Sitanggang, 48 tahun, enggan menerima tawaran pekerjaan apa pun untuk mengganti sumber kehidupannya sebagai petani kemenyan. “Bertani kemenyan sudah mendarah daging,” katanya. Ia menuturkan, bahwa sekali penanaman pohon kemenyan bisa diambil manfaatnya sampai tiga generasi. Tahun 2021, data kependudukan Desa Simataniari menunjukkan kelompok adat Pargamanan dan Bintang Maria berjumlah 50 keluarga, terdiri atas 225 orang. Penghasilan bertani kemenyan, menurut warga, bisa mencukupi kelangsungan hidup, walaupun punya banyak anak. Tak cuma kebutuhan saban hari. Keperluan biaya pendidikan anak dan kesehatan masih terjamin. Demikian pula jika untuk keperluan pesta adat.
Selain kemenyan, warga juga menambah penghasilan dari bertani tanaman lain. “Tambahan penghasilan dari panen di sawah, berkebun ubi, kopi,” tuturnya. Ada pula durian dan petai. ”Musiman cuma satu tahun sekali.”
Waktu panen raya kemenyan, pada Oktober sampai Desember. Saat momentum itu, petani mengumpulkan getah kemenyan takasan –kualitas paling bagus– yang dijual Rp 300 ribu per-kilogram. Setelah panen raya, masih ada getah kemenyan yang bisa diambil di hutan. Getah kemenyan kualitas kedua ini namanya tahir. “Sisa getah dari panen raya, harganya Rp 200 ribu per-kilogram,” ucapnya. Petani memanen lanjutan mendapat getah tahir pada Januari hingga September.
Rajes menganggap sampai sekarang keadaan warga masih bisa menikmati keuntungan dari getah kemenyan. Walaupun, kata dia, bobot panen sangat menyusut. ”Sekarang cuma satu ons hasil getah tiap pohon,” katanya. Penyusutan itu dipengaruhi kerusakan lingkungan sejak ada konsesi perusahaan bubur kertas. ”Sebelum perusahaan itu masuk, kami bisa mendapat satu kilogram tiap pohon,” tuturnya.
Meski begitu, kelompok adat enggan beralih sumber pendapatan. Warga enggan tergiur lumbung pangan. “Selalu ada yang cari kemenyan, tengkulak enggak pernah kelebihan stok,” ucapnya. Keseluruhan panen dibagi untuk penyaluran ke tengkulak. Tiap pekan, kata Rajes, ia biasa membawa lima kilogram. “Perawatan kebun kemenyan gampang, kerja enak, asoi pula duitnya,” tuturnya.
Ketika bekerja, petani membawa bakul penampung getah serta peranti yang tajam untuk menyadap. Petani juga membawa polang, sebutan untuk tali berbahan ijuk. Kegunaan tali polang ini sebagai alat bantu petani memanjat. Tali tersebut melilit bilah kayu untuk petani berpijak saat memanjat pohon. Langkah mula petani mengikis kulit kayu, proses ini mangguris dalam bahasa Batak. Kemudian, mencungkil supaya getah merembes ke luar hingga kering di permukaan pohon.
“Kalau masuk hutan biasanya menginap sampai lima hari,” tutur Rajes. Kebutuhan air dan sayuran tersedia di hutan. Perbekalan yang dibawa biasanya beras dan lauk tertentu. Petani sudah membuat pondok di dalam hutan untuk menginap dan memasak, periuk maupun cerek ada di situ.
Kelompok adat Pargamanan dan Bintang Maria, memaknai pohon kemenyan dengan berbagai nilai kehidupan. Ketika hendak menyadap pun menjunjung pedoman adat. Ketika mau memanen di hutan, petani membawa penganan tradisional Batak, itak gurgur. Penganan itu sebagai simbol permohonan warga. “Bekerja diberkahi hasil melimpah selamat, dan sehat,” kata Ridwan Simbolon, tokoh kelompok adat Pargamanan dan Bintang Maria.
Tiap petak lahan yang ditumbuhi pohon kemenyan dilindungi hukum adat. Aturan itu terikat dalam kelompok. “Kalau ada warga yang mengambil getah di pohon bukan miliknya, ada denda,” ucapnya. Denda akan ditentukan melalui kesepakatan.
Pagi itu cuaca cerah di Desa Ria Ria, Humbang Hasundutan, Rabu, 14 April 2021. Sampai waktu menjelang siang, warga masih berkegiatan menyortir bawang merah panen program food estate alias lumbung pangan. Seorang perempuan menggenggam bawang merah panen perdana. Kepada Tempo, RS, 33 tahun, bermaksud menunjukkan berbagai ukuran bawang merah. Ia bilang, jika panen banyak bali karet –sebutan bawang merah besar– memungkinkan lahan satu hektare mendapat 10 ton. Menurut dia, itulah bobot ideal panen per-hektare untuk mendapat keuntungan.
Tapi kenyataan berbeda, panen jauh di bawah target itu. Panen lumbung pangan di lahannya cuma mendapat satu ton bali karet. “Panen sekarang masih banyak bawang merah kecil,” ucapnya. Timbangan bawang merah panen perdana ini tak jauh beda berat dengan modal bibit yang ia terima dari pemerintah, satu ton per-hektare.
Adapun harga bawang merah besar per-kilogram, Rp 18 ribu. Sedangkan, per-kilogram bawang merah kecil, Rp 8.000. Harga tersebut kesepakatan dalam teken kontrak dengan Kelompok Usaha Bersama, kelembagaan korporasi yang menghimpun petani lumbung pangan. Kelompok itu bentukan Kementerian Pertanian untuk kelangsungan lumbung pangan serta urusan jalur pemasaran dengan penjamin pembelian panen atau offtaker. “Kesepakatan harga dibuat menjelang panen,” kata RS.
Boleh dibilang, RS salah satu di antara warga lainnya yang mau berbicara dengan awak media. Meski ia meminta Tempo untuk tidak mencantumkan nama lengkapnya. Sebab, belum lama ini, ada seorang petani menanggung rundung. Perundungan bermula setelah ia berbicara kepada juru warta berkenaan panen lumbung pangan yang tak sesuai target.
“Petani food estate makin tertutup berbicara dengan orang luar,” kata Abriani Siahaan, selaku Staf Divisi Pengorganisasian, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat yang menaungi wilayah Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara.
Pengembangan lumbung pangan keseluruhan luasnya 1.000 hektare di Desa Ria Ria. Sekarang, masih tahap pertama, luas tanah yang sudah ditanami masih 215 hektare. Tanaman lumbung pangan itu, bawang merah, bawang putih, dan kentang. Sewaktu pengenalan lumbung pangan, sepintas saja RS beranggapan bisa lebih berdaya melalui program itu. “Sertifikat sudah ada, itu pula yang meyakinkan kami,” katanya.
Akhirnya, RS mau ikut karena tergiur bantuan pemerintah yang menyediakan bibit, mulsa, serta berbagai pupuk untuk lahan satu hektare. Ada pula bantuan uang Rp 7,8 juta. RS memakai uang tersebut untuk membayar pekerja harian yang membersihkan bidang tanah dan penanaman. Bantuan itu untuk mulanya saja. “Setelah siap tanam buat laporan baru dikasih uangnya,” tuturnya.
Lahan yang tercatat milik RS dalam verifikasi data calon petani dan calon lokasi (CPCL), luasnya 1,3 hektare. “Tapi di lapangan yang saya kelola itu lebih. Biarpun tidak masuk peta, tapi tetap saya garap,” tuturnya. RS menjelaskan, tanah lumbung pangan yang ia garap luasnya 1,5 hektare. Ia mengakui, bantuan pupuk untuk penanaman perdana di atas lahannya itu memang kurang. Namun, RS enggan mencari dana untuk menutupi kekurangan tersebut.
“Saya mencukupkan saja yang diberi pemerintah,” katanya. Ia menambahkan, “Memang petani bisa berinisiatif swadaya menambahi (pupuk) beli sendiri. Tapi itu tidak diharuskan oleh pemerintah.”
Soal kemitraan lahan, tak ada perjanjian kurun waktu tertentu. “Enggak ada jangka waktu pemakaian lahan dalam kontrak itu,” ucapnya.
Perjanjian meminta warga menuruti kesepakatan agar lahan tidak dijual selama digunakan untuk lumbung pangan. Warga juga tak bisa memasarkan semaunya. Sebab, ketentuan program lumbung pangan, hasil panen harus ditampung di Kelompok Usaha Bersama. Penanaman tahap kedua nanti, RS masih memandang samar jika menimbang panen perdana. “Kurang hasil panen perdana ini untuk modal berikutnya,” tuturnya. RS berharap, pemerintah sebagai penyelenggara lumbung pangan tetap mengucurkan bantuan modal.
Kementerian Pertanian melakukan pendampingan untuk pengembangan lumbung pangan sampai akhir tahun 2021. Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto mengatakan, semasa pendampingan, Kementerian Pertanian memastikan sistem pengelolaan warga untuk lumbung pangan bisa bergerak secara mandiri. “Selama pendampingan ini para petani jangan sampai gagal produksi,” katanya.
Prihasto menjelaskan, modal untuk warga bertanam tahap kedua menggunakan hasil berjualan panen perdana. “Kami mengusahakan bantuan modal, tapi tidak dijanjikan,” ucapnya. Tahap kedua penanaman, kata dia, perkiraan berlanjut pada Juni. Prihasto menambahkan, pengembangan lanjutan lumbung pangan oleh Kelompok Usaha Bersama bermitra dengan offtaker. Ada tujuh perusahaan swasta yang bersedia menyerap produksi lumbung pangan.
Soal panen perdana, Prihasto punya laporan berbeda. Ia menjelaskan, bobot produksi bawang merah per-hektare rata-rata enam ton. Bobot tersebut ia anggap sudah bagus, karena tanah lumbung pangan masih bukaan baru. “Sama sekali belum pernah digunakan untuk pertanian,” katanya. Prihasto menambahkan, masih perlu menetralkan kandungan tanah untuk penanaman hortikultura. “Sama (perumpamaan) seperti bayi baru lahir enggak bisa langsung berdiri.”
Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Delima Silalahi memandang keberadaan lumbung pangan tak menyentuh kebutuhan masyarakat. Tak ada kejernihan informasi terkait risiko warga Desa Ria Ria dalam program lumbung pangan. “Terlihat dari isi kontrak yang tidak menyebutkan berapa tahun berlangsung kerja sama,” katanya.
Delima telah berkali-kali berbincang dengan petani lumbung pangan. Ia menuturkan, soal penetapan harga juga menimbulkan kecemasan, karena hanya merujuk kesepakatan kontrak. “Harga dibuat tak berdasarkan analisis usaha yang disusun bersama petani,” ucapnya.
Kecenderungan risiko atas dua hal itu dianggap bisa menyebabkan petani mengalami masalah keuangan. Sebab, kata dia, panen yang tak memenuhi target untuk modal lanjutan bertanam. “Risiko ketika petani berutang untuk tambahan perawatan tanaman,” katanya.