Setelah melalui pembahasan yang memakan waktu sekitar setahun, akhirnya Komisi Eropa dan Parlemen Eropa mencapai kesepakatan sementara terkait Peraturan Uji Tuntas Uni Eropa atau Europe Union Due Diligence Regulation (EUDDR) pada Desember 2022. Peraturan ini diharapkan dapat meminimalisir produk-produk yang memiliki sangkut paut dengan deforestasi masuk ke pasar Uni Eropa (UE).
Berdasarkan berkas yang diperoleh Tempo, ada sejumlah produk yang menjadi cakupan dari pengawasan aturan terbaru ini. Yakni kayu, kedelai, minyak kelapa sawit, daging sapi, kakao, karet, dan kopi. Selain itu, dokumen tersebut juga mencantumkan produk turunan seperti kulit, cokelat, dan mebel. Cakupan produk juga dapat diperluas seiring waktu berjalan.
Kayu menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia yang diekspor ke UE. Data situs UN Comtrade menunjukkan bahwa nilai ekspor kayu Indonesia ke 27 negara UE pada 2021 mencapai US$ 397,78 juta. Indonesia juga mendapat keistimewaan dalam mengekspor kayu ke pasar UE. Hal ini lantaran Indonesia adalah satu-satunya eksportir yang diizinkan beroperasi berdasarkan aturan Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) berkat kehadiran Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian—sebelumnya Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK).
Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah menetapkan pedoman pemanfaatan komoditas kayu dan hasil hutan bukan kayu yang baru dan berlaku sejak 1 Maret 2023. Terbitnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 9895 pun mencabut pedoman terdahulu terkait SVLK dan membuatnya menjadi tak berlaku.
Peraturan tersebut diyakini membuat SVLK lebih ketat dibandingkan pedoman sebelumnya. Menurut Direktur Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Agus Justianto dalam Majalah Tempo edisi 19 Februari 2023, ada tiga poin utama terkait pedoman penerapan SVLK yang baru. Pertama, pemanfaatan teknologi informasi dan geolokasi untuk meningkatkan kredibilitas, transparansi, dan keterlacakan. Kedua, menjaga pengelolaan dan pemanfaatan hutan dengan memperhatikan aspek kelestarian berdasarkan fungsinya. Ketiga, perubahan logo menjadi “SVLK Indonesia” dan penambahan “kelestarian” untuk produk yang berasal dari sumber lestari.
Peneliti Independent Forest Monitoring Fund, Deden Pramudiana memiliki catatan bahwa seharusnya aspek ekologi dan sosial sepatutnya menjadi penilaian utama agar prinsip kelestarian dalam SVLK terpenuhi.
“Bila penerapan SVLK menitikberatkan pemenuhan kelestarian, harus dibarengi dengan pengawasan dan kontrol ketat sehingga dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengatasi praktik penyimpangan di lapangan,” ujarnya.
Namun belum ada titik terang terkait upaya meningkatkan mutu lembaga sertifikasi alias Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LPVI). Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) aktif mencatat dugaan pelanggaran perusahaan yang luput dari penilaian lembaga sertifikasi sejak awal pemberlakuan SVLK pada 2009.
Laporan Tempo di tahun 2023 ini merupakan bagian dari proyek kolaborasi lintas negara dengan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) dan media-media lainnya. Proyek bertajuk “Deforestation, Inc.”, menyelidiki kinerja lembaga-lembaga sertifikasi dan industri audit lingkungan, yang seharusnya menjadi bagian dari upaya mengatasi deforestasi dan pembalakan liar.
Penelusuran ICIJ atas laporan audit para auditor lingkungan yang beroperasi di 50 negara menemukan penyimpangan struktural dalam industri audit lingkungan, seperti meloloskan aktivitas deforestasi dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh klien mereka.
Dalam 25 tahun terakhir, setidaknya ada 340 perusahaan industri kehutanan yang ditemukan melakukan berbagai praktik destruktif. Lembaga-lembaga sertifikasi dan auditor lingkungan swasta meloloskan mereka, yang diduga terlibat dalam praktik penebangan liar hingga impor produk kayu yang melanggar sanksi internasional.
Pelanggaran-pelanggaran destruktif
Di Indonesia, Tempo menemukan sejumlah pelanggaran lingkungan perusahaan kehutanan yang diloloskan oleh lembaga sertifikasi. Majalah Tempo pada Januari 2023 melaporkan konflik lahan antara PT. Balai Kayang Mandiri (BKM), yang beroperasi di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, dengan masyarakat setempat. Pemasok Asia Pulp and Paper ini mendapat sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dari Almasentra Sertifikasi yang berlaku sejak 2 Agustus 2019 hingga 1 Agustus 2025.
BKM mengklaim memiliki hak mengelola lahan seluas 108 hektare yang mencakup kebun sawit milik empat kelompok tani di Desa Buantan Besar. Perusahaan kemudian melakukan penggusuran lahan—yang dihadapi dengan perlawanan masyarakat—dengan dasar surat keputusan yang diberikan KLHK pada 2018. Penggusuran tersebut dilakukan perusahaan pada 2018, 2020, dan 2022. Di tengah konflik itu, hasil audit khusus yang dilakukan Almasentra dan diunggah ke laman Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) pada 9 Desember 2022 menyatakan bahwa S-PHPL perusahaan masih terpelihara.
Selain konflik sosial, perusahaan juga diduga membuka kanal menuju wilayah Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil (SM-GSK). Berdasarkan klarifikasi Almasentra bertanggal 28 Januari 2023, kanal itu adalah aliran yang telah lama terbentuk, dan PT. BKM menormalisasi alur untuk mengurangi dampak banjir pada kawasan lindung zona penyangga SM-GSK. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 menyebut bahwa normalisasi bukan kegiatan yang dapat dilakukan dan harus memerlukan izin khusus.
Sama seperti PT. BKM, PT. Rimbakayu Arthamas (RKA)—beroperasi di Papua Barat—juga terlibat dalam konflik lahan dengan masyarakat lokal, yakni masyarakat adat Marga Iba di Distrik Bintuni Barat, Kabupaten Teluk Bintuni. Konflik dipicu oleh kekecewaan masyarakat Iba karena perusahaan belum mengganti tanah ulayat yang dijadikan log pond oleh perusahaan. PT. RKA mendapatkan sertifikat legalitas kayu (S-LK) dari PT. Lambodja Sertifikasi, berlaku sejak 23 November 2021 hingga 22 November 2024.
Selain itu, perusahaan diduga membangun koridor jalan sepanjang 23 kilometer di area moratorium penetapan peta indikatif penghentian pemberian izin baru (PIPPIB). Perusahaan ini juga diduga masih memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar pada 2005 yang sudah tidak dapat dilacak hingga ke tunggak—batang dan akar yang masih tertinggal di dalam tanah sesudah ditebang—pohon asal kayu tadi.
Terkait dugaan pelanggaran oleh PT. RKA, PT. Lambodja melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo pada 1 Februari 2023, menyebut bahwa PT. RKA telah memiliki izin penggunaan koridor jalan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Papua Barat. Lembaga sertifikasi tersebut pun berpendapat bahwa perusahaan tidak memiliki indikasi pembukaan hutan tanpa izin. Terkait pemanfaatan kayu rebah hasil pembalakan liar, PT. Lambodja mengklaim bahwa auditor mereka tidak menemukan pengolahan kayu tersebut.
Sedangkan terkait konflik dengan masyarakat adat Marga Iba, PT. Lambodja beralasan bahwa aspek sosial tidak termasuk dalam penilaian VLK berdasarkan pedoman KLHK. Alhasil, PT. Lambodja berpendapat bahwa PT. RKA telah memenuhi seluruh aspek VLK.
Lambodja juga memberikan predikat baik dan lulus kepada PT. Teluk Bintuni Mutu Agro Karya, yang memiliki lahan konsesi 237.750 hektare di Kaimana, Papua Barat. Investigasi Majalah Tempo pada 2018 menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan PT. Teluk Bintuni.
Tempo saat itu mendapati bahwa ratusan balok kayu merbau yang tergeletak di area konsesi PT. Teluk Bintuni dilabeli sebagai kayu nyatoh di aplikasi Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH). Harga kayu ini lebih murah dibanding merbau, alhasil negara menerima iuran kayu yang lebih sedikit dari seharusnya. Selain itu, seorang pemburu merbau perusahaan bercerita bahwa kadang mengambil merbau yang memiliki garis tengah di bawah 30 sentimeter, padahal pemerintah hanya mengizinkan perusahaan untuk mengambil merbau berdiameter lebih dari 30 sentimeter.
Pada akhir Februari 2023, Tempo menemukan bahwa nama PT. Teluk Bintuni masih memiliki sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), yang dikeluarkan oleh PT. Lambodja Sertifikasi. Sertifikat bernomor LASER/PHPL-TBMAK/02 tersebut berlaku sejak 20 Juni 2019 hingga 19 Juni 2025.
Terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan PT. Teluk Bintuni yang ditemukan Tempo pada 2018, PT. Lambodja masih belum memberikan jawaban hingga tulisan ini dibuat.
Kasus-kasus di atas hanya sebagian kecil dari sekian banyak dugaan pelanggaran yang luput dari penilaian lembaga sertifikasi. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, JPIK menemukan lebih dari 100 kasus dugaan pelanggaran lingkungan maupun administratif yang lolos dari audit. Perlu digarisbawahi bahwa ada kemungkinan jumlah sebenarnya jauh lebih banyak mengingat keterbatasan jumlah pemantau dibandingkan jumlah perusahaan dan luas lahan konsesi.
“Anggota JPIK ini 500-an, perusahaan yang tersertifikasi 5000-an. Jumlah Gakkum (penegak hukum) saja hanya 1000-an,” kata Dinamisator Nasional JPIK, Muchammad Ichwan. “Belum lagi HPH (hak pengusahaan hutan) atau HTI (hutan tanaman industri) perusahaan pengolah hutan yang jumlahnya 300-an, dengan luas 2,5 juta sekian [hektar] yang tersertifikasi.”
Mengapa masih ada pelanggaran yang luput dari penilaian LPVI?
Menurut Ichwan, salah satu celah pada proses sertifikasi perusahaan adalah perbedaan tafsir terhadap standar penilaian. Seringkali terjadi perbedaan sudut pandang antara lembaga sertifikasi dengan pemantau independen tentang norma yang digunakan dalam penilaian.
“Artinya, di lapangan kita enggak tahu sejauh mana mereka (lembaga sertifikasi) membaca kemudian mengartikulasikan pemahaman legal dalam bentuk dokumen itu,” ujarnya pada 26 Januari 2023.
“Selama ini yang terjadi, perusahaannya berbeda-beda lembaga sertifikasinya dan yang kami temukan, tidak terjadi komunikasi,” kata Ichwan soal ketiadaan koordinasi antar LPVI industri primer, industri sekunder, dan eksportir.
Di sisi lain, keterbatasan akses informasi juga menjadi celah bagi entitas bisnis pelanggar untuk melanggar, seperti yang dilakukan PT. Teluk Bintuni pada 2018 dengan memasukkan jenis kayu yang berbeda di SIPUHH dengan kayu yang sebenarnya ditebang.
“Nah, itu kan tidak tahu lembaga sertifikasi kalau dokumennya enggak benar. Dokumennya legal tapi (belum tentu) bahan baku legal,” ujar Ichwan.
Meski JPIK berulang kali menemukan dugaan pelanggaran dilakukan beberapa perusahaan, tetapi hingga kini perusahaan-perusahaan tersebut masih beroperasi dengan sertifikat yang berlaku dari LPVI. Hal ini karena LPVI punya standar berbeda dalam menanggapi laporan dugaan pelanggaran. “Jadi enggak semua laporan pemantau independen dipenuhi lembaga sertifikasi,” kata Danial Dian Prawardani, Juru Kampanye JPIK.
Ichwan menyoroti mekanisme biaya sertifikasi yang menjadi tanggungan perusahaan calon pemegang sertifikat. Menurutnya, skema seperti itu punya potensi besar mengganggu independensi LPVI.
“Makanya ini menjadi satu belenggu. Harusnya pendanaan sertifikasi kalau ditaruh ke satu badan tersendiri setidaknya enggak akan terjadi seperti itu [konflik kepentingan],” katanya.
Analis organisasi advokasi lingkungan Mighty Earth, Phil Aikman, menjelaskan bahwa konflik kepentingan ini membuat para auditor lingkungan menjadi sulit dipercaya. Aikman menyebut, klien-klien auditor lingkungan di luar negeri dapat mengontrol cakupan audit, dan auditor tidak harus memberikan bukti temuan mereka dalam audit-audit mereka. Laporan audit yang diterima tak lebih dari pernyataan kelulusan belaka.
Menurut penasihat senior bidang kehutanan Greenpeace International, Grant Rosoman, auditor dan badan-badan sertifikasi pada umumnya menghindari sorotan yang mengekspos perusahaan yang memproduksi atau menjual produk yang merusak lingkungan. “Badan-badan sertifikasi seringkali tidak muncul ke permukaan sebagai bagian dari masalah,” kata Rosoman. “Namun, [jika kita] bicara tentang kelemahan dalam sistem, bisa dikatakan mereka adalah sumber permasalahan terbesar.”
Proses audit yang tidak dilakukan semestinya membuat banyak praktik nakal perusahaan lolos begitu saja. “Semua problematika ini yang memberi jalan pada masalah deforestasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan praktek-praktek ilegal yang terus terjadi,” kata Rosoman yang pernah meneliti sistem sertifikasi dan auditor.
Tempo telah mengajukan permohonan wawancara terbaru dengan KAN terkait masih adanya dugaan pelanggaran oleh perusahaan yang diloloskan LPVI hingga saat ini. Namun, belum ada balasan dari Ketua KAN saat ini, Kukuh S. Achmad, hingga tulisan ini selesai dibuat.
Tetapi, dalam wawancara dengan Majalah Tempo pada 2018, Ketua KAN saat itu, Bambang Prasetya, menyebut bahwa bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi di lapangan bisa saja merupakan dampak dari perbedaan tafsir antara pemantau dan auditor. “Terkait dengan peta, arah tebangan, dan lain-lain, itu bisa multitafsir. Untuk pelanggaran ini, sanksinya pembekuan,” kata Bambang.
Menurut Bambang, auditor sengaja dipilih dari pihak ketiga non pemerintah. Hal ini karena skema yang digunakan adalah business to business, namun tetap diawasi oleh lembaga independen. “Logikanya, ketika pelaku bisnis melakukan pelanggaran, pemerintah lebih gampang bertindak. Dendanya Rp 50 miliar, bahkan untuk korporasi bisa tiga kali lipat,” katanya.
Namun pencabutan sertifikat pun kadang tidak memiliki efek yang besar bagi perusahaan yang terjerat. Perusahaan yang sudah dicabut bisa melakukan sertifikasi ulang dengan mudah hanya dengan menyediakan dokumen-dokumen prasyarat yang sesuai dengan standar SVLK pada lembaga sertifikasi yang dituju.
“Itu hal yang sudah terbiasa,” menurut Ichwan, “Selama ini pengalaman yang didapatkan, [perusahaan] akan pindah ke lembaga sertifikasi lain. Jadi modusnya biar tidak ter-tracing jejaknya, mereka pindah [lembaga].”
Di sisi lain, perusahaan juga dapat mengakhiri kerja sama dengan lembaga sertifikasi dengan alasan ekonomi. Ichwan menyebut bahwa mereka kemudian memilih lembaga sertifikasi lain yang menawarkan biaya audit yang lebih murah.
Untuk mencegah praktik nakal tersebut, Komisi Eropa merancang legislasi yang memuat penalti bagi perusahaan yang tidak memeriksa secara menyeluruh asal usul suplai produk-produk mereka. Berdasarkan draf legislasi yang didapatkan oleh ICIJ, Komisi Eropa menyebut bahwa konsumen seringkali tidak mengetahui asal usul produk yang mereka beli dan menjadi korban greenwashing.
“Perusahaan yang membuat 'klaim ramah lingkungan' harus membuktikannya dengan metodologi standar untuk menilai dampaknya terhadap lingkungan,” tulis draf legislasi tersebut. Draf awal legislasi ini diperkirakan akan mulai dibahas pada akhir Maret 2023.
Laporan ini adalah bentuk kerjasama lintas negara dengan International Consortium of Investigative Journalists dalam proyek bertajuk "Deforestation, Inc.". Klik linknya untuk baca cerita lengkapnya.Visualisasi grafik dot berbasis data yang diberikan Jaringan Pemantau Independen Kayu. Data tersebut berdasarkan surat yang terbit dari JPIK kepada berbagai lembaga sertifikasi. Kategorisasi ketidaksesuaian menilik deskripsi kejadian tiap kasus dari dataset yang sama. Informasi mengenai status berbagai sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian di tahun 2023 didapatkan dari portal resmi Sistem Informasi Legalitas Kelestarian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berita kasus-kasus pelanggaran sertifikasi didapat dari arsip Majalah Tempo.