SATU demi satu kapal ikan asing yang bersandar di Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Batam, Kepulauan Riau, menghilang dari permukaan. Pada 3 Maret 2021 lalu, pemerintah Indonesia menenggelamkan 10 kapal nelayan asing di perairan Air Raja di Galang, Batam. Kapal-kapal itu dikaramkan dengan cara dilubangi bagian lambungnya, kemudian diisi dengan air dan pemberat sehingga cepat tenggelam. Bangkai kapal-kapal diharapkan bisa menjadi rumah para ikan.
Armada penangkap ikan dari luar negeri itu, yang ditangkap oleh kapal patroli Indonesia pada 2020 lalu, dikirim ke dasar laut setelah kasus awaknya rampung di pengadilan atau sudah berkekuatan hukum tetap. Dari 10 kapal yang ditenggelamkan itu, delapan kapal berbendera Vietnam dan dua lagi berasal dari Malaysia. "Tahun ini sudah ada 26 kapal yang ditenggelamkan," kata Pung Nugroho Saksono, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada 25 Agustus lalu.
Kabar penenggelaman itu seperti pengumuman kepada masyarakat internasional bahwa era penenggelaman kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia dimulai lagi. Kebijakan yang gencar dilakukan pada periode Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Perikanan dan Kelautan 2014-2019 ini sempat berhenti saat ia digantikan Eddy Prabowo. Kini kebijakan Susi dilanjutkan Menteri Sakti Wahyu Trenggono yang menggantikan Eddy yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 25 November 2020 karena menerima suap ekspor benur.
Walau Susi gencar menenggelamkan kapal, kebijakannya tak lantas membuat kasus pencurian ikan turun. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak 2015, pencurian masih tinggi, dengan Laut Natuna Utara menjadi titik paling rawan. Indikasinya, banyak kapal asing ditangkap di sana. Dari 486 kapal yang ditangkap, sebanyak 286 di antaranya sedang beroperasi di Natuna. Semuanya kapal Vietnam.
Petugas KKP menangkap kapal nelayan Vietnam di perairan Laut Natuna Utara, 16 Mei 2021. Foto: Dokumentasi Kementerian Kelautan dan Perikanan
Ada banyak sebab yang mendorong kapal nelayan asing, terutama Vietnam, masuk ke perairan Indonesia dan Malaysia. Liputan kolaborasi oleh jurnalis Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina dengan dukungan The Environmental Reporting Collective (ERC) ini menemukan bahwa penyebabnya kompleks: konflik perbatasan wilayah di Laut Cina Selatan dan surutnya sumber daya perikanan karena akibat praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF).
Produksi ikan Laut Cina Selatan ditaksir 10 juta ton per tahun, sekitar 12 persen dari tangkapan global pada 2015. Jumlah ini sudah jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Studi yang dilakukan Rashid Sumaila dan William Cheung dari University of British Columbia menemukan bahwa praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal telah mengurangi 70 sampai 90 persen sumber daya ikan di perairan ini sejak 1950-an.
Di Laut Cina Selatan juga tercatat sejumlah konflik perbatasan laut antarnegara. Klaim Cina menggunakan nine dash-line menyebabkan tumpang-tindih dengan batas perairan negara sekitarnya seperti Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Sengketa garis batas berdampak besar terhadap kehidupan nelayan di kawasan tersebut. Di sisi lain, irisan wilayah tersebut menjadi dalih bagi kapal pencari ikan Vietnam untuk masuk ke perairan Malaysia dan Indonesia.
KAPAL nelayan Vietnam yang masuk ke Indonesia, juga ke Malaysia, salah satunya berasal dari Pelabuhan Tac Cau, Provinsi Kien Giang, di selatan ibu kota Ho Chi Minh. Tinh, 34 tahun, adalah salah satu anak buah kapal yang bertolak dari Pelabuhan Tac Cau. Seperti nelayan laut dalam Vietnam lainnya, ia bekerja berpasangan dengan satu kapal serupa untuk menarik pair-trawl alias pukat hela dua. Kedua kapal itu kerap melaut ke titik yang lebih dekat dengan perbatasan perairan Indonesia dan Malaysia.
Lokasi pedagangan ikan hasil tangkapan dari Laut Cina Selatan di Pelabuhan Tac Cau port, Provinsi Kien Giang. Foto: Vo Kieu Bao Uyen
Tinh mengatakan kapalnya yang berbobot 200 ton berkali-kali merambah perairan kedua negara tersebut. "Kapten tahu bahwa dia melanggar hukum, tetapi dia tetap melakukannya karena ada lebih banyak ikan di sana," ucapnya.
Menurut Nguyen Thi Phuong, peneliti dari Vietnam National University (VNU)-University of Science mengatakan, ikan di daerah penangkapan dekat pantai Vietnam telah habis karena kapal yang beroperasi jumlahnya banyak dan jaringnya tak ramah lingkungan. Nelayan juga tak berani ke perairan Kepulauan Paracel dan Spratly karena harus berhadapan dengan kapal nelayan Cina yang terbuat dari besi, berukuran besar, dan mesinnya modern. "Itu sebabnya mereka harus pergi sejauh mungkin ke perairan lain."
Muara Sa Ky, tempat perahu nelayan Quang Ngai melintas sebelum menuju Laut Cina Selatan, Foto: Vo Kieu Bao Uyen
Nahkhoda Duy, 40 tahun, salah satu nelayan dari pelabuhan Sa Ky, salah satu pelabuhan ikan yang sibuk di Quang Ngai, Vietnam. Duy adalah salah satu yang pernah ditangkap di Malaysia. Dia memilih ke Malaysia, bukan ke perairan Kepulauan Paracel dan Spratly seperti generasi sebelumnya.
Ia mengingat peristiwa September 2019 saat bersama 12 awak lainnya meninggalkan pelabuhan Sa Ky menuju ke Laut Timur. Awalnya, mereka berharap untuk kembali dengan membawa parrotfish, kerapu, dan teripang. Mereka membutuhkan waktu tujuh hari untuk tiba di tempat menyelam dan menebar jala.
Lokasi Pelabuhan Sa Ky, Vietnam.
Penangkapan ikan di dekat pantai tidak lagi menjadi pilihan bagi generasi Duy karena stok ikan menipis. Menuju ke Utara atau Timur ke Kepulauan Paracel dan Spratly Vietnam, seperti yang dilakukan ayah dan kakek mereka, juga bukan lagi pilihan karena meningkatnya ketegangan antara Vietnam dan China.
“Para penjaga pantai China sering memburu kami dan, jika tertangkap, menghancurkan kapal kami, menangkap awak kapal, bahkan terkadang mencoba menembak kami,” kata Duy. “Belum lagi ramainya kapal-kapal nelayan China dan kapal-kapal di Laut Timur. Mereka menjaring seluruh stok ikan di Parcel dan Spratly.”
Menurut Duy, nelayan sering dikerahkan pemerintah Vietnam untuk melaut ke Paracel dan Spratly. Selain menangkap ikan, tujuannya untuk menjaga kedaulatan negara di perairan itu. Masalahnya, kata dia, jika kapalnya dirusak oleh Cina, tidak ada bantuan keuangan untuk perbaikan dari negara. "Lagi pula, daerah penangkapan ikan di Spratly dan Paracel sekarang tidak melimpah lagi. Kapal nelayan Cina menghabiskan ikannya," ucap dia.
BUKAN hanya nelayan Vietnam yang bermasalah dengan Cina setelah Negara Tirai Bambu itu memperluas klaim perbatasan lautnya. Nelayan Filipina di Pulau Pag-asa, yang berjarak 932 kilometer sebelah barat daya Manila juga mengalami hal sama. Menurut salah seorang nelayan, Larry Hugo, para nelayan dulu hanya perlu mengayuh dayung beberapa ratus meter dari bibir pantai untuk mendapatkan banyak ikan. Itu sudah cukup memberikan penghasilan harian Rp 150 ribu-Rp 300 ribu, tiga sampai empat kali lebih tinggi dari gajinya sebagai pekerja kontrak.
Nelayan Filipina, Larry Hugo. Foto: Keith Anthony S. Fabro
Dulu, laut di sekitar Pag-asa adalah surga memancing. Namun semuanya mulai berubah pada 2014, ketika Cina mulai membangun fasilitas militer di pulau buatan di Subi Reef, wilayah yang kaya ikan dan cadangan bahan bakar fosil yang terletak 26 kilometer di barat daya Pag-asa. Hugo adalah salah satu nelayan pertama melaporkan hal tersebut kepada militer Filipina yang ditempatkan di Pag-asa.
“Tongkang-tongkang pengangkut agregat dan material konstruksi lainnya datang satu per satu. Ketika mereka akhirnya menempati daerah itu, kami tidak bisa lagi pergi ke sana,” kata Hugo.
Para ahli telah lama memperingatkan potensi runtuhnya ekosistem Laut Filipina Barat (WPS) karena reklamasi dan penangkapan ikan ilegal oleh Cina. Aktivitas yang merusak lingkungan itu berlangsung selama bertahun-tahun, sebagian karena kelambanan pemerintah Presiden Rodrigo Duterte. Pada 2019, Institut Ilmu Kelautan Universitas Filipina memperkirakan bahwa negara tersebut kehilangan setidaknya Rp 9,5 triliun setiap tahun karena kerusakan ekosistem terumbu karang di WPS.
Lokasi Kepulauan Pag-asa dan Karang Subi
Para ilmuwan kelautan Filipina memperingatkan bahwa dampak dari kegiatan Cina di Subi Reef dapat memberikan pukulan terhadap 1,8 juta orang, sebagian besar dari sektor perikanan skala kecil, yang bergantung pada perikanan laut WPS untuk bertahan hidup. Nelayan Pag-asa mengatakan hasil panen mereka mulai menyusut pada 2015. Selain efek kehadiran Cina di Subi Reef, aktivitas penangkapan ikan dengan sianida oleh kapal penangkap ikan milik Vietnam diduga memperburuk kondisi perairan tersebut.
Sekarang, nelayan harus pergi lebih jauh dan melaut lebih lama, mati-matian mengejar ikan yang menghilang ke laut dalam, daerah yang tentu kurang cocok untuk perahu kecil mereka. Ini berarti menghabiskan lebih banyak uang untuk bahan bakar. Dengan pendapatan yang lebih rendah, mereka hampir tidak bisa menopang kebutuhan hidupnya.
Gambar dari foto satelit Karang Subi, Maret 2021.
“Sebelumnya, dalam perjalanan dua jam kami dapat menghasilkan lebih dari tiga baskom yang masing-masing berisi 50 kilogram ikan. Sekarang, seharian di laut bahkan tidak bisa menandingi hasil tersebut,” kata Hugo, ayah dari dua siswi sekolah dasar ini.
NELAYAN Vietnam, yang menghindari berkonfrontasi dengan kapal penangkap ikan Cina, kemudian memilih masuk ke perairan Malaysia dan Indonesia. Jumlahnya tak sedikit. Setidaknya ini terlihat dari statistik kapal yang ditangkap oleh otoritas di Malaysia. Menurut Direktur Jenderal Departemen Perikanan Malaysia Ahmad Tarmidzi Ramly, sebanyak 80 persen dari sekitar 300 nelayan asing yang ditangkap di perairan Malaysia sejak 2019 berasal dari Vietnam.
Rosilawati membantu mendorong perahu ke dermaga Perikanan Kempadang, Malaysia. Foto: Aliza Shah
Pencurian ikan oleh kapal Vietnam membuat nelayan Malaysia harus mencari ikan lebih jauh. Rosilawati Ismail, nelayan di Kuantan, Pahang, mengatakan dulu ia cukup melaut sekitar 8 kilometer dari pantai. Sekarang ia dan nelayan pesisir lainnya terpaksa harus melaut sejauh 17 kilometer dari pantai untuk mendapatkan ikan. "Dulu (5-6 tahun lalu) kami bisa mendapatkan 200 kilogram ikan sekali jalan. Sekarang kami berjuang keras untuk mendapatkan 100 kilogram," kata perempuan 44 tahun itu.
Untuk sekali melaut, Rosilawati membutuhkan biaya sekitar Rp 434 ribu. Namun hasil tangkapannya cuma Rp 154 ribu. "Itu tidak menutupi biaya kami," katanya. Ia menyebut menipisnya stok ikan ini karena faktor nelayan asing dengan jaring pukatnya. "Mereka menangkap semuanya, bahkan ikan terkecil dan menghancurkan apa pun, termasuk karang." Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kata Rosilawati, kini nelayan lebih sering pulang dengan tangan kosong.
Neayan Malaysia yang mencari ikan di laut dalam, juga punya keluhan sama. Salah satunya adalah Bahiyuddin Awang Harun, 35 tahun. Ia mengatakan nelayan yang menggunakan bubu sebagai alat tangkap mendapatkan sekitar 1.200-1.500 kilogram ikan dengan pendapatan sekitar Rp 43,8 juta per perjalanan. Setelah dikurangi biaya operasional kurang-lebih Rp 6,7 juta, sisa keuntungan akan dibagi di antara kru.
Rosilawati dan keluarganya harus melakukan perjalanan lebih jauh ke laut untuk bisa mendapatkan ikan.
Saat ini, ada sekitar 60 bubu milik Bahiyuddin yang berada di dasar laut Laut Cina Selatan, tersebar di wilayah yang terletak sekitar 40 mil laut dari bibir pantai. Bubu kayu memiliki "aroma alam" yang menjadi andalan Bahiyuddin untuk menarik kerisi, kerapu, dan ikan komersial lainnya yang bernilai tinggi.
Namun, perambahan oleh nelayan asing membuat penangkapan ikan semakin sulit dan berbiaya mahal. Hidup sebagai nelayan di laut dalam bukanlah sesuatu yang semua orang mau, karena pekerjaannya berat dan berbahaya.
Otoritas Perikanan Malaysia telah membagi zona penangkapan ikannya menjadi empat area untuk memastikan alokasi sumber daya yang adil dan mengurangi konflik di antara nelayan komersial. Ada Zona A (0-5 mil laut), Zona B (5-12 mil laut), Zona C (12-30 mil laut) dan Zona C2 (30 mil laut sampai ZEE).
Kapal penangkap ikan berukuran 40 ton dan di bawahnya, yang mengoperasikan alat tangkap tradisional, diizinkan untuk menangkap ikan di zona penangkapan mana pun. Untuk kapal yang mengoperasikan alat tangkap komersial seperti Bahiyuddin, diizinkan untuk menangkap ikan di Zona B dan seterusnya.
Bahiyuddin mengatakan, untuk menutupi biaya perjalanan jarak jauh, sebagian besar nelayan bubu akan menelusuri laut mencari ikan, setidaknya empat hari per perjalanan. “Hasil tangkapan yang kami dapatkan pada dua hari pertama hanya dapat menutupi biaya operasional kami. Apa yang kami dapatkan di sisa hari yang kami habiskan di laut akan menjadi pendapatan kami,” katanya.
Seperti kebanyakan nelayan laut dalam, kapal Bahiyuddin dilengkapi dengan perangkat navigator global positioning system (GPS) untuk memandu mereka dan memastikan mereka tidak tersesat ke area terlarang. “Nelayan pun perlu mengikuti modernisasi dan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga kita memiliki perangkat navigator GPS yang menunjukkan batas kita sehingga kita tidak merambah ke perairan tetangga kita,” katanya.
Namun perselisihan garis perbatasan antara Malaysia dan negara-negara tetangga menyebabkan banyak masalah bagi nelayan lokal. Bahiyuddin mengingat peristiwa empat atau lima tahun lalu saat sekitar 10 kapal nelayan lokal ditahan otoritas Indonesia.
“Indonesia mengatakan wilayah sekitar 10 mil laut dari perbatasan adalah milik mereka, sedangkan aparat penegak hukum kami mengatakan itu masih perairan kami. Ini sangat membingungkan sehingga kami memutuskan untuk tidak masuk ke daerah itu demi keselamatan dan keamanan kami dan peralatan kami,” kata Bahiyuddin.
Tidak bisa menangkap ikan di wilayah sengketa merupakan kerugian besar bagi nelayan. "Bayangkan betapa luasnya wilayah itu. Butuh waktu sekitar satu setengah jam bagi kami untuk menempuh jarak sejauh 10 mil laut. Bisa dibayangkan berapa banyak ikan dan sumber daya lain yang hilang," katanya.
INDONESIA, seperti halnya juga Malaysia, menjadi daerah tujuan nelayan Vietnam mencari ikan. Salah satu nelayan Vietnam yang ditangkap di Indonesia pada Mei 2020 adalah Nguyen Quoc Huy. Pria asal Kien Giang, Vietnam ini kemudian ditahan di Penjara Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Ini bukan yang pertama kalinya dia ditangkap di Indonesia. Lima tahun lalu ia mengalami nasib sama ketika mesin perahunya mati dan tanpa sengaja mengapung bebas ke perairan Indonesia. Dia dan ABK-nya ditangkap dan ditahan, tapi segera dibebaskan setelah persidangan.
Kepada keluarganya, Nguyen Quoc Huy mengaku sering kekurangan makan. “Kami sering kelaparan karena porsi makan di penjara ini tidak cukup untuk kami. Keluarga kami harus mengirim uang untuk membelikan kami makanan tambahan," kata Huy melalui telepon kepada keluarganya.
Keluarga Nguyen Quoc Huy dan nelayan Vietnam lainnya yang dipenjara di Tanjung Pinang, berusaha agar mereka segera bisa bebas. Pada Maret 2021, sebanyak 22 perempuan di Kien Giang, menulis surat yang meminta para pemimpin Vietnam untuk membantu suami, ayah dan anak mereka, nelayan yang ditangkap oleh penjaga pantai Indonesia pada 2020 lalu. Mereka telah menyelesaikan hukuman penjara dan membayar denda, tetapi tidak dapat kembali ke rumah karena pandemi Covid-19 yang sedang melanda, yang menyebabkan perjalanan ditangguhkan.
Dinh Thi Thuy Hang, istri Huy, dengan latarbelakang foto keluarganya. Foto: Vo Kieu Bao Uyen
Huy mengatakan dia beberapa kali mengarahkan kapal dengan pukat hela dua miliknya masuk ke perairan Malaysia atau Indonesia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, setelah otoritas Vietnam memperketat praktik penangkapkan ikan, para nelayan lebih berhati-hati. Vietnam menaikkan denda bagi mereka yang melanggar peraturan kelautan karena ingin bisa mendapatkan kembali aksesnya ke pasar Uni Eropa.
"Kami tidak berani melangkah lebih jauh dari perairan Vietnam tapi kami masih ditangkap. Vietnam mengklaim bahwa air adalah milik Vietnam dan begitu juga juga Indonesia. Apa yang harus kami lakukan sebagai nelayan?" kata Huy. Saat ditanya apa yang dilakukan setelah bebas, ia tanpa ragu mengatakan, ia akan kembali melaut. "Tidak ada jalan lain. Kami tidak punya tanah, tidak ada harta benda, hanya utang di atas utang setelah setiap kali ditangkap," kata dia.
Bagi Indonesia, kehadiran nelayan Vietnam ini bukan hanya soal hilangnya potensi perikanan di laut yang juga menjadi batas dua negara ini. Menurut peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Andreas Ditya Salim, keberadaan nelayan di laut garis depan bagian dari politik kedaulatan. "Keberadaan nelayan itu untuk menjaga konsistensi kehadiran. Ini bisa mempengaruhi perundingan batas maritim," kata Andreas dalam sebuah webinar pada 30 April lalu.
Pung Nugroho, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan memang ada sengketa batas wilayah di perairan tersebut. Ada daerah yang diklaim oleh Vietnam karena dasar landas kontinen. Tapi, menurut zona ekonomi eksklusif (ZEE), wilayah itu masuk Indonesia. “Ada perbedaan pengukuran. Indonesia menggunakan ZEE yang diukur dari 200 mil di atas air dari pulau terluar. Sedangkan kontinen dari dasar laut pulau terluar sampai palung habis,” katanya.
Pung Nugroho Saksono di kantornya, Agustus 2021. Foto: Abdul Manan
Seperti halnya di Malaysia, dampak dari pencurian ikan oleh kapal asing itu lebih dirasakan oleh nelayan, khususnya di Natuna. Menurut Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, nelayan Natuna yang jumlahnya sekitar 8.000 orang, sebagian besar menggunakan pancing ulur dan pancing tonda. Pancing ulur dipakai untuk menangkap ikan dasar di sekitar karang, sedangkan pancing tonda untuk menangkap ikan tongkol di permukaan. Yang lainnya, sekitar 500 orang, menangkap ikan dengan bubu apung, yang lokasinya di dekat pantai atau yang terjauh 15 mil.
Pancing ulur sangat tergantung pada keberadaan karang. Pancing ulur, yang bisa berisi tiga mata pancing itu diulur ke dalam laut di daerah sekitar karang di kedalaman sekitar 80 meter di tengah laut. Nelayan sudah tahu lokasinya karena merekamnya di perangkat pelacak posisi (GPS). Setiba di sana, pancing diulur dan biasanya umpannya langsung dimakan ikan. "Sekarang spot itu hancur semua karena kapal Vietnam menggunakan pair-trawl," kata dia.
Endang Firdaus, tekong untuk kapalnya sendiri yang berdaya muat 4 gross tonnage, merasakan berkurangnya penghasilan nelayan beberapa tahun terakhir. Ia menyebut penyebabnya adalah kapal nelayan asing yang merusak karang dengan pukat harimau. Hasil tangkapannya kini jauh berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya. Pada 2014, ia bisa mendapatkan ikan 700 kilogram untuk satu kali jalan selama delapan hari. Sekarang ia mendapatkan 400 kilogram. "Area pancing kita sudah banyak habis oleh trawl kapal asing," katanya.
Endang mengaku sering berpapasan dengan kapal nelayan Vietnam. Pada awal 2020, dia mengaku bertemu kapal nelayan asing itu di area sekitar 30 mil dari Pulau Laut Kepulauan Natuna. Ia memilih menghindar. "Melawan susah. Kapal mereka besar, dan mereka tidak sendirian," ujarnya. Menurut dia, Laut Natuna Utara seperti diserbu kapal nelayan asing sejak akhir 2019 lalu.
Hendri mengatakan banjirnya kapal ikan asing membuat pendapatan nelayan berkurang. Tahun 2005 sampai 2010, nelayan yang melaut sehari, bisa mendapatkan 100 kilogram ikan kakap merah dan kakap anggoli. Dengan perolehan Rp 2 juta, maka kapten kapal yang juga pemilik kapal mendapat bagian Rp 1 juta, sedangkan dua ABK-nya masing-masing Rp 500 ribu. "Sekarang cari Rp 500 ribu saja susah," katanya.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri. Foto: Dok Pribadi
Untuk yang memancing jauh selama 10 hari, beberapa tahun lalu mereka bisa membawa 1,5-2 ton ikan kakap merah dan kerapu. Dengan hasil tangkapan bisa mencapai Rp 70 juta, pendapatan bersihnya sekitar Rp 50 juta. ABK biasanya digaji Rp 7 juta per orang. "Sekarang mendapatkan Rp 1-2 juta saja sudah susah. Maksimal Rp 2-2,5 juta," kata Hendri.
Situasi berbeda dialami oleh nelayan bubu apung yang melaut selama 18 hari dalam sebulan. Menurut Hendri, mereka relatif tidak terlalu terpengaruh oleh kapal asing. Hasil yang didapat adalah ikan permukaan, seperti tongkol. Harganya tentu lebih murah daripada ikan dasar laut. "Kalau dalam satu masa kerja itu, ABK bisa bergaji sampai Rp 5 juta," kata dia.
Hendri mengingat bahwa masa-masa emas nelayan di Natuna itu terjadi sebelum 2010. Kala itu, ikan berlimpah dan harga jualnya bagus karena permintaan datang dari Tanjungpinang, Batam, dan Pontianak, bahkan Singapura dan Malaysia. Kini, setelah masa itu surut, mereka tak punya pilihan untuk berganti pekerjaan. "Mau tidak mau tetap ke laut meski hasilnya sedikit," katanya.