Empat primata endemik Mentawai di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat kini semakin terancam kehilangan habitatnya. Keempat primata itu adalah Bokkoi (Macaca pagensis), Joja pagai (Presbytis potenziani), Bilou (Hylobates klossii), dan Simakobu (Simias concolor).
Salah satu kantong habitat penting primata Mentawai di Pulau Sipora ada di hutan Berkat, Desa Tuapeijat, Sipora Utara. Namun kini di sana sedang berlangsung penebangan besar-besaran dengan alat berat. Aktivitas penebangan menggunakan belasan alat berat yang terus bekerja tanpa henti sepanjang hari.
Pada akhir Juni 2022, Tempo yang datang ke lokasi menyaksikan pohon-pohon yang penting bagi kehidupan primata tersebut, seperti meranti dan kruing, menjadi sasaran utama penebangan. Pohon meranti dan kruing tersebut kemudian dibawa ke luar hutan dengan alat berat menuju pantai Berkat yang menjadi tempat logpon penumpukan kayu.
Di Pantai Berkat terlihat tumpukan ratusan kayu gelondongan yang siap untuk dimuat ke kapal ponton. Sebuah kapal ponton di dermaga logpon yang sudah sarat muatan dengan 5.000 kubik kayu di atasnya menunggu berangkat. Satu kapal ponton lainnya juga menunggu muatan kayu. Kayu bulat itu akan diangkut ke Surabaya.
Mateus Sakaliau, pegiat konservasi “Malinggai Uma” di Kepulauan Mentawai mengatakan saat ia datang pada September 2021, hutan tersebut masih bagus dan banyak sekali keempat jenis primata itu di sana.
“Bilou, Joja, Simakobu, dan Bokoi… sekarang entah ke mana mereka pergi, karena rumahnya sudah tergusur,” kata Mateus yang menemani ke lokasi.
Menurut Mateus yang juga pemandu wisata untuk kegiatan pengamatan burung dan primata di Kepulauan Mentawai, hutan Berkat adalah kantong habitat primata paling penting di Pulau Sipora.
“Primata itu dulu sangat mudah diamati, mereka hidup di atas pohon, ada puluhan ekor, mereka berkelompok sesuai jenisnya, masing-masing jenis itu tinggal di pohon yang berbeda, saya tidak tahu di mana mereka pindah sekarang,” katanya.
Di hutan itu kini tersisa pohon-pohon berdiameter 10 hingga 20 sentimeter. Vegetasi hutan jarang-jarang, karena banyak kayu yang telah ditebang. Primata yang tersisa di hutan itu hanya seekor Bilou dan seekor Simakobu yang menghilang sangat cepat, bersembunyi di puncak pohon di balik daun.
“Ini primata yang mungkin tidak sempat melarikan diri dan pohonnya sudah jarang, menyulitkan mereka pergi dengan berayun ke pohon lainnya, kedua primata itu tidak terbiasa berjalan di tanah,” kata Mateus.
Mateus mengatakan bahwa peran primata itu sangat besar di hutan karena membantu menyebarkan biji tanaman, seperti buah durian, buah rotan, dan buah pohon katuka. Kayu pohon katuka digunakan untuk membuat sampan.
Ia menyayangkan pemilik lahan yang mudah tergiur investor kayu untuk menyerahkan lahan hutannya untuk ditebang. “Hutan ini tidak ternilai, keragaman hayatinya sangat tinggi, juga menjadi jaminan ketersediaan air bersih, tetapi masyarakat sekarang tidak memikirkan dampak kalau hutan ini habis,” ujarnya.
Kegiatan penebangan di sebagian hutan Berkat mulai dilakukan sejak Januari 2022 di lahan suku atas nama Aser Sababalat. Aser memiliki lahan berhutan seluas 243 hektare di Dusun Berkat. Hutan tersebut berada di kawasan Arel Penggunaan Lain (APL). Untuk melakukan penebangan hutan alam di atas lahan sukunya itu, Aser sebagai pemegang kuasa hak atas tanah hanya perlu meminta hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) pada Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah 3 Pekanbaru.
“Kami butuh uang. Jadi ada investor yang datang mau mengolah hutan suku kami dan harga kayunya cukup tinggi, Rp70.000 per kubik, jadi kami berikan. Mereka yang urus semua, kami hanya terima harga jual kayu yang diambil per kubik,” kata Aser Sababalat, 70 tahun, saat diwawancarai di rumahnya di Desa Tuapeijat, akhir Juni 2022.
Mudahnya pengurusan penebangan hutan di kawasan APL membuat masyarakat Mentawai di beberapa lokasi, seperti Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pagai Selatan dalam setahun terakhir beramai-ramai mengajukan hak akses. Mereka mengajukan hak akses penebangan kepada BPHB Wilayah 3 Pekanbaru dengan dimodali investor.
Kepala Seksi Perencanaan BPHP Wilayah 3 Ruslan Hamid mengatakan saat ini BPHB Wilayah 3 telah memberikan lima hak akses SIPUHH di Pulau Sipora dan delapan PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah) yang sedang mengajukan hak akses SIPUHH di Pulau Sipora, Pagai Selatan.
Ia mengatakan, areal hutan yang diajukan masyarakat dari sisi status tidak masuk ke dalam areal kawasan hutan negara karena tidak berkaitan dengan hutan produksi, hutan konservasi, maupun hutan lindung. Namun di areal itu ada hutan yang tumbuh alami.
“Kawasan APL itu bukan ranah kami, tetapi karena di atas tanah itu ada tegakan hutan yang tumbuh alami, maka diperlukan Hak Akses SIPUHH untuk pemilik lahan yang akan mengelola kayunya, agar hak-hak negara bisa dipungut dari situ. Di hutannya itu ada potensi yang harus dia bayar ke negara setiap menumbangkan kayu,” katanya.
Terkait dampak hilangnya habitat primata endemik Mentawai akibat penebangan hutan skala besar di hutan Berkat, Ruslan mengatakan sulit menerapkan hal itu sebagai pertimbangan untuk pemberian Hak Akses.
“Kalau di APL itu repot, karena terkait areal di lahan mereka dan mereka sudah memenuhi persyaratan, makanya kami juga mensyaratkan ada rekomendasi bupati untuk setiap masyarakat yang meminta Hak Akses SIPUHH, karena bupati yang tahu wilayahnya di sana,” kata Ruslan.
Rizaldi, ahli primata dari Jurusan Biologi Universitas Andalas sangat khawatir dengan maraknya pembukaan hutan di Pulau Sipora dan Pulau Pagai Utara sepanjang tahun ini. Kepada Tempo, Senin, 25 Juli 2022, Rizal mengatakan kondisi primata di Mentawai saat ini sangat mendesak untuk diperhatikan.
“Karena primata itu telah kehilangan habitat yang begitu parah, yang paling urgen sekarang adalah primata-primata yang ada di Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan, karena tidak ada kawasan perlindungan, sepanjang tidak ada hutan konservasi habitat primata itu akan hilang,” ujarnya.
Rizaldi mengatakan selama ini kawasan perlindungan primata endemik Mentawai dianggap sudah cukup di Taman Nasional Siberut, sehingga di tiga pulau lainnya seperti Pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora tidak ada kawasan konservasi.
“Padahal IUNC saat ini juga sudah memisahkan jenis spesies Joja dan Bokoi yang ada di Pulau Siberut berbeda dengan yang ada di Pulau Pagai dan Sipora, jadi lebih baik sebelum primata ini benar-benar punah, kita selamatkan dulu sekarang, daripada kita kehilangan primata itu selamanya,” kata Rizaldi.
Ia mengatakan dua spesies utama yang paling terdampak penebangan hutan adalah Bilou dan Simakobu. Selanjutnya berurutan Joja dan Bokoi. Bilou sangat tergantung pada tegakan pohon yang paling tinggi, karena tidak pernah turun ke lantai hutan, seperti tiga primata lainnya.
“Bilou hanya memakan buah, terutama buah ara. Kalau tegakan hutan dibuka akan menghambatnya untuk berpindah ke pohon lain mencari makanan,” katanya.
Simakobu juga tinggal di pohon yang tinggi, memakan buah dan daun. Tidak seperti Joja dan Bokoi yang pilihan makanannya lebih banyak dan bisa turun ke lantai hutan.
Ia mengingatkan, ketika alat berat mulai beroperasi dan masuk ke kawasan primata-primata tersebut, kemudian menebangi pohon-pohon yang besar dan kecil dengan melakukan ‘land clearing’, dalam kurun yang singkat primata tersebut akan kehilangan potensi makanan.
“Juga akan kehilangan tempat tidur, tempat berjalan, tempat berayun, dan akan kehilangan makanan. Tidak satupun primata yang bisa hidup di situ lagi,” katanya.
Rizaldi mengingatkan, Kepulauan Mentawai adalah daerah terkecil dan terendemik di dunia, karena untuk ukuran pulau-pulau yang kecil memiliki empat primata endemik. Dari segi primata, Kepulauan Mentawai malah lebih endemik dari Madagaskar yang hanya memiliki jenis primata endemik lemur.
"Kalau primata endemik Mentawai itu habis, ya punah, tidak bisa kita temukan lagi di belahan dunia lain, jangan sampai primata itu punah di zaman kita,” katanya.
Karena itu ia mengingatkan betapa pentingnya menyelamatkan primata endemik Mentawai di Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat Ardi Andono juga prihatin. Ditemui Tempo pada Senin, 24 Juli 202, ia mengatakan sepanjang 2020 dan 2021 BKSDA Sumatera Barat telah melakukan survei primata Mentawai di empat pulau di luar kawasan Taman Nasional Siberut.
“Keberadaan empat primata endemik yang dilakukan pada pengamatan di hutan Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan sangat memprihatinkan, karena Simakobu tidak ditemukan sama sekali,” katanya.
Sedangkan Bilou hanya ditemukan dua ekor dengan usia muda dipelihara masyarakat di Pulau Pagai Selatan dan mendengar satu suara Bilou di Pagai Utara. Joja hanya ditemukan satu ekor dipelihara masyarakat dengan usia sangat muda dan di alam liar terpantau lima ekor di Pagai Selatan dan satu ekor di Pagai Utara.
Untuk Bokoi hanya ditemukan dua ekor yang dipelihara oleh masyarakat, di Pulau Pagai Utara dua ekor dipelihara masyarakat, dan di Pulau Pagai Selatan dua ekor.
“Di Pulau Sipora keberadaan empat primata endemik selama survei tidak ditemukan sama sekali,” ujarnya.
Menurut Ardi hutan di Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan yang menjadi habitat empat primata endemik telah mengalami kerusakan habitat yang parah dan penurunan populasi yang cukup tajam.
Ia mengatakan, kawasan konservasi di Kepulauan Mentawai ada di Pulau Siberut, yaitu Taman Nasional Siberut seluas 190.500 ha dan Taman Wisata Alam Saibi Sarabua seluas 3.000 ha. Selain itu ada juga Suaka Margasatwa di Pagai Selatan seluas 1.000 ha.
Menurutnya Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dapat mengusulkan ada kawasan konservasi di dalam hutan produksi di Pulau Sipora kepada Menteri KLHK.
“Untuk Pulau Sipora memang belum ada kawasan konservasi, tapi sudah memenuhi syarat untuk diajukan, karena di situ ada empat primata endemik Mentawai dan harus jadi satwa prioritas nasional, karena Kepulauan Mentawai dari segi biodiversitinya sudah dianggap Galapagos Indonesia,” katanya.