Proyek

Menolak Rusak karena Dirisak

Rabu, 15 September 2021

Perundungan dan pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, tak terkecuali di tempat kerja. Apa saja yang bisa dilakukan jika mengalaminya?

Oleh Inge Klara Safitri

tempo

Perundungan dan pelecehan seksual di tempat kerja diduga terjadi di kantor pusat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Korban diduga mengalami pelecehan oleh rekan kerjanya sejak 2011. Puncaknya, pada 2015, korban mengalami pelecehan seksual.

Terduga pelaku yang berjumlah lima orang, menelanjangi dan mencoret-coret bagian pribadi dari korban. Saat peristiwa itu berlangsung, salah satu pelaku juga merekamnya menggunakan ponsel.

Kasus ini terungkap setelah sebuah rilis yang berisi kronologi pelecehan dan perundungan yang dialami korban viral di media sosial. Sebelumnya, korban sudah berupaya melaporkan peristiwa yang dialaminya ke polisi, namun polisi tidak menerima laporannya. Korban justru diminta menyelesaikan perkaranya secara internal kantor lebih dulu.

Korban juga sempat mengadu dan meminta pertolongan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) lewat email. Namun, Komnas HAM menganjurkan korban untuk melaporkan kasusnya ke polisi, karena sudah masuk ranah pidana.

Setelah kasusnya mencuat, korban melapor kembali ke Polres Jakarta Pusat, 1 September 2021. Ia ditemani Komisioner KPI. Laporan pun diterima dan akan diproses. 

Belakangan, para terduga pelaku justru berniat melaporkan balik korban. Kuasa hukum dari dua terduga pelaku, Tegar Putuhena mengatakan, keputusan pelaporan ini diambil lantaran kliennya merasa dirugikan oleh rilis yang dibikin oleh korban. Sebab dalam rilis menyebar di media sosial dan berita sejak 2 September lalu menuliskan nama lengkap kliennya. Walhasil, para terduga pelaku mendapat penghakiman oleh warganet di berbagai media sosial.

“Artinya ini ada perundungan baru, maka kita juga turut melaporkan kepada pihak kepolisian bahkan Komnas HAM,” ujar Tegar.

Sebelumnya, korban dan para pelaku sempat dipertemukan di kantor KPI untuk membahas perdamaian.

Upaya KPI mempertemukan korban dengan para pelaku ini justru mendapat kritik banyak pihak. Apalagi disebut-sebut ada desakan untuk korban mencabut laporan di kepolisian dan membuat pernyataan di publik seakan peristiwa yang dialaminya tak pernah terjadi.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual alias KOMPAKS menyatakan, pertemuan untuk rencana damai itu dianggap tidak berimbang bagi korban.

“Penting bagi lembaga negara seperti KPI untuk dapat memahami kondisi korban yang masih trauma untuk bertemu dengan terduga pelaku atau pihak terlapor secara langsung dan tanpa didampingi kuasa hukum, apalagi terlapor pelaku adalah atasan korban di KPI yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari korban di lingkungan kerjanya,” bunyi rilis dari KOMPAKS, Ahad, 12 September 2021.

Sebagai jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari 101 platform, kolektif maupun organisasi dengan isu kemanusiaan dan keberagaman, terutama kekerasan seksual, KOMPAKS menilai upaya mediasi damai antara terduga pelaku dan korban tidak seharusnya menghentikan proses hukum yang berlangsung. Laporan korban tidak dapat dicabut para pihak yang memilih damai, dikarenakan pasal yang diduga digunakan oleh Kepolisian yaitu Pasal 289 dan Pasal 281 juncto 335 KUHP bukanlah delik aduan.

“Kesepakatan damai tidak dapat digunakan sebagai dasar laporan dicabut dan tidak akan menghentikan proses penyidikan,” tulis KOMPAKS.

Terkait upaya melapor balik, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI mengatakan bahwa ancaman terlapor pelecehan seksual pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk melapor balik korban tidak memiliki dasar hukum tindak pidana yang jelas.

“Subjek hukumnya, siapa yang mau dilaporkan? Apakah korban atau orang-orang yang melakukan bullying?” kata Wakil Ketua LPSK RI, Maneger Nasution melalui keterangan tertulisnya pada Selasa, 8 September 2021.

Ia menjelaskan bahwa dalam konstruksi hukum perlindungan saksi dan korban, korban atau pelapor kasus dugaan pelecehan seksual sesama jenis seharusnya tidak dapat dituntut secara hukum. Tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus pengadilan dan berkekuatan hukum tetap.

Maneger menambahkan, upaya melapor yang dilakukan korban sudah benar apalagi peristiwa terjadi di lingkungan lembaga pemerintahan. Pasalnya, upaya yang dilakukan itu justru membantu penegak hukum untuk mengungkap kasus pelecehan seksual sesama jenis yang dialaminya tersebut. “Ikhtiar dan keberanian yang bersangkutan sejatinya diapresiasi karena sebagai warga negara ia aktif membantu penegak hukum membongkar pelecehan seksual sesama jenis,” katanya.

Kasus perundungan dan pelecehan seperti di KPI bukan pertama kalinya terjadi. Kasus terkait dengan dugaan kekerasan seksual pernah dialami staf BPPBJ DKI pada April lalu. Staf BPJS itu juga mengalaminya pada 2019. Pelaku juga merupakan atasannya sendiri.

Tiga tahun sebelumnya juga seorang pegawai Dirjen Pajak mengadu karena dilecehkan oleh atasannya pada 2016. Lalu, pada 2014 seorang pegawai di LKBN ANTARA mengadu ke LBH APIK untuk mendapatkan pendampingan karena mengaku mendapat pelecehan seksual dari seorang general manager.

Meski sedikit catatan kasus yang melibatkan laki-laki sebagai korban, Anggota Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengatakan kasus pelecehan seksual dan perundungan di tempat kerja yang mencuat hanya bagian dari fenomena gunung es. Menurut dia, kasus-kasus seperti ini biasanya melibatkan relasi kuasa, dimana pelaku memiliki kuasa lebih. “Sehingga korban malah bisa merugi dan disalahkan berkali lipat,” ujar Rini.

Berdasarkan data Kementerian PPPA, persentase korban kekerasan di tempat kerja menurut jenis kelamin, perempuan memang memiliki angka yang sangat tinggi. Namun, bukan berarti laki-laki tak bisa menjadi korban.

Pada 2020, tercatat perempuan menjadi korban kekerasan hingga 77,7 persen. Sedangkan laki-laki 22,3 persen. 

Menurut Rini ada beberapa upaya yang bisa dilakukan, mulai dari menyampaikan langsung keberatan yang dirasakan hingga meminta bantuan pihak ketiga.

Menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Diana Savitri Hidayati mengatakan, perundungan akan berdampak negatif pada kesehatan mental korban. Dampak terburuk yang dapat menimpa korban adalah gangguan post-traumatic stress disorder (PTSD) hingga keinginan bunuh diri. 

Dalam kasus perundungan di kantor KPI Pusat, menurut Diana, korban berhasil mengatasi semua ketakutannya. Sikap positif korban dibuktikan dengan keberaniannya melawan para pelaku dan mengungkapkan kronologi kejadian melalui media sosial, meski membutuhkan waktu yang lama.

“Namun (korban) terlanjur mengalami gangguan PTSD karena perundungan telah terjadi bertahun-tahun,” ujarnya.

Diana pun menyebutkan beberapa cara untuk mengantisipasi maupun mengatasi perundungan. Pertama, mencari dukungan sosial apabila perundungan terjadi di sekolah dan kantor. Kedua, selektif mencari teman karena lingkungan pertemanan berpengaruh pada perilaku dan pola pikir seseorang. Ketiga, mampu membedakan ranah pekerjaan dan pertemanan sehingga dapat mengetahui lebih awal jika seseorang sedang dirundung. 

Menurut Diana, perundungan biasa terjadi secara bertahap. Hal ini juga yang diduga terjadi pada korban di KPI. “Karena sistem senioritas masih berlaku di Indonesia sehingga korban merasa lazim ketika diperlakukan sebagai junior dan disuruh-suruh begitu,” ujar Diana. 

Oleh karena itu, kata Diana, dukungan sosial dan kemampuan membedakan ranah pekerjaan dan pertemanan menjadi poin penting untuk mengetahui lebih dini terjadinya sebuah perundungan.

Kabar terbaru, Komnas HAM memanggil KPI untuk meminta keterangan terkait penanganan internal kasus ini, Rabu, 14 September 2021. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung menyampaikan selain memanggil KPI, Komnas HAM juga memanggil pihak kepolisian dalam hal ini Polres Metro Jakarta Pusat. Pemanggilan kepada KPI diagendakan pagi hari sedangkan kepolisian setelahnya.

Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi membantah pihaknya memfasilitasi upaya damai korban dengan para pelaku. “Kalau itu di luar kuasa kami, kalaupun damai hasil inisiatif mereka sendiri,” kata Mulyo di Kantor Komnas HAM, Rabu. 

Terkait pertemuan kedua pihak di kantor, ia mengaku sama sekali tak tahu. Mulyo mengaku sedang di luar kota saat itu.

Sebelumnya, Ketua KPI Pusat Agung Suprio sempat menyampaikan sikap KPI atas viralnya cerita korban. Selain menyatakan turut prihatin, Agung berjanji akan menyelesaikan kasus ini secara internal dan mendukung aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Serta mendampingi korban hingga proses pemulihan psikologis. 

“Menindak tegas pelaku apabila terbukti melakukan tindak kekerasan seksual dan perundungan (bullying) terhadap korban, sesuai hukum yang berlaku,” seperti dikutip dari pernyataan sikap tertanda Agung Suprio di laman resmi KPI. 

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia