Kepala Adib Budiono hanya mendongak pelan saat sejumlah rekannya yang tergabung dalam komunitas Sahabat Difabel Jepara (Sadifa) menunjukkan sebuah utas di Internet pada pertengahan Mei 2022. Utas itu memuat informasi tentang rencana pemerintah mencairkan dana bantuan langsung tunai untuk usaha mikro, kecil, dan menengah atau dikenal dengan Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) 2022.
Ketua Sadifa ini tak lagi antusias mendaftar progam bantuan yang digagas Komite Penanganan Covid-19 (coronavirus disease 2019) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) tersebut. Terlebih, program BPUM memang tidak memprioritaskan penyandang disabilitas seperti dia sebagai penerimanya. Siapa saja berhak mendapatkan kucuran dana BPUM asalkan berstatus pelaku usaha mikro dan terdampak pandemi Covid-19.
Adib sebenarnya pernah tercatat sebagai penerima BPUM 2020. Saat itu besarannya Rp 2,4 juta per orang. Sebagai pelaku usaha, nama dan nomor induk kependudukan pemilik Adikasih Mebel ini juga klop. Sayangnya, upaya Adib mengurus pencairan dana di kantor Bank Rakyat Indonesia cabang Jepara, Jawa Tengah, kandas. Penyandang tuna daksa ini terpaksa pulang dengan tangan hampa.
Awalnya, Adib berencana menggunakan uang bantuan itu untuk membeli kompresor dan alat semprot. Dia membutuhkan peralatan itu untuk mendukung usaha mebelnya yang sempat terpuruk akibat pandemi. “Dulu proses pencairan ribet sekali. Sudah riwa-riwi (bolak-balik) tapi tetap tak berhasil,” kata Adib, 32 tahun, kepada tim liputan Philippine Center for Investigative Journalism, Tempo.co, dan Tribun Jateng yang menemuinya di markas Sadifa, Desa Ngabul, Kecamatan Tahunan, Jepara, Selasa, 17 Mei 2022.
Adib kembali gagal memperoleh bantuan serupa pada 2021. Saat itu nominal bantuan sebesar Rp 1,2 juta per orang, separuh dari tahun sebelumnya. Mengalami dua kegagalan beruntun, Adib tidak lagi berminat untuk mendaftarkan diri sebagai calon penerima BPUM 2022. Apalagi jumlah dananya berkurang lagi separuhnya menjadi Rp 600 ribu untuk setiap pelaku usaha.
Pemerintah mengucurkan BPUM untuk pelaku usaha mikro agar bisa bertahan melewati masa sulit akibat pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo pertama kali meluncurkan program ini pada 24 Agustus 2020. BPUM diproyeksikan membantu dan menjaga keberlangsungan UMKM yang terdampak pandemi Covid-19.
Tahun 2020, BPUM diberikan kepada 12 juta pelaku usaha mikro dengan anggaran Rp 28,8 triliun. Setahun kemudian, penyaluran BPUM menyasar 12,8 juta pelaku usaha mikro. Pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 15,36 triliun. Adapun BPUM tahun ini ditargetkan menyasar 12,8 juta pelaku usaha mikro dengan anggaran yang telah disiapkan sebesar Rp 7,68 triliun.
Sewaktu pagebluk menghantam usaha mebelnya pada 2020, Adib segera mendaftarkan diri sebagai penerima BPUM lewat sejumlah jalur. Saat itu memang ada beberapa lembaga yang bisa mengusulkan calon penerima BPUM, antara lain BRI dan Bank Negara Indonesia, Mekaar PT Permodalan Nasional Madani (Persero), perusahaan pembiayaan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, lembaga penyalur program kredit pemerintah, hingga Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah tingkat kabupaten dan kota. Dinas Koperasi dan UKM juga melibatkan pemerintah desa atau kelurahan sebagai kepanjangan tangan lembaga pengusul penerima bantuan.
Nama Adib lolos sebagai penerima BPUM 2020 hasil usulan dari Baitul Maal wat Tamwil Ummat Sejahtera Abadi (BMT USA) cabang Batealit, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Lembaga keuangan mikro syariah yang berbentuk koperasi dan berfokus pada sektor UMKM ini memang salah satu pengusul calon penerima BPUM di Jepara.
Adib sebenarnya bukan nasabah BMT USA yang memiliki sepuluh cabang di Jepara. Dia diajak adik sepupunya, Bahrul, yang memang nasabah BMT USA. Bahrul mengajak Adib lantaran Manajer BMT USA cabang Batealit saat itu, Farid Wiyatmoko, memintanya untuk mendata kerabatnya yang berstatus pelaku usaha mikro untuk diusulkan sebagai calon penerima BPUM. Bahrul, yang mempunyai usaha mebel Agra Furniture, ini lantas menyetor belasan nama, termasuk Adib Budiono.
Menurut Adib, saat itu ada kesepakatan antara Farid dengan orang-orang yang namanya diusulkan. Setiap nama yang lolos dan mendapatkan dana BPUM sebagian jatahnya akan dipotong hingga Rp 500 ribu. Uang itu menjadi jatah BMT USA cabang Batealit selaku lembaga pengusul. Para calon penerima BPUM menyetujui kesepakatan itu. Namun, saat pengumuman, rupanya hanya nama Adib yang muncul. Belasan nama lain yang disodorkan tidak lolos, termasuk Bahrul.
Mendengar namanya lolos, Adib semula sempat girang. Tapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Meskipun namanya sudah muncul di dalam sistem, Adib tak serta-merta bisa langsung mencairkan jatahnya. Dia sudah mengecek rekening BRI miliknya. Namun ternyata tidak ada transferan senilai Rp 2,4 juta yang dijanjikan itu.
Adib lalu mendatangi kantor BRI cabang Jepara di Jalan Pemuda, Potroyudan, sekitar 2 kilometer dari tempat usahanya pada Oktober 2020. Namun saat itu dia hanya memperoleh jawaban bahwa BPUM atas namanya belum dapat dicairkan.
Adib diminta berkomunikasi dengan pengelola BMT USA cabang Batealit selaku lembaga pengusul. Namun pihak BMT juga tak mengetahui alasan tidak cairnya BPUM jatah Adib itu. Pertemuan Adib dengan BMT berlangsung hingga beberapa kali. Salah satunya terjadi di rumah Adib yang juga menjadi markas Sadifa Jepara di Desa Ngabul, Kecamatan Tahunan.
Juru bicara BRI kantor cabang Jepara, Dessy, mengatakan BPUM untuk Adib Budiono tak bisa dicairkan karena rekeningnya terblokir. Dessy tak mengetahui alasannya lantaran pemblokiran itu dilakukan kantor BRI pusat. Akibat pemblokiran itu, Adib gagal memperoleh haknya. Duit BPUM jatahnya hangus karena tak diambil hingga batas waktu pencairan dana.
Dessy menegaskan BPUM yang tak bisa dicairkan maka uangnya kembali ke negara. Menurut dia, urusan pemblokiran rekening berada di tangan kantor pusat. Begitu pula soal nama-nama yang mendapatkan BPUM. “Memang pernah ada disabilitas yang datang ke sini (BRI) dan menanyakan soal itu. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa,” Dessy berujar, Rabu, 8 Juni 2022.
Saat dikonfirmasi, Farid Wiyatmoko, yang tak lagi menjabat manajer BMT USA cabang Batealit, membenarkan jika pernah mengusulkan Adib Budiono sebagai penerima BPUM. Namun dia tak bisa menjelaskan ihwal gagal cairnya dana bantuan untuk Adib. “Saya tidak tahu apa alasan pastinya,” ujar Farid pada Jumat, 10 Juni 2022.
Pada 2020, BMT USA cabang Batealit dijatah mengusulkan 500 calon penerima BPUM. Untuk memenuhi kuota itu, Farid bergerilya mencari pelaku usaha mikro yang mau diusulkan. Bahkan dia berburu hingga desa-desa di kecamatan lain, seperti Adib Budiono dan Bahrul yang merupakan warga Kecamatan Tahunan. Dari 500 usulan, Farid mengaku lupa jumlah calon yang lolos sebagai penerima BPUM.
Pria yang kini menjabat Manajer BMT USA cabang Mantingan, Jepara, ini menyangkal adanya potongan jatah penerima BPUM. Dia berdalih calon penerima BPUM rela memberikan sebagian jatahnya untuk BMT USA cabang Batealit. Farid juga berkilah tak pernah mematok nominal potekan yang diklaim disalurkan untuk kegiatan sosial.
* * *
Mohammad Abrorul Falah bernasib malang seperti Adib Budiono. Lelaki penyandang tuna daksa ini gagal memperoleh Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) 2020 karena data yang tidak sinkron dalam sistem. Namanya tercatat sebagai penerima BPUM, tapi nomor induk kependudukan yang tercantum justru milik ibunya.
Hingga tenggat pencairan dana yang ditentukan, persoalan ketidakcocokan nama dan nomor induk kependudukan tak kunjung bisa diatasi. Walhasil, Falah harus merelakan uang Rp 2,4 juta jatah BPUM tahun itu. Pada 2021, pria yang aktif di organisasi Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Jepara ini masih berkutat dengan persoalan yang sama. Nahas, dia terpaksa merelakan dana BPUM sebesar Rp1,2 juta. “Sebenarnya itu (nama dan NIK tidak sinkron) bukan kesalahan saya. Tapi justru karena alasan itulah saya gagal dapat BPUM,” kata Falah.
Di Desa Mindahan, Kecamatan Batealit, Jepara, penyaluran dana BPUM juga diwarnai isu pemotongan. Nunung, seorang pelaku usaha mikro, harus merelakan Rp 200 ribu dari Rp 2,4 juta dana BPUM yang diterimanya pada 2020. Nunung merupakan kreditur Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera), PT Permodalan Nasional Madani (Persero). Layanan permodalan berbasis kelompok ini diperuntukkan bagi perempuan prasejahtera pelaku usaha ultra mikro yang ingin memulai usaha maupun mengembangkan usaha.
Nunung menuturkan, uang Rp 200 ribu jatah BPUM itu dipotek melalui Yuliana Hasibuan, ketua kelompok kreditur Mekaar di sekitar tempat tinggalnya. Meskipun merasa berat, perempuan yang memiliki usaha warung makan skala kecil ini mengikuti saja instruksi Yuliana. “Saya tidak tahu uang itu untuk apa dan diberikan kepada siapa?” ujar Nunung saat ditemui di warungnya, Selasa, 21 Juni 2022.
Yuliana Hasibuan tak menampik ihwal pemotongan BPUM kreditur Mekaar di wilayahnya. Menurut dia, pemotongan itu atas inisiatifnya dan tanpa sepengetahuan pihak Mekaar. Yuliana beralasan, potongan BPUM itu ditujukan untuk solidaritas sesama kreditur Mekaar.
Yuliana menjadi koordinator bagi 45 kreditur Mekaar. Sebagian dari mereka memiliki usaha. Namun mayoritas berstatus ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Selama ini para kreditur Mekaar berkumpul setiap pekan di rumah Yuliana untuk membayar cicilan pinjaman. Begitu ada progam BPUM, Yuliana mendaftarkan seluruh kreditur Mekaar di bawah koordinasinya sebagai calon penerima bantuan.
Masalahnya, hanya 12 orang anggota Mekaar besutan Yuliana yang menerima BPUM. Nunung salah satunya. Yuliana menyayangkan hal ini. Sebab, sebagian besar penerima itu justru bukan pelaku usaha mikro, melainkan hanya berstatus kreditur Mekaar.
Yuliana, yang memiliki usaha kerajinan mebel, bahkan gagal mendapatkan BPUM. Begitu pula Siti Murni yang juga menjadi koordinator kreditur Mekaar. Karena itulah Yuliana menarik potongan terhadap 12 penerima BPUM. “Uang itu lalu saya bagi dengan Siti Murni. Ini untuk solidaritas karena kami yang mengurusi,” kata Yuliana.
Masih di Desa Mindahan, data penerima yang tidak valid membuat penyaluran BPUM tidak akurat. Tetangga Yuliana, Mariyati dan Masrukin, masing-masing bisa mendapatkan BPUM sebesar Rp 2,4 juta pada 2020. Mariyati dan Masrukin adalah pasangan suami istri yang menggeluti satu usaha kerajinan mebel. Padahal, sesuai aturan, satu entitas usaha hanya boleh mendapatkan satu jatah BPUM.
Usut punya usut, Mariyati dan Masrukin rupanya mendaftarkan diri melalui dua lembaga berbeda. Masrukin mendapatkan BPUM setelah diusulkan BMT USA cabang Batealit. Adapun Mariyati merupakan kreditur Mekaar yang dipimpin Yuliana.
Masrukin dan Mariyati tak menyangkal telah memperoleh BPUM dobel. Masrukin berdalih tidak mengetahui namanya diusulkan BMT USA cabang Batealit. Lain halnya dengan istrinya. Mariyati mengetahui bahwa namanya diusulkan melalui Mekaar. Hanya saja, dia tidak menyangka bakal mendapatkan dana bantuan. Sebab, banyak kreditur dalam kelompoknya malah tidak memperoleh BPUM.
Mariyati dan suaminya menggunakan duit BPUM sebesar Rp 4,8 juta tersebut untuk membeli kayu dan bahan furnitur lain. “Waktu itu usaha mebel sedang seret, permintaan turun. Jadi sangat membantu sekali,” ujar Mariyati. Bahkan mereka memakai sebagian dana bantuan itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
* * *
Penyaluran Bantuan Produktif Usaha Mikro sejak awal sarat masalah. Berdasarkan data laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap program BPUM 2020, hampir separuh dari Rp 28,8 triliun anggaran BPUM 2020 tidak dapat dinikmati para pelaku usaha mikro yang terdampak Covid-19. Rinciannya: dana sebesar Rp 16,72 miliar belum disalurkan, terlambat disalurkan Rp 588,62 miliar, tidak dapat disalurkan Rp 1,66 triliun, serta belum dicairkan oleh masyarakat sebesar Rp 12,61 triliun.
Selain itu, penyaluran BPUM juga banyak yang salah sasaran. BPK mencatat, sebanyak 418.947 penerima semestinya tidak berhak dikucuri dana BPUM. Nilai BPUM yang telanjur disalurkan untuk penerima salah sasaran ini mencapai Rp 1 triliun. Mereka yang tidak berhak mendapatkan BPUM antara lain karena berstatus anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian, ataupun Aparatur Sipil Negara.
Menurut BPK, kekisruhan penyaluran BPUM terjadi karena pengusulan, pembersihan dan validasi data, serta penetapan nama penerima tidak memadai. Hasil pemeriksaan BPK juga menunjukkan bahwa penetapan target penerima bantuan sebanyak 12 juta pelaku usaha tidak didukung dengan data yang akurat, terkini, dan lengkap.
Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi, UKM, Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Kabupaten Jepara, Ririn Haryati, mengatakan BPUM 2020 memang memiliki banyak celah. Celah itu antara lain bersumber dari banyaknya lembaga pengusul hingga rentang waktu pelaksanaan bantuan yang singkat.
Menurut Ririn, kantornya menerima informasi pelaksanaan BPUM sekitar September 2020. Namun penyalurannya mesti rampung Oktober 2020. Ririn menerima berkas pengajuan dari berbagai lembaga pengusul, mengeceknya, lantas mengirimkannya ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sekaligus Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Tengah. Dari tingkat provinsi, usulan itu ditelaah dan selanjutnya dikirim ke Kementerian Koperasi dan UKM untuk diverifikasi.
Urusan administrasi yang berjenjang membuat Ririn kelimpungan. Dengan bantuan dua kepala seksi dan dua staf, dia mesti mengecek ratusan ribu berkas pelaku usaha mikro. Untuk mempercepat pengecekan, Ririn dan timnya kerap memverifikasi acak. Imbasnya, ada pelaku UMKM yang diusulkan malah tercecer. Sebaliknya, ada yang tak masuk usulan tiba-tiba tercantum sebagai penerima bantuan.
Pada 2020, Nomor Induk berusaha (NIB) atau izin usaha mikro dan kecil (IUMK) tidak menjadi satu-satunya ukuran. Jika pelaku usaha mikro tidak memiliki NIB atau IUMK, mereka masih berpotensi menerima bantuan asal menyertakan surat keterangan usaha (SKU) dari desa. Di sinilah muncul berbagai celah usulan dari desa.
Ririn sempat menemukan banyak berkas usulan dari desa yang tak sesuai ketentuan. Dia mencontohkan ada empat berkas yang sebenarnya milik satu pelaku usaha. Ririn mengetahuinya setelah mengecek foto tempat usaha yang memang wajib dilampirkan dalam berkas usulan. “Usulan dari desa banyak yang dobel,” ujarnya, Senin 27 Juni 2022. Ini belum termasuk menyortir pelaku usaha dari kalangan penyandang disabilitas.
Berdasar Surat Keputusan Kementerian Koperasi dan UKM, terdapat lebih dari 1,6 juta pelaku usaha mikro di Jawa Tengah yang tercatat sebagai penerima BPUM pada 2020. Total dana yang dikucurkan saat itu mencapai Rp 3,96 triliun. Pada 2021, jumlah penerima BPUM berkurang sekitar 54 ribu orang. Dengan besaran bantuan Rp 1,2 juta per pelaku usaha, total dana yang disalurkan mencapai Rp 1,92 triliun.
Di Jepara, Adib Budiono hanyalah salah satu penyandang disabilitas yang menjadi korban ketidaksiapan pemerintah dalam penyaluran BPUM. Dari 120 anggota aktif Sadifa, mayoritas tercecer dari daftar penerima BPUM. Padahal, ketika awal BPUM digulirkan, anggota Sadifa ramai-ramai mendaftarkan diri sebagai calon penerima. Sebagian dari mereka adalah pelaku usaha kecil seperti Adib.
Selain Sadifa, sepuluh organisasi lain juga menaungi penyandang disabilitas di Jepara, di antaranya Persatuan Penyandang Disabilitas Jepara, Persatuan Tunanetra Indonesia, dan Bina Akses. Hingga kini, sedikitnya 2.000 penyandang disabilitas sudah tergabung dalam berbagai komunitas yang dikoordinasi Forum Komunikasi Organisasi Disabilitas Jepara itu. Sisanya, sekitar 8.000 orang belum bergabung dengan beragam alasan.
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah, Ema Rachmawati, mengatakan program BPUM memang tidak menyediakan prioritas khusus bagi kalangan penyandang disabilitas. Meskipun tergolong kelompok rentan, pelaku usaha dari kalangan disabilitas rupanya diperlakukan seperti pelaku usaha mikro lain.
Perihal verifikasi calon penerima BPUM diakuinya memang tak maksimal. Dia berdalih tren kasus Covid-19 yang terus melonjak pada 2020 sebagai biangnya. Sebab, saat itu diterapkan kebijakan pembatasan interaksi sosial. “Proses yang dilakukan hanya verifikasi berkas, tidak sampai cek kondisi lapangan,” kata Ema. “Karena berkasnya sangat banyak, verifikasi dilakukan acak karena waktunya juga dibatasi.”
Peneliti Transparency International Indonesia Agus Sarwono menilai data pelaku usaha mikro calon penerima BPUM hingga kini masih tidak solid. Padahal program besutan pemerintah pusat itu sudah berjalan dua tahun. Menurut dia, pandemi menunjukkan bahwa pemerintah memang tidak serius menggarap basis data pelaku usaha.
Agus mengatakan data yang tidak valid dalam penyaluran BPUM berpotensi memboroskan uang negara. Selain itu, hasil yang diharapkan pemerintah juga tidak tercapai. “Siapa yang bisa menjamin jika BPUM tidak habis untuk konsumsi. Padahal mestinya itu untuk menunjang kegiatan usaha saat pandemi,” ucapnya.
Kekisruhan kembali dijumpai saat penyaluran BPUM 2021. Berbeda dengan tahun sebelumnya, saat itu lembaga pengusul hanya Dinas Koperasi dan UKM. Namun tetap saja muncul celah di lapangan. Masih ada laporan dan pengaduan tentang adanya pemotongan BPUM. Kasus itu mencuat di sejumlah daerah, antara lain di Kabupaten Jepara, Indramayu, hingga Deli Serdang di Sumatera Utara. Pemotongan BPUM juga ditemukan di Banyuwangi. Bahkan kasusnya sudah ditangani kejaksaan setempat.
Di Jawa Tengah, penyaluran BPUM 2021 masih diwarnai sejumlah masalah. Hasil peninjauan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Jawa Tengah terhadap program BPUM 2021 di Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa data penerima tahun sebelumnya tidak dikonfirmasi ulang.
Data usulan calon penerima BPUM tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang ditetapkan. Alamat tidak lengkap dengan nomor yang valid. Lalu status sebagai pelaku usaha mikro berbeda antara usaha dan yang tercatat pada nomor induk berusaha ataupun surat keterangan usaha. “Realisasi penyaluran BPUM belum maksimal,” demikian tertulis dalam laporan peninjauan BPKP Provinsi Jawa Tengah.
BPKP Provinsi Jawa Tengah menyarankan verifikasi atau validasi ulang diterapkan saat penyaluran BPUM 2022. Selain itu, calon penerima BPUM juga mesti memenuhi persyaratan tambahan, misalnya, swafoto di depan tempat usaha yang dimilikinya.
Agar hasilnya lebih maksimal, BPKP Provinsi Jawa Tengah juga meminta kelompok kerja provinsi atau kabupaten dan kota berkoordinasi dengan kuasa pengguna anggaran dan lembaga penyalur. Koordinasi diperlukan untuk pemutakhiran basis data penerima BPUM dan memantau penyalurannya agar tidak terkena potongan.
Ihwal salah sasaran penerima BPUM menjadi perhatian Agus Sarwono. Sebab, pada penyaluran BPUM 2020 dan 2021, Transparency International Indonesia menerima banyak laporan bernada miring. Adanya dugaan pemotekan dana bantuan, praktik percaloan pembuatan izin usaha mikro dan kecil yang merupakan syarat penting bagi pelaku usaha penerima BPUM, hingga pelaku usaha mikro yang justru tercecer dari daftar penerima bantuan.
Hal itu juga diperkuat hasil laporan Komisi Pemberantasan Korupsi maupun laporan hasil pemeriksaan BPK yang menemukan penerima bermasalah dalam penyaluran BPUM karena basis data yang semrawut. “Mestinya tahun ini pemerintah harus lebih transparan soal data. Sumber data dari mana, siapa saja penerimanya, bagaimana mekanisme penyalurannya, dan seterusnya,” kata Agus.