Proyek

Langkah Aksara Pegon Menapaki Ruang Digital

Ratusan tahun aksara pegon berkembang sebagai khazanah keilmuan Nusantara. Teknologi digital pun menjadi ruang untuk kelangsungan aksara pegon.

Oleh Bram Setiawan

tempo

Lambaian tangan menyapa mula tayangan video saat mengakses saluran (channel) Belajar Pegon di YouTube. Konten berjudul Belajar Menulis Huruf Pegon Part 1 itu berdurasi 5 menit, 25 detik. Terdengar suara penutur sambil menulis di papan putih. “Catat dan ingat ya teman-teman, biar nanti enggak lupa,” kata penutur dalam video itu.

Panduan dimulai memperkenalkan abjad vokal dan konsonan menggunakan hijaiah. Contoh huruf vokal A ditulis memakai hijaiah alif (ا). Adapun huruf I menggunakan ya (ي). Penggunaan hijaiah itu sama seperti menulis untuk huruf E. Demikian pula U dan O pun memakai hijaiah wau (و).

Saluran yang memandu penulisan pegon lainnya, yakni Lukman Al-Chakim. Metode panduan belajar tak jauh berbeda. Penonton diajak berfokus melihat penulisan pegon sambil mendengarkan suara penutur. 

Ketika mengetik pegon sebagai kata kunci dalam kolom pencarian YouTube, saluran Belajar Pegon dan Lukman Al-Chakim akan muncul yang teratas. Lukman Al-Chakim telah memiliki hampir 28.000 pelanggan (subscribers). Belajar Pegon mendekati jumlah 6.500 pelanggan. Banyaknya pelanggan itu bersumber tinjauan pada Rabu, 10 Februari 2021. Konten YouTube boleh dibilang sebagai salah satu medium supaya pegon makin mudah dipelajari oleh generasi terkini.

Selama ratusan tahun aksara pegon menjadi denyut kebudayaan Nusantara. Aksara pegon telah mengikuti arus zaman sampai keberadaannya saat ini dalam jaringan Internet. Saluran YouTube hanya salah satu medium supaya pegon makin mudah dipelajari oleh generasi terkini.

Pegon memiliki beragam arti. Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring mengartikan pegon sebagai aksara Arab untuk menulis bahasa Jawa. Pegon juga dimaksud sebagai tulisan Arab tanpa tanda bunyi atau diakritik. Biasa dianggap pula tulisan Arab gundul. Kamus Jawa Kuna Indonesia yang disusun oleh Petrus Josephus Zoetmulder dan Stuart O. Robson mengartikan pegon sebagai, “(mengucapkan) dengan kesukaran?”

“Pengartian dengan tanda tanya itu masih kurang meyakinkan,” kata Nur Ahmad, penulis buku Wajah Islam Nusantara: Jejak Tradisi Santri, Aksara Pegon, dan Keberislaman dalam Manuskrip Kuno. Ia cenderung menyepakati arti pegon menurut Carel Frederik Winter, linguis Hindia Belanda yang bekerja sama dengan pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita. Pegon diartikan sebagai kukus, sumpeg, peteng, dalam Kamus Kawi-Jawa terbitan 1994.

“Artinya yang dimaksud, sempit dan tidak longgar,” ucapnya.

Arti pegon itu dianggap sesuai jika menimbang penulisan aksara yang memenuhi kertas. “Maka terlihat gelap (peteng) di atas kertas,” tuturnya. Pegon sering ditulis agak berimpitan. Jika dilihat penulisannya, maka berbeda dengan aksara Jawa. “Hanacaraka (aksara Jawa) di atas kertas terlihat lebih terang, karena tulisan tidak berdesakan,” katanya.

tempo
Primbon beraksara pegon peninggalan abad 19. Dokumentasi: Diaz Nawaksara

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, aksara pegon digunakan kolonial untuk menuliskan aturan. Pada 2018, Nur Ahmad menerima surat elektronik dari sejarawan Swiss, Bernhard Schär. Waktu itu, Schär mengirim lampiran surat beraksara pegon terkait penelitian tentang Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Nur Ahmad diminta untuk membantu membaca dan menerjemahkan teks tersebut. Surat itu menggunakan bahasa Melayu. “Surat tentang aturan perdagangan,” kata Nur Ahmad. Keterangan waktu dalam surat itu, pada 9 Juli 1822.

Semasa kolonial Belanda, pegon pun digunakan untuk penulisan Injil. Gerakan penginjilan ditunjang perkembangan teknologi mesin cetak di Nusantara pada abad 19. Misionaris menggunakan teknologi percetakan untuk masuk dalam denyut kebudayaan Nusantara. Injil Suci Mirit Saking Panganggitipun Lukas beraksara pegon bahasa Jawa terbit tahun 1893. Penerjemahnya Pieter Jansz. Penulis alih aksara pegon tak termaktub namanya.

“Mungkin karena ia tak ingin dikenal sebagai penulis Injil aksara pegon,” katanya. Kemungkinan lain, menurut Nur Ahmad, pihak penerbit British and Foreign Bible Society sengaja tak memperkenalkan pengalih aksara itu. Pada 1896, penerbitan edisi kedua Injil beraksara pegon tersebut.

Dosen sejarah literatur Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta, Ahmad Ginanjar Sya’ban pernah mengkaji kitab Taurat atau Perjanjian Lama beraksara pegon. Naskah itu terbitan sistem cetak ofset atau litografi. “Manuskrip itu Kitab Kejadian atau biasa disebut The Book of Genesis,” katanya. Naskah Layang Musa Kang Kapisan Kaaranan Paraning Dumadi yang berarti Surat Pertama Musa tentang Kejadian. Manuskrip itu bertautan semasa gerakan misionaris, pada 1929. Naskah keagamaan itu menandakan kegunaan pegon beragam di Nusantara, termasuk sebagai medium penyebaran ajaran Kristen.

tempo
Kitab Taurat atau Perjanjian Lama beraksara pegon koleksi milik Islah Gusmian. Dokumentasi: Islah Gusmian

Pegon memang kultur warisan Wali Songo yang berkembang menjadi corak komunikasi pernaskahan beragam etnik dengan huruf hijaiah. Aksara pegon sudah ada semasa Sunan Ampel, yakni pada abad 15. Naskah pegon peninggalan Kesultanan Banten ketika takhta Maulana Hasanuddin bisa menjadi rujukan. Manuskrip pegon Sajarah Cirebon itu warisan dari Sunan Gunung Jati. Adapun Sunan Gunung Jati menimba ilmu di pondoknya Sunan Ampel.

“Berarti pegon sudah ada semasa hidup Sunan Ampel,” kata Ahmad Baso, peneliti dari Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Naskah Sajarah Cirebon tersimpan di Perpustakaan Nasional dengan kode CS 114. Naskah itu antara lain bercerita tentang keruntuhan Kerajaan Majapahit, serta kemunculan Kesultanan Demak dan Banten. 

Pegon pernah memiliki peran dalam praktik transaksi ekonomi Nusantara masa dekade 1470. Koin mata uang picis masa Kesultanan Demak, tertera aksara pegon yang menyebut Raden Patah. Termaktub kata pangeran beraksara pegon. Koin berbahan tembaga dan timah itu pada masa lampau digunakan masyarakat pesisir. Peninggalan itu tersimpan di Museum Uang Sumatera.

Ahmad Baso menjelaskan, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pernah mewajibkan warganya untuk mempelajari aksara pegon. Ketentuan itu termuat dalam Babad Bedhahipun Kraton Negari ing Ngayogyakarta, koleksi British Library Additional Manuscript 12330. Naskah tersebut tahun 1812.

Pegon juga berpadu dalam kultur pernaskahan masyarakat Merapi Merbabu pada abad 17. Pernaskahan itu tentang waris azimat Giri Kedaton. Naskah tersebut penyesuaian karangan pegon Sunan Giri tentang ilmu mistik. Manuskrip masyarakat Merapi Merbabu itu beraksara buda dan pegon tersimpan di Perpustakaan Nasional, kode 63B. “Saya menemukan ada lima naskah Merapi Merbabu yang beraksara pegon,” tuturnya.

Ia menambahkan, pegon pun dipelajari orang Bali pada abad 18. Naskah yang tanpa judul itu tentang ajaran spiritual keagamaan yang sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden. Adapun pengelompokan naskah dalam kategori oriental itu dengan kode Or. 4716. Naskah pegon Serat Anbiya yang menceritakan kisah para nabi pernah disalin ulang orang Tionghoa warga Semarang pada abad 19. Naskah pegon salinan itu sekarang tersimpan dengan kode L 12 di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.

Ahmad Baso menjelaskan, bahwa pegon bukan sektarian milik kaum santri. “Pegon sebagai warisan peradaban Nusantara yang kosmopolit lintas etnik dan agama,” katanya.

Ia memandang penting adanya upaya penguatan kurikulum aksara oleh lembaga pendidikan. “Setelah itu standardisasi dan digitalisasi aksara pegon Nusantara,” ujarnya. Upaya itu agar generasi terkini bukan sekadar tahu tentang pegon. Namun memahami pegon sebagai khazanah keilmuan Nusantara yang merangkai hubungan kebangsaan.

“Rasa memiliki serta memahami pegon untuk kini sampai masa depan,” ucapnya.

tempo
Majalah Kitab Penerangan (kiri) dan Soeara Nahdlatoel Oelama (kanan). Dokumentasi: Diaz Nawaksara

Didin Ahmad Zainudin berjalan menuju ruang arsip di rumahnya. Pegiat aksara yang dikenal dengan nama Diaz Nawaksara itu mengambil bundel. Ia menunjukkan dua majalah beraksara pegon Soeara Nahdlatoel Oelama dan Kitab Penerangan. Majalah Soeara Nahdlatoel Oelama yang dimiliki Diaz itu terbitan tahun 1935. Adapun Kitab Penerangan, majalah Muhammadiyah itu termuat kode sampul tahun 1927. Arsip majalah yang dimiliki Diaz itu menggunakan bahasa Melayu, karena terbitan saat momentum muktamar. Namun, edisi rutin dua majalah tersebut menggunakan bahasa Jawa beraksara pegon. Arsip majalah itu menandakan, bahwa pegon umum digunakan untuk sumber bacaan, hal membedakan hanya bahasa yang termaktub.

Ketika arus zaman terus mengalir, sumber bacaan beraksara pegon kian menyusut. Pada milenium ketiga, kumpulan pemuda Nahdlatul Ulama pernah menerbitkan majalah yang isi tulisan seluruhnya menggunakan pegon berbahasa Indonesia. Majalah At-Turats diluncurkan untuk edisi pertama pada 15 Januari 2010. Bermula ketika para kiai sesepuh menimbang kesinambungan kultur literasi di pesantren. Keresahan ihwal merosotnya kemampuan santri dalam beraksara pegon menjadi salah satu alasan terbitnya majalah At-Turats.

tempo
Majalah beraksara pegon At-Turats. Dokumentasi: Mohamad Sobirin Sahal

Namun majalah yang memuat beragam rubrik seputar pesantren dan ulasan manuskrip Nusantara itu hanya bertahan empat tahun. “Biaya pencetakan berat menjadi penyebab kolaps. Ongkos produksi tidak kembali,” kata Mohamad Sobirin Sahal, yang pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah At-Turats.

Tim redaksi berkali-kali mencobai taktik penerbitan majalah agar tetap bertahan. Mulanya majalah itu terbit tiap bulan. Pola penerbitan diubah, akhirnya sampai tiap caturwulan. “Terakhir terbit tahun 2014, cuma satu kali,” ujarnya.

Semasa penerbitan, penyaluran majalah itu telah menjangkau pesantren di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Palembang, Jakarta. Distribusi pun pernah sampai ke luar negeri, Malaysia dan Brunei Darussalam. “Ada dua pesantren di Malaysia, dan satu perguruan tinggi di Brunei Darussalam,” tuturnya.

Sebelum mengakhiri penerbitan cetak, Sobirin beserta tim redaksi sempat memikirkan transformasi At-Turats untuk akses daring. Tetapi, tak langsung segera terwujud. Niat itu laun waktu menemukan jalan ketika perangkat lunak kian menunjang beraksara pegon dalam platform digital. “Realisasi terkendala tiba-tiba karena pandemi virus corona (Covid-19), jadi belum kompatibel,” katanya.

Situs web beraksara pegon sebetulnya sudah ada. Tempo sempat mengakses ڤَيڮَون.id , situs web beraksara pegon. Diaz Nawaksara perancang prototipe laman tersebut. Situs web pegon itu sudah bisa diakses sejak November 2020. Tak nyana setelah prototipe itu dibuat, Diaz menemukan masih banyak karakter aksara pegon yang belum bisa termuat dalam domain. Misalnya, ucap dia, pepet untuk menyatakan bunyi É™. “Karakter pepet itu belum terdaftar di Unicode,” katanya.

Diaz mafhum kekurangan karakter pegon di ruang digital setelah ia mendapat masukan dari para pegiat aksara yang akan membuat situs web. Ketika meneliti 15 manuskrip, antara lain literatur Sunda, Jawa, Osing, Madura, Pantai Utara (Pantura), Sumatera Barat, Banjarmasin, ia menemukan setidaknya 36 karakter yang belum termuat dalam domain. Meski masih banyak karakter yang belum masuk dalam Unicode, bukan mustahil jika pegiat ingin membuat situs web menggunakan aksara pegon. Tapi, perlu kreasi.

“Caranya bikin modifikasi fon dan coding (pengodean),” ucapnya.

Kebertahanan literasi pegon terus menjadi sorotan para pengasuh pondok pesantren. Lain zaman, maka berbeda pula tantangannya. “Penting dipahami, bahwa aksara pegon itu jangan dianggap ketinggalan zaman,” kata Alfin Sunhaji, pendiri Pondok Pesantren Al Ikhlash, Gresik.

Kelanjutan pegon di ruang digital akan membuat aksara itu berada dalam kemasan yang modern. Menurut Alfin, penggunaan pegon mesti rutin dalam keseharian para santri. “Karena, setiap generasi pasti ada perubahan pola pikir,” ujarnya. Sebab itu pula, menurut dia, pengajar saat ini harus bisa pun menumbuhkan minat santri untuk beraksara pegon.

Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) memandang kelangsungan aksara dan bahasa daerah sebagai problem global. “Ruang digital kian relevan untuk pengembangan konten sarana jaringan membangun domain,” kata Penasihat Komunikasi dan Informasi UNESCO, Ming-Kuok Lim. Teknologi digital, menurut Lim, bisa menjadi ruang untuk menangkal hilangnya aksara dan bahasa daerah. “Jaringan yang saling terhubung akan melindungi sebagai kampanye global.”

Teknologi digital pun perlahan menjadi ruang mengembangkan aksara dan bahasa daerah. Apalagi bila melihat pengguna internet yang terus meningkat. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mencatat jumlah pengguna jaringan komunikasi daring mencapai 196,7 juta. Data tersebut dalam periode 2019 sampai kuartal dua pada 2020.

Kementerian Komunikasi dan Informatika memandang kecenderungan itu sebagai potensi jangka panjang untuk kegiatan kebudayaan. “Ini bisa menciptakan tren agar makin banyak masyarakat menggunakan aksara leluhur di ruang digital,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan.

Kini aksara pegon akan didaftarkan ke Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) sebagai nama domain internasional (IDN). Pengelola Nama Domain Internet Indonesia sedang mempersiapkan pengajuan itu. “Proses persiapannya sudah dari akhir tahun lalu (2020),” kata Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia, Yudho Giri Sucahyo.

Bahasa daerah keseluruhan berjumlah 718, bersumber data yang dihimpun oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Adapun aksara Nusantara berjumlah 32, termasuk keseluruhan variannya. Komunitas Aksara di Nusantara melakukan pendataan itu sejak tahun 2015. Dari keseluruhan aksara itu yang sudah disetujui untuk terbit oleh Unicode, standardisasi teks dan simbol sistem tulisan di dunia, yaitu Jawa, Sunda, Bali, Lontaraq, Rejang, Batak, Makassar.

“Status tujuh aksara Nusantara itu di sana (Unicode) masih limited (terbatas),” ucap Yudho. Keadaan itu tersebab penggunaan aksara Nusantara masih sebatas dekorasi atau untuk acara seremonial. “Belum menjadi medium yang digunakan dalam aktivitas sehari-hari,” katanya. Adapun aksara Kawi, baru saja mendapat persetujuan Unicode keberadaannya di ruang digital.

Pegon dianggap perlu terdaftar dalam Unicode, karena termasuk aksara yang tumbuh dalam beragam kebudayaan Nusantara. “Beberapa daerah mempunyai Arabic Jawi (aksara Arab Melayu) dengan penyebutan yang berbeda-beda,” kata Diaz Nawaksara. Ia mencontohkan, penyebutan aksara Arab Melayu di berbagai daerah.

“Contohnya, aksara Arab Melayu di Jawa namanya pegon. Kalau di Makassar namanya serang,” katanya.

Penyebutan Arabic Jawi umum dikenal di seluruh kawasan Asia Tenggara yang memiliki sejarah peradaban Islam. Diaz menjelaskan, aksara Arab Melayu pun tak melulu identik diakritik, tanpa tanda bunyi atau harakat. Aksara Arab Melayu, antara lain di Jawa, Madura, Bima, ada pula yang menggunakan harakat. Namun menurut dia, penyebutan Arabic Jawi untuk terdaftar milik Indonesia sudah tidak bisa.

“Nomenklatur Arabic Jawi dalam ruang digital sudah akuisisi Malaysia,” ujarnya. Sebab, Malaysia sudah lebih dulu mendaftarkan aksara Arabic Jawi sebagai nama domain internasional. Maka supaya aksara Arab Melayu untuk Indonesia terdaftar di Unicode, nomenklatur harus menggunakan nama lain.

“Mungkin Arabic Indonesian atau Arabic Nusantara, itu antara lain untuk namanya,” ucapnya.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia