KATEGORI: E-COMMERCE & RETAIL
Memang harus berani ambil risiko.
- Nadine Gaus, Pendiri dan Direktur Kreatif Klamby
TEPUK tangan bersahut-sahutan dan hujan lampu blitz kian menyemarakkan suasana show perdana Klamby di salah satu ruangan jembar di 8 Northumberland Avenue, London, pada Selasa malam, 20 September 2022. Senyum Nadine Gaus, sang pendiri sekaligus Direktur Kreatif Klamby terus mengembang di tempat digelarnya London Fashion Week 2022 itu.
Ia bungah karena berhasil membawa brand modest fashion lokal asal Indonesia pertama kalinya diundang di ajang bergengsi itu. Peragaan busana itu menorehkan milestone sejarah baru dan jadi pembuktian Klamby setelah 10 tahun berdiri.
“Harapannya di masa mendatang Klamby kian diperhitungkan di global fashion retail. Akan lebih banyak outlet Klamby di mancanegara. Kalau dari Spanyol ada Zara, dari Indonesia ada Klamby,” kata Nadine kepada Tempo pada awal September 2022.
Sebanyak 48 set koleksi musim semi dan panas 2023 yang ditampilkan Klamby sukses memukau lebih dari dua ratusan penonton fashion show di jantung kota London, Inggris itu. Separuh dari koleksi siap pakai yang dipertunjukkan menggunakan kain tenun bulu serat Garut.
Nama
Nadine Kusuma Permatasari Cikita Gaus
Tempat, tanggal lahir
Jakarta, 25 Agustus 1992
Usia
30 tahun
Pendidikan
Karier
Penghargaan
Cinta Pertama dan Juki Bekas
Semua ini tak akan terjadi bila perempuan 30 tahun tersebut mutung dan mengubur cinta pertamanya pada bidang fesyen di 2010. Saat itu ia didorong ibunda ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Artinya, cita-citanya sejak bangku sekolah untuk masuk sekolah desain fesyen ESMOD tertunda.
Putri sulung dari tiga bersaudara bernama lengkap Nadine Kusuma Permatasari Cikita Gaus asal Tangerang Selatan itu mengalah dan ikut UMPTN. Ia diterima di pilihan pertamanya, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM).
Namun passion-nya di dunia merancang pakaian tak lantas pupus sebab Nadine berusaha tetap menyalurkan hobinya. “Kalau teman-teman pulang kuliah nongkrong, saya ikut kursus menjahit. This is something makes me happy and feel alive,” katanya.
Setelah 1,5 tahun kuliah, pada 2011, ayah Nadine terkena PHK tanpa pesangon dari tempat kerjanya. Seketika keuangan keluarga terpuruk. Nadine yang kuliah di Yogyakarta butuh biaya tak sedikit harus berpikir keras agar bertahan. Di saat kepepet itu, muncul ide-ide kreatif.
Dari uang saku tersisa Rp 400 ribu, sebanyak Rp 200 ribu digunakan Nadine untuk belanja awul-awul atau baju bekas layak pakai dari luar negeri di berbagai lokasi di Yogya. Sesampainya di kosan, ia mencuci baju bekas-baju bekas itu dengan air hangat, merendamnya dengan pewangi dan menjemurnya.
Setelah baju kering dan disetrika, ia berfoto selfie mengenakan baju tersebut dan mengunggahnya di Facebook dan sejumlah grup di BlackBerry Messenger. Di luar dugaan, lewat promosi dari mulut ke mulut, ternyata cukup banyak peminat baju-baju dari pasar thrifting itu.
Baju-baju yang ditawarkan ternyata cocok dengan selera pasar dan hampir selalu sold out. Untungnya juga lumayan, dari harga beli Rp 10 ribuan, baju itu dijual Rp 25 ribu per helai.
Total keuntungan saat itu terbilang cukup besar, bisa untuk membayar kos, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kuliah, serta membantu dua adiknya. Nadine pun tak lagi harus menunggu kiriman uang dari orang tuanya.
Ia lalu mulai menabung untuk membeli mesin jahit. “Pertama beli dua mesin jahit bekas dan ditaruh di rumah mama di Tangerang. Merek Juki,” kata Nadine mengenang.
Di sela-sela kuliahnya, Nadine mulai berusaha mewujudkan cita-cita mendesain dan memproduksi baju dengan bermodalkan mesin jahit bekas itu. Ia lalu merekrut tiga karyawan untuk menjahit, membuat pola dan fokus di finishing. Pada 2012, hasil coretan desain bajunya kemudian dijahit dan ditawarkan dengan sistem pre order di Facebook.
“Awalnya belum pakai brand tertentu. Jadi ketika ada buyer dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura yang suka dengan desain saya, mereka langsung beli 10-20 pieces dan memberi label merek tertentu ke baju-baju itu,” kata Nadine.
Berikutnya, pada tahun yang sama, merek Klamby resmi digunakan. Nama hasil berdiskusi panjang dengan sang ibunda itu berasal dari kata “kelambi” yang dalam bahasa Jawa artinya baju. Nama berbau Jawa ini dipilih sebagai pengingat bahwa akar bisnis ini di Yogyakarta.
“Biar kelihatan modern dan mahal, namanya dimodif jadi Klamby. Dari dulu memang mimpinya udah jauh, agar merek ini mudah di-pronounce oleh orang asing,” tutur Nadine, “Dan karena saya mahasiswi Fakultas Ekonomi, melek hukum, saya langsung daftarkan hak paten nama itu.”
Tak terhitung berapa kali Nadine jatuh-bangun menjalankan bisnis Klamby karena statusnya masih belum lulus kuliah. Bolak-balik ke Tangerang untuk menjalankan bisnis dan ke Yogya untuk kuliah harus dilakoni.
Jual Mobil untuk Bayar Gaji Pegawai
Momen terberat terjadi pada 2014. Nadine harus berfokus menggarap skripsi setelah berbulan-bulan terbengkalai. Padahal kala itu, bisnis Klamby sedang bagus-bagusnya.
Selama dua bulan berfokus menggarap skripsi, ia terpaksa menjual mobil bekas merek Suzuki Splash yang sebelumnya jadi kendaraan operasional Klamby. Uang hasil penjualan mobil dipakai untuk membayar gaji 10 karyawannya saat bisnis vakum. “Saya enggak mau kehilangan mereka.”
Setelah skripsi rampung dan ia lulus kuliah, Nadine memulai bisnis Klamby dari nol lagi. Lewat sistem pre order, Nadine punya waktu 2-4 minggu untuk memproduksi baju dan mengirimkan pesanan.
Sistem bayar uang muka 50 persen di depan juga menjamin modal produksi aman. Bulan demi bulan kondisi keuangan Klamby kembali membaik. Nadine akhirnya ikut kursus di ESMOD, mewujudkan cita-citanya yang sempat terpendam.
Memasuki tahun 2015, setelah modal usaha dianggap memadai, Klamby mengubah sistem dari PO menjadi menjual produk ready stock. Keputusan itu membuat bisnis bisnis Klamby berkembang lebih cepat. “Jadi memang harus berani ambil risiko,” ujar Nadine.
Pada tahun itu pula, Nadine menikah dengan pacarnya sejak masa kuliah, Muhammad Ridho Jufri. LDR Yogyakarta-Tangerang pun dilakoni selama beberapa waktu karena Ridho masih harus mengurus bisnis Warung Tenda Bang Idho di Yogya. “By numbers, lebih bagus bisnis kue cubitnya daripada Klamby saat itu. Yang beli sampai antre-antre dan sudah ada beberapa cabang di Yogya,” kata Nadine.
Tapi pada satu titik, bisnis Ridho dan Nadine sama-sama sempat menurun dan butuh perhatian ekstra, Ridho memutuskan melepas bisnisnya dan berfokus membantu Klamby.
Berbekal pengetahuan manajemen pabrik dan produksi di bangku kuliah, Ridho memberi banyak masukan ke Klamby. Salah satunya, proses desain produk harus dibarengi dengan hitungan matang dari hulu hingga hilir.
“Jangan sampai produk bagus, tapi biaya modal melambung, produk tak bisa terjual. Padahal ada kompetitor yang menjual produk serupa,” ucap Ridho. Pada saat yang sama, ia pun harus gaspol belajar dan beradaptasi dengan dunia fesyen yang sama sekali baru baginya.
Jika sebelumnya Klamby menawarkan koleksi busana tanpa motif tertentu, pada 2016, Nadine mulai mengeluarkan desain dengan teknologi printing di pabrik. Tak diduga, publik menyambut sangat baik desain terbaru Klamby ini.
Ketagihan Desain Printing
Pada 2018, Nadine merilis koleksi fesyen pertama Klamby bertema grains atau padi. Beragam cara pemasaran dilakukan hingga syuting iklan, trunk show, dan kampanye besar-besaran di Yogyakarta menggaet influencer. Hasilnya? Meledak. Pesanan membeludak.
Dari situ, Nadine mulai ketagihan mendesain baju di kain printing dan mengangkat motif-motif khas Nusantara. Tercatat hingga kini 10 motif daerah telah diserap produk Klamby.
Puncaknya pada 2019, nama Klamby semakin menggema saat merilis produk tema Nusa Tenggara. “Pasar meledak banget,” kata Nadine. Tercatat 25 ribuan user mengakses situs Wearing Klamby untuk membeli koleksi itu. Rekor pun terpecahkan: dalam 30 menit 10.000 pieces terjual. “Ini momen Klamby mulai dicap sebagai brand yang susah dibeli,” ujar pengagum Christian Dior tersebut.
Strategi menggandeng influencer dilanjutkan. Tercatat sejumlah nama kondang digaet Klamby untuk berkolaborasi, mulai dari Hamidah Rachmayanti, Dwi Handa, dan Mega Iskanti. Sejumlah muse juga dilibatkan seperti Citra Kirana, Indah Nada Puspita, Aghnia Punjabi, dan masih banyak lagi.
Untuk menjaga eksklusivitas produk, Klamby konsisten merilis tema baru setiap tahunnya dengan jumlah terbatas. Tahun lalu ada tema “10 Tempat Wisata di Indonesia”. Tahun depan bisa jadi tak lagi berdasarkan daerah asal motif yang jadi inspirasi koleksi, tapi tetap menitikberatkan pattern yang terinspirasi dari kekayaan budaya Indonesia dan wastra daerah. “Sesuai dengan visi Klamby: ‘to inspire the world, to Indonesian heritage’,” kata Nadine.
Sebelumnya, konsep yang diusung Klamby adalah “affordable price”, lalu berubah menjadi “premium exclusive with reasonable price”. Hal ini tak lama setelah series Nusa Tenggara meledak, banyak produk KW Klamby yang beredar.
Maraknya produk palsu Klamby itu diduga karena desain produk dicetak di pabrik dan file mudah ‘bocor’. Sejak itu Klamby mulai berinvestasi lahan dan membeli printer. “Sejak itu, harga Klamby naik, konsepnya berubah jadi reasonable,” tutur Nadine.
Sebagai perbandingan, dress Klamby saat affordable di rentang Rp 400.000-500.000. Kini, harga reasonable untuk produk serupa berkisar Rp 800.000, atau naik hampir dua kali lipat. Lonjakan harga jual itu karena ada perbedaan proses pencetakan warna. “Mesin kini mampu mencetak ratusan warna dengan kualitas tinggi. Sementara dulu di pabrik maksimal 8-10 warna.”
Namun tak sedikit calon pembeli yang keberatan atas kenaikan harga itu. Ada juga yang menghasut pembeli untuk beralih ke toko sebelah. “Ini kainnya ada di Tanah Abang. Jangan beli yang asli. Beli yang lebih murah aja, lebih worth it,” kata Nadine menirukan komentar pedas itu.
Syok berat, Nadine sempat enggan melanjutkan bisnisnya. “Saya mikirnya, kenapa netizen enggak menghargai karya anak bangsa. Bukannya di-support, malah beli yang palsu. Ngapain bikin susah-susah kalo ujung-ujungnya ada pattern Klamby di Tanah Abang?” tanya Nadine.
Belajar dari Kesalahan
Selama enam bulan Nadine terus bertanya-tanya. Meski ia tetap coret-coret mendesain, tapi tidak berapi-api seperti sebelumnya. Ia berintropeksi, mengevaluasi kesalahan, dan memperbaikinya. Merajalelanya pemalsuan produk Klamby juga mengafirmasi pilihannya akan sistem produksi di in-house.
Agar desain Klamby tak bisa ditiru, standar desain produknya dinaikkan minimal punya 20 warna. “Jadi kalau ada yang mau jiplak, enggak bakal bisa.” Selain itu, ada pelat logo dengan bahan stainless steel seperti bahan sendok disematkan di produk Klamby. “Logo dijamin tidak akan berkarat,” tutur Nadine.
Berbagai perbaikan dilakukan dan kendati ada kenaikan harga, pasar tetap menyambut hangat tiap produk terbaru yang dirilis Klamby. Penjualan lewat online melalui situs Klamby, sejumlah marketplace, dan TikTokShop juga mendulang sukses.
Belakangan Klamby membuka offline store di sejumlah kota besar dan produknya mulai bertebaran di berbagai department store di mal ternama agar bisa lebih dekat dengan pelanggannya. Tapi hal tersebut tak lantas menyurutkan penjualan online. Bahkan, sepanjang tahun lalu omzet penjualan rata-rata mencapai Rp 4 miliar per bulan.
Terbukti, setiap ada yang bertanya tentang produk di kolom komentar Instagram @wearingklamby, tak lama akan dijawab dengan riuh tawaran jastip membeli produk yang dimaksud. Sepertinya tak hanya Nadine yang terus mengejar passion di bidang fesyen, tapi para fans garis keras Klamby bergegas berburu desain terbaru yang apik tersebut.
NENA Febriana masih ingat perjuangannya berburu salah satu seri Rinjani keluaran Klamby pada 2019 silam. Berulang kali gagal lewat situs resmi, ia harus mengeluarkan kocek Rp 500 ribu untuk jastip kala membeli dress berwarna maroon seharga Rp 450 ribu yang diidam-idamkannya.
"Koleksi Rinjani itu heboh banget. Sampe ke jastip, harganya melangit banget, tapi tetap dikejar. Karena saking kepinginnya punya, setelah di website enggak dapet, lewat media sosial juga enggak bisa,” ujar dokter gigi 36 tahun ini, yang menjadi fans Klamby sejak lima tahun lalu.
Ia tak keberatan membayar lebih mahal untuk memperoleh produk Klamby demi ciri khas desain yang elegan dan eksklusif. “Semua series-nya selalu ku ikutin, sampai yang terbaru," ucapnya ketika ditemui di gerai Klamby, Pondok Indah Mal, Jakarta Selatan, Jumat, 23 September 2022. “Untungnya sekarang gak repot lagi, karena ada offline store-nya.”
Nena adalah satu dari 2,2 juta follower Instagram @wearingklamby yang menanti-nanti produk terbaru brand modest fashion lokal ini. Apa saja unique selling point Klamby yang berdiri sejak 10 tahun silam hingga akhirnya bisa membukukan omzet penjualan rata-rata Rp 4 miliar per bulan tersebut?
Co-Founder sekaligus Managing Director Klamby, Ridho Jufri, memaparkan sedikitnya ada empat unique selling point Klamby yang selalu dijaga selama ini. Pertama, Klamby selalu menawarkan cerita di balik desain produk. Terbukti, setiap kali Klamby merilis koleksi rancangan dengan beragam motif khas daerah di Nusantara sekaligus cerita di dalamnya, pasar meresponsnya dengan antusias.
“Apalagi orang Indonesia suka dengan produk yang punya cerita. Story telling bermain dengan perasaan. Jika sudah cocok, harga tak lagi jadi pertimbangan utama,” kata Ridho.
Cara itu juga efektif ketika bersaing dengan kompetitor yang bermain di desain printing luar negeri. Saat itu, pada2017, brand yang menggali potensi wastra Nusantara pun masih minim dan Klamby mengisi kebutuhan itu. Klop. Walaupun demikian, hingga kini Klamby juga mendesain beragam busana di atas kain polos.
Kedua, kemampuan membaca momentum dan memberikan apa yang diinginkan pasar juga jadi poin penting. Pada 2019, misalnya, campaign Klamby di media sosial tak terlalu besar, tapi momentumnya pas, berbarengan dengan pasar yang tengah “haus” akan produk lokal berkualitas.
Jadi ketika Klamby menggelar trunk show dan melibatkan influencer, perhatian publik langsung tersedot. Penjualan lewat situs saat itu memecahkan rekor: 10 ribu pieces terjual hanya dalam 30 menit. Kala itu tercatat user yang mencoba masuk situs dan membeli produk mencapai 25 ribu orang.
“Padahal saat itu, website beberapa kali down. Artinya, bila lonjakan traffic user diantisipasi, penjualan bisa meroket jauh di atas angka itu,” ujar Ridho mengenang. Namun, apakah itu bisa jadi resep jitu untuk diulang setiap saat? Jawabannya tidak. Risiko ini yang juga harus diantisipasi para pebisnis.
Ketiga, agar pasar tetap mengingat produk, Klamby konsisten merilis rangkaian koleksi terbaru di setiap periode waktu. Rancangan pun harus orisinal dan ajeg dengan misi perusahaan yakni menyerap dan mengeksplorasi lebih jauh warisan dan budaya nusantara. “Yang pasti: hindari plagiarism karena hanya akan jadi backfire di kemudian hari dan ditinggalkan pelanggan. Brand value harus terus dijaga,” kata Ridho.
Keempat, untuk mempertahankan dan menambah jumlah pelanggan, gunakan banyak cara tanpa melulu lewat menebar promo diskon, misalnya dengan memberikan garansi kualitas. Bahkan di Klamby, potongan harga sangat jarang diberikan agar pelanggan merasa bangga dengan produk nondiskonan.
Cara lain juga bisa lewat bonus poin, bebas biaya ongkos kirim, cashback untuk pembelian lewat e-commerce, atau dalam bentuk giveaway atau hadiah untuk mengapresiasi pelanggan loyal.
Klamby pun melakukan over service under promise, yakni dengan memperpanjang waktu retur dan memberikan sejumlah benefit dan mengadakan event bagi komunitas pelanggan loyal atau Klamby Family.