KATEGORI: ONBOARDING
Bisnis itu tools untuk berbagi dan berbuat kebaikan.
- CEO AVO Innovation & Technology HQ Anugrah Pakerti
MIMPI Anugrah Pakerti membawa AVO Innovation & Technology HQ menembus pasar global akhirnya menjadi kenyataan. Menggandeng pesohor Korea Selatan, Park Hyung Sik sebagai brand ambassador, produk perawatan kulit wajah dengan merek dagang Avoskin tersebut merambah pasar internasional.
Pria kelahiran Blora, 16 September 1993 tersebut, memandang saat ini adalah momentum yang tepat membawa perusahaan yang didirikannya sejak delapan tahun silam untuk melompat lebih jauh. Aan, begitu sapaan akrab Anugrah Pakerti, bertekad memajukan perusahaan yang dirintisnya sekuat Amorepacific, perusahaan kosmetik ternama Korea Selatan.
Dirintis sejak 2014, produk-produk Avoskin sudah dikenal luas oleh masyarakat di dalam negeri, terutama di kalangan generasi perempuan milineal. Atas kerja keras Aan dan timnya, produk ini mengantongi sejumlah penghargaan nasional maupun internasional seperti dari Forbes, Sociolla dan Shopee. Bahkan, produk perawatan kulit ini semakin kuat posisinya karena juga memiliki varian yang membidik segmen pasar pria.
Nama
Anugrah Pakerti
Tempat, tanggal lahir
Blora, 16 September 1993
Usia
29 Tahun
Pendidikan
Karier
Penghargaan
Masuk dalam daftar pengusaha berpengaruh di Asia dalam kategori Forbes 30 under 30 Asia (2020)
Berawal dari Klinik Kecantikan
Aan pertama kali bersentuhan dengan produk skincare ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia masih ingat betul perkenalan pertamanya dengan produk seperti itu ketika mengantar sang mama ke klinik kecantikan.
“Jadi ngerti behaviour cewek kalau datang (ke klinik kecantikan) itu pada ngapain,” kata Aan saat ditemui Tempo di kantor AVO Innovation & Technology HQ di Jalan Monjali, Kabupaten Sleman, Kamis, 15 September 2022.
Ia pun menjadi rutin menggunakan skincare tak lama sebelum menuntaskan pendidikan di SMP, meski seorang laki-laki. “Beli sabun, krim, serum sendiri. Ya, (mengenal) dari mama,” tuturnya.
Ketika kuliah di kampus Teknik Informatika Universitas Islam Indonesia (UII), Aan sering mendengar seputar produk perawatan kulit dan wajah dari teman-teman kampusnya. Tak jarang ia mendengar cerita dari kawan-kawan perempuannya soal perawatan kulit yang berujung pada kekesalan karena menggunakan produk skincare yang diklaim bisa memberikan khasiat mustajab bagi kulit dengan instan, tapi ternyata mengandung zat-zat berbahaya.
Bahkan, menurut pengakuan mereka ke Aan ketika itu, berbagai produk tersebut tak mengantongi izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Efek sampingnya adalah muncul ketergantungan akan produk tersebut. Karena Jika penggunaan produk disetop, menurut Aan menirukan teman-temannya, kulit langsung rusak dan sulit dikembalikan ke normal. “Dari situlah, saya punya impian untuk menciptakan produk lokal yang natural,” kata pria yang pernah bekerja sebagai sales properti ini.
Dengan tekad kuat, Aan kemudian memulai merintis bisnis produk-produk perawatan kulit. Semua ini terdorong dari niatnya mencari solusi menghasilkan produk perawatan kulit dan wajah yang alami dan bermanfaat.
Di kamar indekos sempit di jantung Kota Yogyakarta, Anugrah Pakerti dan dua sahabatnya semasa kuliah memulai bisnis produk perawatan kecantikan. Bersama Ahmad Ramadhan dan Aris Nurul Huda yang kuliah di universitas yang sama, Aan menyulap kamar tersebut menjadi pabrik mini yang menjadi cikal bakal PT AVO Innovation Technology.
Berbekal tabungan sekitar Rp 100 juta hasil membantu saudara memasarkan properti, Aan merintis bisnis produk kecantikan yang kemudian diberi merek dagang Avoskin. “Jadi bikin produk merek Avoskin lebih dulu, barulah perusahaannya, AVO,” kata Aan.
Nama Avoskin dipilih Aan karena dia terinspirasi dari buah alpukat yang dalam istilah bahasa Inggris adalah avocado. Memiliki kandungan kandungan vitamin E tinggi, alpukat menjadi bahan untuk produk-produk perawatan kulit Avoskin.
Selama menjalankan bisnis di akhir masa kuliah, Aan sempat kucing-kucingan dengan keluarga. Pria yang mengaku senang menekuni bisnis perawatan kulit karena dulu wajahnya sering berjerawat dan terjebak pada produk yang tidak jelas kandungannya itu sebenarnya digadang-gadang oleh keluarga untuk menjaid polisi atau tentara. Profesi tersebut bukan menjadi keinginan Aan.
Tapi, sepandai-pandainya dia menutupi bisnis tersebut, keluarga akhirnya mengetahuinya juga. Kekhawatiran Aan ihwal keluarga akan marah jika mengetahui ia bersama kawan-kawannya membuka bisnis produk kecantikan kulit ternyata tidak terbukti. Kedua orang tuanya justru bangga karena sang putra bisa membuka bisnis yang menciptakan lapangan kerja untuk warga setempat.
Tak sampai lima tahun, produknya diterima oleh pasar. Sejak beberapa tahun ke belakang, rangkaian perawatan kulit Avoskin seharga Rp 99 ribu hingga Rp 350 ribu bahkan menjadi buah bibir bagi pecinta skincare. Ia pun berhasil membuka lapangan kerja untuk warga lokal.
Alam, Keuntungan, dan Keberlanjutan
Mengusung konsep green beauty dengan menjadikan kekayaan alam sebagai bahan produk Avoskin, Aan ingin menunjukkan perusahaannya juga mengadopsi triple bottom line. Bahwa antara profit (keuntungan bisnis), people (kepedulian sosial), dan planet (kelestarian lingkungan) merupakan satu kesatuan dalam menjalankan bisnis.
“Jadi sejak awal kami percaya, bahwa bisnis itu menjadi tools untuk berbagi dan berbuat kebaikan,” kata Aan mengungkapkan konsep bisnisnya.
Bermula dengan mengambil bahan dari alam, dijual dalam bentuk produk. Keuntungan yang bertumbuh digunakan untuk berkontribusi mengelola kelestarian alam. Caranya dengan mengkampanyekan Love Avoskin Love Earth. “Jadi menggandeng pihak ketiga untuk mendaur ulang kemasan,” ujar suami Fatimah Nada yang baru menikah Februari 2022.
Dengan begitu, semakin Avoskin bertumbuh, kian besar dampak positifnya kepada planet. “Jadi menciptakan keseimbangan alam berkelanjutan,” ujar Aan. Salah satu bentuk kebaikan untuk planet yang dilakukan adalah mengelola sampah dari kemasan produk. Apalagi sampah produk skincare cukup besar.
Sebagai contoh, seorang perempuan setidaknya butuh sekitar 50-an produk perawatan diri. Mulai dari krim malam, serum, parfum, body lotion, deodorant, dan body care lainnya. Lalu kalikan dengan jumlah perempuan Indonesia. Jika tak ada pengolahan lebih jauh, bakal ada banjir kemasan produk skincare bekas.
Sejak dua tahun lalu, karyawan AVO diminta mengembalikan bekas kemasan produk-produk Avoskin ataupun brand skincare lain ke kantor. Konsumen akhirnya tertular kampanye itu dan turut mengembalikan sampah produk skincare-nya ke kantor bercorak warna biru hitam tiga lantai ini di Jalan Kaliurang, Yogyakarta.
Oleh pihak ketiga, sampah kemasan itu diolah menjadi barang-barang tepat guna, seperti gagang sapu, gagang kacamata, juga mainan anak. Harapan jangka panjangnya adalah akan terbentuk sirkular ekonomi.
Pada 2017, Aan pernah melakukan repotisioning produk Avoskin dari kemasan botol berbahan akrilik menjadi botol beling karena karena botol kaca bisa didaur ulang. Namun saat itu suplai dari industri kemasan kaca di Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan dalam skala besar. Apalagi jumlah produk yang dihasilkan AVO mencapai 10 juta per tahun.
Ia sempat memanfaatkan pasokan kemasan kaca dari Cina. Tapi karena Cina belakangan punya kebijakan Zero Covid Policy di beberapa tempat,. Avoskin terimbas karena tak bisa mengirim produk ke ratusan toko yang tersebar di Indonesia sesuai jadwal. “Molor produksi mengakibatkan kemoloran penyediaan di pasar,” kata Aan.
Untuk mencegah hal serupa terjadi di kemudian hari, Avoskin harus berinvestasi produk lebih banyak untuk mengurangi risiko kekosongan barang pada periode tertentu. Walaupun hal itu juga berisiko jika ada produk yang akhirnya kedaluwarsa karena tak laku.
Namun perusahaan tetap mengambil risiko itu karena tak mau konsumen beralih ke merek lain bila tak menemukan produk Avoskin di pasaran. Produk merek lain itu dikhawatirkan mengganggu berbagai upaya yang sudah dilakukan Avoskin selama ini terutama terkait edukasi. “Yang terasa hanya obstacle, sih. Karena yang dijalankan ini passion,” katanya.
Aan pernah juga memiliki pengalaman pahit. Di masa lalu, ia rugi hingga Rp 60 juta-Rp 100 juta hanya dalam semalam saat berinvestasi saham. Namun keesokan harinya, ia melanjutkan rutinitas biasa seperti kuliah, seolah tiada masalah.“Mungkin tergantung kondisi psikologi orang untuk menyikapi ya,” ucap Aan.
Lewat Media Sosial
Sejak awal meniti bisnis, Aan menggunakan media sosial untuk memasarkan produk perawatan kulit Avoskin sekaligus edukasi, dari Twitter kemudian hijrah ke Instagram.
Tantangan terbesar yang dihadapi adalah kebanyakan konsumen ingin mendapatkan hasil yang cepat dari penggunaan skincare. Kulit mulus, putih, glowing dengan cepat jadi dambaan. Tak peduli produk-produk skincare itu berbahan zat berbahaya.
“Kendala meyakinkan konsumen. Rata-rata berseberangan (dengan edukasi Avoskin). Mereka ingin lebih instant result,” kata Aan.
Sementara edukasi yang disampaikan Avoskin mengenai perawatan kulit lebih mengutamakan proses ketimbang sim salabim. Selain itu, bahwa skincare juga penting untuk semua jenis kelamin atau unisex.
Tak jarang produk-produk skincare lokal di luar negeri diriset untuk menggali banyak cerita sukses. Seperti dari Prancis dan Republik Cek yang secara elegan membungkus produk lokalnya dengan pariwisata. “Tapi tak sering juga melihat mereka (produk luar). Tetap fokus pada Avoskin dengan intensitas maksimal,” tuturnya.
Tantangan awal itu dihadapi dengan membuat konten-konten edukasi yang bernarasi elegan. Tentang kecantikan sebagai sesuatu yang inklusif, perawatannya secara holistik, disertai transparansi sumber-sumber sains sebagai dasar edukasi. “Kami jelaskan bagaimana bahan natural yang digabungkan dengan sains lebih memiliki fungsi optimal untuk perawatan.”
Lokal menuju Global
Makin serius menekuni bisnis skincare, Aan terus menambah portofolio untuk Avoskin dan AVO. Setelah sukses memasarkan Avoskin ke banyak kota di Indonesia—bahkan kini menembus Korea Selatan dan Taiwan, AVO melahirkan merek kosmetik anyar, yakni Looke Cosmetics pada 2017. Lalu disusul Lacoco En Nature dan Oasea Laboratories pada 2021.
Meski tergolong anyar, produk-produk AVO tak butuh waktu lama untuk diterima pasar. Testimoni dari mulut ke mulut atas hasil yang dirasakan pengguna membuat produk ini terjual hampir 10 juta paks. Padahal, AVO tak punya toko mandiri.
Aan hanya memanfaatkan e-commerce atau offline retail untuk menjual produk-produknya sperti Sociolla atau Watson. Dia juga menitipkan dagangannya ke toko kosmetik yang tersebar di seluruh Sabang hingga Merauke.
Laris di dalam negeri, AVO mulai melirik pasar asing. Baru-baru ini, Avoskin bersama Sociolla merambah Vietnam. Avoskin pun kini terpajang di rak perawatan wajah di Ho Chi Minh City, Da Nang, dan Hanoi. Agar makin kuat menggarap pasar lokal dan global, Avoskin menggandeng Refal Hady dan Park Hyung Sik sebagai brand ambassador.
Dalam urusan penggunaan bahan untuk produk perawatan kulit, Anugrah Pakerti termasuk orang dengan tipe selektif. Bos AVO Innovation & Technology HQ itu memiliki prinsip bahan yang dipakai bukan hanya memiliki tingkat manfaat tinggi, tapi juga merupakan kombinasi unsur alami dan sains. Prinsip tersebut ia percaya bisa menghasilkan produk yang diterima konsumen. “Jadi kami benar-benar mencari bahan-bahan dari sumber terbaik,” ujar Aan, begitu Anugrah kerap disapa.
Selain alpukat yang merupakan bahan pertama produk perawatan kulit Avoskin---merek dagang perusahaannya, Aan dan timnya getol berburu sumber daya alam ke pelosok Nusantara untuk diracik dan dikemas menjadi varian lain. Pencariannya juga dilakukan hingga ke negara lain guna mendapatkan bahan baku produk Avoskin yang ramah bagi segala jenis kulit.
Kekayaan sumber daya alam Indonesia menjadi prioritas pencarian bahan baku. Aan menggandeng para petani Bali,misalnya, untuk memasok bahan kopi untuk produksi Avoskin. Karena tingginya kebutuhan, bahan baku yang dipasok para petani kadang tak bisa memenuhi permintaan Avoskin. “Tapi kalau melihat keanekaragaman hayati di Indonesia yang sangat bervariasi, sebenarnya potensinya sangat besar,” ujar Aan.
Contoh lain, patcholi atau minyak nilam yang merupakan bahan pembuat parfum. Saat ini Indonesia menjadi pemasok terbesar komoditas tersebut. Avoskin termasuk yang memanfaatkan minyak tersebut, terutama karena bahan aktifnya yang cocok untuk skincare dan kosmetik.
Bunga mawar damaskus yang tumbuh di daerah Isparta, Turki, menjadi salah satu varian bahan baku Avoskin. Bunga mawar jenis ini adalah salah satu bahan penting dalam membuat Natural Sublime Facial Cleanser Avoskin. Proses pemetikan bunga tersebut dilakukan dengan hati-hati oleh para petani lokal secara manual tangan pada pagi hari setiap Mei dan Juni tiap tahunnya.
Bukan hanya dari sisi varian, Aan juga menekankan pencarian bahan baru dengan proses fair trade dan ethical buying. “Kami percaya bahwa proses bisnis yang berkelanjutan itu dimulai dari konteks yang lebih bijaksana dalam bagaimana kita menentukan supplier, bagaimana memilih rantai pasok yang lebih berkualitas,” ujar pria yang merintis karier di bidang ini sejak masih menjadi mahasiswa di Universitas Islam Indonesia.
Bahan baku yang juga merupakan pilihan adalah bunga immortelle dari Prancis yang dikenal sebagai bahan berkhasiat mencegah penuaan. Kembang itu menjadi bahan utama produk Luminous Intensive Night Creame Avoskin. Beragam khasiat produk bunga yang digunakan Avoskin adalah sedikit dari sekian bahan yang diadopsi dari pelbagai riset. “Kami sudah punya data pendukung bahwa mawar tersebut memiliki kandungan apa saja, lalu kandungan itu bermanfaat untuk apa, misalnya,” ujarnya.
Setelah itu, Aan dan timnya memastikan kandungan yang ada di dalam bahan tersebut cocok dengan kulit para pengguna asal Indonesia. “Kami lakukan compatibility test untuk mengetahui adakah perubahan warna dan tekstur produk di dalam suatu kemasan pada kurun waktu tertentu.,” ujarnya. “Kita lakukan pengujian sebelum diluncurkan.”
Pencarian bahan baku ke pelbagai tempat tersebut merupakan ikhtiar Avoskin agar bisa menjadi produk skincare yang diterima masyarakat. Kendati produk Avoskin identik dengan perawatan wajah dan kosmetik untuk perempuan, Aan mencatat 10 persen konsumennya adalah laki-laki. Oleh karena itu, setiap kali proses uji coba terhadang produk dengan bahan baku baru, perempuan dan laki-laki dilibatkan. “Hasilnya rata-rata mencerminkan produk ini bisa digunakan laki-laki dan perempuan,” katanya.
Agar produk-produk perusahannya diterima bahkan ditunggu konsumen, Aan terus bereksperimen. Satu dasawarsa ke depan, ia bercita-cita menjadikan perusahaannya industri kosmetik nomor satu di Indonesia. Ia berkomitmen terus memberdayakan tenaga kerja lokal, terutama perempuan.
“Pemberdayaan sangat penting, karena saya percaya, perempuan akan jadi pendorong perubahan,” ujar pria yang pernah menyabet penghargaan “30 under 30 Class of 2020” dari majalah Forbes Indonesia tersebut.