LIMA tahun lalu, Muhammad Arsyad memutuskan meninggalkan kampung halamannya di Makassar setelah ia terjerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Saya sempat depresi selama dipenjara dan keluarga juga tertekan,” kata Arsyad menceritakan ulang kisahnya itu pada Kamis, 24 Oktober 2019.
Aktivis antikorupsi di Makassar ini menjadi tersangka dalam kasus pencemaran nama baik atas laporan yang dimasukkan Wahab Tahir pada 9 Juli 2013. Pengurus Golkar Makassar itu menuding Arsyad telah menghina politikus senior Golkar, Nurdin Halid. Pangkal laporan ini adalah status Arsyad di BlackBerry yang berbunyi, “No fear Ancaman Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan Pilih Adik Koruptor.”
Pengakuan para korban UU ITE - TEMPO
Persis dua bulan setelah laporan itu, Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan menetapkan Arsyad sebagai tersangka. Polisi pun menahan Arsyad. Sebab, kala itu UU ITE belum direvisi. Berdasarkan beleid lama aturan ini, ancaman hukuman untuk pelaku yang terjerat pasal penghinaan nama baik adalah enam tahun.
Perkara Arsyad melaju mulus sampai ke pengadilan. Dalam pembacaan tuntutan, Kejaksaan Negeri Makassar meminta majelis hakim menghukum Arsyad tujuh bulan penjara karena terbukti mencemarkan nama baik Nurdin Halid.
Grafis Perjalanan Revisi UU ITE - TEMPO
Beruntung, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar membebaskan Arsyad pada 28 Mei 2014. “Tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sesuai dengan tuntutan Jaksa maka harus dibebaskan dari segala tuntutan jaksa. Dan majelis Hakim memerintahkan supaya Arsyad dibebaskan dan segera dikeluarkan dari tahanan,” ujar majelis seperti dikutip Safenetvoice.org.
Arsyad bebas. Namun, kata dia, kehidupannya susah. “Menyandang status pernah masuk penjara saya kesulitan mendapat kerja,” kata dia. Keluarga pun memutuskan menjual rumah yang ada di Makassar dan pindah ke pinggiran Sulawesi Selatan. Sementara itu, Arsyad merantau ke Ibu Kota.
Sempat menjadi staf ahli anggota DPR, Arsyad kemudian mengambil lisensi sebagai pengacara. Sekarang, Arsyad merupakan Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE). Ia fokus mengadvokasi orang-orang yang terjerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Indonesia mencatat ada 381 kasus UU ITE sepanjang 2011 sampai 2019 yang menjerat baik perorangan maupun institusi. “Angka ini bisa lebih besar, karena kami hanya mencatat yang terpantau di media massa dan aduan,” kata Koordinator SAFENet Indonesia, Damar Juniarto kepada Tempo, Jumat, 15 November 2019. SafeNet adalah organisasi nirlaba yang fokus pada perlindungan kebebasan berekspresi di dunia maya.
Menurut Damar, jika merujuk pada situs registrasi Mahkamah Agung, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Ia mengatakan kasus paling besar terjadi pada 2018 yaitu 292 perkara. Angka ini meningkat dibanding tahun 2017, sebanyak 140 kasus. Sengketa sepanjang 2018 ini bahkan melebihi dari total 2011-2017 yaitu 216 kasus.
Grafis Jumlah Kasus UU ITE - TEMPO
Damar mengatakan kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik atau defamasi, Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Di posisi kedua adalah kasus ujaran kebencian pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Menurut Damar, kedua sejoli ini memiliki tafsir yang sangat lentur sehingga banyak orang bisa dengan mudah terjerat. “Persoalan lain, ada aturan-aturan yang sering kali tak dipahami oleh penyidik di kepolisian,” kata Damar. “Misalnya dalam penggunaan pasal pencemaran nama baik.”
Persoalan lain, kata Damar, adalah penyidik yang sering mengabaikan definisi dari pencemaran nama baik atau defarmasi. Ia menjelaskan, Pasal 27 dalam beleid ini Pasal 27 ini menginduk pada Pasal 310 ayat (1) KUHP. Dalam KUHP, defarmasi adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
Nah, Damar meneruskan, idealnya penyidik kepolisian mendatangkan saksi ahli yang tepat untuk membedah terminologi pencemaran nama baik. Di sini permasalahanya, Ia menuturkan dalam beberapa kasus, saksi ahli yang didatangkan tak punya kapasitas. “Bahkan terkadang, pelapor yang mendatangkan saksi ahli sehingga independensi saksi ini dipertanyakan,” kata Damar.
Damar melihat pasal karet di dalam beleid ITE ini menjadi salah satu penyebab angka kebebasan berpendapat di Indonesia terus mengalami penurunan. Berdasarkan indeks kebebasan yang dirilis Freedom House pada 2019, Indonesia masuk kategori kuning yang artinya tak terlalu bebas.
Lembaga pemantau kebebasan dan demokrasi yang bermarkas di New York Amerika ini juga menyebut, dari skala satu sebagai yang paling buruk sampai tujuh yang terbaik, kebebasan sipil berada di angka 4.
Grafis Skor Kebebasan Sipil Indonesia - TEMPO
Melihat kondisi tersebut, Paguyuban Korban UU ITE menilai penghapusan pasal karet sangat penting. Arsyad ingin kriminalisasi menggunakan beleid itu harus dihentikan. Apalagi, kata dia, ada penyalahgunaan pelaporan UU ITE. “Pelapor biasanya punya motif balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy, dan persekusi kelompok,” kata Arsyad.
Makanya, Paguyuban Korban UU ITE dan SAFENet mendesak agar dua pasal karet di dalam UU ITE ini dihapus. Toh, kata Damar, beleid pencemaran nama baik dan ujaran kebencian sudah ada di dalam KUHP. “Sebagai gantinya setiap perkara ini bisa lewat jalur perdata,” kata Damar.
Arsyad, Pengacara Korban UU ITE: Divonis Bebas Karena Tak Terbukti Mencemarkan Nama Baik - TEMPO
It was five years ago Muhammad Arsyad decided to abandon his hometown in Makassar after he was charged with ITE Law No.11/2008 on information and electronic transactions. “I was depressed throughout my incarceration, so was my family,” said Arsyad on Thursday, October 24, 2019.
This anti-graft activist was accused of committing defamation following a report by Makassar’s Golkar Party administrator Wahib Tahir on July 9, 2013. Wahid accused Arsyad for publically smearing Nurdin Halid, a senior Golkar politician. The police report is based on Arsyad’s Blackberry status; “No fear Ancaman Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan Pilih Adik Koruptor,” which translates to “No fear for the threat from corruptor Nurdin Halid! Do not vote for the corruptor’s younger brother.”
Confessions of ITE laws' victims - TEMPO
Exactly two months following his status update, the South Sulawesi Police named Arsyad suspect under the unrevised ITE Law and eventually arrested the activist. The law’s older statute sought six-years imprisonment as a punishment for violations of defamation.
Arsyad’s case proceeded flawlessly to the Makassar District Court, which eventually sought the panel of judges to indict Arsyad seven-years of incarceration for unjust harm on Nurdin Halid’s reputation.
The ITE Law over the years - TEMPO
Fortunately, the Makassar District Court panel of judges exonerated Arsyad on May 28, 2014. As cited from Safenetvoice.org’s website; “[Arsyad] is not guilty of the crime indicted by the public prosecutor and must be exonerated from all charges. The panel of judges also ordered for Arsyad’s immediate release from prison,”
Arsyad eventually suffered from the ordeal following his release. “Bearing the status as a former convict made it hard for me to get a job,” he said. His family eventually decided to sell their house in Makassar and move to the outskirts of South Sulawesi while Arsyad decided to move to Jakarta.
Arsyad briefly took a job as a House of Representatives legislator’s expert staff where he obtained a license as a lawyer. Currently, Arsyad is the coordinator of “Paku ITE”, a specific group advocating for victims of the ITE Law.
The Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Indonesia recorded 381 cases from 2011 to 2019 related to the use of the overbreadth law, this includes cases upon individuals and institutions.
SAFENet is a non-profit organization that focuses on protecting online freedom of expression. Its coordinator, Damar Juniarto, explained to Tempo on Friday, November 15, 2019; “This number can grow bigger since we only record those that are published in mass media and formal complaints,”
Amount of ITE law cases - TEMPO
Damar cited the Supreme Court’s registration website that recorded 508 ITE Law court cases from 2011 to 2018. The most frequent was evident in 2018 with 292 cases, which is a colossal spike compared to the 140 cases in 2017. The number of disputes in 2018 greatly exceeded the 216 cases from 2011 - 2017 combined.
Ranking first in terms of quantity were criminal cases charged under ITE Law’s Article 27 (3) on defamation allegations. Coming in second were cases related to ITE Law Article 28 (2).
Damar contends that the nature of the two Articles enables ambiguous interpretations that can easily incriminate people. “Often there are rules that police investigators fail to comprehend,” he cited. “Such as the use of defamation clause.”
Moreover, Damar said investigators often neglect the bare definition of defamation. He said Article 27 mains from Article 310 (1) Criminal Code (KUHP). The Criminal Code defines defamation as acts of attacking an individual’s dignity or reputation by publicly accusing that individual.
According to Damar, a police investigator should ideally summon expert witnesses who can accurately dissect how defamation is defined. This is where the problem lies, as most cases he came across showed incompetent expert witnesses summoned by police. “And sometimes the person who filed the report is the one summoning the expert witness, which begs the question about the witness’ independence,” said Damar.
Damar argues that the reason Indonesia’s constant deteriorating freedom of speech can be traced to the ambiguous clauses contained in ITE Law. Freedom House’s 2019 freedom index showed Indonesia represented by the color yellow which is defined as “partly free.”
Indonesia's civil freedoms score - TEMPO
From a scale of one to seven, the New York-based democracy and freedom monitoring NGO, scored Indonesia’s civilian freedom with an average 4.
The abolishment of the “rubber law” is deemed crucial by the ITE Law’s victims’ association. Arsyad asserts that the criminalization through the misuse of the law must be put to an end. “The person reporting usually is motivated by revenge, case barters, silencing critics, shock therapy, and group persecution,” said Arsyad.
This is the main reason ITE Law’s victims’ association and SAFENet pushes for the extermination of the pair of deeply troubled Articles. Damar concludes that cases of defamation and hate speech are covered under the Criminal Code (KUHP). “As an exchange, each case can be handled as a civil case,” he said.
Arsyad, ITE Victim lawyer: Acquitted Due To Lack of Evidence - TEMPO