Longform

Paru-paru Dunia yang Terluka

Rabu, 22 Maret 2023

Hutan Mangrove di Teluk Bintuni terus menyusut luasannya. Ada peran perusahaan dan penebangan di zona pelindung. Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Environmental Justice Foundation, KBR, Mongabay, Tempo Institute, dan Tempo.co.

Oleh Tantowi Djauhari

tempo

Muhami Refideso mengurangi laju perahunya dan menepi. Moncong longboat berbahan fiber itu diarahkan ke batang mangrove yang masih tegak berdiri sebagai tambatan. Roy Marthen Masyewi yang berdiri di bagian depan, sigap mengikat badan perahu bermesin dua ini agar tidak hanyut terbawa arus sungai.

“Lihat itu. Menganga seperti lapangan bola di tengah hutan,” ucap Roy, anak adat suku Wamesa Teluk Bintuni, sembari bergegas turun menuju areal hutan mangrove yang gundul, 9 Desember 2022 lalu.

Sejauh mata memandang, hamparan lahan di area hutan bakau yang menyisakan tunggak itu mulai mengering. Lokasi ini berada dalam blok tebangan RKT tahun 2021 PT Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI) di Pulau Amutu Besar, Distrik Babo Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. 

Tidak kurang dari lima kali luas lapangan sepak bola kawasan hutan mangrove gundul di areal tersebut. Tak terlihat pohon bakau yang masih tegak berdiri, meski hanya sebesar betis orang dewasa.

Kondisi yang menyisakan pemandangan warna abu-abu tanah lumpur di lokasi ini karena perusahaan mulai menggunakan alat berat dalam menghimpun bahan baku industrinya. Jejak alat ini masih tertinggal di lokasi, termasuk potongan tali baja yang terputus. Jika masih menggunakan tenaga manusia, kata Refideso, lazimnya dilakukan tebang pilih pohon mangrove. “Sejak dua tiga tahun terakhir, mereka membawa masuk alat berat ke lokasi penebangan,” tukas Refideso. 

Selain babat habis mangrove, di lokasi ini juga tidak terlihat penanaman kembali bibit mangrove pengganti pohon yang sudah ditebang. Padahal, melakukan penanaman kembali bibit mangrove sebagai ganti pohon yang dipanen, menjadi kewajiban perusahaan seperti yang tertuang dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang diterbitkan Menteri Kehutanan.

Sebagai eks karyawan BUMWI bagian persemaian, Refideso paham benar bagaimana proses rehabilitasi di lahan bekas pemanenan. Sebelum proses penebangan, ada tahapan kegiatan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) yang di dalamnya termasuk Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT). Ini merupakan bagian dari teknik dalam sistem silvikultur yang banyak digunakan di kawasan HPH. 

tempo
Roy Marthen Masyewi (kiri) dan Muhami Refideso, eks karyawan bagian Persemaian PT BUMWI di lokasi bekas penebangan RKT Tahun 2021 di Pulau Amutu Besar. Foto diambil pada Jumat, 9 Desember 2022.

Kegiatan ITT adalah pencatatan dan pengukuran pohon dan permudaan alam pada areal tegakan tinggal untuk mengetahui komposisi jenis, penyebaran dan kerapatan pohon, jumlah dan tingkat kerusakan pohon inti. Maksud dari pelaksanaan ITT adalah untuk mengetahui jumlah, jenis dan mutu pohon inti dan permudaan yang rusak. ITT juga untuk mengetahui lokasi dan luas areal-areal terbuka pada petak kerja setelah penebangan. 

Refideso menyebutkan, hasil dari ITT itu yang kemudian menjadi dasar untuk menyiapkan berapa banyak jumlah bibit yang harus ditanam sesuai luas lahan dan jarak tanam yang ditentukan perusahaan. Bila praktiknya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan, maka hasil yang didapatkan akan sesuai, dan efek yang ditimbulkan akan sangat sedikit mengakibatkan kerusakan. “Tapi kalau dari yang torang saksikan di lokasi ini, sangat mungkin tidak ada ITT. Penanaman kembali juga tidak ada. Kelihatan jelas sekali,” ujar Refideso.

Hilang Asap di Dapur Adat

tempo
Ipat Tatuta – Masyarakat Kampung Sara Distrik Kaitaro, Kabupaten Teluk Bintuni.

Ipat Tatuta adalah warga Kampung Sara, Distrik Kaitaro, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, yang ketiban berkah dengan beroperasinya PT Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI) di Kampung Amutu, Distrik Babo. Ia saban hari menjual kangkung, daun kasbi (singkong), buah pisang atau kelapa ke perusahaan tersebut.

Dari Kampung Sara, naik longboat butuh waktu hampir dua jam untuk menuju lokasi perusahaan eksportir serpihan kayu mangrove ini. Tak ada pilihan yang lebih baik bagi Ipa dan para sote (perempuan) Kaitaro untuk menjual hasil kebun, meski hasil yang diterima tak sesuai dengan harapan. “Dibeli murah. Satu ikat (kangkung) itu hanya 2.000, kalau daun kasbi 1.500. Tomat per kilo 10.000. Dari dulu begitu sudah,” katanya.

Ada dua kelompok masyarakat Kaitaro yang secara bergantian menjual hasil kebun ke base camp BUMWI. Ipat dan kelompoknya, biasa datang dua kali dalam sebulan. Selain dari Kampung Sara, ada juga penjual sayur dari Kampung Warga Nusa 2

Kebutuhan sayur di perusahaan yang berdiri sejak 1 Februari 1980 dan memulai produksi pada 1988 ini cukup tinggi, menyusul langkah perusahaan yang membangun dapur bersama masyarakat adat. Selain memenuhi kebutuhan ransum ratusan karyawannya, masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan dipersilakan menyantap jamuan di dapur saat lonceng jam makan siang sudah ditabuh. 

“Siapapun boleh makan, gratis. Termasuk nelayan dari Bintuni kalau kebetulan lewat di perusahaan saat jam makan siang, tidak dilarang kalau mau ikut makan,” kata Muhami Refideso, mantan karyawan BUMWI di bagian pembibitan. 

Dapur bersama masyarakat adat ini oleh warga sekitar pabrik disebut sebagai kebaikan perusahaan. Bahkan ketika produksi serpihan kayu mangrove tengah melaju, masyarakat pemilik hak ulayat menjadi pihak yang ketiban berkah dari pembayaran jatah kubikasi kayu mangrove yang digiling BUMWI.Menurut Muhami, saat ia masih kerja di perusahaan itu pada tahun 90-an, nominal uang kubikasi mangrove yang dibayarkan perusahaan ke pemilik ulayat adalah Rp 600/m3.

Namun sejak pertengahan tahun lalu, uang kompensasi itu sudah tidak lagi diterima masyarakat pemilik ulayat. Berdalih kondisi pasar wood chips yang lesu, manajemen BUMWI menghentikan operasional perusahaan sejak Juni 2022. 

Keputusan perusahaan ini diungkapkan Kaharudin yang ditunjuk mewakili direksi BUMWI, saat bedah kinerja BUMWI selaku pemegang Perizinan Berusaha Pengelolaan Hutan (PBPH), oleh Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah XVI Manokwari pada 23 September 2022.“Saat ini sebagian besar karyawan, termasuk Ganis (tenaga teknis) dirumahkan karena perusahaan stagnan,” kata Kaharudin saat dihubungi 12 Januari lalu.

Sebelum keputusan menghentikan produksi di tengah tahun lalu, sinyal kondisi perusahaan yang mulai lesu sudah dirasakan Ipat dan teman-temannya sejak 2019. Tanpa mendapatkan penjelasan yang baik, mama-mama papua asal Kaitaro ini tak bisa lagi menjual lagi hasil kebunnya ke BUMWI. “Tidak tahu ada apa. Hanya suruh setop menjual, gitu saja,” tukas Ipat, Karena kondisi tersebut Ipat dan keluarga kini hijrah dari kampungnya dan tinggal di rumah berdinding papan kayu di Kampung Tahiti, Kelurahan Bintuni Timur, Distrik Bintuni.

Indikasi tidak dilakukan penanaman kembali di areal bekas penebangan mangrove, juga terlihat di Pulau Amutu Kecil. Dari sejumlah lokasi bekas tebangan Petak 376, penanaman bibit mangrove sebagai pengganti tegakan yang ditebang, hanya dilakukan di area jalan masuk ke lokasi.

Pada koridor selebar 10 sampai 20 meter yang menjadi akses keluar gelondongan batang bakau, terlihat bibit mangrove yang ditanam secara teratur. Namun ketika masuk ke dalam lokasi, yang terlihat hanyalah bibit mangrove yang tumbuh di sela-sela akar pohon induk.“Ada tumbuh kecil-kecil yang terlihat, itu pertumbuhan alami. Kalau penanaman dari perusahaan, jaraknya diatur sesuai program. Kalau tidak beraturan itu alam,” kata Refideso. 

Jimmy W. Susanto, Kepala Bidang Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat mengatakan, perusahaan yang tidak melakukan reboisasi di areal bekas pemanenan bisa masuk dalam kategori pelanggaran Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

tempo
Kepala Bidang Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat

Ketua Perkumpulan Panah Papua, Sulfianto Alias, menyayangkan penebangan mangrove yang ada di Pulau Amutu Kecil. Menurut dia, penebangan yang dilakukan BUMWI terjadi pada rentang waktu Februari hingga Juni 2018 itu dan masih berlanjut hingga kini. Sulfianto mengatakan, hal ini jauh dari cita-cita pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi kawasan pesisir dan pulau kecil di Papua Barat melalui kebijakan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K). 

Terdapat sekitar 13 ribu pulau di Indonesia, hanya 0,2 persen pulau besar. Yang masuk kategori pulau kecil, kata Sulfianto Alias, adalah daratan dengan luas kurang dari 200.000 hektare. Sedangkan Pulau Amutu Kecil memilki luas sekitar 1.161 hektare. Penebangan mangrove di pulau Amutu Kecil, rentan terhadap ancaman abrasi yang dapat menghilangkan pulau. 

Berdasarkan data Global Forest Watch, pada 2018 di Pulau Amutu Besar dan Amutu Kecil yang menjadi wilayah operasi BUMWI, telah muncul peringatan kehilangan tutupan pohon sebanyak 3.858 pohon. “Seharusnya BUMWI tidak memilih pulau Amutu Kecil untuk pemanfaatan mangrove. Masih banyak areal lain yang cukup luas untuk dimanfaatkan,” kata Sulfianto. 

Pasang Surut Lahan Konsesi

1988

PT BUMWI mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH/sekarang IUPHHK-HA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-IV/1988 tanggal 21 Maret jo Nomor 94/Kpts-II/1995 tanggal 13 Februari 1995

Luas Areal yang diberikan : 137.000 hektare

2005

PT BUMWI mengajukan permohonan perpanjangan IUPHHK-HA kepada Menteri Kehutanan melalui surat bernomor 35/BUMWI/VIII/2005 tanggal 22 Agustus 2005.

2006

Menteri Kehutanan memberikan persetujuan prinsip perpanjangan IUPHHK-HA berdasarkan surat Nomor S.66/Menhut-VI/Rhs/2006 tangga; 29 September 2006.

Menteri Kehutanan menginstruksikan kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan untuk menerbitkan Pera Areal Kerja dan Bahan Penetapan Tebangan Tahunan (BPTT).

Luas Areal yang disetujui : 87.525 hektare

2007

Hasil telaahan Badan Planologi Kehutanan (BPK) yang tertuang dalam surat Nomor S.13/VII-SET/RHS/2007 tanggal 12 Februari 2007, areal yang disetujui untuk PT BUMWI berubah menjadi 82.120 hektare, atau berkurang 6.685 hektare dari luas areal yang disetujui sebelumnya. Penyusutan ini karena luas areal tersebut dikeluarkan dari areal hutan produksi yang dapat di konversi. 

Berdasarkan telaahan BPK, terbit SK (perpanjangan) Menteri Kehutanan Nomor : SK.213/MENHUT-II/2007 tanggal 28 Mei 2007 tentang Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam dengan areal Hutan Produksi seluas 82.120 Hektare.

Seluruh luas areal baru yang disetujui (82.120 hektare), seluruhnya merupakan Hutan Produksi Tetap (HP) yang berada di kelompok hutan Sungai Senindra dan Sungai Aramasa, Kabupaten Teluk Bintuni. 

Luas areal kerja yang ditetapkan (82.120 hektare), terdiri atas Areal Berhutan Efektif (53.270 hektare), Areal Tidak Berhutan (18.100 hektare) dan Areal Kawasan Lindung (10.750 hektare). 

Catatan : Kawasan lindung tidak boleh di eksploitasi, namun pengawasan dan pengamanannya menjadi tanggungjawab perusahaan serta harus dikelola sebagai Kawasan Konservasi sesuai ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.

2013

Menteri Kehutanan menerbitkan penetapan Batas Areal Kerja PT BUMWI melalui surat Nomor SK.872/Menhut-II/2013 tanggal 6 Desember 2013. 

Luas Areal : 78.669,29 hektare 

BUMWI adalah perusahaan pemegang IUPHHK-HA atau sekarang disebut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seluas 82.120 hektare di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Perusahaan ini memproses kayu mangrove menjadi chip kayu untuk memenuhi kebutuhan pasar pulp & paper di Asia. 

Selain produksi serpihan kayu, BUMWI disebut juga mendorong konservasi dengan memastikan bahwa habitat untuk spesies dilindungi, seperti kuskus Gray (Phalanger orientalis) dan walabi Dusky (Thylogale brunii), terjaga dan berkelanjutan.

Area konsesi BUMWI adalah bagian dari sekitar 171.259.557 hektare hutan mangrove yang ada di Teluk Bintuni. Hutan mangrove di daerah ini mengambil bagian 52 persen dari hutan bakau di Provinsi Papua Barat (2,25 juta hektare) dan 8,92 persen dari total mangrove di Indonesia. Selain kawasan mangrove primer, di Teluk Bintuni juga terdapat 91.124,312 hektare mangrove sekunder. 

Polisi Peduli Mangrove Bintuni

Melindungi kerusakan parah dan menanam kembali hutan Mangrove, polisi berpangkat rendah ini turun ke lapangan dan menggandeng sejumlah kalangan. Tak jarang menghadapi penolakan.
tempo
Ipda Ludfi Hakim Iha – Pama Polres Teluk Bintuni, Polda Papua Barat.

DI RUMAH seorang perangkat kampung, sejumlah nelayan duduk meriung menghadap Brigadir Polisi Ludfi Hakim Iha. Tanpa alas kaki dan bercelana pendek lusuh, secara bergantian mereka menjawab pertanyaan aparat berseragam cokelat itu. 

Para nelayan bukan sedang di interogasi karena mancuri. Warga Kampung Banjar Ausoy, Distrik Manimeri Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat tengah tengah berkeluh kesah ihwal penghasilannya dari melaut yang terus menyusut. 

Mereka yang dulu bisa membawa pulang 20 kilogram kepiting dari sekali melaut, kini mendapatkan setengahnya saja susah. Kepiting semakin sulit dicari. Nelayan harus melaut ke lokasi yang lebih jauh lagi jika ingin mendapatkan hasil maksimal. 

Konsekuensinya, kebutuhan logistik selama melaut juga bertambah, seperti bahan bakar minyak atau BBM, tenaga maupun yang lainnya. “Padahal harga jual hasil tangkapan mereka tidak berubah,” kata Ludfi menceritakan pertemuan tersebut, awal Februari lalu.

Ketika dengan masyarakat Banjar Ausoy yang terekam tujuh tahun silam itu, Ludfi baru saja ditugaskan sebagai Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) di Kampung Banjar Ausoy Distrik Manimeri, Kabupaten Teluk Bintuni. Sebelumnya, ia adalah Bintara Pembina Kamtibmas. 

Pada saat yang bersamaan, Ludfi mengajak para nelayan itu turun ke laut, melihat langsung kondisi lapangan. Banyak pohon mangrove ditebang oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hari-hari menjadi fakta yang ia saksikan. “Sa (saya) lihat banyak sekali pohon (mangrove) yang rebah di laut, mungkin faktor alam atau juga aktivitas masyarakat. Ternyata ini yang menghambat kepiting atau udang pergi dan mencari tempat lain untuk berkembang biak,” ungkap Ludfi. 

Dari kenyataan itu, Ludfi mulai mengambil langkah. Menurut dia, jika kerusakan mangrove tidak segera diatasi, ia mengaku tidak tahu lagi nasib nelayan Bintuni ke depan. Dia mengkhawatirkan dengan kondisi seperti ini, Teluk Bintuni yang kondang sebagai penghasil kepiting terbaik di Indonesia Timur justru membeli kepiting dari luar. 

Ludfi lantas mengumpulkan para nelayan untuk membentuk suatu kelompok, dengan tujuan agar bersama-sama menjaga kelestarian hutan mangrove. Sebagai cikal bakal pergerakannya, Ludfi memberi nama kelompok ini dengan sebutan Kelompok Nelayan ‘Andatu’, akronim dari Anugerah Dari Tuhan. 

Namun, niat baik Ludfi tak selalu berjalan mulus. Aroma penolakan dari oknum-oknum yang terusik dengan pergerakannya mulai muncul, meski tidak frontal. Spanduk himbauan dan ajakan menjaga mangrove yang ia buat dan dipasang di sejumlah titik keramaian tidak pernah berumur panjang. Sore dipasang, pagi sudah hilang. 

“Malam orang su (sudah) lepas. Tapi sa tidak putus asa. Ada rejeki dari tunjangan Bhabinkamtibmas, baliho sa bikin lagi, sa pasang lagi di situ. Tetap sa jalan, tidak putus asa. Di Papua ini kalau kita putus asa, adoh selesai. Kita tidak ada manfaat,” ungkapnya.

Memasuki awal tahun 2017, Ludfi mulai gencar turun melaut menyisir kawasan mangrove yang gundul. Ia juga tak lelah melakukan sosialisasi pentingnya menjaga hutan mangrove kepada masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir, ke pengurus Lembaga Masyarakat Adat (LMA) 7 suku, dan anak-anak sekolah yang tergabung dalam gerakan pramuka. 

Dalam waktu yang beriringan, Ludfi mengajak nelayan Andatu menyiapkan bibit mangrove untuk ditanam di lahan yang kosong. “Dari situ sa mulai menyisipkan sa punya tunjangan bhabin untuk membeli polybag. Sa juga pakai dana pribadi, kumpul masyarakat, menyiapkan pembibitan dan melakukan penanaman di beberapa titik,” ujarnya.

Inisiatif menghimpun kelompok masyarakat dalam menjaga hutan mangrove, kemudian ia kemas menjadi menjadi sebuah program inovasi dengan label ‘Si Dulmangbin’ alias Polisi Peduli Mangrove Bintuni. Inovasi Si Dulmangbin ini yang ia gunakan untuk meraup sokongan dari berbagai pihak, seperti USAID ataupun support dari pimpinan di kesatuannya. 

Oleh lembaga pembangunan internasional asal Amerika Serikat (USAID), Ludfi pernah diundang untuk mengikuti pelatihan menjaga lingkungan yang berlangsung di Sorong, Ambon maupun Makassar. Berbekal pengetahuan ini, Ludfi yang mengawali karier di kepolisian pada 2004 ini mulai membuat gebrakan. Tahun 2019 menjadi puncak penanaman mangrove di Bintuni secara besar-besaran. Melibatkan prajurit TNI, Polri dan para aktivis lingkungan serta para siswa. 

Upaya bintara polisi asal papua dalam memulihkan hutan mangrove Bintuni yang bopeng ini sampai juga ke telinga Kapolri. Pada peringatan Hari Bhayangkara tahun 2019, Ludfi diganjar pin emas sebagai bentuk apresiasi pimpinan Polri atas inovasinya menjaga lingkungan. Atas kegigihannya itu, Kapolri merekomendasikan Ludfi untuk menempuh pendidikan di Sekolah Inspektur Polisi di Lemdiklat Polri Semarang, Jawa Tengah. Kini Ludfi menyandang pangkat sebagai Inspektur Polisi Dua (Ipda), masuk dalam jajaran Perwira Pertama Polda Papua Barat. “Itu sudah hasil yang kita dapat dari pelayanan ke masyarakat. Kita diberikan promosi sekolah oleh pimpinan,” tukasnya. 

Penghargaan itu menjadi motivasi dia untuk terus berinovasi. Ipda Ludfi yang kini menjabat Kepala Unit Bhabinkamtibmas Polres Sorong mendapat perintah melanjutkan program pelestarian mangrove di Teluk Bintuni. Statusnya sebagai Bantuan Kendali Operasi (BKO) di Polres Teluk Bintuni.

Yang terbaru, Ludfi menjalin kongsi dengan Yayasan Better Together untuk melakukan pemetaan, pengawasan hingga penanaman mangrove melalui aplikasi Digital Mangrove. Dengan aplikasi ini, siapapun bisa ambil bagian dalam melestarikan mangrove. Menurut Ludfi bilang, aplikasi Digital Mangrove menjadi sarana rekam jejak secara digital yang akan dilihat generasi masa depan. 

Mengutip Global Forest Watch, dalam kurun waktu 2000-2022, Teluk Bintuni kehilangan 41,1 hektare tutupan pohon atau mengalami penurunan 2,1 persen atau 32,6 Mt emisi CO2. Dengan tidak adanya lagi pohon, tidak ada lagi yang meredam kecepatan tinggi dari arus pasang surut air teluk. Abrasi tidak dapat terelakan. 

BUMWI menjadi perusahaan konsesi hutan alam pertama di Papua yang menerima sertifikasi Forest Stewardship Council atau FSC (pengakuan pengelolaan hutan lestari dari lembaga internasional). Dari 31 konsesi hutan di Indonesia, area konsesi yang mengantongi sertifikasi penuh FSC mencapai 2.028.655 hektare dan 6 kawasan hutan dengan bersertifikat Control Wood seluas 2.695.840 hektare. "Ini merupakan konsesi hutan pertama di Papua yang mendapatkan sertifikasi tersebut," ujar Muljadi Tantra, Deputi Direktur PT BUMWI kepada media awal November 2015. 

tempo
Lokasi bekas penebangan kayu mangrove di area Blok 376 PT BUMWI Pulau Amutu Kecil. Foto diambil pada Sabtu, 10 Desember 2022

BUMWI menghentikan operasional kegiatannya sejak Juni 2022, karena alasan nilai pasar yang tidak ekonomis. Saat ini sebagian karyawan perusahaan dirumahkan, termasuk tenaga teknis. “Sekitar 70 persen karyawan di rumahkan, setelah pengiriman (wood chip) terakhir,” kata Kaharuddin, staf BUMWI, saat dihubungi Kamis, 12 Januari 2023.

Operasional perusahaan kata Kaharuddin, mulai meredup sejak tahun 2020. Kendati demikian, PT Sarbi International Certification (Sarbi), Lembaga Penilai Independen asal Bogor yang mengaudit kinerja BUMWI, memberikan predikat baik dengan total nilai kinerja yang dicapai 88 persen. 

Kaharuddin tidak bisa menjelaskan ketika ditanya mengenai kondisi di lapangan, termasuk tidak adanya penanaman kembali di area bekas tebangan dan sepinya aktivitas di tempat persemaian. 

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Environmental Justice Foundation, KBR, Mongabay, Tempo Institute, dan Tempo.co. Data-data yang ditampilkan diolah dari Data Kementerian Kehutanan Republik Indonesia

CREDIT

Penulis

Foto

Multimedia

Editor