Pemerintah Indonesia mulai mengisyaratkan bahwa Coronavirus Disease 2019, kerap disebut dengan Covid-19, tidak akan pergi dalam waktu dekat. Presiden Jokowi melihat bahwa penyakit ini akan menjadi endemi. “Kita harus mulai menyiapkan transisi dari pandemi ke endemi dan juga mulai belajar hidup bersama dengan Covid," ujar Jokowi usai meninjau kegiatan vaksinasi Covid-19 di SLB Negeri 1 Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Jumat, 10 September 2021.
Sebetulnya bukan hanya Indonesia yang mengisyaratkan bahwa Covid-19 akan menjadi endemi. Sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, dan Kanada pun sudah mengungkapkan hal serupa. Perubahan status menjadi endemi lebih mungkin dibanding mengejar kekebalan komunal (herd immunity).
Direktur WHO untuk Eropa, Hans Kluge, pun pesimis bahwa vaksinasi dapat mengakhiri pandemi Covid-19 sepenuhnya. Kehadiran varian baru, salah satunya Delta, membuat impian untuk mencapai kekebalan komunal dalam waktu dekat jadi mustahil.
“Saya pikir ini (kehadiran varian baru) membawa kita pada titik di mana tujuan vaksin (kini) yang utama adalah mencegah pemburukan dan kematian,” kata Kluge kepada AFP, pada 10 September. Sebelumnya, pada akhir Mei, Kluge optimis jika pandemi akan berakhir jika 70 persen penduduk divaksin.
“Jika kita mempertimbangkan bahwa Covid akan terus bermutasi dan tinggal bersama kita, seperti influenza, kita harus memperkirakan cara untuk mengadaptasikan secara bertahap strategi vaksin menjadi penyebaran endemi dan mengumpulkan informasi-informasi yang berharga tentang dampak dosis (vaksin) tambahan,” tambahnya.
Varian Delta diperkirakan 60 persen lebih menular daripada varian dominan sebelumnya, Alpha, dan dua kali lebih menular daripada varian awal yang muncul di Wuhan, Cina pada akhir 2019. Semakin menular virus, maka semakin tinggi standar yang harus dicapai untuk mewujudkan kekebalan komunitas. Dan kondisi masyarakat seperti itu hanya bisa dicapai dengan infeksi alamiah atau vaksinasi.
Kluge bukan satu-satunya ahli yang memandang Covid-19 akan menjadi endemi. Jurnal sains Nature pada Januari 2021 mengadakan survei terhadap 119 ilmuwan—imunolog, peneliti penyakit infeksius, dan virolog—dari 23 negara yang berkutat dalam penelitian dan penanganan Covid-19. Sebanyak 89 persen responden berpendapat bahwa penyakit ini akan jadi endemi dan virus pembawa penyakit ini—SARS-CoV-2—akan terus berkeliling di muka bumi.
Apa itu Endemi?
Ada tiga istilah terkait penyebaran penyakit dalam kajian epidemiologi. Pertama ialah epidemi, yang menurut definisi Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) adalah peningkatan mendadak jumlah kasus penyakit di suatu wilayah. Contoh penyakit yang masuk ke dalam kelas epidemi yaitu Ebola yang mewabah di sejumlah negara Afrika.
Kedua ialah pandemi, yang menurut CDC adalah epidemi yang menyebar ke sejumlah negara dan benua. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan suatu penyakit jadi pandemi apabila kasus bertambah dengan cepat, dan pertambahan kasus dalam satu hari melebihi jumlah kasus di hari sebelumnya. Virus telah menjangkiti suatu wilayah yang luas, termasuk negara, dan mempengaruhi populasi yang tinggal.
Jika epidemi terbatas pada wilayah tertentu, maka pandemi melintasi batas-batas internasional dan punya dampak sosial-ekonomi signifikan. Selain Covid-19, penyakit lain yang dikategorikan pandemi ialah influenza pada 1918-1920 yang jamak dikenal sebagai Flu Spanyol. HIV/AIDS pun dikategorikan sejumlah ahli sebagai pandemi global meski WHO saat ini menyebutnya sebagai epidemi global.
Selanjutnya ialah endemi, yakni penyakit yang muncul dan menjadi karakteristik di wilayah tertentu. Contoh penyakit endemi di indonesia yaitu penyakit malaria di Papua dan demam berdarah dengue (DBD). Penyakit yang masuk ke dalam jenis endemi ini akan selalu ada di daerah tersebut, tapi dengan frekuensi atau jumlah kasus yang rendah.
“Endemi dapat digambarkan sebagai sebuah situasi di mana kondisi kasus lebih terkendali, namun bukan berarti virusnya hilang sepenuhnya,” kata Ketua Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito pada 7 September 2021 dilansir dari Antara.
Belajar dari Wabah Terdahulu
Covid-19 bukan wabah pertama yang dihadapi umat manusia. Ada sejumlah pagebluk yang sukses dilalui umat manusia meski menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Salah satunya adalah pandemi influenza pada 1918 yang juga dikenal sebagai Flu Spanyol, yang disebabkan strain virus H1N1.
Virolog AS yang juga Kepala Bagian Evolusi dan Patogenesis Virus Lembaga Kesehatan Nasional (NIH), Jeffery K. Taubenberger menjelaskan bahwa analisis genetik pada Flu Spanyol mengindikasikan bahwa penyakit itu awal mulanya adalah flu burung dan muncul sebagai strain virus baru yang kemudian menulari manusia tak lama sebelum 1918.
History menyebut, setelah gelombang ketiga—sama mematikannya seperti gelombang kedua—berakhir, tidak serta merta penyakit ini menghilang begitu saja. Karena sebagian populasi dunia saat itu telah terpapar penyakit ini dan membangun kekebalan alamiah terhadapnya, maka strain virus penyakit ini mulai bermutasi dan berkembang dalam sebuah proses yang disebut “penyimpangan antigen”.
Tapi virus H1N1 ternyata masih berkeliaran di muka bumi. Berdasarkan analisis genetik, penyakit flu musiman dan pandemi yang telah menjangkiti umat manusia dalam satu abad terakhir tampaknya merupakan keturunan langsung dari strain virus itu.
“Anda masih dapat menemukan jejak genetik virus 1918 di setiap flu musiman yang menyebar hari ini,” kata Taubenberger kepada History pada Desember 2020. “Setiap infeksi influenza A pada manusia dalam 102 tahun terakhir berasal dari flu 1918.”
Dalam musim flu normal, ilmuwan dapat melacak strain virus aktif dan memproduksi vaksin yang dapat melindungi manusia terhadap perubahan virus flu manusia tiap tahunnya. Tapi sering kali, gen virus dari hewan bercampur dengan virus flu manusia, kemudian memunculkan jenis virus baru.
Itulah yang terjadi pada 1957 ketika virus H1N1 bertukar gen dengan flu burung lainnya dan menghasilkan virus H2H2, yang dikenal dengan pandemi Flu Asia dan memakan korban jutaan jiwa di seluruh dunia. Kejadian yang sama terulang pada 1968 dengan munculnya Flu Hong Kong yang disebabkan virus H3N2 dan merampas nyawa jutaan jiwa di seluruh dunia.
Flu Babi yang muncul pada 2009 pun juga berasal dari pandemi Flu Spanyol. Ketika virus H1N1 menjangkiti manusia, kemudian manusia menularkan salah satu variannya pada babi. Menurut Taubenberger, penyakit itu merebak di babi-babi di AS setelah 1918 dan menyebar ke seluruh dunia.
Lantas pada 2009, strain dari flu babi bertukar gen dengan flu manusia dan flu burung, dan menciptakan varian baru flu H1N1 yang lebih mirip versinya di tahun 1918 dibanding virus lain. Diperkirakan sekitar 300 ribu orang di seluruh dunia meninggal akibat pandemi Flu Babi 2009.
Tidak heran kemudian Taubenberger dalam penelitiannya yang terbit tahun 2006 di Emerging Infectious Diseases Journal melabeli pandemi Flu Spanyol 1918 sebagai “ibu dari segala pandemi”.
“Dan saya tidak tahu sampai kapan ini berlangsung,” kata Taubenberger.
Sedangkan epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman, menyebut bahwa Covid-19 yang disebabkan SARS-CoV-2 memang berpotensi jadi endemi merujuk pada sejarah dan karakter famili virus corona manusia (HCoVs). Hingga kini sudah ada 7 jenis HCoVs yang ditemukan peneliti, yakni SARS-CoV, MERS-CoV, 229E, NL63, OC43, HKU1, dan SARS-CoV-2.
SARS-CoV adalah penyebab penyakit SARS yang pertama kali ditemukan di Cina dan kemudian mewabah di berbagai negara pada 2003. Kemudian MERS-CoV dikenal sebagai penyebab penyakit MERS yang pertama kali ditemukan di Arab Saudi pada 2012 dan juga kemudian menyebar ke sejumlah negara. MERS pun kini dikategorikan sebagai endemi karena masih muncul dalam intensitas rendah.
Kemudian HCoV jenis 229E bahkan sudah ditemukan sejak 1965. Menurut Dicky, jenis ini sudah dikategorikan sebagai endemi dan orang yang terjangkit virus ini akan mengalami flu biasa.
“Jadi yang namanya endemi bukan hal yang aneh buat coronavirus,” kata Dicky kepada Tempo.
Memusnahkan SARS-Cov-2 bukan ide yang dianggap bagus oleh para ilmuwan. “... seperti coba merencanakan pembangunan jalan setapak ke bulan. Tidak realistis,” kata epidemiolog University of Minnesota, AS, Michael Osterholm kepada Nature.
Dicky juga menyampaikan hal serupa kepada Tempo . Ia membeberkan dua alasan mengapa menghilangkan virus corona sepenuhnya tidak memungkinkan. Pertama, dan juga jadi alasan utama, ialah virus ini tidak hanya hidup di tubuh manusia tetapi juga hewan. Sehingga ia dapat berpindah-pindah dan terus bertahan hidup.
Kedua, karena virus itu menjadikan tubuh manusia dan hewan sebagai inang. Mau tak mau pembuatan vaksin pun tidak hanya ditujukan bagi manusia, tetapi juga hewan perantara. Vaksin yang dibuat juga harus dapat mencegah infeksi dan penularan. “Dan itu sulit sekali. Hampir enggak mungkin,” ujar Dicky.
Namun kemustahilan memusnahkan virus ini bukan berarti umat manusia akan terus dihantui jumlah kematian dan kasus dalam jumlah besar serta kewajiban isolasi. Nature menyebut influenza dan empat HCoVs penyebab flu biasa, sebagai bukti penyakit yang kini sudah berstatus endemi. Kombinasi dari vaksin tahunan dan kekebalan alamiah lewat infeksi dapat membuat masyarakat membiarkan kematian dan kasus musiman tanpa harus menerapkan karantina, jaga jarak, dan pemakaian masker seperti hari ini.
Masalahnya, vaksin yang ada saat ini masih belum terbukti mampu menangkal penyebaran Covid-19. Dicky menyebut, fungsi vaksin saat ini terbukti hanya untuk mencegah keparahan dan penyakit, tetapi tidak untuk mencegah penularan dan infeksi.
Dicky pun mengingatkan bahwa sebaiknya pemerintah dan masyarakat tidak terburu-buru untuk hidup bersama Covid-19, selama status pandemi belum dicabut oleh WHO sebagai pihak yang berwenang.
Siapkah Indonesia Masuk Fase Endemi?
Untuk memasuki fase endemi, Dicky menyebut langkah yang diambil negara-negara maju patut dicontoh dengan membuat peta jalan (roadmap). Peta jalan ini berisi indikator pengendalian Covid-19 seperti jumlah kasus, kematian, kemampuan 3T, serta tingkat vaksinasi. Jika ingin membiarkan masyarakat hidup berdampingan dengan Covid-19, menurut Dicky minimal 85 persen penduduk sudah harus divaksinasi secara lengkap.
“Roadmap ini biar kita enggak harus nunggu jadi endemi baru bisa beraktivitas lagi,” kata Dicky.
Peta jalan juga harus disiapkan secara komprehensif. Dicky menyebut sejumlah poin yang pemerintah dapat pertimbangkan seperti aturan soal jaminan kesehatan bagi pasien Covid-19, aturan pengetesan, hingga ketentuan bagi mereka yang terinfeksi Covid-19.
“Termasuk ini menurun sampai ke (aturan) perilaku masyarakat,” ujar Dicky.
Namun selama status pandemi masih berlaku, Dicky menyarankan agar Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, alias PPKM, dengan sistem level tetap diberlakukan. Ia mengibaratkan PPKM sebagai penjaga gawang yang berfungsi menahan tingkat keparahan kasus di suatu wilayah.
“Kalau (status) pandemi dicabut baru dikembalikan ke mekanisme seperti penyakit lainnya,” ujarnya.
Meski ia mengapresiasi capaian pengendalian Covid-19 Indonesia, termasuk rasio positif yang di bawah batas ambang WHO sebesar 5 persen, tapi ia mengkritik masih ada gap penanganan Covid-19 antara Jawa dengan luar Jawa. Menurutnya, perkembangan Covid-19 Indonesia yang terus membaik tidak terlepas dari kondisi yang membaik di Jawa, terutama Jabodetabek. Ia melihat masih ada provinsi di luar Jawa yang kurang serius dalam penanganan Covid-19.
Padahal untuk bersiap memasuki fase endemi, penanganan Covid-19 yang maksimal masih diperlukan. Menurut Dicky, jika 3T (Testing, Tracing, dan Treatment), dan tingkat vaksinasi masih jauh dari target yang diharapkan, yang terjadi kemungkinan Covid-19 di Indonesia justru memasuki fase epidemi.
Dicky menyitir prediksi bahwa Covid-19 akan baru terkendali pada 2025. Namun, ia mensyaratkan bahwa tidak ada lagi varian baru yang lebih ganas seperti Delta yang memiliki rasio reproduksi hingga 9 jika tanpa intervensi.
Ia melihat dunia akan terbelah ketika status pandemi dicabut. Negara-negara maju yang umumnya mampu menangani Covid-19 secara maksimal akan memasuki fase endemi, sedangkan negara-negara berkembang yang masih kewalahan melakukan 3T dan lamban melakukan vaksinasi akan memasuki fase epidemi.
“Tapi kalau (status pandemi) dicabut tahun depan, kita masih fase epidemi. Kecepatan vaksin segini, 3T segini, ya nunggu 2-3 tahun lah (fase endemi),” kata Dicky.