Nama Pondok Pesantren Darurrohman tertera dalam daftar penerima Bantuan Operasional Pendidikan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Islam tahun anggaran 2020. Pesantren yang beralamat di Desa Andosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, itu dinyatakan berhak atas bantuan sebesar Rp 40 juta. Belakangan diketahui pesantren itu diduga fiktif. “Sepengetahuan saya tidak ada nama pesantren itu,” ujar Kepala Desa Andosari, Antok, kepada Warta Bromo, September 2022.
Ketua Rabithah Mahadiyah Islamiyah Kecamatan Tutur, Qoyyum, mengkonfirmasi penjelasan Antok. Ia mengaku telah menelusuri nama pesantren Darurrohman di kecamatan yang memiliki luas sekitar 86 km persegi itu. Hasilnya nihil. “Saya Ketua RMI di Kecamatan ini. Jadi saya tahu betul nama-nama pesantren di sini,” ujarnya. Rabithah Mahadiyah merupakan perhimpunan penyelenggara pendidikan berbasis pesantren. Menurut Qoyyum, temuan itu sudah ia laporkan ketika dimintai keterangan oleh jaksa.
Skandal bantuan BOP tak hanya terjadi di Kecamatan Tutur, melainkan juga banyak kota/kabupaten lain di Indonesia. Pemerintah pusat semula meniatkan bantuan itu sebagai stimulus bagi lembaga pendidikan yang mengalami dampak akibat pandemi Covid-19. Anggaran Rp 2,5 triliun yang digelontorkan pada 2020 untuk mendanai program itu ditengarai boncos. Sejumlah orang kepercayaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pejabat Kementerian diduga ikut bermain. Praktik itu terjadi pula di Pasuruan.
Temuan itu menjadi petunjuk Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan guna mengungkap keterlibatan 11 terdakwa. Berkas tuntutan kasus itu dibacakan jaksa pada 23 September 2022 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Surabaya. Jaksa meyakini mereka berkomplot menyelewengkan dana BOP. Modusnya macam-macam. Selain menyelipkan nama-nama pesantren fiktif, mereka juga memotong bantuan. “Terdakwa kami tuntut antara 1-8 tahun penjara,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan, Ramdhanu.
Dua dari sebelas terdakwa adalah Rinawan Herasmawanto dan Nurdin bin M. Amin Abo Alias Fik, mantan staf ahli anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI, Moekhlas Sidik. Jaksa menuntut Rinawan hukuman 8 tahun penjara dan uang pengganti Rp 2,3 miliar. Sementara Nurdin 2 tahun 2 bulan penjara. Tuntutan lain terarah pada relawan Rumah Aspirasi Moekhlas Sidik yakni Ibnu Hambali, Syarief Hidayatullah, Syaiful Arifin, Hanafi, Ahmad Hufron, Mokhamad Saikhu, Muslimin, Yamuju Kholil, dan Fatkhur Rokman.
Ini adalah kasus kedua bagi Rinawan dan Nurdin. Keduanya pernah jadi pesakitan atas kasus serupa ketika ditangani Kejaksaan Negeri Kota Pasuruan. Palu hakim Pengadilan Tipikor Surabaya menjatuhkan vonis penjara selama tiga tahun pada 21 Desember 2021. Keduanya terbukti menggelapkan dana bantuan BOP pesantren dan Lembaga pendidikan agama Islam di Kota Pasuruan sebesar Rp 400 juta. Uang itu mereka peroleh dengan cara memotong bantuan dari para lembaga penerima.
Kejaksaan Negeri Kota Pasuruan juga menyeret Kepala Kementerian Agama Kota Pasuruan, Munif. Pengadilan Tipikor Surabaya menjatuhkan vonis satu tahun penjara kepadanya pada 18 Oktober 2021 lantaran terbukti menerima suap. Begitupun dengan tiga pemberi suap, Samsul Koiri, Abdul Wahid, dan Ahmad Sukaeri. Kementerian Agama telah memecat Munif karena kasus itu. “Mereka ikut menikmati uang itu,” ujar Kepala Seksi Intelejen Kejari Kota Pasuruan, Wahyu Susanto.
Menurut Ramdhanu, Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan ikut turun tangan lantaran kasus sebelumnya hanya menghitung kerugian di Kota Pasuruan. Padahal, kerugian di Kabupaten Pasuruan tak kalah fantastis. Audit Badan Pemeriksa Keuangan mengungkap kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 3,1 miliar. Jumlah kerugian dihitung dari anggaran siluman serta potongan biaya terhadap 2900 lembaga penerima bantuan seperti pesantren, dan Taman Pengajian Qur’an.
Salinan putusan Rinawan menguatkan tuduhan itu. Keterlibatan para tersangka bermula pada Juli 2020 ketika Asran, Tenaga Ahli Wakil Ketua Komisi VIII, Moekhlas Sidik, mengabarkan rencana pemerintah mengelontorkan bantuan dana BOP kepada Rinawan, selaku Ketua Rumah Aspirasi (RAPI) Moekhlas Sidik. Rinawan lalu memerintahkan orang kepercayaannya menyambangi kantor Kementerian Agama Kabupaten Pasuruan guna mendapatkan data lembaga pendidikan yang akan diusulkan sebagai penerima bantuan.
Data yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada Asran tanpa melalui proses seleksi sebagaimana syarat yang tercantum dalam aturan petunjuk pelaksana. Belasan pesantren siluman bahkan ikut terdata. Berbekal data itu, Asran mengajukan surat permohonan kepada Kementerian Agama RI menggunakan kop surat anggota dewan yang diteken Moekhlas Sidik. Ajaib, respon Kementerian atas surat itu terbilang cepat. SK pemberitahuan penerima bantuan terbit tak sampai sepekan.
Saat bersaksi di persidangan, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono, membenarkan adanya usulan daftar penerima BOP dari tenaga ahli Moekhlas Sidik. Surat tertanggal 5 Agustus 2020 itu berisi daftar Pondok Pesantren dan Lembaga Pendidikan Qur’an yang diteken Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pasuruan, Munif. “Usulan penerima BOP kami verifikasi melalui pangkalan data dalam Education Management Information System (EMIS),” ujarnya.
Waryono tidak tahu mengapa surat itu dibuat Munif untuk rumah aspirasi. Ketika bersaksi, Munif mengatakan surat itu ia buat guna meladeni permintaan Rinawan. Ia mengaku kaget lantaran baru mengetahui SK penerima bantuan ketika pencairan BOP sudah mencapai 80 persen. Itupun ia peroleh dari laporan bawahannya yang terhubung dengan Nurdin. Ia membenarkan pernah menerima pemberian dalam bungkusan kresek. Bungkusan itu ia serahkan kepada jaksa ketika kasus ini masuk tahap penyidikan.
Ihwal penyerahan SK terungkap dari pengakuan Abdul Rouf, Kepala Sub. Bagian Tata Usaha Pondok Pesantren pada Kementerian Agama. Menurut dia, SK tersebut diserahkan kepada para tenaga ahli di lantai 7 gedung Kementerian Agama, Pertemuan pada 24 Agustus 2020 itu juga bertujuan untuk sosialisasi teknis penyaluran. “Dalam pertemuan itu muncul permintaan dari para tenaga ahli agar proses penyaluran ikut dibantu jaringan relawan rumah aspirasi anggota dewan di Komisi VIII,” ujarnya.
Kementerian tak menolak permintaan itu. Sebab, kata dia, pelibatan para relawan sudah disepakati saat rapat bersama Komisi VIII pada Juli 2020. Pertemuan yang berlangsung di ruang pimpinan Komisi itu dihadiri 6 orang. Di antaranya Ketua Komisi VIII, Yandrie Susanto, Dasopang, dan Hasan Sadzeli. “Supaya mereka bisa mengklaim bahwa bantuan tersebut adalah aspirasi mereka. Juga supaya mengontrol pelaksanaan bantuan,” ujar Rouf sebagaimana salinan putusan terhadap Rinawan.
Melabrak Aturan Lapangan Banteng
Persidangan kasus penyelewengan dana Bantuan Operasional Pendidikan keagamaan Islam di Kabupaten Pasuruan bakal memasuki babak pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya. Sebanyak sebelas terdakwa ditengarai menyunat dana bantuan dengan dalih biaya transport dan admistrasi pengurusan. Menerabas aturan pelaksana dari Kementerian Agama.
Kronologi
Pemerintah Pusat menggelontorkan program bantuan operasional pendidikan keagamaan Islam guna menanggulangi dampak Covid-19.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam menerbitkan petunjuk teknis penyaluran dana BOP bagi pesantren dan pendidikan keagamaan Islam.
Staf Ahli Moekhlas Sidik, Asran, meminta Rinawan menginventarisir jumlah lembaga Pendidikan untuk diusulkan dalam daftar penerima bantuan.
Rinawan mengumpulkan para relawan rumah aspirasi Moekhlas Sidik dan merancang skenario penyaluran, termasuk potongan dana BOP.
Kejaksaan Negeri Kota Pasuruan menyidik kasus penyelewengan dana BOP. Di kemudian hari, enam tersangka diajukan ke pengadilan.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya menyatakan Kepala Kementerian Agama Kota Pasuruan, Munif, bersalah menerima suap dana BOP.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis bersalah terhadap tiga pemberi suap: Samsul Khoiri, Abdul Wahid, dan Akhmad Sukaeri.
Rinawan Herasmawanto dan Nurdin dijatuhi hukuman bui selama 3 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya. Jaksa mengajukan banding.
Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan membacakan dakwaan terhadap 11 orang penyelewenang dana BOP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya.
Ketika dimintai konfirmasi, Yandrie membantah pertemuan itu. Ia mengaku tak tahu menahu ihwal pendistribusian SK penerima BOP oleh para tenaga ahli Komisi VIII. Menurut dia, anggota dewan hanya dilibatkan Kementerian untuk memberi usulan. Sementara teknis pelaksanaan program itu sepenuhnya kewenangan Kementerian Agama. “Saya kurang tahu itu, karena itu tetap Kemenag yang membagikan, tugas kami hanya mengawasi,” katanya saat dihubungi melalui telepon seluler, Rabu 15 Juni 2022.
Yandrie mengaku sudah mewanti-wanti para pihak agar tak menyunat dana BOP. Bila praktik itu terjadi, ia meminta aparat penegak hukum tak sungkan memproses para pelaku. “Dari awal sudah saya sampaikan berulangkali. Jangan sampai ada potongan, satu sen pun, baik karena alasan administratif atau transport,” ujarnya. Menurut dia, program ini berjalan aman di daerah pemilihannya. “Malah, forum-forum pondok yang terlibat pendistribusian saya kasih transport sendiri,” kata dia.
Kasus penyelewengan yang paling mengemuka memang terjadi di Kabupaten Pasuruan. Hasil uji petik terhadap 109 pesantren penerima BOP tahap pertama terungkap, setengah di antaranya tak layak. Lembaga pendidikan itu diketahui tak terdaftar dalam pangkalan data Kementerian Agama alias belum memiliki Nomor Statistik Pondok Pesantren. Warta Bromo juga menemukan 12 pesantren fiktif. Adapula lembaga yang menerima bantuan ganda seperti Madrasah Diniyah An Nur di Desa Lumbangrejo, Kecamatan Prigen.
Rinawan ditengarai merancang skenario itu tak lama setelah mendapatkan SK penerima dana BOP yang dikirim Asran melalui pos. Usai mendapat lampu hijau, ia langsung bergerak. Seluruh staf dan relawan RAPI Moekhlas Sidik di Pasuruan dan Probolinggo ia kumpulkan di rumah aspirasi yang berada di komplek Masjid Merah, Desa Duren Sewu, Kecamataan Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Selain membahas mekanisme penyaluran, pertemuan itu juga menyepakati pemotongan bagi lembaga penerima.
Pengakuan Gus Fauzi, Pimpinan Pondok Pesantren Roudlotul Hasanah, Kelurahan Temborejo, Kecamatan Purworejo, mengungkap permainan mereka. Di penghujung September 2020, ia menjamu kedatangan Abdul Wahid, pengurus Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah Kecamatan Gadingrejo. Wahid menunjukkan 11 Surat Keputusan berisi daftar penerima BOP. SK tersebut ia peroleh dari staf Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pasuruan. Belakangan terungkap, SK itu berasal dari rumah aspirasi.
Pesantren Roudlotul Hasanah masuk dalam daftar penerima bersama ratusan lembaga lain. Bantuan itu disebut hasil perjuangan anggota dewan daerah pemilihan Pasuruan-Probolinggo, Moekhlas Sidik. Wahid lalu menawarkan diri membantu semua urusan administratif. Syaratnya, ada potongan Rp 10 juta. Gus Fauzi setuju. Duit pun cair beberapa hari kemudian. Orang suruhan Wahid, Khoiri, lalu ditugasi mengambil uang yang disepakati. “Potongan itu untuk laporan pertanggungjawaban,” terang Gus Fauzi.
Petunjuk Kementerian
Pemotongan dana BOP juga dialami Kyai Mahrus, pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan. Bantuan sebesar Rp 25 juta harus terpangkas Rp 10 juta. Ia memprotes perlakuan itu dan meminta uang itu segera dikembalikan. Jika tidak, kasus itu bakal berujung laporan ke penegak hukum. Ancaman Mahrus terbukti ampuh. Uang itu dikembalikan sehari kemudian di sebuah minimarket. “Pemotongan ini jelas tidak bisa diterima,” kata dia.
Moekhlas mengaku tak mengetahui ulah para relawannya. Ia baru mengetahui skandal ini setelah ramai pemberitaan di media awal tahun lalu. Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia berpangkat Laksamana Madya pun tak ingin pasang badan untuk mereka. Sejak program ini bergulir, ia sudah mewanti-wanti agar tidak ada penyelewangan. “Saya tegaskan supaya program ini dilakukan dengan benar. Dan ternyata mereka melakukan penyelewengan, jadi silakan saja diproses. Wong mereka maling,” kata Moeklas.
Moekhlas tak menyangkal pernah melayangkan surat pengantar berisi rekomendasi daftar lembaga calon penerima dana BOP kepada Kementerian Agama. Ia tak mengingat berapa banyak lembaga yang pernah diusulkan. Proses pendistribusian SK, pelaksanaan program, dan pengawasan seluruhnya diurus tenaga ahli dengan cara koordinasi Kementerian. “Hampir semua anggota Komisi VIII menyampaikan usulan daftar lembaga penerima dana BOP dari daerah pemilihannya masing-masing,” kata dia.
Kuasa hukum Rinawan, Fathoni, mengaku tengah menempuh perlawanan hukum atas putusan pengadilan Tipikor. Sebab, unsur kerugian yang didakwakan kepada kliennya tak bisa dibuktikan secara gamblang oleh jaksa penuntut. Ia balik menuding kejaksaan tebang pilih lantaran kasus yang terjadi di daerah pemilihan lain belum tersentuh. “Semua kan tahu bantuan ini datang dari jalur fraksi Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa. Kenapa hanya klien saya yang diproses?” ujarnya.
Tuduhan Fathoni bukan tanpa alasan. Hasil pemantauan Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkap karut-marut penyaluran BOP juga terjadi di banyak tempat. Selain Jawa Timur, temuan yang sama juga terdeteksi di Aceh, Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Banten. “Penggunaan bantuan tidak sesuai peruntukan dan banyak dimanfaatkan untuk kepentingan politik,” kata peneliti ICW, Wana Alamsyah. Ia menyitir foto-foto sejumlah anggota Komisi VIII yang menyerahkan bantuan BOP secara simbolik.
Secara nasional, program BOP didedikasikan untuk 195.344 lembaga penerima bantuan. Terdiri dari 21.173 pondok pesantren, 112.008 TPQ dan 62.153 madrasah diniyah. Bantuan untuk pesantren diberikan dengan nominal beragam mulai Rp 25 juta hingga Rp 50 juta, tergantung jumlah santri. Sedangkan untuk TPQ dan madin, masing-masing menerima Rp 10 juta. Menurut Wana, penyelewengan dana program dipicu oleh lemahnya sistem verifikasi dan validasi lembaga penerima bantuan.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan memperkuat temuan ICW. Dalam laporan surat bernomor: 8/S/VII-XVII/01/2021 itu, BPK menyebut proses perencanaan, verifikasi, validasi dan penetapan penerima BOP Covid-19 tidak memadai. BPK juga menemukan fakta bahwa 374 lembaga mendapatkan bantuan lebih dari satu kali. Bila ditotal, angkanya mencapai Rp 7.7 miliar. “Pengawasan yang lemah dan sistem verifikasi yang belum memadai membuat program ini bocor di sana-sini,” ujar Wana.
***
Artikel ini merupakan kolaborasi Tempo dan Warta Bromo dalam Fellowship SEA Covid-19 Financial Stimulus Package yang diselenggarakan oleh Tempo Institute, Philippines Center for Investigative Journalism dan Kini Academy