Proyek

Kawasan Tanpa Rokok Jakarta: Terseok-seok Tanpa Regulasi

Rabu, 25 Agustus 2021

Gagasan kampung Kawasan Tanpa Rokok (KTR) mendapat respons masyarakat demi menekan jumlah perokok aktif. Sayangnya, niat mereka terganjal aturan. Intervensi pemerintah dinilai kurang optimal.

Oleh Lani Diana

tempo

Sekali mencoba rokok rasanya sulit berhenti. Inilah yang dirasakan Agus Hermawan, salah satu warga Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. 

“Kebiasaan dari kecil jadi sulit menghilangkannya,” kata dia saat berbincang dengan Tempo, 26 Juli 2021. 

Agus mulai menghisap rokok sejak usia 13 tahun, ketika dia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Dia terjerumus ke dalam pergaulan yang kerjaan orang-orangnya sering merokok. Agus menyebut niatnya mencoba rokok semula hanya ikut-ikut kawan di lingkungan sekolahnya. 

Sebab, merokok di umur belia justru dicap keren. Agus merasa gengsi jika tidak nyemplung ke dalam lingkaran asap tersebut. Padahal, ayah dan kakeknya tidak merokok. Dia murni baru mengenal, bahkan menjadi karib dengan rokok, karena pergaulan anak sekolahan. Merokok pun harus diam-diam.

Dia berujar kebiasaan merokok masih berlangsung hingga usianya yang tahun ini memasuki 48 tahun. Dalam sehari dia bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok kretek. 

Agus menyadari bahwa merokok dapat membahayakan kesehatannya. Lima anak dan istrinya bisa ikut menjadi korban karena menjadi perokok pasif. Dia sudah berniat lepas dari rokok sejak sekitar 1998. Sayangnya, mengubah kebiasaan merokok tidaklah mudah. 

Salah satu penyebabnya lantaran lingkungan sekitar Agus yang juga gemar merokok. Dia tinggal di RT 05, RW 03 Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur. Dia aktif berinteraksi di lingkungan sekitar untuk mengemban tugas sebagai Ketua RW 03. 

Menurut dia, pergaulannya di RW 03 tak jauh-jauh dari rokok. Apalagi, warga di sana tak jarang membeli rokok untuk dibagikan ke orang lain. Agus mencontohkan, sebelum pandemi Covid-19, warga RW 03 secara bergilir mendapat jatah sebagai petugas keamanan keliling. 

Umumnya bapak-bapak yang terlibat dalam kegiatan keamanan seperti ini. Selesai inspeksi, mereka berkumpul di pos keamanan lalu ngobrol sejenak sembari menyulut rokok sebatang atau dua batang. Niat untuk stop merokok jadi setengah hati. 

“Jadi setengahnya (ingin) berhenti, tapi masih bermain dengan lingkungan perokok semua,” ucap dia.

Hingga kini belum ada sakit serius yang Agus rasakan. Walau begitu, dia merasa napasnya sedikit berat dan mudah letih ketika berjalan jauh. 


Bergerak bangun Kawasan Tanpa Rokok


Agus kerap menyambangi RT 01, RW 03 Kelurahan Kebon Pala yang dekat tempat tinggalnya. Alasannya, di RT 01 banyak diterapkan program yang bagus menurut dia. Salah satunya program Kawasan Tanpa Rokok alias KTR.

Dengan berada di lingkungan ini, Agus mengaku bisa mengurangi, bahkan tidak mengonsumsi rokok sama sekali. Beda ketika dia bergaul di tempat lain, dia tak henti-henti merokok.

Sebab, di KTR RT 01 Kebon Pala terpampang spanduk bertuliskan ‘tanpa asap rokok’. Agus juga berupaya mengimbangi warga RT 01 yang tidak merokok di sembarang tempat. “Jadi saya untuk ngerokok agak malu,” ujar dia.

Program KTR digagas oleh komunitas Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA). Ketua FAKTA Azas Tigor Nainggolan memaparkan KTR merupakan pengembangan dari Kampung Warna Warni. Kampung Warna Warni awalnya dibentuk untuk mempercantik kampung miskin. 

FAKTA kemudian melengkapi Kampung Warna Warni dengan KTR. Tujuannya untuk membangun kampung sehat yang terbebas dari asap rokok. “Dimulai tidak merokok dari rumah dan kemudian tidak merokok di kampungnya,” kata Azas. 

Duapuluh kilometer dari lingkungan tempat Agus bersosialisasi, Sukaesih menghadapi situasi yang berbeda. Sukaesih tinggal di Jalan Lontar VII, RW 10 Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Jalan tempat tinggalnya merupakan satu gang yang membentang dari RT 04 ke RT 05 Kelurahan Tugu Utara. 

Sukaesih sangat ingin wilayah pemukimannya juga bebas dari asap rokok. Dia mulai menggerakkan warga untuk hidup sehat dengan menggelar pemutaran film soal bahaya asap rokok pada 2018. Acara itu ikut difasilitasi oleh FAKTA.

Setelah diadakan pemutaran film, beberapa perokok justru terganggu. Menurut Sukaesih, mereka merasa seolah-olah diminta serta-merta stop merokok. Padahal, Sukaesih berujar, dirinya berupaya mensosialisasikan agar setidaknya warga pelan-pelan berhenti merokok di hadapan perokok pasif. 

“Untuk yang awal aja tidak rokok di dalam rumah, tapi tidak semudah itu,” ucap dia. 

Wanita 46 tahun ini melanjutkan niatnya dengan membentuk Kampung Warna Warni. Dia mengajak anak Karang Taruna setempat untuk mengecat rumah-rumah. Seluruh biaya ditanggung FAKTA.

Namun, warga tidak antusias membantu. Sukaesih menganggap warga di kampungnya sudah terlalu candu dengan rokok, sehingga tak bergairah. 

Dia juga mengedarkan survei untuk mengetahui apakah warga setuju jika ada larangan merokok di dalam rumah. Hasilnya mayoritas istri setuju, tapi tidak dengan suami-suami yang merokok. Survei ini merupakan proses awal untuk membentuk KTR. 

tempo
Kondisi kampung Kawasan Tanpa Rokok di RT 001/RW 03, Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Dok. Ketua RT 001 Kelurahan Kebon Pala Nur Kasim.

Cita-cita untuk mengadakan KTR pun kandas apalagi didukung dengan datangnya Covid-19 ke Indonesia. “Aduh kayanya berat, jadi akhirnya kami off dulu,” ujar dia. 

Sementara itu, pengalaman berbeda dirasakan Ketua RT 001 dari RW 03 Kelurahan Kebon Pala, Nur Kasim. Dia berhasil mendirikan KTR di RT 001 RW 03 Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. 

Dulu dia merasa prihatin dengan kondisi lingkungan domisilinya yang semrawut. Selain itu, banyak warga yang merokok di dalam rumah. 

Sejak diberi tanggung jawab menjadi ketua RT 001 pada 2019, dia langsung tancap gas membuat Kampung Warna Warni. Dia menyebut warga gotong-royong mengecat rumah-rumah agar tak lagi kumuh. 

Program ini kemudian ditingkatkan menjadi KTR. Kasim menyetujui kerja sama dengan FAKTA hingga akhirnya mengutus kader dasawisma studi banding ke Solo, Jawa Tengah dan Malang, Jawa Timur. 

Setibanya lagi di Jakarta, pengurus RT 001 langsung mengedarkan angket kepada warga guna melihat respons terhadap KTR. Kasim mengatakan 90 persen warga mendukung KTR. Tahun lalu, warga RT 001 mendeklarasikan dimulainya KTR. 

“Awalnya kami tau rokok di lingkungan kami udah betul-betul sangat memprihatinkan, tapi kami tetap komitmen. Walaupun pelan, tapi pasti,” tutur dia. 

Pengurus mulai melakukan penghijauan lingkungan hingga menempelkan spanduk Kawasan Bebas Asap Rokok, Hidup Sehat Tanpa Rokok, dan lainnya di sejumlah titik. Pengurus juga mendatangi setiap rumah atau door to door untuk mengimbau bapak-bapak tidak merokok di dalam rumah. 

Kasim juga menyediakan satu tempat khusus merokok yang lokasinya di area terbuka, dekat taman, jauh dari area rumah warga. Tujuannya agar tidak ada yang merokok lagi di dalam rumah. 

tempo
Contoh stiker di rumah warga yang berhenti merokok di RT 001/RW 03, Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Dok. Ketua RT 001 Kelurahan Kebon Pala Nur Kasim.

Kasim mengklaim sekitar 10 persen warganya kemudian sedikit demi sedikit mengurangi konsumsi rokok. Ada yang berhenti memang karena sakit, ada juga yang menjadi percaya Covid-19 bisa memperparah kondisi tubuh penderita sakit paru-paru. Perokok yang kerap mengepulkan asap di sembarang tempat juga mulai sungkan merokok di hadapan non-perokok.

“Pelan-pelan, tapi kami sangat berterima kasih atas kemauan mereka, walaupun berat,” ujar Kasim. 

Total ada sekitar 180 kepala keluarga dan lebih dari 200 jiwa warga RT 01 RW 03 Kelurahan Kebon Pala. Dari jumlah ini, dia melanjutkan, baru setengahnya yang tidak merokok. Kasim dan jajarannya akan menempelkan stiker ucapan terima kasih di rumah warga yang tidak merokok. 

Kasim menilai upayanya dan Sukaesih menekan warga berhenti merokok bakal terwujud jika pemerintah ikut campur tangan. Salah satunya dengan menerbitkan payung hukum berupa Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Kawasan Tanpa Rokok.

“Sanksi belum bisa kami terapkan, karena terkendala Perda, enggak ada dasar hukumnya,” jelas dia. Alhasil, Kasim dan Sukaesih hanya bisa mengimbau tetangganya untuk tak merokok di dalam atau teras rumah. 


Percuma tanpa sanksi


Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2013 menunjukkan rata-rata penduduk Jakarta berusia lebih dari sama dengan 10 tahun mengonsumsi rokok 11,6 batang per hari. Jumlah ini meningkat menjadi 12,66 batang per hari pada 2018.

Laporan Riskesdas 2018 memperlihatkan 51,5 persen responden pertama kali merokok di usia 15-19 tahun. Kelompok remaja inilah yang paling banyak mulai coba-coba mengonsumsi rokok. Kemudian disusul penduduk berusia 10-14 tahun dengan persentase 25,6 persen dan penduduk usia 20-24 tahun sebanyak 14,5 persen. Total sampel untuk menganalisis indikator ini mencapai 10.521 orang.

Ketua No Tobacco Community (NOTC) Bambang Priyono menyatakan pemerintah pusat ataupun daerah harus mengendalikan tembakau guna melindungi anak-anak. Pemerintah daerah dapat menerbitkan kebijakan KTR sebagai salah satu upaya pengendalian tembakau.

“Yang dilarang bukan hanya kegiatan merokok, tapi memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau,” jelas dia dalam diskusi daring yang disiarkan akun Youtube FAKTAID, 15 Juli 2021. 

Adanya KTR, dia melanjutkan, bukan berarti semua penduduk di provinsi itu dilarang merokok. Bambang menerangkan, larangan merokok hanya berlaku di tempat tertentu yang ditetapkan sebagai KTR. 

Ketua FAKTA Azas Tigor Nainggolan mengingatkan pentingnya pemerintah daerah, termasuk DKI Jakarta, memiliki Perda KTR. Sebab, pemerintah telah mewajibkan pemerintah daerah menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayah masing-masing yang diatur dalam sebuah Perda. 

Kebijakan ini tertuang dalam Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Aturan soal KTR termaktub dalam Pasal 49-52. 

Namun, Tigor mengkritik tidak ada sanksi hukum dalam PP tersebut. Padahal, sanksi hukum dapat membuat jera pemerintah daerah yang tidak menerbitkan Perda KTR.

Karena itulah dia mendesak pemerintah pusat segera merevisi PP 109/2012. Revisi harus menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menggodok Perda KTR. 

“Perlu revisi bagaimana memperkuat daerah-daerah dalam menegakkan KTR itu, didukung, dan diberi kekuatan,” terang dia.

Kementerian Kesehatan sebelumnya telah mengajukan revisi PP 109/2012 yang digagas mantan Menteri Kesehatan Nila Moeloek. Namun, hingga kini tidak ada perkembangan. 

Kemudian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian serta Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan masuk sebagai anggota panitia antar kementerian untuk mengurusi revisi PP 109/2012. 

Kemenko PMK sepakat dengan revisi tersebut. Koordinator Pengendalian Penyakit Kemenko PMK, Rama Prima Syahti Fauzi, mengutarakan pihaknya sudah melayangkan surat resmi kepada Kemenkes agar segera merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah Perubahan PP 109/2012. 

Menurut dia, revisi aturan mendesak lantaran prevalensi merokok anak terus meningkat jika mengacu pada data Riskesdas Kemenkes. Tingkat konsumsi rokok oleh anak berusia di bawah 18 tahun naik dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen. Revisi PP juga sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. 

“Revisi akan memperkuat peran Pemda dalam penegakkan KTR, terutama dalam larangan anak merokok,” jelas Rama saat dihubungi, Jumat, 20 Agustus 2021.

Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo Siswoyo menganggap pemerintah tak perlu merevisi PP 109/2012. Yang terpenting adalah PP 109/2012 benar-benar diimplementasikan. Menurut dia, pemerintah harus mencari win-win solution, baik bagi perokok maupun yang tidak merokok.

Dia juga mengingatkan agar isi Rancangan Perda KTR tidak menabrak PP 109/2012. Misalnya seperti Perda KTR Kota Bogor yang melarang iklan rokok di media luar ruang atau display rokok di toko yang harus ditutupi.

“Ini kan sebetulnya tidak boleh seperti itu, karena memang di PP tidak ada. Jangan sampai mengatasnamakan atau alasan diskresi dari kepala daerah, sehingga mengada-ada,” jelas dia saat dihubungi, Rabu, 25 Agustus 2021.

Budidoyo memberi kritik terhadap penerapan kampung KTR di beberapa titik Ibu Kota. Dia mempertanyakan pengawasan KTR tersebut. Pengawasan yang dilakukan masyarakat, lanjut dia, justru akan menuai konflik baru.

“Orang kan kalau melarang sesuatu harus menyediakan sesuatu. Masa sekarang sampai di keluarga aja tidak boleh,” ujar dia.

Budidoyo menilai lebih baik keluarga saling menghormati. Dia mencontohkan dirinya yang merokok, tapi tidak dengan anaknya. Budidoyo dan sang anak tetap bisa hidup berdampingan tanpa ada larangan merokok di dalam rumah. “Artinya itu lebih mengedukasi,” tutup dia.

tempo
Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta Idris Ahmad. Foto: Dokumentasi PSI

Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta Idris Ahmad berpendapat Perda KTR diperlukan, meski sudah ada Peraturan Gubernur DKI Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Pergub saja, tambah dia, tak cukup mengurangi jumlah perokok di Ibu Kota. 

Idris menyampaikan harus ada regulasi yang tegas untuk menekan aktivitas merokok. Salah satunya dengan menambahkan pasal sanksi jika aturan dilanggar. Sanksi dapat dimuat dalam Perda. 

Dia melanjutkan, pandemi Covid-19 sebenarnya momentum untuk mengendalikan konsumsi tembakau. Sebab, gejala perokok rentan menjadi parah jika terserang virus corona.

DPRD DKI telah menginisiasi pembahasan Perda KTR sejak akhir 2015. Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI, Dwi Rio Sambodo, mengatakan naskah akademik Rancangan Perda (Raperda) KTR sudah rampung sejak 2016. 

Waktu itu, seluruh fraksi juga telah menyampaikan pandangan umum dan mendapatkan tanggapan dari eksekutif. Secara prinsip, lanjut dia, seluruh fraksi sudah sepakat membentuk Perda KTR. 

Itu artinya Bapemperda tinggal membahas hal-hal teknis mengenai Raperda KTR. Namun, hingga kini Raperda KTR belum disentuh para politikus Kebon Sirih. 

Dwi memprediksikan pembahasan Raperda KTR akan dimulai sekitar September atau Oktober tahun ini. Pembahasan hanya membutuhkan waktu satu bulan, karena sudah mendekati proses finalisasi. 

Politikus PDIP ini berpendapat publik juga perlu mendorong dewan untuk segera merampungkan Raperda KTR. Menurut dia, opini publik tentang KTR di Jakarta masih minim. 

“Mungkin ini bisa menjadi salah satu bentuk perjuangan mempercepat pembahasan dan finalisasi pembahasan Raperda KTR,” jelas dia. 

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia