Longform

Selip Sirip Pantura Sampai ke Cina

Senin, 17 Januari 2022

Spesies hiu dan pari yang dilindungi masih banyak diperdagangkan oleh para nelayan di pantai utara Jawa Tengah. Para pengepul mengirimkan sirip dan kulit hiu-pari itu ke eksportir di Surabaya maupun Tangerang dengan menyebutkannya sebagai ikan asin atau surimi. Pemerintah mengakui kewalahan.

Oleh Linda Trianita

tempo

HIRUK-pikuk di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasik Agung, Rembang, Jawa Tengah, makin kentara saat fajar baru saja menyingsing. Puluhan kapal penangkap ikan berkapasitas 30-100 gross tonnage satu per satu merapat ke dermaga pada Selasa pagi, 9 November 2021. Masing-masing awak hilir mudik mengeluarkan semua hasil tangkapan. Para pembeli, termasuk Haji Muslimin, yang bersiaga di pelelangan sejak subuh siap menyambut ikan-ikan dari dalam tong maupun baki besar.

Terdapat pelbagai jenis tangkapan dari para nelayan yang melaut di Perairan Natuna, Kalimantan, Maluku, hingga Papua itu. Ada cumi-cumi, ikan kurisi, hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis), pari kupu-pupu (Rhina ancylostoma), pari liong bun atau kekeh (Rhynchobatus australiae, Rhynchobatus springeri), pari kikir (Glaucostegus typus, Glaucostegus thouin), dan pari lontar (Rhynchobatus laevis). Dua spesies terakhir merupakan pari yang paling banyak ditangkap. Ukurannya berbagai macam, paling panjang sekitar 2,5 meter dengan berat 70 kg. Sedangkan pari tangkapan paling kecil 50 centimeter dengan berat 10 kg. Haji Muslimin, satu dari empat pengepul sirip hiu dan pari di Rembang, mendatangi masing-masing kapal. Tak sampai lima menit mengobrol dengan para nelayan itu, Haji Mus —begitu ia disapa— langsung menempeli badan hiu dan pari itu dengan nama dan nomor teleponnya. 

Anak buah Haji Mus lalu membawa hasil tangkapan itu ke tempat penampungan sementara di sekitaran pelabuhan untuk pemotongan. Para jagal yang membawa badik besar langsung melucuti hiu dan pari dalam beberapa bagian. Mereka memisahkan kepala, daging, sirip, dan kulit. Dari satu hiu atau pari terdapat tiga sirip: bagian atas, dada, dan ekor. Rampung penjagalan, Haji Mus membawa Sirip dan kulit ke gudangnya yang berjarak sekitar lima kilometer dari pelabuhan. “Ini harus dijemur tiga sampai lima hari,” ujar Haji Mus, pada Selasa, 9 November 2021.

tempo

Di dalam gudang, teronggok dua karung setinggi dua meter yang berisi sirip kering. Di Atasnya berupa tumpukan kulit tiga ekor pari. Haji Mus mengatakan sirip dan kulit itu akan dijual kepada eksportir di Tangerang. Sirip dengan panjang 45 cm dibanderol Rp 2,6 juta, sedangkan 50 cm harganya Rp 3 juta. “Makin panjang makin mahal,” ujarnya. Adapun daging dan kepala hiu-pari, ia jual ke pedagang lokal untuk ikan asap. 

Hiu lanjaman, pari kikir, dan pari kekeh yang dikumpulkan oleh Haji Mus merupakan spesies yang masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang terancam punah karena populasinya terus menurun. Spesies tersebut juga masuk dalam apendiks II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Pemerintah menetapkan kuota untuk membatasi eksportir besar-besaran ikan tersebut. Meski begitu, pemerintah tak melarang perdagangan dalam negeri. Haji Mus dan suplier lain memang menjajakan daging dan kepala hiu-pari untuk konsumsi lokal. Namun, mereka menjual sirip, tulang, dan kulit spesies yang dilindungi itu ke perusahaan besar untuk diekspor.

Haji Mus pun mahfum hiu dan pari yang dia jual itu dilindungi. “Untuk masyarakat (menangkap dan menjual) tidak apa-apa,” ucapnya. Tapi, dia juga masih ketar-ketir jika kena operasi oleh jajaran Kementerian Kelautan maupun kepolisian. “Ingin ngurus izin. Saya baru tanya-tanya sama teman,” ujarnya.

Meski belum mengantongi izin, Haji Mus hampir saban bulan mengirim sirip hiu dan pari tersebut ke PT Indo Seafood di pergudangan Dadap, Tangerang. Ia biasanya menyetor sirip kering sebanyak 3-5 kardus karton berukuran 54 x 34 cm. Untuk kulit pari basah, dia memasok 7-10 kardus. Supaya tidak kena operasi petugas, Haji Mus menitipkan sirip dan kulit tersebut ke truk pengangkut ikan dari Rembang ke Muara Angke, Jakarta Utara. Untuk pengepulan pada November lalu itu, dia baru mengirim ke PT Indo Seafood pada 20 Desember 2021. “Kalau pakai jalur pengiriman (resmi) biayanya mahal dan rawan kalau kena (operasi),” ucapnya.

Untuk mengaburkan jejak perdagangan hiu dan pari ilegal, Haji Mus mengaku tak pernah bertatap muka dengan perwakilan PT Indo Seafood. Bahkan paket yang Haji Mus kirim itu saat tiba di Muara Angke, akan ada utusan PT Indo Seafood yang bertugas mengambil. “Semua melalui WhatsApp, termasuk urusan pembayaran melalui transfer,” ujarnya. Ia pun menunjukkan nota pembelian dan nomor telepon yang kerap diajak komunikasi. Dalam nota itu, tidak ada label nama perusahaan, hanya tertulis berat total, akumulasi harga yang harus dibayar perusahaan, serta nomor yang bisa dihubungi. 

tempo

Dalam surat keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Nomor 49 Tahun 2021, tidak tercatat nama PT Indo Seafood sebagai perusahaan eksportir sirip, tulang, kulit, daging, maupun ikan hidup. Artinya, PT Indo Seafood tidak mengantongi izin sebagaimana dalam penetapan dan pembagian kuota ekspor jenis ikan yang dilindungi terbatas dan/atau jenis ikan yang tercantum dalam apendiks II CITES hasil pengambilan dari alam tersebut.

Koordinator Kelompok Pemanfaatan dan Jenis Ikan, Sarmintohadi, menjelaskan perusahaan yang tidak memiliki kuota ekspor merupakan praktik ilegal. Ikan yang masuk kategori apendiks II CITES, menurut dia, meski perdagangannya di dalam negeri harus memiliki Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI) dan Surat Angkut Jenis Ikan (SAJI). “Mereka tidak bisa ekspor kalau tidak punya kuota. Itu ilegal,” kata Sarminto. Perusahaan dalam melakukan ekspor ikan apendiks II tidak mudah. Soalnya, mereka perlu ada pemeriksaan oleh Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) serta surat izin angkut dan ekspor. Selama pemeriksaan, BKIPM akan mengeluarkan sertifikat kelayakan kesehatan atau Health Certificate (HC) sebagai syarat pengiriman ke luar negeri. “ Tanpa HC tidak akan terbit izin,” katanya.

Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah Raden Gatot Perdana mengaku tidak pernah mendapatkan dokumen pengiriman jenis ikan apendiks II oleh PT Indo Seafood. Menurut dia, perusahaan tersebut hanya mendapat izin dan HC untuk keperluan ekspor surimi —hasil olahan daging ikan— yang biasanya dikirim ke Cina. “Dia tidak kirim apendiks II. Dia (PT Indo Seafood) seringnya kirim surimi,” kata Gatot.

PT Indo Seafood memiliki dua alamat perusahaan, yakni di Jalan Gajah Mada KM 4, Banyudono, Kaliori, Rembang, Jawa Tengah, dan di kawasan pergudangan Dadap, Jalan Raya Prancis Nomor 2 Blok N-1, Tangerang, Banten. Lokasi di Rembang dipakai untuk tempat produksi dan pengemasan ikan. Sedangkan gudang di Tangerang yang biasanya sebagai alamat tujuan pengiriman sirip dan kulit hiu-pari oleh Haji Mus. Di sana, tak ada satu pun papan nama perusahaan itu. Gudang itu juga memiliki dua lapis pagar berkelir hijau dan biru dengan ketinggian sekitar lima meter.

Dua warga dan satu pekerja PT Indo Seafood yang tinggal di wilayah tersebut mengaku, perusahaan ini menyimpan sirip, kulit, dan daging hiu serta pari di dalam gudang. “Ada sirip dan pari. Dulu pernah digerebek polisi,” kata salah satu warga yang tak mau disebutkan namanya. Sekretaris PT Indo Seafood, Lidia, membantah perusahaannya menerima sirip dan kulit pari maupun hiu yang masuk apendiks II dari suplier, apalagi mengirim barang tersebut ke luar negeri. “Kami tidak kirim. Salah alamat. Kami pabrik surimi,” kata Lidia.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rusandi akan mengecek temuan ini. “Kami akan investigasi,” ujar Andi, Senin 20 Desember 2021.

***

TAK hanya di Rembang, praktik penangkapan dan perdagangan ikan yang masuk kategori apendiks II marak terjadi di Indonesia. Namun tim liputan kali ini hanya menyusuri di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah, seperti di Pelabuhan Tegalsari, Tegal, dan Pelabuhan Bajomulyo, Juwana, Pati. Setiap hari, nelayan dan pengepul ikan mendapatkan hiu lanjaman, pari kikir, dan pari kekeh.

Ikan-ikan hasil tangkapan itu diletakkan di gudang pendingin sebelum dikirim ke eksportir. Salah satu lokasi penyimpanan berada di Juwana, Pati, yang dimiliki oleh kader Partai Demokrat Supeno. Pria yang pernah mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Pati pada 2011 ini juga mempunyai kapal besar.

Di dalam gudang pendingin milik Supeno itu, terdapat tumpukan hiu lanjaman, pari kupu-kupu, pari lion bun, pari lontar, serta pari kikir (Glaucostegus typus dan Glaucostegus thouin). Supeno mengaku semua jenis ikan itu hanya titipan para pengepul di Pati. “Saya memang menyimpan. Itu kan dari TPI dibawa ke cold storage,” kata Supeno pada Selasa, 9 November 2021. Menurut dia, pemerintah tak sepenuhnya melarang penangkapan maupun perdagangan hiu dan pari. “Sekarang dilarang dilarang toh, tapi tidak ada solusinya,” ujarnya. Beberapa suplier mengaku sirip-sirip itu ada yang dikirim ke perusahaan di Surabaya yang dititipkan ke bus atau kereta. Biasanya mereka mengaku sirip yang dibungkus kardus itu sebagai ikan asin.

tempo

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Andi Rusandi, mengatakan pemerintah berupaya melindungi spesies yang masuk dalam apendiks II CITES itu melalui proses izin yang ketat. Ia juga berupaya menghindari praktik penyuapan petugas sekaligus mempermudah kontrol perizinan dan perdagangan. Sebelum hiu, pari, atau ikan jenis lain dikirim ke luar negeri, tim verifikasi mengunjungi pergudangan perusahaan. “Semua ada urutannya. Sudah kami siapkan. Tidak ada yang ditutup-tutupi,” kata Andi.

Kendati demikian, celah eksportir mengirimkan sirip hiu dan pari tanpa mengurus izin masih terjadi. Sumber di Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Serang wilayah kerja Semarang menyebutkan jumlah perusahaan yang banyak ditambah tim verifikator yang sedikit menyulitkan pemantauan secara ketat. “Menelusuri itu agak rumit. Saya yakin ada yang lewat darat yang tak dapat izin. Apendiks tanpa kuota ada.” ujarnya.

Sumber lain di Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Stasiun Cilacap juga mengaku kesulitan mengidentifikasi jenis sirip yang telah dikumpulkan eksportir. Soalnya, sirip, kulit, tulang, maupun daging ketika sudah di pergudangan akan bercampur. Semuanya ditumpuk dalam satu karung sehingga petugas tak bisa membedakan sirip tersebut dari spesies apendiks II atau bukan.“Kami tidak bisa mengetahui jenis apa hanya dari kasat mata, harus tes DNA,” ujarnya. 

Dalam inspeksi ke salah satu eksportir di Jawa Tengah, petugas itu mengaku harus mengirimkan gambar jenis ikan terlebih dahulu kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk proses identifikasi sebelum memutuskan penindakan. “Satu ruangan ditumpuk jadi satu, lalu ditutup terpal. Susah juga identifikasi,” ujarnya.

BKIPM pusat tak membantah masih banyak celah penyelundupan ikan apendiks II. Kepala Pusat Karantina Ikan BKIPM, Riza Priyatna, mengaku kesulitan melakukan pengawasan di jalur darat. Sebab, lembaganya hanya mendapatkan kewenangan pemeriksaan ketika ada surat rekomendasi ekspor dari Ditjen PRL. BKIPM juga hanya bertugas di bagian hilir sebelum dikirim, yakni wilayah pelabuhan dan bandara. “Kalau kirim pakai travel, bagaimana bisa kami mengawasi? Kami juga capek dan tidak mau melakukan tugas orang lain. Tugas kami hanya entry dan exit point,” kata Riza.

Peneliti hiu dan pari dari International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), Benaya Meitasari Simoen, menjelaskan pemerintah memang sudah mengatur kuota penangkapan dan ekspor hiu-pari secara ketat, namun masih banyak sekali celah. Misalnya saja, pengawasan di pintu keluar perdagangan dan di jalur darat yang sangat terbatas.

Benaya mengatakan wilayah Pantura Jawa Tengah merupakan daerah penangkapan pari kikir dan pari kekeh. Bahkan, Indonesia menjadi negara yang paling banyak penangkapan dan perdagangan hiu serta pari di seluruh dunia. Sirip-sirip itu biasanya dikirim ke negara-negara Asia Timur untuk dikonsumsi atau ke negara lain seperti Kanada, Selandia Baru dan lainnya untuk bahan baku produk makanan tertentu. “Sekitar 60 persen produksinya adalah pari. Indonesia punya laut dangkal, luas, dan berlumpur. Itu merupakan daerah ekosistem pari,” ujar Benaya. Ia mengingatkan pemerintah untuk mengetatkan pengawasan di wilayah penangkapan maupun perdagangan. “Negara lain sudah hilang tapi di Indonesia masih ada. Itu potensi menjadikan lebih lestari,” ucapnya.

tempo

Akibat lemahnya pengawasan ini, PT Neptuna Dwindo Maitrina mudah mengakali pengiriman hiu dan pari untuk PT Surya Hasil Laut di Jakarta pada 21 Maret 2021. Ikan tersebut dikirim dari Pelabuhan Selat Lampa Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Saat pendaratan di Pelabuhan Tanjung Priok, petugas BKIPM yang sebelumnya mendapat info mengecek isi kontainer tersebut dan mendapati empat jenis hiu yang masuk dalam apendiks II CITES dengan berat 374,15 kilogram. Perusahaan tersebut menggunakan surat jalan berupa sertifikat kesehatan ikan dan mutu hasil perikanan domestik oleh BKIPM Tanjung Pinang Satker KIPM Natuna pada 15 Maret 2021 dengan jenis hiu cucut 1.000 kilogram dan ikan jahan 9.000 kilogram.

Menurut Riza Priyatna, modus yang dilakukan PT Neptuna ini juga banyak dilakukan oleh perusahaan lain. “Ini berdampak terhadap ancaman kepunahan dan menimbulkan kerugian negara,” ujar Riza. Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rusandi mengakui lembaganya sulit mengontrol perdagangan hiu dan pari apendiks II. Selain karena jejaring perdagangan yang luas, sistem tak menjamin pengendalian tangkapan dan ekspor. “Kami sulit menelusuri karena rantingnya banyak. Kami kelimpungan soal ikan,” ungkap Andi.

CREDIT

Penulis

Foto and Video

Editor

Multimedia