Longform

Janji Dunia Membendung Malapetaka Perubahan Iklim

Rabu, 16 November 2021

Lebih dari 190 negara ikut salam KTT Perubahan Iklim atau COP26, Glasgow. Pada pertemuan kali ini mengangkat tema utama ‘upaya yang bisa dilakukan pemerintah di seluruh dunia agar dampak perubahan iklim bisa diantispasi. Di akhir pertemuan, sejumlah perjanjian diteken.

Oleh Inge Klara Safitri

tempo

Konferensi Iklim ke-26 atau Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia, berakhir pada 13 November 2021. Seharusnya, konferensi itu digelar pada 2020. Namun akibat pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19), COP26 baru dilaksanakan tahun ini. 

Tema utama dalam pertemuan kali itu adalah apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah di seluruh dunia agar perubahan iklim tidak membawa dampak yang sangat merusak bagi Bumi dan manusia. Sejumlah negara menjadi sorotan karena dinilai sebagai negara penghasil polutan terbesar. Mereka adalah Amerika Serikat, China, India, Australia dan Brasil. 

Ada banyak hal yang masuk dalam pembahasan COP26.

tempo tempo

Setelah melalui perundingan selama dua pekan, para negosiator iklim dari 197 negara menyepakati dan menandatangani Pakta Iklim Glasgow. Perjanjian itu memiliki tiga poin utama, yakni menghentikan pembangkit listrik energi batu bara secara bertahap, tetap berupaya menjaga suhu bumi agar tidak naik 1,5º Celsius, dan mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau komitmen penurunan emisi 2030 dalam nationally determined contribution atau NDC tiap negara pada 2022.

Selain itu, COP26 juga diklaim mengambil sejumlah langkah yang lebih jauh dalam mengenali dan mengatasi kerugian dan kerusakan dari dampak perubahan iklim. Salah satunya, mendesak negara maju menyediakan pembiayaan adaptasi krisis iklim pada 2025 untuk negara berkembang.

Dua tahun lalu, ketika Inggris memutuskan menjadi tuan rumah COP26 bersama Italia dalam pertemuan G20, hanya 30 persen negara yang menyatakan akan memenuhi net zero emission—upaya mencapai keseimbangan nol emisi. Setelah COP26, jumlah negara naik menjadi 90 persen. 

Net zero emission bukan berarti tidak menghasilkan emisi apapun. Namun, emisi yang diproduksi bisa diserap sepenuhnya sehingga tak ada yang meluap menambah kotor atmosfer. “Dalam periode dua tahun ini 154 negara mengajukan target nasional penurunan emisi baru, yang mencakup 80 persen penyumbang emisi global,” seperti dikutip dari siaran pers yang ditulis panitia COP26.

Janji Indonesia

Pada COP26, Indonesia ikut berkomitmen dalam Deklarasi Hutan dan Penggunaan Lahan. Poin utama dalam deklarasi itu adalah untuk mengebut pemulihan atau restorasi hutan. Selain Indonesia, ada 114 pemimpin lain yang ikut dalam deklarasi tersebut. Mereka termasuk Kanada, China, Rusia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo.

Seluruhnya, secara kolektif menyumbang 85 persen hutan dunia atau sekitar 34 juta kilometer persegi. Area tersebut dianggap mampu menyerap sepertiga CO2 global yang berasal dari bahan bakar fosil tiap tahun.

Presiden Joko Widodo juga menagih komitmen negara-negara maju untuk membantu negara berkembang, termasuk Indonesia, menangani perubahan iklim. Presiden yang kerap disapa dengan Jokowi itu juga menyampaikan berbagai upaya yang dilakukan Indonesia demi memenuhi komitmennya menangani pemanasan global. Ia mengklaim telah menerapkan kebijakan dan membangun ekosistem ekonomi hijau.

Namun, kata Jokowi, hal itu tidak cukup menuntaskan masalah iklim sehingga Indonesia tetap membutuhkan bantuan internasional terutama dari negara maju. “Penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi nett zero emission dunia,” kata Jokowi dalam pidatonya. “Ini butuh aksi, butuh implementasi secepatnya.”

Menurut Jokowi, business as usual tidak bisa lagi dilakukan jika ingin mencapai target emisi karbon dunia. Dia menekankan mekanisme carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari penanganan isu perubahan iklim. Ekosistem ekonomi, karbon yang transparan, berintegritas, inklusif, dan adil harus juga diciptakan dalam penanganan masalah tersebut.

Drama di Akhir Kesepakatan COP26

Alok Sharma, ketua KTT COP26, terlihat sangat emosional sebelum memukul palu dengan lega. Kelegaan itu untuk memberi sinyal bahwa tidak ada veto dari hampir 200 delegasi nasional yang hadir di Glasgow. Delegasi yang hadir berasal dari negara adidaya berbahan bakar batu bara dan gas hingga produsen minyak dan pulau-pulau Pasifik yang terancam tenggelam oleh naiknya permukaan air laut.

Walaupun konferensi dua pekan di Glasgow—yang diperpanjang menjadi satu hari ekstra karena negosiasi alot—itu adalah pertemuan iklim ke-26 tetapi merupakan yang pertama menyerukan pengurangan bahan bakar fosil. Seruan itu tidak hanya menggerakkan sebagian besar ekonomi dunia tetapi penyebab pemanasan global buatan manusia yang paling utama.

Alok menjelaskan, ada drama menit-menit terakhir ketika India—negara yang didukung oleh Cina dan negara-negara berkembang lainnya yang bergantung pada batu bara—mengajukan keberatan atas bagian perjanjian ini dan meminta kata-katanya ditulis ulang, menurut laporan Reuters, 13 November 2021.

Satu istilah dalam klausul itu diubah untuk meminta negara-negara mempercepat upaya mereka menuju bebas pembangkit listrik tenaga batu bara dengan penurunan bertahap (phasing down) alih-alih penghentian total (phasing out). Menteri lingkungan dan iklim India, Bhupender Yadav, mengatakan bahwa revisi itu diperlukan untuk mencerminkan keadaan nasional negara berkembang.

“Kami menjadi suara negara-negara berkembang,” kata Yadav kepada Reuters, seraya menambahkan bahwa batu bara telah disorot selama KTT COP26 sementara tidak ada seruan serupa untuk menghentikan minyak atau gas alam.

“Kami melakukan upaya kami untuk membuat konsensus yang masuk akal bagi negara-negara berkembang dan masuk akal untuk keadilan iklim,” kata Yadav, mengacu pada fakta bahwa negara-negara kaya secara historis telah menghasilkan bagian terbesar dari gas rumah kaca.

Perubahan satu istilah dalam perjanjian itu tadi disambut dengan kekecewaan Uni Eropa yang kaya raya, Swiss serta oleh sekelompok besar negara pulau kecil yang keberadaannya terancam oleh kenaikan permukaan laut.

Menteri Lingkungan Swiss Simonetta Sommaruga mengeluh bahwa proses untuk mengubah bahasa pada bahan bakar fosil pada menit terakhir tidak cukup transparan. “Kita tidak perlu mengurangi secara bertahap, tetapi menghapus subsidi batu bara dan bahan bakar fosil secara bertahap,” kata Sommaruga, yang mewakili Environmental Integrity Group, kelompok yang mencakup enam pihak di badan perubahan iklim PBB, seperti dikutip dari CNN.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres juga menilai COP26 gagal mencapai kesepakatan terkait target-target penting di bidang iklim. Pernyataan disampaikan setelah hampir 200 negara mengadopsi Perjanjian Iklim Glasgow di penutupan COP26 pada Sabtu, 13 November.

“Hasil COP26 merupakan sebuah kompromi, merefleksikan deretan kepentingan, kontradiksi, dan keinginan politik di dunia saat ini. (Hasil ini) merupakan sebuah langkah penting, tapi tidak cukup,” ujar Guterres, dilansir dari Sputnik, Minggu, 14 November 2021.

Guterres juga menyerukan para peserta COP26 untuk mengimplementasikan komitmen pendanaan hingga USD100 miliar dalam mendukung negara-negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim. “Kita tidak mencapai target-target sebelumnya dalam konferensi ini, tapi kita sudah mempunyai sejumlah kemajuan,” ujarnya.

CREDIT

Penulis

Editor

Multimedia