Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Menristekdikbud) Nadiem Makarim kukuh menginginkan anak sekolah untuk kembali mengikuti pertemuan tatap muka (PTM) terbatas meski pandemi Covid-19 masih berlangsung. Baginya, learning loss jauh lebih mengerikan bagi anak-anak.
“Riset sejumlah institusi dunia sudah menunjukkan betapa menyeramkan learning loss yang bisa terjadi, apalagi siswa SD dan PAUD, kalau sekolah tatap muka ini tidak dilakukan,” ujarnya pada 27 September 2021.
Learning loss adalah istilah yang digunakan untuk menyebut hilangnya pengetahuan dan keterampilan, baik itu secara umum atau spesifik. Istilah itu dapat pula dipakai untuk menggambarkankemunduran proses akademik karena faktor tertentu.
Ada sejumlah faktor yang dapat menyebabkan learning loss. Antara lain libur panjang, putus sekolah, dan tutupnya pembelajaran tatap muka.
Pemerhati dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji mengatakan bahwa learning loss lebih sering terjadi akibat salah konsep pengajaran. Ketimpangan infrastruktur dan keadaan geografis turut mempengaruhi learning loss. Negara yang tidak terbiasa dengan metode pembelajaran jarak jauh secara daring tentu menghadapi masalah serius.
“Yang mengalami loss control adalah negara-negara yang masyarakatnya masih miskin.” ungkap Indra seperti dikutip dari Antara.
Ketika kasus Covid-19 pertama kali ditemukan di Indonesia pada Maret 2020, sejak itu pembelajaran tutup muka ditiadakan. Proses belajar beralih ke pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan metode daring. Anak sekolah pun terpaksa harus belajar dari rumah hingga 20 bulan lamanya. Pada akhir September dan awal Oktober 2021, pemerintah baru membolehkan PTM terbatas di sejumlah daerah dengan risiko Covid-19 di bawah level parah.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan sejumlah faktor kesiapan PJJ. Penetapan yang tertera dalam dokumen berjudul Distance learning strategies in response to COVID-19 school closures itu antara lain adalah ketersediaan teknologi berupa akses internet beserta alatnya, konten materi, pedagogi penyampaian materi, dan evaluasi.
Sejumlah riset membuktikan bahwa pembelajaran jarak jauh tidak berjalan efektif. Berdasarkan riset yang dilakukan lembaga penelitian dan konsultasi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada April hingga Agustus 2020, hampir seluruh responden menjawab bahwa pembelajaran daring banyak menimbulkan masalah yang mengganggu.
Sebanyak 67 persen responden menjawab cukup banyak masalah, 25 persen menjawab sangat banyak, dan hanya 8 persen responden yang menyebut bahwa hanya ada sedikit masalah.
Respon negatif dalam jumlah besar terhadap pembelajaran jarak jauh juga ditemukan dalam survei yang dilakukan Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF). Hasil survei yang dirilis pada Juni 2020 itu menyebutkan bahwa 69 persen pelajar atau mahasiswa yang menjadi responden mengaku bosan dengan sistem pembelajaran daring serta 6 persen mengaku khawatir atau takut. Sementara sebanyak 17 persen merasa biasa saja dan 7 persen merasa senang.
Kemudian 87 persen responden memilih jawaban ingin segera kembali belajar di sekolah. Hanya 13 persen responden yang menjawab tidak ingin cepat kembali mengadakan pertemuan tatap muka.
Sentimen serupa juga ditemukan dalam survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dilakukan pada April 2020, atau satu bulan sejak kebijakan belajar daring diberlakukan. Dalam survei itu, sebanyak 76,7 persen responden mengaku tidak senang terhadap pembelajaran daring dan hanya 23,3 persen responden yang senang dengan model pembelajaran tersebut.
Ketiadaan teknologi jadi salah satu hambatan utama anak-anak dalam mengikuti pembelajaran daring. Survei SMRC menemukan bahwa 24 persen responden mereka masih belum memiliki akses internet. Sementara dalam sigi UNICEF, sekitar 35 persen responden menjawab bahwa akses internet yang tersendat-sendat jadi tantangan untuk belajar dari rumah.
Selain itu, metode pengajaran juga menjadi salah satu tantangan atau bahkan hambatan utama dalam pembelajaran jarak jauh. Dalam survei UNICEF, 38 persen responden mengaku kurangnya bimbingan guru jadi tantangan pelaksanaan belajar daring. Porsi itu merupakan alasan terbesar dalam tantangan belajar daring yang tergambar dalam sigi tadi.
Sementara dalam survei KPAI, sebesar 79,9 persen menjawab bahwa tidak ada interaksi dengan guru pada pelaksanaan pembelajaran daring.anya 20,1 persen responden yang menjawab bahwa ada interaksi dalam pembelajaran daring mereka. Lebih lanjut lagi, sebanyak 81,8% responden menyebut para guru lebih menekankan pemberian tugas namun jarang menjelaskan materi, diskusi ataupun tanya jawab dalam pelaksanaan belajar daring
Komisioner KPAI Retno Listyarti juga menyebut bahwa pola pengasuhan orang tua turut berperan dalam proses pembelajaran daring anak-anak. “Selain itu, PJJ sangat bergantung pada pendampingan dan pengawasan orangtua, sementara banyak orangtua yang bekerja dan tidak dapat mendampingi anak-anaknya PJJ, atau bisa mendampingi tetapi tidak bisa mengajari anaknya,” kata Retno pada Tempo, Rabu 10 November 2021.
Ancaman learning loss pun hadir saat skor Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) terbaru yang diterapkan pada 2018. Hasilnya, Indonesia menunjukkan penurunan.
Berdasarkan hasil PISA terbaru yang rilis pada Desember 2019 itu, skor Indonesia di bidang membaca, matematika, dan sains menunjukkan penurunan dari PISA 2015. Hasil itu menempatkan negara kepulauan ini dalam kategori 10 besar peringkat terbawah. Dengan melihat kondisi PJJ selama masa pandemi, menurut Retno, “... (Indonesia) berpotensi semakin turun angkanya maupun urutannya sangat mungkin.”
Untuk diketahui, torehan skor pelajar Indonesia selalu di bawah rata-rata skor negara-negara partisipan lainnya sejak pertama kali mengikuti tes itu pada tahun 2000.
PISA merupakan tes yang menguji kemampuan pelajar berusia 15 tahun di tiga bidang, yakni membaca, matematika, dan sains. Tes ini dilaksanakan Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan diikuti berbagai negara.
Momok pandemi pada dunia pendidikan bukan hanya learning loss, tetapi juga angka putus sekolah. Berdasarkan data Kemendikbudristek, jumlah anak putus sekolah menunjukkan tren peningkatan pada tingkat SD saat tahun ajaran 2019/2020. Untuk dicatat, wabah Covid-19 bermula pada pertengahan semester kedua tahun ajaran tersebut.
Meski tren angka putus sekolah pada level SMP, SMA, dan SMK terlihat menurun, tetapi temuan KPAI menunjukkan tren pada tingkat tersebut justru mengkhawatirkan. Ada sejumlah alasan mengapa pelajar sekolah menengah tersebut putus sekolah.
Masalah tak berujung
Alasan pertama putus sekolah adalah karena menikah. KPAI menemukan ada 33 kasus siswa putus sekolah karena menikah di Kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Untuk diketahui, angka itu merupakan jumlah itu tercatat dalam dua bulan awal 2021. Sedangkan di tahun 2020 jumlah yang ditemukan KPAI mencapai 119 kasus.
Kedua, putus sekolah karena bekerja. Berdasarkan temuan KPAI, sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja lantaran orang tua mereka terdampak secara ekonomi akibat pandemi, sehingga anak harus membantu menghidupi keluarganya.
Selanjutnya, siswa terpaksa putus sekolah lantaran menunggak SPP berbulan-bulan. KPAI telah menerima laporan 34 kasus tersebut sejak Maret 2020 hingga Februari 2021. Dari 34 kasus itu, tiga di antaranya berasal dari sekolah yang sama.
Sebagian besar kasus, hampir mencapai 90 persen, berasal dari sekolah swasta dan 75 persen kasus dialami oleh pelajar pada jenjang SMA/SMK. Penunggakan SPP terjadi karena keadaan ekonomi keluarga para pelajar tersebut terdampak oleh pandemi Covid-19. Mereka terpaksa mengorbankan pembayaran SPP demi mengatasi kesulitan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Alasan keempat adalah kecanduan gim daring. Berdasarkan temuan KPAI di Kota Cimahi, terdapat dua anak kelas 7 SMP yang berhenti akibat kecanduan gim daring. Salah satu dari mereka berhenti sementara alias cuti selama satu tahun untuk proses pemulihan secara psikologis.
Guru di beberapa daerah juga melaporkan siswa yang tidak hadir pada PJJ di pagi hari karena masih tidur akibat bermain gim daring hingga menjelang subuh. Perkiraan KPAI menyebutkan bahwa jumlah anak-anak yang mengalami kecanduan gim daring selama masa PJJ meningkat selama pandemi. Jika di setiap kabupaten/kota minimal terdapat dua kasus saja, maka total di seluruh Indonesia bisa jadi ada 1000 anak atau bahkan lebih yang mengalami kecanduan gim daring.
Metode PJJ semakin memperjelas ketimpangan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Menurut Retno, PJJ lebih menguntungkan anak dari keluarga kalangan mampu, terutama ekonomi menengah ke atas.
“Mulai dari wifi, handphone bahkan juga laptop/PC Komputer, juga pendampingan dari orangtua atau ada pengasuh pengganti, minimal orangtuanya mampu membayar guru privat untuk mengajari anaknya di rumah,” kata Retno. “Sementara anak-anak dari keluarga miskin justru sebaliknya.”
Menurut Retno, ada sejumlah langkah yang dapat diambil pemerintah untuk mengatasi PJJ yang tidak efektif. Langkah pertama adalah bantuan gadget pada anak-anak dari keluarga miskin, bukan sekadar bantuan kuota gratis.
“Karena kalau enggak punya gadget-nya maka bantuan kuota juga tidak bisa dinikmati kelompok miskin. Apalagi, PTM sekarang masih terbatas, masih ada aktivitas PJJ,” kata Retno.
Langkah kedua adalah pelatihan bagi para guru agar kapasitas mereka dalam mendidik siswa meningkat, terutama dalam pembelajaran berbasis digital. Ketiga, mengingat pandemi Covid-19 belum usai, maka PTM hanya diperuntukkan pada sesi tertentu.
“... sebaiknya hanya untuk praktik—yang sulit dilakukan dengan PJJ—dan hanya untuk materi-materi yang sulit serta sangat sulit, mengingat PTM masih dilaksanakan secara terbatas,” ujar Retno.