Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas geram. Musababnya, sejumlah perusahaan raksasa produsen minyak kelapa sawit yang mengantongi sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ditengarai terlibat dalam perusakan hutan di Kalimantan. Perusahaan itu diduga menutupi jejak kejahatannya dengan memanfaatkan sejumlah perusahaan bayangan.
Temuan tersebut bahkan pernah ditulis dalam laporan Greenpeace berjudul “The Final Countdown: Now or Never to Reform the Palm Oil Industry” pada lima tahun lalu. Laporan tersebut berisi daftar temuan terhadap sejumlah produsen besar kelapa sawit yang melanggar komitmen no deforestation, peatland, exploitation (NDPE). Sejumlah perusahaan disebut mengaburkan keterkaitannya dengan perusahaan bayangan yang melakukan deforestasi.
Ironisnya, sampai hari ini praktik itu terus terjadi dan perusahaan tersebut tidak tersentuh bahkan terus dianggap sebagai perusahaan yang memegang komitmen keberlanjutan. “Kecewa, tapi tidak terkejut. Banyak perusahaan yang melakukan itu,” kata Arie pada Jumat, 24 November 2023.
Di dokumen Greenpeace itu terungkap beberapa perusahaan sawit dikendalikan dengan sistem konglomerasi rumit yang dimiliki oleh perorangan dan keluarga. Sistem ini sering digunakan untuk alasan-alasan kotor. Seperti menghindari pajak, menghindari pertanggungjawaban atas kebakaran atau praktik ilegal lainnya. Tujuannya menyembunyikan hubungan mereka dengan perusahaan bayangan yang berkegiatan merusak atau melanggar kebijakan NDPE.
Biasanya, kata Arie, untuk memutus hubungan antara perusahaan bayangan dan pemilik sebenarnya, mereka memanfaatkan negara suaka pajak – julukan suatu negara yang menjadi lokasi bersembunyi bagi para wajib pajak – untuk menutup informasi.
Direktur Sawit Watch Achmad Surambo juga mengatakan hal yang sama. Pihaknya menemukan ada perusahaan-perusahaan bermuka dua, yang memiliki komitmen keberlanjutan tapi juga membabat hutan. Bahkan, jika melihat data pemutihan sawit dalam kawasan hutan, ada perusahaan anggota RSPO yang juga ikut mengajukan pemutihan sawit dalam kawasan hutan.
“Jika mereka ikut mengajukan pemutihan lahan sawit di kawasan hutan artinya mereka sebenarnya punya kebun di kawasan hutan, dengan kata lain ikut melakukan penggundulan hutan,” ucap Achmad. Padahal, RSPO merupakan asosiasi industri sawit yang mengklaim diri mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.
Salah satu perusahaan yang masuk dalam daftar dokumen Greenpeace menggunakan perusahaan bayangan adalah First Resources. First Resources diduga memiliki hubungan dengan PT Ciliandry Anky Abadi (CAA) dan PT Fangiono Agro Plantation yang berganti nama menjadi PT FAP Agri.
Pada 2017 CAA sempat menjadi sorotan para aktivis lingkungan karena perusahaan ini ditengarai menebang hutan hujan habitat orangutan di Kalimantan Tengah. Penebangan hutan juga diduga dilakukan oleh FAP Agri.
Lembaga nirlaba Forest Peoples Programme atau FPP mengumpulkan banyak bukti konflik antara FAP Agri dan masyarakat adat Dayak Agabag dan Dayak Tenggalan di Kalimantan. “Banyak komunitas yang sangat takut untuk bersuara,” kata Angus MacInnes, peneliti FPP. “Ini sangat meresahkan masyarakat Dayak Agabag, yang hidup dalam iklim ketakutan.”
First Resources juga disebut memiliki hubungan dengan perusahaan milik pengusaha bernama Sulaidy. Chain Reaction Research mencatat nama Sulaidy sebagai pemilik perusahaan yang membuka hutan Indonesia untuk kelapa sawit terbanyak di Asia Tenggara sejak 2018.
“Kami First Resources group. Bertekad unggul dalam agribisnis. Dengan loyalitas kami tumbuh berkembang. Kami bangga menjadi bagianmu. Integritas kami junjung tinggi. Satu kata dengan perbuatan.”
Joko, bukan nama sebenarnya, masih ingat jelas bait lagu First Resources yang biasa dinyanyikan bersama rekan sejawatnya saat ada tamu datang FAP Agri. Lagu itu juga dinyanyikan oleh para karyawan FAP Agri jika ada pembagian bonus dari perusahaan ke karyawan. Joko adalah satu dari sejumlah pekerja di FAP Agri, PT CAA, dan New Borneo Agri–di atas kertas milik Sulaidy–yang diwawancarai The Gecko Project. Ada beberapa orang yang direkrut dan dilatih oleh First Resources namun ditempatkan di perusahaan yang berbeda.
Lagu yang sama juga biasa dinyanyikan oleh Lambok, bukan nama sebenarnya, karyawan FAP Agri. Awalnya Lambok melamar kerja ke First Resources. Namun saat diterima bekerja, dia dikirim ke Long Bagun, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. First Resources tidak memiliki anak perusahaan di sana, namun Lambok dipekerjakan untuk FAP Agri. “Saya bingung,” kata Lambok sambil bertanya-tanya kenapa tidak ditempatkan di First Resources.
FAP Agri aktivitasnya mengarah kepada First Resources. Karena meskipun bekerja di PT FAP Agri, karyawannya diberikan seragam First Resources. Bahkan mengibarkan bendera First Resources. Selain itu ketika karyawan membuka sistem IT perusahaan, terlihat jelas sistem dioperasikan First Resources. Termasuk template dokumen juga berlogo First Resources.
Pun dalam rapat pengambilan keputusan anggaran, operasional First Resource hadir di sana. “Yang dari FAP, yang dari Borneo Agri di situ, dalam satu ruangan,” kata Ujang, bukan nama sebenarnya, yang menyaksikan pertemuan tersebut. “Dan instruksinya satu, dari Pak Akiong ini.”
Akiong adalah nama panggilan dari Lau Cong Kiong. Dia adalah direktur pelaksana yang mengawasi operasional di Kalimantan Timur, baik yang bekerja di First Resources, FAP Agri, ataupun New Borneo Agri.
Dua pegawai yang ditempatkan di Kalimantan Barat mengatakan, ada pria lain bernama Lion Sanjaya juga memainkan peran yang sama. Lamhot, bukan nama sebenarnya, mengatakan Lion hadir secara konsisten, baik saat bekerja di First Resources maupun New Borneo Agri. “Di Kalimantan Barat itu, kalau ketemu pimpinannya Pak Lion saja, dimanapun perkebunannya,” ujar dia. Namun, Akiong maupun Lion tidak menanggapi ketika dikonfirmasi oleh The Gecko Project mengenai posisinya di First Resources.
Dalam lampiran bukti dokumen Greenpeace, First Resources merupakan anak perusahaan (spin-off) dari PT Surya Dumai Industri Tbk. Surya Dumai Industri adalah perusahaan yang didirikan oleh pengusaha bernama Martias yang merupakan ayah dari Ciliandra Fangiono, bos First Resources.
Pada 2007, Martias terjerat kasus rasuah terkait pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Pengadilan menjatuhkan hukuman satu setengah tahun penjara dan denda Rp 346 miliar. Saat itu Surya Dumai Industri dinyatakan bangkrut dan delisting dari bursa efek Indonesia. Pada tahun yang sama, First Resources mulai menawarkan saham perdana ke publik atau IPO dengan Ciliandra Fangiono sebagai CEO-nya. Lulusan Cambridge University, Inggris itu mencatatkan saham First Resources di bursa efek Singapura.
Ciliandra Fangiono maupun saudara-saudaranya merupakan pemegang saham pengendali di First Resources. Di atas kertas, mereka tidak memiliki saham di CAA, induk perusahaan dari grup CAA. First Resources juga menyatakan bahwa FAP Agri bukan anak perusahaan atau memiliki kaitan dengan First Resources. Namun, tinjauan profil akta perusahaan menyoroti banyak kaitan antara First Resources, kelompok CAA, FAP Agri, dan anak-anak perusahaan mereka.
Adapun CAA dimiliki seorang wanita yang diidentifikasi sebagai istri kedua Martias dan dua anak mereka, saudara tiri dari CEO First Resources Ciliandra. Sementara kepemilikan mayoritas FAP Agri disembunyikan di negara secrecy jurisdictions – dikenal mempunyai sistem perbankan dan keuangan yang relatif lebih tertutup – selama bertahun-tahun. Kemudian saat IPO pada 2020, terungkap pemegang saham utama yang ternyata adalah Wirastuty Fangiono, saudara perempuan Ciliandra yang juga pemegang saham utama di First Resources.
Selama beberapa tahun, CAA memiliki alamat kantor yang sama dengan First Resources di Indonesia. Dua pria yang pernah menjabat sebagai komisaris CAA juga pernah bekerja dengan peran serupa di Surya Dumai Industri dan First Resources. Mereka adalah Citra Gunawan sebagai direktur dan Lau Cong Kiong. Keduanya juga sempat dipanggil untuk bersaksi di kasus persidangan Martias.
FAP Agri juga menggunakan alamat yang sama dengan First Resources. Citra Gunawan dan Lau Cong Kiong tampil sebagai direktur dan komisaris perusahaan. Kedua pria tersebut diduga rekan bisnis jangka panjang Martias yang mendukung generasi keluarga Fangiono dalam membangun dan mengelola kerajaan bisnisnya. “Bagi saya, kaitannya sudah sangat jelas sejak awal,” kata peneliti dari Forest Peoples Programme Angus MacInnes.
Sementara, grup perusahaan milik Sulaidy dinyatakan tidak memiliki hubungan kepemilikan yang sama dengan keluarga Fangiono. Namun, catatan perusahaan menunjukkan adanya hubungan yang sudah berlangsung lama antara Sulaidy dan keluarga Fangiono.
Sulaidy pernah memiliki saham di FAP Agri dan memiliki sebagian saham di sebuah perusahaan dengan First Resources. Citra Gunawan dan Lau Cong Kiong sebelumnya juga pernah disebut sebagai eksekutif di perusahaan-perusahaan yang dimiliki Sulaidy.
Selain itu, Lau Cong Kiong pernah menjadi direktur perusahaan induk milik Sulaidy, PT Bumi Bangka Lestari – perusahaan perkebunan sawit – sebagaimana tercantum dalam dokumen profil perusahaan yang diunggah melalui situs web Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM. Perusahaan tersebut juga memiliki alamat kantor di lantai yang sama dengan First Resources yakni di lantai 28 APL Tower, Jakarta Barat.
Para pekerja yang diwawancarai The Gecko Project mengungkap bahwa mereka dipindahkan dari First Resources ke perusahaan milik Sulaidy. Lainnya bekerja di satu kantor untuk menganalisis data dari divisi keberlanjutan, tapi ada pula dari divisi penebang hutan. Pekerjaan mereka diawasi oleh pemimpinnya yang bernama Ciliandra Fangiono dan Cik Sigih Fangiono.
Seorang karyawan yang sudah bekerja beberapa tahun di sana mengatakan sejak awal bekerja, semua berada di kendali First Resources. Karyawan tersebut pernah bekerja untuk First Resources dan beberapa perusahaan bayangannya. Menurut dia, banyak hal yang sama termasuk manajemennya. “Karena manajemennya sama dan banyak hal yang sama. Saya kira tidak ada yang aneh di sana,” ucap dia. Sementara mantan karyawan First Resources menjelaskan bahwa di dunia perkebunan hal seperti itu lumrah. “Sudah umum. Rahasia umum.”
Kendali First Resources tetap dipegang Fangiono bersaudara: Ciliandra dan Cik Sigih. Mereka biasanya mengunjungi perkebunan tiga kali dalam setahun. Seorang mantan karyawan Lamhot – bukan nama sebenarnya – mengatakan pernah bertemu dengan kedua orang itu saat ditugaskan New Borneo Agri.
Lamhot mengatakan karyawan akan menerima surat edaran yang memberitahukan mengenai jadwal kunjungan Fangiono bersaudara itu. Karyawan juga harus menyiapkan data untuk ditinjau dan memastikan kondisi perkebunannya baik.
Menurut Ujang, para pekerja sangat takut dipecat jika melakukan kesalahan, bahkan untuk bolos kerja dengan alasan beribadah ke gereja atau masjid mereka enggan. Ciliandra dan Cik Sigih biasanya berkunjung menggunakan helikopter. Kedatangannya, disambut karyawan berbaris. Ujang juga mengaku pernah melihat Ciliandra berkunjung ke New Borneo Agri satu kali.
Cik Sigih lebih sering berkunjung dibandingkan kakaknya, Ciliandra. Sementara Ciliandra lebih sedikit menanyakan pertanyaan kepada karyawannya. Dia cenderung fokus pada keuangan. Sementara, Cik Sigih yang berperawakan bugar dan tegas lebih tertarik memastikan perkebunan tetap dalam kondisi baik.
Logo FAP Agri di truk - Forest Peoples Program/Jamie Wolfeld
Para karyawan yakin bahwa Fangiono bersaudara adalah orang yang bertanggung jawab pada First Resources, termasuk Martias, ayah Ciliandra dan Cik Sigih. Joko mengenang saat mengunjungi Kalimantan Timur pada akhir 2016 atau awal 2017, bersama Cik Sigih dan Akiong. Mereka bertemu di sebuah saung, semacam gubuk di dalam perkebunan. Keduanya bercerita dan berusaha memotivasi para staf.
Karyawan lain mengatakan sering diperlihatkan video motivasi yang menampilkan Martias, ketika dia bekerja di First Resources dan perusahaan bayangannya. Namun seorang karyawan berpendapat, keterlibatan Martias lebih dari sekedar memberi motivasi. Pada 2019, kata dia, Martias mengikuti rapat dan hadir secara virtual. Rapat itu membahas anggaran tahunan FAP Agri. Karyawan tersebut menggambarkan Martias seperti seorang “kakek” yang pada dasarnya sudah pensiun. Kakek itu hanya sekadar mengecek perkembangan perusahaan.
Ketika dilihat dokumen anggarannya, ada dua nama yang menandatangani persetujuan akhir yakni Ciliandra dan Martias. Namun, Martias tidak menanggapi permintaan konfirmasi mengenai penandatanganan dokumen itu.
CAA juga tidak menanggapi permintaan konfirmasi. Sementara Ricky Tjandra, Presiden Direktur FAP Agri membantah semua temuan itu. “FAP Agri tidak memiliki hubungan sebagai anak perusahaan atau hubungan keuangan, hukum, dan operasional dengan First Resources, CAA, atau grup perusahaan milik Sulaidy,” ujar dia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono tidak berkomentar banyak soal dugaan hubungan antara First Resources dengan tiga perusahaan lainnya. Dia juga mengaku sudah berkomunikasi dengan pihak First Resources soal temuan itu. Namun, kata Eddy, menurut First Resources isu tersebut tidak benar. Sehingga, dia tidak mau berandai-andai. “Sebab anggota Gapki sudah jelas perusahaannya dan tidak ada perusahaan bayangan.”
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sebenarnya memiliki kesempatan untuk menyelidiki hubungan antara First Resources dengan sejumlah perusahaan yang diduga bayangan tersebut pada 2021. Saat itu ada pihak, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengajukan keluhan dengan tuduhan First Resources, CAA, dan FAP Agri secara fungsional merupakan perusahaan yang sama.
Namun, Wakil direktur komunikasi RSPO Sangeetha Umakanthan mengatakan penyelidikan itu membutuhkan waktu yang lama. “Karena tuduhan yang kompleks dan perlu kehati-hatian,” kata dia.
Berdasarkan peraturan RSPO, konsekuensi bagi perusahaan anggota yang melanggar bisa sangat besar. Jika terbukti, First Resources bisa didenda membayar kompensasi dalam jumlah besar atas hutan yang telah ditebangi. Selain itu, perusahaan bisa kehilangan konsumen yang memasok sawit dari perusahaannya.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga mengatakan, sertifikasi RSPO dan atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) penting bagi perusahaan sawit yang berorientasi ekspor. Produk sawit dan turunannya yang hendak diekspor perlu memiliki sertifikasi RSPO dan atau ISPO. “Termasuk dengan kualifikasi segregasi (pemisahan) atau material balanca (kesimbangan bahan)” ujarnya.
Peneliti Forest Peoples Programme Angus MacInnes mengatakan perusahaan yang membeli dari produsen kelapa sawit semestinya lebih proaktif. Khususnya dalam menyelidiki jaringan gelap perusahaan bayangan yang terkait dengan pemasok mereka.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menuturkan, pihaknya sudah memberikan dokumen temuannya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, sejauh ini belum ada respons. Selama memenuhi prasyarat regulasi, KLHK akan menganggap perusahaan memenuhi standar yang ada. Apalagi komitmen bebas deforestasi perusahaan bersifat sukarela atau voluntary.
Perusahaan seperti First Resources, Arie berujar, membuat komitmen NDPE bukan karena pemerintah mewajibkan. Hal itu dilakukan karena desakan konsumen yang tidak ingin berurusan dengan produk-produk yang dihasilkan dari deforestasi dan merusak keanekaragaman hayati, serta iklim. Ini salah satu bukti masih lemahnya peran pemerintah dalam melindungi hutan. “Bahkan, sampai saat ini, KLHK masih memperbolehkan deforestasi atau penghancuran hutan alam sekitar 400 ribu hektare per tahun,” tutur Arie.
Perlindungan pemerintah pada kawasan lindung dan konservasi juga masih lemah. Meskipun ada kebijakan moratorium hutan, masih ada celah bagi perusahaan untuk secara legal membuka hutan dan lahan gambut. Belakangan pemerintah malah memutihkan pelanggaran hukum sawit ilegal dalam kawasan hutan.
“Kalau yang ilegal saja diputihkan oleh rezim Jokowi (Presiden Joko Widodo), tidak mengagetkan jika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menutup mata untuk pelanggaran komitmen sukarela itu,” ucap Arie.
Tempo berupaya meminta tanggapan KLHK mengenai pengawasan yang dilakukan terhadap perusahaan yang melanggar NDPE seperti First Resources dan perusahaan lainnya. Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK Sustyo Iriyono meminta Tempo menghubungi langsung Direktur Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani. Namun surat permohonan wawancara yang dikirim ke kantor Rasio pada 15 November 2023 lalu tidak mendapatkan respons.
Liputan ini merupakan kerja sama Tempo dengan The Gecko Project yang tergabung dalam Deforestation Inc, kolaborasi reportase yang dikoordinasikan oleh International Consortium of Investigative Journalists. Laporan The Gecko Project bisa dibaca dalam tautan berikut.