Jakarta - Berjarak sekitar sembilan kilometer dari pusat kota, berdiri SDN Ciapus 03 yang terletak di daerah Sukaharja, Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Lokasi sekolah berada di sekitar pemukiman warga yang dekat dengan ladang dan sawah petani. Dari luar, tampak sekolah bercat kuning-oranye lusuh. Memasuki gerbang sekolah, maka kita akan disambut dengan atap plafon yang bolong di sana-sini.
"Kerusakan paling parah memang di plafon luar ini, genting kelihatannya rapi, tidak ada yang patah maupun bolong, tapi kalau hujan, air masuk. Apalagi sekarang sedang musim hujan begini," ujar Kepala Sekolah SDN Ciapus 03, Asep Toni saat ditemui di lokasi, Rabu, 10 November 2021.
Menurut Asep, kerusakan bertambah parah karena tak terawat selama pandemi. Ia mengaku sudah berkali-kali memanggil tukang untuk memperbaiki atap, tapi lagi-lagi bocor. "Dibetulkan yang ini, muncul yang itu, begitu terus. Enggak kelihatan sumber bocornya di mana, baru ketahuan saat hujan. Nah, hujan di sini itu seringnya malam atau sore, jadi saat anak-anak masuk sekolah pagi ya udah basah aja," ujar pria berusia 58 tahun itu.
Pada 2020, Asep mengajukan proposal rehabilitasi dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa atau Musrenbangdes. Setahun kemudian, rehabilitasi disetujui oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor. Namun, persetujuan rehabilitasi baru untuk satu unit.
SDN Ciapus 03 memiliki dua unit bangunan. Masing-masing unit terdiri dari tiga ruangan kelas. Unit yang sedang direhab adalah ruangan kelas 1,2, dan 5, yang sebelumnya memang sudah rusak berat. Saat ini pembangunan masih dilakukan dan ditargetkan rampung pada akhir Desember ini.
Sementara ruangan kelas 3,4, dan 6 masih di unit yang belum direhabilitasi. "Pada 2021 ini, saya mengajukan rehabilitasi untuk unit satu lagi dan sudah disetujui Musrenbang. Sekarang masuk di daftar kecamatan, mudah-mudahan tidak tergeser sekolah lain dan masuk prioritas di rehabilitasi pada 2022," ujar dia.
Menurut Asep, jika disetujui, pembangunan kemungkinan dilakukan pada akhir tahun 2022. Sementara menunggu, ujar dia, siswa kelas 3,4, dan 6, mau tidak mau masih tetap harus belajar di bangunan yang bocor sana-sini.
Sejak September lalu, SDN 03 Ciapus sudah mulai melakukan pembelajaran tatap muka. Berhubung satu unit sekolah masih direhabilitasi, siswa kelas 1,2, dan 5 untuk sementara belajar di sebuah lokasi majelis taklim. "Jadi ada tempat pengajian itu ruangannya besar, tapi enggak ada bangku dan meja. Anak-anak belajar lesehan pakai karpet. Kami bawa papan tulis ke sana," tutur Asep.
Sementara siswa kelas 4, menumpang belajar di rumah guru. "Kebetulan ada guru kelas 4 itu punya rumah kosong cukup besar, jadi itu dipakai. Ya sukarela aja, enggak pakai uang sewa," ujar Asep.
Sisanya kelas 3 dan 6 belajar bergantian di satu ruangan kelas yang masih memadai untuk kegiatan belajar-mengajar. Asep berharap, bangunan sekolah yang terakhir diperbaiki pada 2006 itu bisa segera direhabilitasi. "Karena sebentar lagi saya mau pensiun. Cita-cita saya, sekolah sudah bagus sebelum purna tugas pada 2023," ujarnya.
SDN Ciapus 03 hanya salah satu dari sekian banyak sekolah dasar negeri yang mengalami kerusakan. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun ajaran 2019/2020 menunjukkan, sebanyak 154.885 ruang kelas di sekolah dasar negeri mengalami rusak ringan dan 78.941 mengalami rusak berat.
Koordinator Program Yappika-ActionAid, Rokhmad Munawir mengatakan, jumlah ruang kelas rusak terus meningkat dari tahun ke tahun. Catatan Yappika, 1 dari 5 atau 5,6 juta anak sekolah dasar
terancam nyawanya karena belajar di ruang kelas yang rusak. Sepanjang 2015-2019, 4 siswa meninggal dunia dan 73 siswa terluka karena ruang kelas mereka roboh.
"Memang sudah tahap darurat infrastruktur sekolah kita ini," ujar Munawir saat dihubungi Tempo pada Rabu, 10 November 2021.
Menurut Munawir, maraknya sekolah rusak disebabkan karena bangunan yang memang sudah tua. Khususnya bangunan SD yang memang gencar dibangun pada dekade 1980-an. "Sebagian memang sudah ada yang direhabilitasi sekali dua kali, tapi ada juga yang belum pernah sama sekali," ujarnya.
Masalah lain, prioritas rehabilitasi yang tidak merata antara sekolah yang dekat pusat pemerintahan dan pelosok. "Kalau sekolah yang jaraknya 1 kilometer dari kantor bupati misalnya, pagarnya aja masih bagus terus dicat ulang. Beda dengan yang di pelosok," tuturnya.
Penyebab lainnya, ujar dia, pemerintah dinilai belum punya peta jalan perbaikan sekolah yang jelas. Akibatnya, masalah sekolah rusak terus terjadi dari tahun ke tahun, kendati dana alokasi khusus terus meningkat. Ia menilai selama ini ada praktik yang kurang tepat dalam pengelolaan dana DAK yang bersumber dari APBN dan APBD.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, Yappika mendorong pemerintah segera menyusun peta jalan untuk percepatan penyelesaian sekolah rusak dan membuat tata kelola penyelesaian sekolah rusak yang efisien. Di samping itu, ujar dia, pemerintah juga perlu melibatkan partisipasi swasta dan masyarakat.
"Misalnya mau rehabilitasi 1.000 sekolah dalam satu tahun, tidak harus semua diselesaikan pemerintah, bisa kolaborasi dengan pihak swasta dan juga filantropi. Kita perlu duduk bareng menyelesaikan permasalahan ini," tuturnya.
Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Anwar Razak menilai, selama ini pemerintah daerah terlalu menyerahkan semua urusan rencana perbaikan kepada kepala sekolah. "Harusnya kan Pemda yang aktif mendata sekolah-sekolah yang rusak. Jangan semua dilimpahkan ke kepala sekolah, sehingga mereka harus perjuangkan sendiri di Musrenbang," ujar Anwar saat dihubungi terpisah.
Kopel menilai masalah tata kelola data, tata kelola pelaksanaan anggaran dan tata kelola pengawasan anggaran merupakan faktor utama yang menyebabkan masalah sekolah rusak di Indonesia tak kunjung selesai.
Survei Kopel dalam lima tahun terakhir misalnya, menemukan sejumlah sekolah di Kabupaten Bogor mengalami kerusakan bahkan ada yang roboh, padahal baru beberapa tahun direhabilitasi. Spesifikasi bangunan sekolah dinilai tidak sesuai dengan saat pengadaan kontrak.
"Adanya masalah kualitas bangunan ini, bisa terjadi karena rendahnya akuntabilitas keuangan, pengurangan kualitas, dan juga ada kemungkinan korupsi," ujar dia.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, mengatakan kementeriannya mengalokasikan DAK Fisik tahun 2021 sebesar Rp17,7 triliun untuk 31.000 satuan pendidikan seluruh Indonesia. Paling banyak untuk SD sebesar Rp7 triliun dengan sasaran 21.464 satuan pendidikan.
Nadiem menyebut, penggunaan DAK Fisik adalah untuk memastikan ketuntasan sarana prasarana pendidikan, pelaksanaan pembangunan dan rehabilitasi bersifat kontraktual demi membantu kepala sekolah agar lebih fokus ke proses pembelajaran dan tidak terbebani administrasi proses pengadaan barang dan jasa.
Hal ini didukung pula oleh pelibatan dinas pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR) untuk melakukan asesmen kerusakan sekolah sehingga meningkatkan validitas data sarana prasarana sekolah. “Setiap dinas PUPR punya tenaga profesional yang akan melakukan asesmen, evaluasi dan memonitor sehingga bisa memastikan anggaran kita tepat sasaran dengan efisiensi yang terbaik,” ujar Nadiem.