SYAHRINUR Prinka–redaktur tata muka pertama Tempo–memfatwakan bahwa sebuah sampul muka harus mempunyai fungsi identitas, informasi, promosi, dan estetika. Setidaknya, empat unsur itu sudah cukup sebagai syarat untuk sebuah cover yang baik, begitu kata Syahrinur—yang dikenal luas dengan nama S. Prinka. Tapi, benarkah demikian? Pertanyaan itu terus mengusik awak desain Tempo sekaligus melecut mereka untuk terus mencari kemungkinan-kemungkinan estetik dan gaya baru dalam membuat sampul muka. Bertolak dari kegelisahan untuk terus mencari itulah kemudian lahir ratusan cover yang mewarnai perjalanan Tempo sejak terbit perdana pada 6 Maret 1971 hingga sekarang.
Boleh dibilang, perkembangan sampul muka Tempo tak lepas dari perjalanan sejarah politik Indonesia sejak 1971. Selama 50 tahun, Tempo merekam denyut perjalanan sejarah itu melalui gambar-gambar cover dan cerita sampulnya. Lima puluh sampul muka yang tersaji dalam pameran virtual “Setengah Abad dalam Rekaman Sampul” ini adalah bagian dari ratusan cover Tempo yang telah dipilih melalui proses kurasi. Kelima puluh sampul ini kami pilih karena memiliki cerita menonjol yang sering kali menjadi tonggak, selain menyuguhkan sisi estetik yang menarik.
Sampul muka majalah Tempo mempunyai ciri pinggiran berwarna merah di empat sisi (mirip bingkai lukisan) dengan bentuk logo huruf berkait (serif). Sekilas kulit muka Tempo mirip dengan sampul Time, majalah berita mingguan terkemuka di Amerika Serikat. Ukuran ketebalan bingkai berwarna merah pada Tempo di keempat sisinya sering kali berubah. Biasanya, ketika bentuk huruf logo Tempo berubah, maka ukuran ketebalan bingkai merahnya juga mengalami perubahan.
Bentuk logo pertama Tempo dirancang oleh Djufri Tanissan, seorang pelukis yang juga dekat dengan dunia penerbitan. Pada 1960-an, Djufri menjadi langganan Penerbit Djambatan untuk menggambar sampul buku. Ia kemudian bekerja menangani tata letak Horison, majalah sastra yang terbit pada 1966. Djufrilah yang merancang desain sampul muka dan tata rupa majalah Tempo, sejak masa persiapan hingga beberapa nomor kemudian. Ia yang memilih jenis huruf untuk judul-judul artikel dan teks.
Foto Minarni, pemain bulutangkis utama putri Indonesia saat itu, menjadi gambar sampul nomor perkenalan Tempo. Minarni yang sedang memukul kok di depan net adalah hasil jepretan Lukman Setiawan yang juga penulis laporan utamanya. Laporan utama pada nomor perkenalan yang terbit tanpa tanggal itu sudah direncanakan sebelum Tempo memperoleh surat izin terbit. Waktu itu, karena yakin majalah akan benar-benar terbit, redaktur olahraga, Lukman Setiawan dan Usamah, dikirim ke Bangkok, Thailand, meliput pesta olahraga Asian Games.
Beredar pertengahan Februari 1971, pada sampul muka majalah yang berjudul ”Tragedi Minarni dan Kongres PBSI” itu tertulis ”nomor perkenalan” di ujung kanan atas dan ”Tjuma2” di kiri bawah. Memang, terbitan yang hanya 18 halaman itu tidak dijual alias gratis. Tapi, menurut seorang pembaca, Tempo nomor perkenalan itu di kios-kios buku di Yogyakarta dijual seharga Rp 30. Seorang pembaca lain melaporkan, di Malang dijual Rp 50.
Tempo nomor pertama, edisi 6 Maret 1971, terbit dua minggu setelah nomor perkenalan diedarkan. Berjudul “Film Indonesia: Selamat Datang, Sex”, kulit muka nomor pertama itu menampilkan seni kolase foto adegan-adegan film Indonesia karya Radjul Kahfi, seorang pelukis dari kelompok Sanggar Bambu. Halaman isinya dicetak hitam-putih. Halaman berwarna hanya kulit muka dan iklan di halaman belakang. Tempo nomor pertama setebal 50 halaman itu dijual seharga Rp 80.
Meski sampul nomor perkenalan menggunakan foto, sampul Tempo selanjutnya, sejak edisi pertama hingga dibredel tahun 1994, hampir selalu menggunakan ilustrasi. Tradisi yang cenderung memakai pendekatan ilustratif untuk sampul muka itu terus berlanjut ke generasi Tempo yang baru, setelah terbit kembali pada 1998 hingga hari ini.
Menurut S. Malela Mahargasarie, desainer senior Tempo, karakter majalah yang terbit mingguan tidak terlalu mengejar aktualitas sebuah peristiwa. Tapi lebih bercerita tentang apa, siapa, dan bagaimana di balik terjadinya peristiwa tersebut. Berbeda dengan koran dan media online, majalah lebih mengutamakan kedalaman. “Karenanya ilustrasi dengan ungkapan simbolis atau penggambaran dengan makna tersirat dianggap lebih pas,” katanya.
Walaupun hampir selalu menggunakan ilustrasi, ada perbedaan gaya perwajahan sampul muka Tempo periode Orde Baru dan pasca-reformasi 1998. Pada era Orde Baru ada banyak kehati-hatian dalam penggunaan simbol gambar, terutama jika pemberitaan bersinggungan dengan pemerintah. Apalagi bila menyangkut Presiden Soeharto, hanya ada satu gaya: realistis seperti gambar potret. Sepanjang penerbitan Tempo 1971-1994, Soeharto muncul 22 kali di sampul muka. Semua posenya tersenyum. Alasannya, kata mantan Pengarah Kreatif Tempo, Edi Rustiadi Murad, saat itu kekuasaan Orde Baru yang sangat kuat sehingga gambar sampul pun dibuat lebih “halus”. “Karena salah-salah bisa ditelepon Laksusda Jaya atau dipanggil ke Departemen Penerangan,” ujar Edi.
Selain penggunaan simbol gambar, pilihan tema cerita sampul Tempo era lama boleh dibilang beragam. Topiknya tak melulu urusan politik atau hukum. Cerita musik Rhoma Irama atau Bimbo bisa menjadi cerita sampul. Lalu, film komedi Benyamin, sosok penyair Rendra, atau pertandingan tinju Ellyas Pical juga bisa tampil di cover. Pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, pernah ditanya mengapa Tempo era lama bisa mengangkat beragam tema untuk cerita sampulnya. Goenawan menjawab, “Karena tidak selalu ada cerita politik pada setiap minggu. Dulu sangat tertutup.”
+++
PERWAJAHAN sampul Tempo mengalami perubahan setelah reformasi 1998. Iklim kebebasan pers memberikan keleluasaan ruang bermain dengan bahasa visual bagi para desainer, tanpa harus takut akan ancaman pembredelan dari penguasa. Seorang presiden yang pada era Orde Baru seolah sosok yang tak tersentuh, selepas reformasi mengalami desakralisasi menjadi sosok biasa yang bisa dikritisi melalui gambar apa saja: karikatur, satire, atau parodi. B.J. Habibie, Megawati, hingga Jokowi, pernah tampil di sampul Tempo dengan bermacam gaya metaforis yang tak pernah terbayangkan pada masa Orde Baru.
Perkembangan teknologi komputer grafis yang cepat selepas reformasi juga membawa perubahan perwajahan sampul Tempo dari sisi teknis. Sampul muka edisi percobaan yang terbit pada 29 September 1998 berjudul “Mengapa Soeharto Menantang” menandai babak baru desain grafis jurnalistik di Indonesia. Menampilkan metafora wajah Soeharto dikloning ke wajah George Washington pada dollar Amerika, cover itu dibuat dengan teknik foto montase dengan pengolahan digital imaging oleh S. Malela Mahargasarie. Gambar sampul edisi percobaan itu langsung mengentak masyarakat. Tampaknya, mata publik masih belum terbiasa melihat Soeharto, yang enam bulan sebelumnya masih menjadi orang paling berkuasa di Indonesia, dibuat gambar parodi.
Sampul Tempo kembali mencuri perhatian masyarakat ketika edisi perdana selepas reformasi terbit pada 6 Oktober 1998. Cover Tempo edisi pertama setelah breidel itu menampilkan gambar close-up mata sipit meneteskan air mata dengan judul “Pemerkosaan: Cerita dan Fakta”. Digambar oleh Untarto yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta dengan teknik cat sembur (air brush).
Bentuk mata di sampul itu melukiskan kesedihan etnis Cina di Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Secara konsep, mata adalah gambaran ekspresi paling kuat. Seperti dikatakan perancangnya, ia ingin mata korban perkosaan “meneror” publik untuk mengingatkan bahwa ada korban yang belum terperhatikan. Edisi perdana itu habis dalam tiga hari. Masyarakat antusias menyambut Tempo terbit kembali.
Satu lagi cover Tempo pada awal reformasi yang menjadi pembicaraan, terutama di antara para desainer grafis karena simbolisasinya sangat kreatif, yaitu edisi 26 September 1999 berjudul: “Badut-Badut Baligate”. Gambar Arnold Baramuli yang ketika itu tersangkut kasus Bank Bali dilempar tomat berwarna merah tepat pada hidungnya. Sehingga secara tak langsung menimbulkan persepsi seorang badut.
Reformasi juga terus memompa semangat perancang sampul Tempo untuk mengeksplorasi gaya dan tekniknya. Ilustrator komik dari Bandung, Ahmad Thoriq, didapuk untuk menggarap sampul Tempo edisi 4 Januari 1999 berjudul “Soeharto Tumbang Soeharto Bangkit?” dengan gaya komik superhero ala Marvel. Untuk pertama kalinya kulit muka Tempo digambar dengan gaya komik superhero seperti itu. Majalah edisi ini meledak di pasar. Banyak penggemar ilustrasi yang membeli majalah ini sebagai koleksi.
Tak hanya komik, penggalian ide sampul Tempo juga sering kali “meminjam” karya-karya maestro seni lukis dunia. Tentu saja, cara ini tidak mudah. Perlu kemampuan teknis tinggi untuk bisa meniru karya kelas dunia, walau dalam skala lebih kecil dan lebih sederhana. Juga, sensitifitas sang illustrator dan art director menangkap nuansa cerita yang pas untuk dicangkokan ke dalam karya tersebut. Bisa dikatakan, ilustrator Tempo berhasil dalam mengolah karya klasik maestro dunia itu menjadi gambar metafora.
Misalnya, sampul muka Tempo edisi khusus Soeharto, 10 Februari 2008, karya Kendra Paramita, lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta. Dalam sampul berjudul “Setelah Dia Pergi” itu, Tempo memvisualisasikan bekas Presiden Soeharto beserta anak-anaknya mirip lukisan Leonardo da Vinci, The Last Supper. Soeharto beserta anak-anaknya digambarkan tengah menyantap makanan di sebuah meja panjang. Lukisan Da Vinci menggambarkan Yesus tengah bersantap dengan para muridnya. Sampul ini sempat menuai protes, karena ilustrasinya dianggap menyamakan Soeharto dengan Yesus, dan meminta majalah edisi itu ditarik dari peredaran.
Contoh lain sampul Tempo yang “meminjam” karya maestro dunia adalah ketika kasus tewasnya tersangka teroris Dokter Azahari mengemuka. Saat itu ada pertanyaan besar, benarkah yang tertangkap dan tewas itu Dokter Azhari? Bagaimana memastikannya? Dari sini angle cerita laporan utama Tempo Edisi 14 November 2005 bermula. Tim kreatif mendapatkan ide dari lukisan karya Rembrandt tahun 1632, The Anatomy Lessons of Dr. Nicholas Tulp. Reka ulang adegan yang ada di lukisan Rembrandt menghasilkan gambar sekelompok polisi mengerubuti sesosok mayat dalam keadaan terlentang.
Lalu, lukisan ekspresionis The Scream karya seniman Swedia, Edvard Munch, juga pernah mengalami ‘gubahan’ dari ilustrator Tempo. Sampul edisi 16 Mei 2016 bertajuk “Phobia Hantu Komunisme” itu, mengangkat liputan tentang makin kencangnya kabar angin kebangkitan komunisme yang menimbulkan keresahan pada sebagian masyarakat. Tim kreatif mencoba menghadirkan kecemasan itu ke bidang gambar, ingatan pun melayang pada lukisan Munch pada 1893. Nuansa kelam yang mendasari konsep lukisan Munch terasa pas dengan gambaran cerita yang diangkat Tempo.
Begitulah. Kehadiran sampul muka Tempo dengan ide-ide kreatifnya telah mewarnai perjalanan majalah mingguan ini selama 50 tahun. Memang tak mudah menjaga ide agar sampul muka Tempo tetap segar setiap pekannya. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah Tempo untuk selalu berupaya menyuguhkan sampul muka yang inovatif, menyegarkan, dan menghadirkan unsur-unsur estetik baru.