Ketokan palu Presiden COP26 Alok Sharma—politisi Partai Konservatif Inggris—menandakan KTT COP26 telah berakhir pada Sabtu, 13 November 2021. Penutupan konferensi menandakan hasil konferensi diterima semua delegasi—tidak ada lagi veto.
Pada menit-menit akhir konferensi sempat terjadi drama keberatan atas salah satu hasil perjanjian. India—didukung Cina dan negara-negara berkembang yang mengandalkan batu bara—mengajukan protes atas bagian klausul yang menuntut negara-negara untuk menghentikan total (phase out) kegiatan pembangkit listrik bertenaga batu bara.
Sebagai tuan rumah sekaligus Ketua Presidium KTT COP26, pemerintah Inggris menjadi salah satu pihak yang aktif menyerukan penghentian energi batu bara. Pembakaran batu bara yang menghasilkan gas beracun berkontribusi paling banyak terhadap perubahan iklim.
“Kami melakukan upaya kami untuk membuat konsensus yang masuk akal bagi negara-negara berkembang dan untuk keadilan iklim,” kata Menteri Lingkungan dan Iklim India, Bhupender Yadav kepada Reuters. Ia merujuk pada fakta bahwa negara-negara kaya berdasarkan sejarah menyumbang mayoritas gas rumah kaca.
Menyusul protes itu, kata phase out pun diganti dengan phase down yang berarti pengurangan bertahap. Klausa itu pun dinilai lebih relevan dengan kondisi negara-negara berpendapatan rendah yang masih mengandalkan batu bara.
Sebanyak 34 negara dan lima lembaga keuangan telah berjanji untuk menghentikan dukungan pendanaan—sekitar US$ 24 miliar per tahun—terhadap sektor energi fosil internasional pada akhir 2022. Sejumlah skema pendanaan atau mekanisme kerja sama ditawarkan bagi negara-negara untuk melepas ketergantungan terhadap batu bara dan menggantinya dengan sumber energi bersih.
Ahli biologi konservasi asal University of Kent, Inggris, Charlie Gardner berkata kepada Nature bahwa saat ini dunia perlu aksi yang lebih radikal seperti mengakhiri produksi bahan bakar fosil lebih cepat dan meninggalkan model pertumbuhan ekonomi konstan. Gardner turut bergabung dalam kelompok Scientist Rebellion yang mengikuti aksi demonstrasi besar-besaran di luar ruangan konferensi.
Sekjen PBB Antonio Guterres pun menilai hasil COP26 tidak menyasar target-target penting di bidang iklim. Baginya, hasil COP26 merupakan sebuah kompromi yang merefleksikan deretan kepentingan, kontradiksi, dan keinginan politik di dunia saat ini.
“(Hasil ini) merupakan sebuah langkah penting, tapi tidak cukup. Sekarang waktunya masuk keadaan darurat,” ujar Guterres.
The #COP26 outcome is a compromise, reflecting the interests, contradictions & state of political will in the world today.
— António Guterres (@antonioguterres) November 13, 2021
It's an important step, but it's not enough.
It's time to go into emergency mode.
The climate battle is the fight of our lives & that fight must be won. pic.twitter.com/NluZWgOJ9p
Jika Pakta Iklim Glasgow gagal
Berbagai poin kesepakatan dalam Pakta Iklim Glasgow ditujukan untuk menjaga kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5 derajat Celsius, atau maksimal 2 derajat Celsius. Perhitungan berdasarkan kebijakan yang berlaku saat ini memperkirakan suhu Bumi naik rata-rata 2,7 derajat Celsius, yang menurut PBB mengarah pada situasi bencana.
Kelompok riset independen Climate Action Tracker memprediksi, jika negara-negara saat ini hanya berpatokan pada Target SDGs 2030, maka suhu Bumi masih akan meningkat 2,4 derajat Celsius di atas suhu sebelum masa industrialisasi.
Angka 2,4 derajat Celsius merupakan median alias nilai tengah. Sedangkan angka kenaikan maksimal suhu Bumi adalah 3 derajat Celsius dan minimal 1,9 derajat Celsius, bila masih mengacu pada target tersebut.
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menyebut bahwa kenaikan suhu bumi akan menimbulkan dampak mengerikan bagi penduduk Bumi. Suhu panas ekstrem akan melanda sejumlah wilayah seperti Amerika Utara bagian tengah dan timur, Eropa Tengah, Mediterania, Asia Barat dan Tengah, serta wilayah selatan Afrika.
Kekeringan akan melanda beberapa wilayah, terutama Mediterania, wilayah selatan Afrika, Amerika Selatan, dan Australia. Ketersediaan makanan pun diprediksi berkurang di wilayah seperti selatan Afrika, Dataran Sahel, Mediterania, Eropa Tengah, dan Amazon.
Di sisi lain, sejumlah wilayah akan mengalami curah hujan ekstrem jika suhu Bumi naik 2 derajat Celsius. Wilayah itu antara lain wilayah Bumi bagian utara, daerah pegunungan seperti Dataran Tinggi Tibet, Asia Tenggara, dan pantai timur Amerika Utara.
Risiko banjir dan limpasan air akan lebih tinggi akibat curah hujan ekstrem. Badai tropis pun akan menimbulkan hujan lebat yang lebih intens.
Kenaikan suhu Bumi juga turut mempengaruhi keragaman hayati dan ekosistem. Tidak sedikit spesies hewan dan tumbuhan di darat maupun laut terancam punah lantaran lingkungan mereka mengalami perubahan drastis akibat suhu Bumi yang menghangat.
Ancaman bagi Indonesia
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengamati bahwa tahun 2020 adalah tahun terpanas kedua dalam catatan sejarah. Pengamatan di 91 stasiun BMKG menunjukkan bahwa suhu rata-rata udara pada tahun 2020 lebih tinggi 0,7 derajat Celsius dari rata-rata periode 1981-2010.
Badan Meteorologi Dunia (WMO) pun menyebut suhu tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah selain tahun 2016 dan 2019. Padahal di tahun 2020 terjadi La Nina yang menyebabkan hujan lebat turun lebih sering.
Fenomena peningkatan suhu juga masih terjadi pada 2021. Sejak Januari hingga November, BMKG menemukan bahwa rata-rata suhu udara setiap bulan masih lebih tinggi dibanding rata-rata suhu permukaan sepanjang 1981-2010.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut situasi ini memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi.
Dampak perubahan iklim seperti kekeringan, badai tropis, banjir, longsor, dan angin kencang diprediksi akan lebih sering terjadi dengan intensitas lebih tinggi. BMKG juga memprediksi pencairan salju di Puncak Jaya, Papua akibat kenaikan suhu akan mengakibatkan salju di gunung itu akan habis di tahun 2025.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam laporan khususnya menyebut bahwa kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5-2 derajat Celsius dapat mengganggu kestabilan lapisan es Antartika dan kehilangan permanen lapisan es Greenland. Akibatnya, permukaan laut dapat naik lebih dari 6 kaki atau sekitar 2 meter dalam kurun waktu ratusan hingga ribuan tahun.
Ancaman banjir rob dan abrasi garis pantai pun semakin meningkat. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, tentu ancaman itu bukan ancaman yang dapat dipandang sebelah mata.
Penelusuran Tempo melalui citra satelit Google Earth menemukan sejumlah wilayah pesisir di Indonesia yang terdampak oleh banjir rob dan abrasi pantai. Air laut merangsek ke daratan, dan menggerusnya secara permanen.
Salah satunya adalah Desa Bedono yang berada di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Abrasi di kawasan itu jadi sorotan Koalisi Maleh Dadi Segoro dalam buku berjudul Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak, yang ditulis oleh gabungan peneliti dan aktivis.
Buku itu menyebut bahwa abrasi di Bedono merupakan abrasi terbesar yang terjadi di Indonesia. Kenaikan air laut akibat perubahan iklim pun bukan faktor tunggal di balik bencana itu. Reklamasi yang dilakukan di kawasan pantai utara Kota Semarang turut menyebabkan abrasi di daerah Demak.
Peneliti Utama Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus anggota tim penulis buku itu, Henny Warsilah, menemukan bahwa penurunan permukaan tanah berkontribusi pula terhadap abrasi di kawasan Demak, bahkan menjadi faktor utama.
“Meskipun perubahan iklim menyebabkan kenaikan permukaan air laut, dan menyumbang terjadinya rob, namun untuk kasus Semarang dan Demak, sebab dominannya adalah penurunan permukaan tanah,” ujar Henny dalam diskusi bedah buku Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak yang diselenggarakan Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada pada 24 Juni 2020.
Ada lima faktor penyebab penurunan permukaan tanah. Pertama, ekstraksi air tanah yang berlebihan. Kedua, pembebanan bangunan seperti pada perluasan pelabuhan di Semarang. Ketiga, konsolidasi sedimen aluvial muda.
Keempat, aktivitas tektonik. Terakhir adalah pembangunan di kawasan pesisir Semarang yang menjorok ke laut, seperti reklamasi, pelabuhan, dan kawasan industri.
Bosman Batubara, peneliti Department of Human Geography, Planning and International Development, University of Amsterdam juga sepakat bahwa penurunan muka tanah turut berkontribusi terhadap abrasi. Ditambah lagi permukaan air laut pun naik setiap tahun.
Mengutip penelitian pakar kebumian, Bosman menyebut penurunan tanah di Sayung mencapai 10 sentimeter setiap tahun. Sedangkan permukaan air laut naik 0,5 sentimeter per tahun.
Bencana yang menimpa Desa Bedono jadi contoh aktivitas pembangunan yang tak terkontrol turut memperparah dampak perubahan iklim. Buku Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak menilai, rencana pemerintah membangun tanggul laut yang sekaligus menjadi Tol Semarang-Demak justru berpotensi memperparah masalah abrasi itu.
Bedono bukan satu-satunya wilayah yang terancam tenggelam. Organisasi independen Climate Central dalam peta interaktifnya memproyeksikan wilayah lain di Indonesia seperti pantai utara Jawa, dan Kalimantan Selatan akan berada di bawah ketinggian permukaan air akibat perubahan iklim.
BMKG pun mendesak pemerintah daerah untuk berkomitmen penuh dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui kebijakan.
“Aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim butuh komitmen politik karena harus dimulai dari kepala daerah yang diwujudkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD),” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam webinar yang digelar Deputi Bidang Klimatologi BMKG pada 6 Agustus 2021.