LUSIA De Jesus Martins, 29 tahun, adalah anak pasangan Basku Martins, 60 tahun, dan Jacinta, 57 tahun. Sebelas tahun lalu seorang pria bernama Carlos Soares membawa dia dari rumahnya di Kompleks Transmigrasi Lokal di Kuneru, Kelurahan Manumutin, Kota Atambua, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk bekerja. Berbekal satu koper kecil berisi beberapa potong pakaian, Lusia meninggalkan rumahnya pada 15 November 2010. Ketika itu dia masih di bangku kelas 2 sekolah menengah pertama. Usianya belum genap 17 tahun.
“Saya baru pulang dengan teman-teman ikut kegiatan di sekolah. Di rumah mereka bilang saya mau pergi bekerja, saya ikut saja. KTP mereka buat sementara saja. Foto juga pakai foto SD. Jadi asal-asal saja. Saya sebenarnya belum siap, tapi karena mama sudah iyakan jadi saya juga ikut,” kata Lusia mengenang saat pertama ia meninggalkan rumah.
Carlos berjanji Lusia akan bekerja di Jakarta. Nyatanya, Lusia dibawa hingga ke Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Selama sekitar 11 tahun kehilangan kontak dengan Lusia, Basku dan Jacinta menduga anak kedua mereka, dari enam bersaudara, itu sudah meninggal.
Pengungsi dari Timor Timur
Keluarga Basku Martins merupakan satu dari ribuan pengungsi Timor Timur pasca-referendum 1999. Awalnya Basku mendirikan gubuk di atas tanah orang. Pada 2006 Kementerian Sosial membangun kompleks transmigrasi lokal dengan 36 unit rumah di Kuneru. Mereka pindah ke sana.
Rumah setengah tembok berdinding pelupuh yang mereka tempati berukuran 6 x 7, dengan dua kamar tidur di sisi kanan. Di ruang tamu terdapat empat kursi dan sebuah meja dari plastik. Ada meja doa lengkap dengan patung Bunda Maria. Persis di depan teras terdapat sebuah kios kecil yang menjual mie instan, rokok, kopi dan senjumlah makanan ringan.
Basku seorang buruh bangunan. Kalau tidak ada pekerjaan dia mencari kayu bakar di hutan untuk dijual. “Sekarang bapak lagi kerja bangunan. Selain dari hasil buruh bangunan, kami juga dapat bantuan dari Program Keluarga Harapan (PKH). Tapi sejak bulan April kami hanya terima Rp150 ribu. Sebelumnya Rp300 ribu,” kata Jacinta.
Filipe Goncalves, 44 tahun, warga sekitar, menuturkan mayoritas masyarakat di kompleks, yang jalannya sebagaian besar berlubang, itu adalah eks pengungsi Timor Timur. Mereka rata-rata bekerja serabutan. Selain bantuan melalui PKH, mereka mendapatkan listrik gratis dari PLN. Air bersih dari PDAM mengalir dua kali seminggu. Tak jauh dari situ terdapat sebuah sekolah untuk anak usia dini dan Posyandu.
Kondisi ekonomi yang buruk membuat keluarga miskin di Belu rentan menjadi korban perdagangan manusia. Mereka mudah dibujuk mengizinkan anak atau anggota keluarganya dibawa bekerja ke luar Belu. Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Belu, sejak 2018 hingga Agustus 2022 terdapat 1.092 pekerja migran keluar dari Belu ke sejumlah daerah di dalam negeri. Selain itu, 363 orang tercatat bekerja di luar negeri. Pekerja migran yang tidak tercatat—yakni mereka yang berangkat tanpa melalui prosedur alias illegal—diperkirakan jauh lebih banyak.
Pergi tanpa perlindungan pekerja migran non-prosedural sering mendapatkan perlakuan buruk bahkan sampai meninggal di tempat kerja. Data Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Mingran Indonesia (BP3MI) NTT memperlihatkan sepanjang 2018-2022 sebanyak 26 orang pekerja migran asal Belu kembali dalam peti mati.
“Mereka memilih jalur ilegal karena katanya lebih cepat tiba dan bisa segera bekerja. Kalau melalui Dinas harus ikut pelatihan 3 hingga 6 bulan. Saat berangkat pemerintah tidak tahu. Ketika ada masalah baru keluarga datang mengadu,” ujar Maria Erni Ganggas, S.H., Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Persyaratan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Belu.
Dalam banyak kasus keluarga mengirim anaknya bekerja saat pinjaman menumpuk dan mereka mulai kewalahan membayar utang. “Para cukong mengiming-imingi gaji tinggi meski dengan latar belakang pendidikan yang rendah,” kata Erni yang ditemui pada Jumat 19 Agustus 2022.
Keluarga Dekat dan Sel Terputus
Kisah Lusia berawal dari kedatangan Carlos Soares pada Ahad siang, November 2010. Jacinta sedang duduk bersama beberapa orang tetangganya ketika lelaki sawo matang, berambut ikal, tinggi sekitar 160 sentimeter itu muncul di pintu rumahnya. Dia tidak mengenal Carlos. Tapi lantaran orang itu datang bersama seorang kerabat Jacinta, mereka menerimanya. Saat itu Lusia belum pulang dari kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
“Dia katanya mau cari tenaga kerja untuk dikirim ke Jakarta, dan setelah bekerja dua tahun bisa pulang. Saya dengan bapak mau supaya Lusia kerja biar dapat uang,” tutur Jacinta. Tidak berprasangka buruk dan tak paham hukum, keduanya setuju membiarkan Lusia pergi bersama Carlos. Begitu saja. Tanpa perjanjian yang mengikat.
Seminggu kemudian Carlos menjemput Lusia dengan bus malam Sinar Gemilang. Pria 40-an tahun ini belakangan diketahui sering mengirim tenaga kerja ilegal dari Belu ke daerah lain di Indonesia, hingga ke Malaysia.
Carlos membawa tiga orang gadis lain yang katanya juga akan bekerja di Jakarta selama dua tahun. Lusia masih mengingat nama dua di antaranya: Aplonia De Jesus dan Juliana.
Sekitar delapan jam perjalanan, mereka sampai di terminal Kupang. Seorang pria yang hanya mereka kenal dengan nama Yosef sudah menunggu. “Yosef membawa kami ke sebuah rumah di daerah Sikumana,” kata Lusia. Sedangkan Carlos sejak itu menghilang. Nomor telepon gengam yang dia berikan kepada orang tua Lusia tak lagi aktif.
Yosef memperlakuan mereka seperti tahanan. “Dua minggu kami dikurung. Dia meminta tetangganya mengawasi kami,” kata Aplonia, sekarang 30 tahun, saat ditemui di rumahnya pada 8 Agustus 2022.
Aplonia, warga Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Belu, sempat bekerja dua tahun di Medan. Dia berhasil pulang pada 2013. Saat ibunya sakit keras majikannya mengizinkan dia menengok. Setelah itu dia tak mau pergi lagi meski majikannya berkali-kali menelp0n minta dia kembali.
Malalui jaringannya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Kupang, Yosef membuat KTP baru untuk mereka. Lusia yang belum genap 17 tahun dicatat berusia di atas 18 tahun. Alamat rumahnya Sikumana, Kelurahan Bakunese, Kota Kupang, bukan di Kelurahan Manumutin, Kota Atambua.
Pemalsuan KTP merupakan modus lazim dalam penyelundupan tenaga kerja. Di kota-kota asal maupun kota penghubung seperti Surabaya, Semarang, Jakarta, Batam, Nunukan, para agen tenaga kerja punya jaringan hingga ke instansi pembuat KTP dan imigrasi. Pada September 2016 misalnya, kepolisian NTT menangkap dua orang pegawai imigrasi setempat yang terlibat pemalsuan dokumen untuk mengirim pekerja ke Malaysia. Dalam jaringan mereka terdapat pegawai PT Angkasa Pura I Bandara El Tari Kupang.
Aktivis anti-perdagangan orang di Belu, Filomena Loe, 48 tahun, menyebut cara kerja kelompok Carlos merupakan pola umum perdagangan orang yang selama ini berkembang di Belu. Mereka membujuk korban melalui keluarga dekat, setelah itu menerapkan sel terputus ketika memberangkatkan pekerja ke tempat tujuan akhir.
“Para perekrut biasanya menggunakan banyak nomor telepon genggam. Misalnya mereka merekrut enam orang, maka setiap dua orang dihubungi dengan nomor yang berbeda. Jadi untuk merekrut enam orang, mereka akan menyiapkan tiga nomor,” kata Filomena.
Mayoritas pekerja migran Belu mula-mula ke Kupang, Jakarta, lalu dari sana dikirim ke tempat tujuan akhir di antaranya Medan, Kepulauan Riau, Tanjungpinang, hingga Malaysia dan Singapura.
Lusia dan ketiga temannya berangkat ke Jakarta secara terpisah dalam dua kloter. Lusia bersama Aplonia. Perjalanan mereka tiga kali tertunda karena ada operasi Satuan Tugas Anti-Trafficking di Bandara El Tari, Kupang.
Saat berangkat, Yosef tidak lagi bersama mereka. Seorang ibu yang tidak mereka ketahui namanya menangani semua urusan di Bandara El Tari Kupang.
Si Ibu, menurut Aplonia, membayar Rp5 juta per kepala untuk meloloskan mereka dari Satgas Anti-Trafficking. “Kami jalan menuju bandara saja seperti maling. Ikut jalan tikus. Tiba di Bandara, kami dijemput satu-satu oleh petugas Bandara. Saat masuk tas kami tidak diperiksa lagi,” kata Aplonia.
Seorang wanita lain menjemput mereka di Jakarta. Dia mengaku ia berasal dari sebuah Yayasan tapi baik Lusia maupun Aplonia tak mengingat namanya. Mereka dibawa ke mess yayasan di daerah Tangerang. Dua gadis lainnya sudah lebih dahulu tiba. Esoknya, mereka kembali berpisah. Aplonia dan seorang teman menuju Medan, Lusia ke Tanjungpinang, yang seorang lagi tetap di Jakarta. “Rupanya waktu jalan dari Atambua, sudah ada majikan yang order. Kami punya foto mereka sudah kirim,” kata Lusia.
Seorang wanita setengah baya bernama Taty mengantar Lusia ke Bandara Soekarno-Hatta. Menurut Lusia, dia adik dari majikannya di Tanjungpinang. Ketika berangkat Lusia diminta mengenakan baju berwarna merah untuk memudahkan penjemputan.
Kerja dari Pagi hingga Tengah Malam
Lusia mulai bekerja pada 3 Januari 2011 di sebuah rumah toko di Jalan Pelontar I, Kota Tanjungpinang. Majikannya Bernama Khi Ahi atau Musin, 70 tahun, pemilik toko bangunan Mata Air Abadi. Lusia menghintung, hingga dibebaskan, dia di sana selama 11 tahun 2 bulan.
Jam kerja tidak berlaku bagi Lusia. Setiap hari ia mesti bangun pukul 05.00 waktu setempat. Majikannya menyediakan sebuah weker kecil untuk membangunkannya. Pagi dia memasak. Setelah itu dia mengepel tiga lantai rumah itu. Usai mengepel, Lusia memandikan anjing-anjing piaraan majikan yang jumlahnya 14 ekor. Lalu menjaga istri majikannya yang sudah lansia dan melakukan pekerjaan lain. Jam 12 malam baru dia boleh beristirahat.
Ditemui di rumah tokonya pada 2 Oktober 2022 Musin mengatakan dia dan keluarga memperlakukan Lusia dengan baik. “Pada awal-awal itu kalau tidak salah, Lusia dapat gaji Rp1 juta dari saya selama dua tahun,” katanya. Memasuki tahun ketiga, Musin mengatakan menaikkan gaji Lusia menjadi Rp2 juta per bulan. “Kebutuhan lain tidak kami kurangi.”
Cerita Lusia berbeda. Dia mengatakan tiga bulan pertama hanya digaji sebesar Rp450.000 per bulan. Lusia ingat sempat mengirim uang untuk orang tuanya. Setelah itu, majikannya menyita telepon genggamnya dan gajinya tidak pernah lagi dibayar. Hak-hak lain sebagai pekerja seperti cuti, libur, tunjangan juga tidak dia dapatkan. Lusia dilarang bepergian termasuk tidak diizinkan ke Gereja. Semua kebutuhan seperti sabun, handbody, pakaian termasuk kebutuhan pribadi seperti pembalut dibelikan majikan. “Supaya saya tidak keluar rumah,” katanya.
Sejak telepon genggamnya disita hubungan Lusia dengan keluarganya putus. Basku dan Jacinta mengira anak gadis mereka itu sudah meninggal dan dikuburkan di sana.
Menghubungi Polisi
Lusia mulai berupaya untuk pulang sejak tahun 2019. Dia meminjam telpon tetangganya, istri seorang tentara, setiap kali majikannya pergi berobat ke Singapura.
Lewat Instragram dia berhasil mengontak seorang saudaranya di Surabaya yang kemudian menghubungkannya dengan saudaranya yang lain di Atambua. Hingga akhirnya dia berteman dengan seorang anggota Polisi di Polres Belu, Brigadir Polisi Elias Martins Diaz.
Dia bercerita meminta seorang teman agen Badan Intelijen Negara dan seorang anggota Densus 88 untuk memastikan Lusia memang bekerja di toko Musin. Dia juga meminta bantuan intel di kepolisian setempat untuk mengamati Lusia.
Elias kemudian meminta tolong Indranas Gaho yang memimpin sebuah lembaga bernama Komando Pemberantasan Korupsi alias Lembaga KPK di Jakarta untuk memulangkan Lusia.
Ditemani polisi setempat Lembaga KPK mengrebek kediaman majikan Lusia. Mereka mendapati Lusia di lantai 3 sedang mengurusi seorang wanita tua yang adalah istri majikannya. Tanpa kesulitan mereka membawa Lusia ke Jakarta. “Kami tidak tahu-menahu perihal detil kasus yang menimpa Lusia. Misi kami hanya berfokus pada memulangkan Lusia ke Atambua. Kami menduga Lusia dijual oleh lembaga calo ilegal,” kata Indranas yang ditemui di Jakarta, Selasa 4 Oktober 2022.
Tak Ada Proses Hukum
Lusia tiba kembali di rumahnya di Kompleks Transmigrasi, Kuneru, Atambua pada Rabu 27 April 2022. Majikan Lusia, Musin, akhirnya membayar Rp110, pengganti gaji Lusia yang dia tahan.
Tapi setelah itu tidak ada tindak lanjut. Hingga saat ini Musin tidak diminta mempertanggungjawabkan hak-hak Lusia yang diabaikan selama lebih dari 11 tahun. Bahkan, polisi tidak berusaha untuk membongkar jaringan yang menjual Lusia dan tiga gadis lain. Elias beralasan Carlos yang merekrut Lusia dan kawan-kawanya sudah meninggal pada tahun 2018. “Kalau mau proses, siapa yang mau kami proses. Jaringan di atas Carlos kami tidak tahu,” katanya.
Adapun Musin mengaku lupa ketika ditanyai mengenai jaringan yang menjual Lusia kepadanya, termasuk Taty yang mengaku adiknya, yang mengirim Lusia dari Jakarta. “Saya sudah lupa nama yayasannya. Teman yang bantu kayaknya sudah tidak kerja di situ lagi. Yayasan juga sudah tidak ada lagi,” katanya.
Polisi pun sepertinya tidak mendesak Musin untuk mengungkapkan informasi mengenai yayasan yang menjual Lusia kepadanya. Kepala Kepolisian Sektor Tanjungpinang Kota AKP M. Arsha mengatakan mereka tidak memproses hukum karena tidak ada bukti Musin menyekap Lusia atau melakukan tindakan melawan hukum lain. “Info dari Lembaga KPK, tidak ada masalah lagi, gaji Lusia sudah dibayarkan,” katanya.
Kepala Bagian Humas Polres Belu, Ipda Filomeno Soares, menuturkan mereka kesulitan mengendus sindikat yang menjual Lusia ke Tanjungpinang karena menggunakan sistim estafet.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Belu Jonisus R. Mali mengatakan data Lusia tidak ada dalam file mereka. Di Belu terdapat lima perusahan penyalur tenaga kerja yang aktif merekrut dan mengirim tenaga kerja keluar negeri. Selain itu, terdapat 22 perusahaan penyalur tenaga kerja yang terdaftar mengirim tenaga kerja ke berbagai daerah di dalam negeri. “Lantaran menggunakan dokumen palsu nama Lusia dan tiga gadis lain tidak ada dalam daftar pekerja migran Belu,” katanya.
Filomena Loe yang telah bertahun tahun mengadvokasi korban perdagangan orang di Belu mengatakan, hingga saat ini belum ada satu pun kasus perdagangan orang di daerah itu yang ditangani Polisi atau pemerintah hingga ke pengadilan. Dia bersama timnya pernah menangani satu kasus perdagangan orang yang melibatkan paman kandung korban pada 2005. Tapi korban dan orang tuanya akhirnya meminta Polisi menghentikan proses hukum.
“Saat ditangkap, korban menyebutnya perekrut. Tetapi saat tahu yang tertangkap pamannya sendiri sedangkan calo yang datang bersama pamannya sudah hilang, keluarga minta untuk dihentikan. Saya menduga mafia perdagangan orang ini didukung orang kuat, hanya kita belum tahu,” kata Filomena.
Lepas dari soal penanganan hukum, Filomena mengatakan pemerintah Kabupaten Belu memang belum mampu memayungi tenaga kerja migran di sana. “Satuan Tugas Anti-Trafficking sudah terbentuk sejak tiga tahun lalu, tapi tidak jalan,” ujarnya.
Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Jakarta, Nurharsono mengatakan, sesuai UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, seharusnya kasus Lusia bisa diproses hukum. Dari kronologinya, menurut dia, apa yang menimpa Lusia sudah memenuhi unsur praktek perdagangan orang yakni: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, penyalahgunaan wewenang terutama terhadap anak di bawah umur, dan juga terdapat eksploitasi tenaga kerja.
“Maka Polisi seharusnya melakukan penyelidikan,” ujar Nurharsono pada Jumat, 14 Oktober 2022. “Kalau sudah memenuhi tiga unsur (perdagangan orang) itu, yang harus dilakukan adalah identifikasi kasus agar jelas dan gamblang. Siapa perekrutnya, siapa majikannya, dan apa saja yang dieksploitasi. Penegak hukum harus tegas melakukan penyelidikan.”
Membayar Sendiri Biaya Pemulangan
Lusia semula membayangkan uang Rp110 dari Musin bisa dia gunakan untuk menata hidup baru yang lebih baik. Impiannya ternyata cepat kandas. Belum lama di rekeningnya, setengah dari jumlah itu harus dia keluarkan untuk membayar biaya operasional Lembaga KPK yang memulangkannya. Di Atambua, lagi-lagi Lusia menjadi korban penipuan. Dia membeli minyak goreng secara online dari Batam untuk dijual di kios ibunya. Uang dia transfer tapi minyak goreng tak kunjung dikirim.
Mengenai biaya pemulangan, Lusia menuturkan, dalam perjalanan dari Batam menuju Jakarta hingga pada akhirnya tiba di Atambua, ia beberapa kali mentransfer uang kepada Lembaga KPK. Totalnya mencapai Rp55juta. Indranas memintanya untuk biaya operasional perjalanan tim Lembaga KPK dan dirinya.
Indranas mengakui pembayaran tersebut. Dia mengatakan itu atas kerelaan Lusia. “Yang diminta bukan uang melainkan biaya operasional aktivitas penyelamatan. Karena pada dasarnya kami di Lembaga KPK lebih kepada upaya pendampingan hukum dan juga sebagai kuasa hukum. Tapi, untuk melakukan itu perlu dana operasional seperti yang telah disebutkan sebelumnya,” katanya. Dia mengatakan uang dari Lusia mereka pakai untuk tiket pesawat dan operasional tim.
Majikan Lusia di Tanjungpinang mengatakan dia juga membantu biaya pemulangan. “Lupa jumlahnya berapa waktu itu,” kata Musin. Tapi dia tidak menjelaskan kepada siapa biaya pemulangan diberikan.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Belu angkat tangan saat ditanyai soal biaya pemulangan Lusia. Erni Ganggas mengatakan mereka hanya diundang saat penyerahan korban oleh Lembaga KPK di kantor Bupati Belu. “Kami tidak tahu kalau tenaga kerja migran mengeluarkan uang sebanyak itu. Biasanya untuk pemulangan tenaga kerja kami berkoordinasi dengan BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia). Tapi dalam kasus ini proses pemulangan korban kami tidak tahu,” ujarnya.
Lusia kini bekerja di sebuah warung bakso di Atambua. “Dia bilang mau tampung uang untuk ambil ijazah paket B,” tutur Jacinta saat ditemui di rumahnya pada siang 8 Oktober 2022. Duduk di samping ibunya, di teras rumah mereka, Lusia tidak banyak bicara. Perhatiannya tersita oleh sekelompok remaja usia SMP yang asyik bercengkrama di seberang jalan.