Longform

Bocor Upah karena Data

Senin, 1 Agustus 2022

Kekacauan terjadi dalam pendataan bantuan subsidi upah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Subsidi upah rawan bocor.

Oleh Abdus Somad

tempo

KHOTIMAH terheran-heran ketika rumahnya didatangi oleh petugas kelurahan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sekitar awal September 2020 lalu. Saat itu, petugas memberitahu bahwa suaminya, Soewandi, telah menerima bantuan subsidi upah kedua senilai Rp 1,2 juta. Bantuan serupa, didapat Soewandi tiga bulan sebelumnya, atau pada Juli 2020 lalu. 

Kepada pegawai kelurahan itu, Khotimah mengatakan suaminya telah meninggal. Kematian itu juga sudah dilaporkan ke kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Sidoarjo sejak akhir Juli lalu. “Ternyata, subsidi upah itu tetap dikirim ke rekening bank milik bapak,” ujar Khotimah menceritakan ulang kejadian tersebut ketika ditemui Tempo, Jaring.id, dan The Philippine Center for Investigative Journalism (PCIJ), di rumahnya, Rabu 11 Mei 2022. Bantuan itu pun sudah digunakan oleh Khotimah.

Seorang pejabat BPJS Ketenagakerjaan Jawa Timur yang ditemui tim penulis ini bercerita bahwa ketika kantornya sudah menerima sertifikat kematian, otomatis kepesertaan sebagai penerima bantuan akan berhenti. Pejabat ini berjanji akan mengecek kasus Soewandi. Tapi, hingga tulisan ini terbit, pejabat itu tak lagi memberikan informasi lebih lanjut. 

Kasus serupa juga dialami oleh orang tua dan mertua Surti yang bekerja sebagai pedagang di Pasar Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Menolak menyebutkan nama orang tua dan mertuanya, Surti menyebut keluarganya itu seharusnya tak layak menerima subsidi upah. “Orang tua saya bukan pegawai,” ujar Surti, yang juga tak mau nama aslinya ditulis.

Dalam Pasal 1 ayat 15 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Selama Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19, menyebutkan peserta penerima upah merupakan pekerja yang bekerja pada pemberi kerja. Sedangkan ayat 16 menyebutkan peserta bukan penerima upah merupakan perseorangan yang melakukan usaha secara mandiri. 

Orang tua dan mertua Surti itu terdaftar sebagai penerima subsidi upah karena diminta menjadi peserta oleh BPJS Ketenagakerjaan Sidoarjo pada awal 2019 lalu. Menurut Surti, ketika itu, para pedagang diminta oleh petugas BPJS Ketenagakerjaan Sidoarjo untuk mengumpulkan kartu tanda penduduk. “Saat itu ada 100 orang dari yang muda hingga lansia yang mendaftar jadi peserta,” ujarnya, Rabu, 11 Mei lalu. Pendaftaran itu lah yang juga dipakai sebagai peserta penerima

Pada Juli 2020 lalu, orang tua dan mertua Surti menerima subsidi upah pertama. Tapi, angkanya menjadi Rp 1,1 juta rupiah atau berkurang Rp 100 ribu dari dana Rp 1,2 juta. Surti mengatakan ia diberitahu oleh petugas bahwa potongan itu untuk pembuatan rekening baru. Saldo dalam rekening itu pun tak boleh kosong. “Padahal keluarga saya juga sudah punya rekening bank yang sama,” katanya.

tempo

Soewandi dan keluarga Surti menerima bantuan subsidi upah dari program pemerintah dalam penanganan Covid-19. Melalui anggaran Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional total dana yang digelontorkan adalah Rp 29,7 triliun untuk 12,4 juta pekerja.

Peserta program ini berasal dari data BPJS Ketenagakerjaan. Yaitu, para pekerja yang gajinya dipotong maupun terkena pemutusan hak kerja pada saat pandemi. Karena itu, sebelum dana disalurkan, pemerintah memberikan sejumlah syarat agar bantuan subsidi upah itu tepat sasaran.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Upah Bagi Pekerja Dalam Penanganan Dampak Corona Virus Disease 2019, syarat tersebut adalah penerima merupakan warga negara Indonesia. Selanjutnya, terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan; penerima upah; gaji di bawah Rp 5 juta; dan memiliki rekening bank. 

Masalahnya, data BPJS Ketenagakerjaan tak sesuai dengan syarat tersebut. Keluarga Surti dan Soewandi misalnya, yang tak didata ulang oleh BPJS Ketenagakerjaan. Kekacauan ini juga merupakan buntut dari pendaftaran yang juga tak tepat sasaran. Ketika itu, di Kabupaten Sidoarjo, BPJS Ketenagakerjaan menurunkan penggerak jaminan sosial Indonesia (Perisai), untuk mencari peserta sebanyak-banyaknya.

Dua anggota Perisai yang ditemui oleh tim ini bercerita, mereka bergerak ke daerah padat penduduk, seperti pasar, maupun pemukiman untuk mencari calon peserta BPJS Ketenagakerjaan sejak 2018 lalu. Pegawai Perisai ini lalu meminta identitas para warga, dan memasukkannya melalui aplikasi BPJS. Setelah itu, BPJS Ketenagakerjaan Sidoarjo memasukkan data para warga untuk menjadi peserta lembaganya. 

tempo

Pegawai Perisai ini juga bercerita, ia diminta oleh BPJS Ketenagakerjaan Sidoarjo untuk mencari peserta sebanyak-banyaknya. “Padahal, banyak yang bukan penerima upah,” ujar sumber ini ketika ditemui di rumahnya, Rabu, 11 Mei lalu. Pegawai Perisai lainnya menuturkan sudah lebih dari 1.000 orang yang ia daftarkan sebagai anggota BPJS Ketenagakerjaan.

Dampaknya, peserta BPJS Ketenagakerjaan di wilayah Jawa Timur pun meningkat. Pada 2018 lalu misalnya peserta BPJS Ketenagakerjaan dengan status penerima upah berjumlah 1.865.839 peserta. Tahun ini, angka itu naik menjadi 2.357.709 peserta. 

Deputi bidang Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan Jawa Timur, Arifianto, tak membantah ihwal adanya permintaan kepada Perisan untuk mencari anggota BPJS Ketenagakerjaan sebanyak-banyaknya. Musababnya, setiap kantor wilayah BPJS Ketenagakerjaan diberikan target peserta oleh kantor pusat mereka.

Tahun ini saja, mereka diminta meningkatkan peserta mencapai 2,3 juta orang, dan juga mempertahankan 4 juta peserta yang ada. “Kalau tidak sesuai target, peringkat kantor kami turun,” ujar Arifianto ketika ditemui di kantornya, Jumat, 15 Mei lalu. Setiap kantor BPJS memiliki peringkat mulai dari A hingga C. BPJS Ketenagakerjaan Jawa Timur sendiri mengantongi ranking A, yang paling bagus dalam peringkatnya. Ihwal data yang tidak tepat, Arifianto menyebut timnya akan menyelidikinya.

BPJS Ketenagakerjaan juga melibatkan anggota Komisi Ketenagakerjaan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mencari peserta baru di lembaganya. Anggota Komisi Ketenagakerjaan dari Fraksi Golkar, Darul Siska, menuturkan ikut mensosialisasikan program BPJS Ketenagakerjaan di daerah pemilihannya di Sijunjung, Sumatera Barat, pada 23 April lalu. 

tempo

Di sana, para peserta yang hadir ikut dalam seminar, lalu diminta kartu tanda penduduknya sebagai tanda menjadi anggota. Menurut Darul, masyarakat lebih banyak datang ke suatu kegiatan jika berkaitan dengan DPR. “Kalau BPJS Ketenagakerjaan mengundang, belum tentu masyarakat datang,” ujarnya, Selasa, 31 Mei lalu.

DIGELAR di lantai 15 Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pada awal Agustus 2020 lalu, rapat secara khusus membahas program bantuan subsidi upah. Persamuhan itu dipimpin oleh Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi bidang Pencegahan dan Monitoring Pahala Nainggolan.

Sedangkan para tetamu yang hadir adalah Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah; Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi; dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan periode 2015-2021, Agus Susanto. 

Rapat itu diselenggarakan beberapa hari sebelum Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Upah Bagi Pekerja Dalam Penanganan Dampak Corona Virus Disease 2019 keluar. Aturan itu diteken oleh Menteri Ida pada 14 Agustus 2020. 

Menurut Pahala, dalam pertemuan itu lembaganya menyoroti detail penyaluran subsidi upah. Yaitu, mulai dari mekanisme pendaftaran hingga penyaluran dari perbankan. Namun, para tetamu hadir tidak menjelaskannya kepada KPK. “Mereka meminta waktu untuk menjawabnya,” ujar dia menceritakan ulang pertemuan tersebut, Juni 10 Juni lalu. 

Pertemuan serupa digelar tak sampai satu pekan setelah rapat pertama ditutup. Dalam persamuhan itu BPJS Ketenagakerjaan dan Kemenaker menjawab permintaan KPK. “Ada paparan lebih detail,” ujarnya. Pahala tak menceritakan secara rinci keterangan yang disampaikan dua lembaga tersebut. Tapi, dia mencurigai tentang data ini bakal menimbulkan masalah. 

tempo

Belakangan, Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan hasil auditnya. Yaitu, hasil audit BPK nomor 187/HP/XVI/12/2020 tentang hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pengelolaan dan pertanggungjawaban program bantuan subsidi upah bagi buruh dalam penanganan pandemi Covid-19 pada Kementerian Ketenagakerjaan dan instansi terkait lainnya.

Dalam laporan yang keluar pada Desember 2020 itu, BPK menyebutkan ada 1.212.454 penerima yang tidak tepat sasaran. Dari angka itu, 1.198.539 peserta yang mendapatkan bantuan subsidi upah, ternyata masih memiliki penghasilan di atas Rp 5 juta. Selain itu, ada 6.433 penerima subsidi upah merupakan aparatur sipil negara. “Pemborosan keuangan negara minimal sebesar Rp16.698.000.000,” seperti dikutip dari laporan BPK tersebut.

BPK juga merekomendasikan agar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fuaziyah untuk merevisi petunjuk teknis program bantuan subsidi upah. BPK juga meminta Ida untuk membangun data ketenagakerjaan, hingga meminta mengoptimalkan tim pelaksana penyaluran bantuan subsidi upah.

Anggota III BPK, Achsanul Qosasi, yang terlibat dalam audit ini belum bisa dimintai konfirmasi oleh tim penulis ini. Pesan dan telepon tak berbalas. Permintaan konfirmasi yang dikirimkan ke bagian hubungan masyarakat BPK pun tak berbalas. “Mohon maaf kami sampaikan bahwa Anggota 3 BPK tidak dapat memenuhi permintaan wawancara tersebut,” ujar Staf Biro Humas dan Kerja Sama International, Sigit Rais melalui pesan Whatsapp, Rabu 22 Juni 2022. 

Tahun berikutnya, atau 2021, giliran KPK yang menemukan permasalahan dalam penyaluran bantuan subsidi upah. Pada tahun itu, ada perubahan batas penerima upah. Dari yang sebelumnya di bawah Rp 5 juta menjadi dibatasi Rp 3,5 juta. Bantuan diberikan kepada 8,8 juta pekerja dengan nominal Rp 1,2 juta. Sedangkan jumlah penerima bantuan subsidi upah sebanyak 6.991.873 pekerja dengan anggaran Rp 6.9 triliun. 

Perubahan itu diatur dalam kebijakan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Upah Bagi Pekerja Dalam Penanganan Dampak Corona Virus Disease 2019. 

Temuan ini berdasarkan surat yang KPK kirim ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Isi warkat itu adalah potensi masalah program bantuan subsidi upah yang tak tepat sasaran, hingga potensi tumpang tindih dengan penerimaan bantuan lain dari pemerintah dalam penanganan Covid-19. KPK lalu meminta Ditjen Pajak untuk mencocokkan data dari BPJS Ketenagakerjaan dan Kemenaker, dengan data penghasilan wajib pajak.

tempo

Deputi bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, mengatakan dari penataan itu lembaganya menemukan ada 881.122 data yang ganda. Selain itu, KPK juga meminta BPJS Ketenagakerjaan dan Kemenaker untuk memperbaiki 240.711 data. “Dari proses itu, KPK bisa mencegah kerugian negara hingga Rp 669 miliar,” ujarnya.

KPK juga meminta bantuan subsidi upah itu tak menggunakan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM. Ketika itu, syarat lain untuk mendapatkan bantuan subsidi upah adalah berada di daerah dengan PPKM level 3-4. “Seluruh warga berhak menerima bantuan, ngapain berdasarkan level PPKM,” kata Pahala.

Toh, himbauan KPK tak didengarkan oleh Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan. Bantuan subsidi upah pada Juli dan September 2021 tetap menggunakan level PPKM. Belakangan, karena ada kebijakan level PPKM itu mengakibatkan Rp 1,7 triliun bantuan subsidi upah tak terserap.

Data itu diungkap dalam rapat kerja Komisi Ketenagakerjaan DPR dengan Kemenaker pada 28 September 2021. Anggota Komisi Ketenagakerjaan dari Fraksi PDIP, Edy Wuryanto, mengatakan angka itu setara dengan 1.179.477 calon penerima bantuan subsidi upah. 

Menurut Edy, selain faktor PPKM, dana itu tak digelontorkan karena sejumlah masalah. 

Yaitu, rekening penerima tak sesuai, komunikasi yang tak berjalan baik, hingga kurangnya koordinasi antara BPJS Ketenagakerjaan pusat dan daerah. “Ini sangat tidak diharapkan karena pemerintah sudah menyiapkan anggaran, tapi targetnya tidak tercapai,” katanya.

Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antarlembaga BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun, mengatakan lembaganya menggunakan keakuratan data pekerja dengan menggandeng lembaga lain. Misalnya, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, mengecek data berkala pekerja dengan pihak pemeriksa kerja, hingga pembaharuan data pada aplikasi Jamsostek Mobile. 

Karena itu, BPJS Ketenagakerjaan dipercaya pemerintah sebagai penyedia data tenaga kerja calon penerima bantuan subsidi upah. Setiap data yang diserahkan kepada pemerintah telah dilakukan verifikasi dan validasi. “Dengan ketentuan calon penerima bantuan subsidi upah setiap tahunnya,” ujar Oni, Selasa, 19 Juli lalu. 

Oni mengatakan penerima bantuan subsidi upah pada 2020 dan 2021 merupakan pekerja yang masuk dalam kategori pekerja penerima upah. Ihwal adanya masyarakat yang mendapatkan bantuan tapi bukan pekerja, Oni menyebut mereka terdaftar dalam kategori penerima upah. “Kemungkinan juga terdaftar pada kategori pekerja penerima upah,” katanya.

CREDIT

Penulis

Multimedia

Editor